Anda di halaman 1dari 21

PENCITRAAN RESONANSI MAGNETIK BERDASARKAN PENCITRAAN

FUNGSIONAL DALAM BIDANG ONKOLOGI PEDIATRIK


Karen A. Manias, Simrandip K. Gill, Lesley MacPherson, dkk.

ABSTRAK
Pencitraan merupakan pusat manajemen tumor padat pada anak-anak. Pencitraan
resonansi magnetik (MRI) konvensional adalah modalitas pencitraan standar untuk
mengenali tumor di sistem saraf pusat (SSP) dan anggota badan lainnya, bahkan kini
semakin digunakan pada abdomen. Pencitraan ini mampu menunjukkan detail struktural
yang sangat baik, tetapi masih kurang untuk jenis tumor, agresivitas, potensi metastatik
atau respons pengobatan dini. Teknik pencitraan MRI berbasis fungsional, seperti
Magnetic resonance spectroscopy, Diffusion and Perfusion magnetic resonance dan
probe tissue properties untuk memberikan informasi klinis penting tentang metabolit,
struktur dan aliran darah. Ulasan ini menjelaskan peran dan bukti ilmiah di balik teknik
pencitraan fungsional ini dalam bidang onkologi pediatrik dan implikasinya untuk dapat
diintegrasikan mereka ke dalam praktik klinis rutin.
KATA KUNCI Pencitraan resonansi magnetik; Pencitraan resonansi magnetik
fungsional; Magnetic resonance spectroscopy; Diffusion magnetic resonance imaging;
Perfusion imaging; Diffusion tensor imaging; Pediatri; Neoplasma

1. Pendahuluan
Pencitraan fungsional meneliti sifat jaringan yang relevan dengan sifat biologi yang
mendasari tumor. Teknik yang termasuk yaitu diffusion weighted imaging dan perfusion
weighted imaging (DWI dan PWI), menilai struktur jaringan dan aliran darah, dan
Magnetic resonance spectroscopy (MRS), mengukur profil metabolit. Modalitas ini
mampu memberikan informasi penting tentang karakteristik tumor, memungkinkan
derivasi dari gambaran biologis yang lebih lengkap.

2. Teknik utama dalam pencitraan fungsional


2.1. Diffusion Weighted Imaging (DWI)
Cara DWI didasarkan pada difusi air mikroskopis dalam jaringan. Gambar yang
diperoleh dengan timbangan difusi tinggi dan rendah (nilai-b) digunakan untuk
mengembangkan pemetaan koefisien difusi jelas (apparent diffusion coefficient—ADC).
Nilai ADC merupakan pengukuran difusi secara kuantitatif dengan perbandingan terbalik
terhadap selularitas, yang mungkin berguna untuk karakterisasi tumor.
Pemeriksaan DWI tidak memerlukan akses intravena (i.v.), injeksi kontras, atau
kepatuhan teknik menahan napas. DWI bahkan dapat dilakukan pada semua pemindai
resonansi magnetik modern dan protokol pada sistem saraf pusat (SSP) standar memiliki
waktu akuisisi yang singkat. Protokol yang digunakan dalam tubuh mungkin lebih lama,
terutama jika DWI diperoleh menggunakan beberapa nilai-b untuk memungkinkan aliran
darah kapiler. Waktu pemindaian tambahan biasanya 30 detik untuk CNS dan 2-5 menit
untuk protokol batang tubuh; anestesi umum tambahan biasanya tidak diperlukan.

2.2. Diffusion tensor imaging (DTI)


Diffusion Tensor Imaging (DTI) memberikan informasi kuantitatif yang spesifik terhadap
orientasi tentang difusi air, disebut juga dengan istilah 'anisotropi fraksional ' (fractional
anisotropy—FA). Teknik ini dapat digunakan untuk melacak serabut saraf di otak, karena
koefisien difusi lebih tinggi ketika diukur paralel dibandingkan diukur secara tegak lurus
(perpendikular) pada neuron yang termielinasi. Substantia alba divisualisasikan melalui
model matematis 3 dimensi (traktografi) atau pemetaan berkode warna (Gbr. 1). Waktu
akuisisi standar adalah 6 menit, tetapi mungkin lebih lama jika pencitraan daerah
kompleks dengan memotong saluran. Akses i.v. tambahan tidak diperlukan dalam
pemeriksaan ini.
Gambar. 1. Difusi tensor imaging (DTI) menunjukkan radiasi optik.
2.3. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
1H-Magnetic resonance spectroscopy (MRS) memungkinkan diskriminasi non-invasif
untuk berbagai jenis tumor otak dan stadiumnya. Pemeriksaan ini memberi informasi
mengenai metabolit perantara seperti kolin (terlibat dalam sintesis membran), lipid
mobile (apoptosis dan nekrosis) dan N-acetylaspartate (NAA; penanda neuronal). Jumlah
relatif berbagai metabolit disajikan secara grafis dalam bentuk spektrum (Gambar 2).
MRS dapat dilakukan setelah pencitraan resonansi magnetik (MRI) rutin tanpa
perlu tambahan akses i.v. atau anestesi umum. Spektroskopi voxel tunggal di mana data
diperoleh dari volume tunggal yang ditetapkan biasanya akan menambahkan 5 menit ke
waktu pemeriksaan dan relatif mudah diperoleh dan diproses. Akuisisi dan analisis
magnetic resonance spectroscopic imaging (MRSI) multivoxel, sering disebut chemical
shift imaging (CSI), merupakan analisis yang lebih kompleks, namun mampu
memberikan informasi tentang heterogenitas jaringan.
Gambar. 2. Spektrum resonansi magnetik rata-rata (MR spectrum) dari otak normal
(materi putih): mIns, myo-inositol; tCho, total choline; Cr, creatine; NAA, N-
acetylaspartate; LMM, lipid dan makromolekul.

2.4. Perfusion Weighted Imaging (PWI)


Perfusi MRI mengevaluasi aliran dan volume darah untuk memberikan informasi
mikrovaskulatur dan angiogenesis. Teknik ini juga meliputi kontras dinamis yang
ditingkatkan (dynamic contrast enhanced—DCE) dan kontras kerentanan dinamis
(dynamic susceptibility contrast—DSC) MRI yang memerlukan injeksi kontras melalui
pompa mekanik yang mungkin tidak kompatibel dengan kateter vena sentral. Waktu
pemindaian tambahan sekitar 5 menit untuk DCE dan 90 detik untuk DSC-MRI.
Spinlabelling arteri (ASL) adalah alternatif yang menjanjikan pada anak-anak.
Pemeriksaan ini memungkinkan pengukuran kuantitatif non-invasif terhadap perfusi
serebral tanpa harus melakukan injeksi kontras dan tambahan akses i.v. akses. Teknik ini
dapat dilakukan dalam 4 - 5 menit. Peningkatan perfusi mungkin mencerminkan adanya
peningkatan vaskularisasi terkait dengan stadium tumor yang lebih tinggi (Gambar 3).
Gambar. 3. Perfusion weighted imaging (PWI) menunjukkan volume darah otak relatif
(rCBV). (A) Pilocytic astrocytoma (PA): 1, MRI; 2, rCBV. (B) Tumor rhabdoid teratoid
atipikal (ATRT): 1, MRI; 2, rCBV.

3. Penggunaan klinis
3.1. Tumor Central Nervous System (CNS)
3.1.1. Diagnosis sebelumnya
Terdapat keragaman patologi tumor otak pada masa kanak-kanak, serta jenis tumor yang
berbeda akan menampilkan karakteristik pencitraan tumpang tindih. Pemeriksaan MRI
konvensional tidak selalu dapat secara akurat mengidentifikasi jenis atau stadium tumor
tertentu atau membedakan neoplastik dari lesi non-neoplastik. Baku emas diagnostik saat
ini adalah histopatologi setelah biopsi atau reseksi bedah dengan risiko terkait adalah
morbiditas atau kesalahan pengambilan sampel. Diagnosis histopatologis definitif tidak
tersedia sampai beberapa hari pasca operasi dan dengan demikian tidak dapat digunakan
untuk memandu pengambilan keputusan bedah atau perencanaan pengobatan adjuvant
secara dini. Pencitraan fungsional dapat memfasilitasi diagnosis non invasif tumor CNS
pediatric secara dini, memberikan informasi klinis penting.
3.1.1.1. Diffusion Weighted Imaging (DWI)
DWI dapat membantu membedakan tingkat tumor otak dalam satuan ADC (diukur
dalam mm2/s) berkorelasi terbalik dengan rasio seluler dan rasio inti- sitoplasma. Difusi
terbatas dengan ADC rendah adalah dua temuan yang sering pada stadium tumor yang
lebih tinggi, tetapi jarang terjadi pada tumor otak pediatrik stadium rendah. Pernah
disarankan untuk penetapan nilai titik-potong, namun masih ditemukan variasi antara
penelitian.
Penelitian yang dilakukan pada apakah DWI dapat mengidentifikasi jenis tumor
otak sebagian besar terdiri dari penelitian yang secara eksklusif mengevaluasi keganasan
serebelum. Astrositoma pilokistik dapat didiskriminasi dari medulloblastoma, mungkin
disebabkan perbedaan dalam kelas/seluleritas, namun ependymoma lebih sulit untuk
diklasifikasikan. Meskipun ADC sendiri tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis karena
nilai-nilainya yang tumpang tindih, histogram ADC berhasil membedakan tumor
serebelum. Pelebaran serat pons glioma intrinsik difus berpotensi bermanfaat untuk
mendiagnosis lesi di area yang menghalangi biopsi, dengan membedakan glioma intrinsik
pontin difus (diffused intrinsic pontine glioma—DIPG) dari gambaran demielinasi dan
menentukan keterlibatan substantia alba pada DIPG dan tumor batang otak fokal.

3.1.1.2. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)


MRS dapat mendukung diagnosis tumor otak pada anak secara non-invasif. Tumor
otak umumnya memiliki kadar kolin dan laktat yang tinggi dan NAA yang rendah. Tumor
tingkat tinggi akan meningkatkan kadar total kolin, lipid dan glisin, sementara kadar
taurine yang meningkat berhubungan dengan tumor primitif neuroectodermal dan
medulloblastoma. Kreatin secara signifikan lebih rendah dalam astrositoma pilokistik.
Pengenalan pola profil MRS dan interpretasi kuantitatif dapat memfasilitasi
kategorisasi tumor dan memberikan nilai diagnostik tambahan. Menurut tinjauan
retrospektif baru-baru ini, memasukkan pengenalan pola visual MRS untuk penilaian
tumor fossa posterior, akan secara signifikan meningkatkan akurasi diagnosis radiologi
jika dibandingkan dengan MRI konvensional saja [18]. Perbedaan antara spektrum rata-
rata untuk tumor-tumor yang sering dijumpai ini diilustrasikan pada Gambar. 4.
Gambar 4. Perbandingan profil MRS dan gambar MR tumor fossa posterior,
menunjukkan (A) ependymoma, (B) medulloblastoma dan (C) astrocytoma pilocytic.

Astrositoma pilokistik, medulloblastoma dan ependymoma pada anak telah secara akurat
diklasifikasikan menggunakan MRS. Rasio Metabolit NAA: Kolin (Cho) dan Kreatin
(Cr): Kolin (Cho) dapat membedakan tumor ini dengan akurasi 0,85; seperti yang
dilakukan jejaring saraf, menggunakan rasio NAA, Cho dan Cr (akurasi 0,88) dan analisis
diskriminan linear (linear discriminant analysis—LDA; akurasi 0,93). Penggolongan
diagnostik, seperti yang digambarkan pada Gambar. 5, telah dinilai dalam lingkungan
klinis yang bersifat multinasional (akurasi 0,98) [48].
MRS dapat memfasilitasi diagnosis subkelompok glioma derajat rendah pada
pediatrik. Konsentrasi kolin dan mio-inositol yang berbeda signifikan telah ditemukan
pada tumor glioneuronal dan glia dibandingkan dengan subtipe histologis lainnya. Profil
metabolit astrositoma pilokistik dan jalur glioma optik yang tidak dibiopsi, ditemukan
berbeda secara signifikan, tergantung dengan status dan lokasi neurofibromatosis tipe I.

3.1.1.3. Perfusion Weighted Imaging (PWI)


Bukti yang ada menunjukkan peran untuk pencitraan perfusi dalam mendiagnosis
dan melakukan menetapkan stadium tumor pediatrik. Secara signifikan volume relatif
darah otak dan aliran darah otak relatif (rCBV dan rCBF) yang lebih tinggi ditemukan
pada tumor otak neuroepitelial derajat tinggi, dengan rCBV peritumor secara signifikan
lebih tinggi pada keganasan primer dibandingkan pada metastasis. Sebuah penelitian
kecil melaporkan nilai rCBV rendah secara konsisten (<1,5) dalam astrositoma pilokistik,
mendukung laporan rCBV yang rendah pada glioma derajat rendah. Jenis tumor
histologis yang berbeda telah didiagnosis dari analisis kurva intensitas sinyal dan data
morfologi. Pemeriksaan DSC-MRI dapat memfasilitasi diagnosis glioblastoma pediatrik
dalam penelitian retrospektif kecil. DCE-MRI telah meningkatkan akurasi atas pencitraan
T2-weighted dalam menetapkan stadium limfoma Hodgkin, meningkatkan sensitivitas
dalam mendeteksi keterlibatan limpa dari 57% hingga 100%. DCE-MRI sangat
menjanjikan dalam menilai angiogenesis tumor dan nekrosis pada retinoblastoma
Meskipun ASL dapat membedakan nilai glioma pada orang dewasa, baru-baru ini
ada sedikit bukti yang dipublikasikan bagaimana manfaatnya pada populasi pediatri.
Evaluasi terbaru terhadap 129 anak menemukan tumor derajat tinggi memiliki aliran
darah otak (cerebral blood fluid-CBF) lebih tinggi dibandingkan dengan lesi tingkat
rendah, menyimpulkan bahwa ASL dapat digunakan untuk secara akurat menilai tumor
otak anak. Titik potong 50 mL/min/100 g dianggap memberikan sensitivitas dan spesifitas
masing-masing 90% dan 93% untuk area hemisfer, 100% dan 80% untuk thalamus, dan
65% dan 94% untuk tumor fossa posterior. Stratifikasi lebih lanjut dari tumor fossa
posterior dimungkinkan menggunakan rasio peningkatan CBF-terhadap-kontras. Temuan
ini mendukung publikasi sebelumnya yang menjelaskan mengapa volume darah
maksimal relatif tumor (rTBV) pada tumor tingkat tinggi secara signifikan lebih tinggi,
dapat membedakan medulloblastoma dari astrositoma pilokistik berdasarkan aliran darah
secara signifikan lebih tinggi; dan menemukan karsinoma pleksus choroid secara
signifikan kadar rCBF berdasarkan pemeriksaan ASL lebih tinggi daripada papilloma.
Teknik pencitraan canggih multiparametrik yang menggabungkan MRS, pencitraan
perfusi dan difusi dapat meningkatkan akurasi diagnostik. Kombinasi MRS
(menggunakan LDA) dan DWI dapat sepenuhnya membedakan tumor fossa posterior.
Pemeriksaan ini tidak mungkin menggunakan teknik saja, menunjukkan modalitas ini
paling baik digunakan dalam kombinasi.

3.1.2. Penanda prognostik untuk kanker anak


Prognosis beberapa tumor pediatrik dengan histopatologi yang sama, sangat bervariasi,
dengan perbedaan dalam perilaku klinis yang terkait dengan dasar biologinya. Pencitraan
fungsional mampu memberikan biomarker non-invasif baru untuk memfasilitasi
karakterisasi tumor dan stratifikasi risiko yang sedang berlangsung. Informasi tambahan
ini memiliki potensi berguna secara klinis karena memungkinkan individualisasi
pengobatan, dengan intensifikasi pada pasien berisiko tinggi dan pengurangan intensitas
obat bagi mereka yang ditemukan berisiko rendah.

Gambar 5. Hasil sistem pendukung keputusan (DSS) menunjukkan profil metabolit


dinormalisasi (kiri), skor diskriminan linier (DF) (tengah) dan MR spectra (kanan) untuk
kasus (merah) dibandingkan dengan nilai rata-rata untuk astrocytoma pilocytic (hijau),
ependymoma (biru) dan medulloblastoma (cyan).

3.1.2.1. Diffusion Weighted Imaging (DWI)


DWI dapat memfasilitasi stratifikasi risiko karena retriksi difusi meningkat seiring
dengan seluleritas tumor. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan peran
stratifikasi ini dalam populasi pediatri. Adanya difusi pada tepi tumor merupakan
biomarker prognostik potensial dengan koefisien transien yang jelas, perubahan ADC
dari edema menjadi tumor, memprediksi kelangsungan hidup pada tumor embryonal
anak. DWI dapat menentukan subtipe histologis medulloblastoma dan mengidentifikasi
tumor berisiko tinggi. Subtipe anaplastik agresif telah dikaitkan dengan peningkatan
ADC, dengan rata-rata dan ADC minimum klasik (0,733 dan 0,464 × 10-3) lebih rendah
dari medulloblastoma anaplastik (minimal 0,63 × 10-3). Sebuah korelasi negatif yang
signifikan telah diamati antara ADC dan kolin dan taurin di medulloblastoma,
menunjukkan ini sebagai biomarker prognostik gabungan
DWI dapat mengidentifikasi subset DIPG dan stratifikasi pasien dengan biologi
molekuler dan perilaku klinis yang berbeda. Biomarker non-invasif sangat penting pada
pasien ini karena biopsi batang otak tidak mungkin dilakukan. Sebuah penelitian
retrospektif mengkategorikan pasien DIPG menurut nilai-nilai ADC pra-pengobatan
yang diperoleh dengan menempatkan di suatu daerah yang menarik (region of interest—
ROI) di sekitar seluruh tumor, menghindari kista, perdarahan dan nekrosis. Anak-anak
dengan tumor padat menunjukkan nilai rata-rata ADC di bawah median kelompok 1,295
× 10-3 memiliki kelangsungan hidup rata-rata 3 bulan, dibandingkan dengan 13 bulan bagi
mereka dengan ADC yang lebih tinggi. Kelangsungan hidup di DIPG telah dikaitkan
dengan perubahan difusi setelah radioterapi, dengan peningkatan kelangsungan hidup
pada tumor yang menunjukkan penurunan awal dalam rasio ADC yang mencerminkan
penurunan volume ekstraseluler, pembengkakan seluler dan kematian sel secara dini.

3.1.2.2. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)


MRS telah mengidentifikasi beberapa biomarker prognostik non-invasif pada
tumor CNS. Lipid dan scyllo-inositol adalah prediktif terhadap survival yang buruk,
sedangkan glutamin dan NAA menunjukkan perbaikan survival. Mobile lipid berkorelasi
negatif dengan glutamin intraseluler (penting untuk lipogenesis dalam sel-sel tumor
hipoksia), menyiratkan suatu hubungan fungsional.
Makromolekul dan lipid intraseluler tinggi berhubungan dengan tumor otak agresif
dengan korelasi antara derajat tumor dan lipid mobile. Medulloblastoma dan ependimoma
memiliki konsentrasi lipid yang lebih besar dibandingkan dengan astrositoma pilokistic.
Tingkat kolin lebih tinggi pada medulloblastoma (grade IV) dan ependymoma (grade II)
dibandingkan astrocytoma pilocytic (grade I) , memprediksi kelangsungan hidup yang
buruk pada tumor SSP non-metastatik lainnya. Peningkatan rasio kolin : NAA pra-
perawatan memprediksi kelangsungan hidup lebih pendek pada DIPG. Kadar sitrat tinggi
menunjukkan kelangsungan hidup yang buruk pada astrositoma derajat II dan glutamat
menandakan prognosis buruk pada medulloblastoma.
Rasio kolin rendah terhadap NAA merupakan prediktor prognosis yang baik dan
tingkat mio-inositol yang tinggi adalah biomarker kelangsungan hidup lama yang bebas
progresif pada astrositoma pilokistik supratentorial. Kreatinin rendah, sering pada
astrositoma pilokistik derajat I, menunjukkan prognosis yang baik pada glioma derajat II
dan III. Sebuah model survival multivariat di semua tumor SSP berdasarkan tiga
biomarker MRS saat diagnosis (lipid, glutamin dan scyllo-inositol) memiliki akurasi yang
sama dengan akurasi tingkat histopatologi dalam memprediksi survival.
Metabolit profil tumor otak metastasis dan lokal berbeda, mencerminkan perbedaan
dalam biologi yang mendasari dan menunjukkan kemungkinan mengidentifikasi tumor
berisiko kambuh metastasis. Metastasis medulloblastoma memiliki kadar lipid yang lebih
rendah dan total kolin lebih tinggi daripada tumor lokal, menunjukkan penurunan
kematian sel dan peningkatan pertumbuhan sel.

3.1.2.3. Perfusion Weighted Imaging (PWI)


Peningkatan perfusi pada DSC-MRI saat diagnosis dan setiap titik waktu
berikutnya telah meramalkan survival yang lebih pendek di DIPG (risiko relatif 4,68).
Bukti lain menunjukkan perfusi rendah pada saat ditegakkan diagnosis tidak terkait
dengan survival, mungkin karena DIPG memulai tingkat rendah sebelum berubah
menjadi tumor derajat tinggi yang agresif. Sebuah studi fase I menemukan bahwa pasien
dengan kadar perfusi pra- dan pasca radioterapi yang lebih tinggi memiliki kelangsungan
hidup dengan bebas progresivitas yang lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan
kadar perfusi yang rendah, karena lebih mungkin untuk meningkatkan respon pengobatan
anti-angiogenik atau hipoperfusi terkait resistensi gelombang radio. Telah dinyatakan
bahwa protokol pencitraan harus mencakup DSC-MRI untuk meningkatkan pemahaman
tentang lesi yang tidak dibiopsi.
Kombinasi pencitraan perfusi dan MRS dapat memprediksi hasil tumor otak pada
anak, dengan pengamatan rTBV dan peningkatan rasio Cho: NAA. rTBV dapat
meramalkan perkembangan ketika ditafsirkan dengan rasio metabolit MRS dan
dibedakan stabil dari tumor neuroglial progresif.

3.1.3. Indikator respons awal


Pencitraan fungsional dapat memberikan informasi untuk memantau respons
terapeutik dan memungkinkan identifikasi awal non-penanggap. Biopsi berulang tidak
sesuai pada pasien ini. Mengembangkan biomarker non-invasif 'waktu nyata' akan
menguntungkan secara klinis, memungkinkan adaptasi pengobatan ketika penyakit
berevolusi [61].

3.1.3.1. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)


MRS memberikan informasi tentang perubahan karakteristik dalam metabolit
seperti lipid mobile, mio-inositol dan total kolin yang merupakan penanda awal potensial
dari respon pengobatan. Mio-inositol adalah biomarker sebagai pemantauan astrositoma
polikistik supratentorial, dengan perkembangan masa depan diprediksi dengan
menurunkan tingkat mio-inositol.

3.1.3.2. Perfusion Weighted Imaging (PWI)


Pencitraan perfusi dapat memungkinkan pemantauan pengobatan melalui
penyediaan informasi tentang status mikrovaskular. Informasi dari pemetaan rCBV akan
melengkapi MRI dan MRS. Sebuah studi fase I mengevaluasi ASL dan DSC-MRI di
DIPG menemukan perfusi tumor dan volume darah meningkat dan volume tumor
menurun sebagai respons terhadap radioterapi konformal dan anti-angiogenik.
Peningkatan perfusi tumor setelah radioterapi dikaitkan dengan survival bebas
progresivitas yang lebih lama secara signifikan.
MRI Perfusi dapat mengidentifikasi subtipe tumor responsif terhadap agen anti-
angiogenik. Pentingnya angiogenesis disorot oleh identifikasi kepadatan pembuluh darah
mikro sebagai prediktor kelangsungan hidup bebas di jalur optik pediatrik dan glioma
hipotalamus. peta rCBV Bersama dengan MRS, keduanya dapat mengidentifikasi anak-
anak yang mungkin mendapat manfaat dari pengobatan anti-angiogenik dan memantau
efektivitas agen yang menargetkan tumor vaskulatur.

3.1.4. Perencanaan bedah


3.1.4.1. Diffusion Tensor Imaging (DTI)
DTI memfasilitasi perencanaan bedah saraf dengan cara menunjukkan lokasi
traktus serat saraf yang berkaitan dengan tumor. Traktografi substantia alba telah
digunakan dalam perencanaan bedah, hal ini berhubungan dengan hasil klinis pada tumor
supratentorial. Menggunakan traktografi untuk merencanakan reseksi stereotaktik pada
astrositoma polikistik di thalamus berhasil mengidentifikasi hubungan tumor ke serat
motor dalam kapsul interna. DTI telah membedakan tumor dari jaringan otak peritumoral.

3.1.5. Karakterisasi pseudo-progresi dan diagnosis kekambuhan


Membedakan perkembangan tumor dari pseudo-progresi, diagnosis kekambuhan,
dan penyakit metastasis bisa sulit jika menggunakan pencitraan MR konvensional saja.
Bukti yang muncul menunjukkan pencitraan fungsional dapat menambah nilai untuk hal
ini.

3.1.5.1. Diffusion Weighted Imaging (DWI)


Medulloblastoma metastatik atau progresif dapat diidentifikasi melalui rendahnya
ADC. Sebuah laporan kasus menyarankan DWI dapat membedakan tumor residual dari
penyakit yang diobati di trilateral retinoblastoma.

3.1.5.2. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)


Membandingkan profil MRS dari tumor otak pada anak saat diagnosis dan saat
relaps dapat membedakan kekambuhan dari pseudo-progresi dan radiasi nekrosis, karena
tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada metabolit, lipid atau makromolekul
yang diukur saat diagnosis dan kekambuhan lokal atau jauh.

3.1.5.3. Perfusion Weighted Imaging (PWI)


Pseudo-progresi dapat dibedakan dari progresi yang sebenarnya dengan
menggunakan kombinasi DCE dan DSC-MRI untuk mengkarakterisasi vaskularisasi dan
permeabilitas. Sebuah studi prospektif kecil menggunakan DSC-MRI berbasis-
ferumoxytol dikombinasikan dengan DCE-MRI berbasis gadolinium menemukan rCBV
<1 sugestif menunjukkan pseudo-progresi pada 80% tumor otak. Hasil awal yang
menjanjikan ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

3.1.6. Menilai neurotoksisitas terkait pengobatan


3.1.6.1. Diffusion Tensor Imaging (DTI)
Pengobatan tumor otak anak dengan iradiasi cranio-spinal berhubungan dengan
kerusakan substantia alba dan luaran intelektual yang buruk. DTI dapat menunjukkan
neurotoksisitas terkait dengan pengobatan karena FA dan ADC mencerminkan kerusakan
pada jaringan otak. Nilai anisotropi rendah dalam substantia alba otak anak dengan
medulloblastoma berhubungan dengan peningkatan dosis radiasi kraniospinal dan usia
muda saat diagnosis. Penurunan signifikan secara klinis pada anisotropi yang terkait
dengan penurunan hasil intelektual terjadi pada substantia alba yang muncul normal pada
MRI konvensional. DTI telah mendeteksi perubahan dalam mikroarsitektur substantia
alba, terutama hippocampus, pada anak setelah radioterapi.

3.2. Tumor non-Central Nervous System (CNS)


3.2.1. Diagnosis sebelum perawatan
3.2.1.1. Diffusion Weighted Imaging (DWI)
Tumor tubuh dapat ditandai sebagai ganas atau jinak menggunakan DWI.
Pemeriksaan ini memiliki potensi untuk memberikan informasi penting kepada dokter,
mencegah biopsi dengan risiko morbiditas terkait dan memungkinkan diskusi keluarga
awal. Studi pada populasi anak telah menunjukkan ADC dari lesi tubuh ganas yang lebih
rendah daripada lesi jinak. Meskipun pada penelitian awal dengan prospektif kecil
melaporkan rerata ADC lebih rendah pada massa abdomen ganas daripada massa jinak
tanpa mencapai signifikansi, studi yang lebih baru menunjukkan ADC dapat secara
terpercaya mengkarakterisasi tumor. Evaluasi massa kepala dan leher menemukan nilai
rerata ADC dari lesi ganas, lesi jinak dan lesi jinak kistik sebesar 0,93; 1,57; dan 2,01
×10-3 masing-masing, dengan perbedaan yang signifikan antara massa ganas dan jinak.
Rata-rata nilai ADC jinak dan ganas abdomen (2,28 dan 0,84 ×10-3, masing-masing),
muskuloskeletal (1,71 dan 0,78 ×10-3 , masing-masing) dan tumor orbital juga berbeda
secara signifikan. Sebagian besar penelitian membandingkan massa ganas padat dengan
lesi jinak kistik, kemungkinan secara artifisial ADC meningkat dalam massa jinak.
Sebuah analisis retrospektif, bagaimanapun, menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara rata-rata ADC pada tumor abdomen jinak dan ganas (1,6 dan 1,07×10-3, masing-
masing) .
Nilai potong batas ADC telah diusulkan untuk mendiagnosis tumor tubuh ganas
dan hasilnya serupa di seluruh penelitian. Evaluasi massa abdomen menyarankan nilai
potong ADC dari 1,1 atau 1,29 ×10-3 (sensitivitas 77%, spesifisitas 82%). Nilai 1,25 ×10-
3
lesi ganas terdiferensiasi dari lesi jinak pada massa di kepala dan leher (sensitivitas
94,4%, spesifisitas 91,2%) dan ≤1,03 ×10-3 diusulkan untuk tumor muskuloskeletal
(sensitivitas 90%, spesifisitas 91%). Sensitivitas mungkin lebih tinggi untuk tumor padat
dan homogen dibandingkan dengan tumor nekrotik.
DWI dapat digunakan dalam penentuan stadium tumor pediatrik dan deteksi
penyakit metastatik. MRI difusi tertimbang pada seluruh tubuh dengan penekanan sinyal
tubuh latar belakang (DWIBS) memberikan penekanan lemak homogen agar dapat
memungkinkan visualisasi penyakit metastasis. Ini memiliki kelebihan dibandingkan
tomografi emisi fluorodeoxyglucose-positron / computed tomography (FDGPET / CT)
dalam mengidentifikasi metastasis tulang dan penentuan stadium limfoma pada orang
dewasa, dan pada limfoma dan sarkoma pada anak dalam hal akurasi, ketersediaan dan
kurangnya paparan radiasi. Pada penelitian terhadap orang dewasa menunjukkan bahwa
DWIBS seluruh tubuh dapat mendeteksi keterlibatan metastasis kelenjar getah bening
perut dengan akurasi yang sama dengan FDG-PET. Bukti lebih lanjut diperlukan dalam
populasi anak untuk mendefinisikan peran teknik ini dalam praktek klinis.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan DWI kuantitatif dalam
onkologi pediatrik. Perbandingan langsung hasil-hasil penelitian masih sulit karena bukti
terdiri dari serial kasus retrospektif dengan heterogenitas kecil dan variasi besar dalam
baik desain penelitian, parameter ADC, pengukuran ROI, nilai-b, maupun kriteria inklusi.

3.2.2. Penanda prognostik untuk kanker anak


3.2.2.1. Perfusion Weighted Imaging (PWI)
Bukti yang muncul menunjukkan DCE-MRI sebagai indikator prognostik untuk
survival pada osteosarcoma dan biomarker non-invasif dini untuk respons pengobatan.
Sebuah uji coba multi-sentris prospektif menemukan KTrans berindikasi respon
histologis terhadap kemoterapi pra-operasi. Secara klinis, hal ini penting, karena saat ini
tidak ada penanda prognostik untuk memandu stratifikasi pengobatan pra-bedah pada
kasus osteosarcoma , dan informasi tambahan dapat memungkinkan intensifikasi
pengobatan di tahap awal pada pasien berisiko tinggi.

3.2.3. Indikator respons awal


3.2.3.1. Diffusion Weighted Imaging (DWI)
ADC adalah biomarker respon potensial pada tumor tubuh yang tidak diterapi
dengan reseksi depan. DWI dapat mendeteksi keberhasilan terapeutik awal pada tingkat
sel seperti kematian sel, hilangnya integritas membrane, dan berkurangnya densitas
seluler, semuanya tercermin dengan peningkatan ADC. Pengukuran ADC serial dapat
memungkinkan pemantauan respons kuantitatif dan stratifikasi risiko berkelanjutan.
Perubahan terukur dalam distribusi ADC telah dilaporkan, dengan tumor dengan respon
histopatologis yang baik menunjukkan peningkatan yang lebih besar dalam median ADC.
Nilai ADC minimal mencerminkan respons pada osteosarcoma, dengan nilai yang lebih
tinggi pasca-kemoterapi yang berhubungan secara signifikan dengan respons histologis
yang meningkat. Sebuah penelitian retrospektif kecil terhadap neuroblastoma di area
abdomino-pelvis menunjukkan ADC pasca-kemoterapi yang lebih tinggi secara
signifikan.

3.3. Biopsi terpandu (Tumor SSP dan non-SSP)


MRI konvensional tidak selalu dapat menentukan lokasi biopsi optimal tumor
heterogen. Pencitraan fungsional dapat membantu target biopsi pada tumor yang
mengandung unsur kistik atau nekrotik. DWI dapat mengidentifikasi sel tumor padat,
berpotensi memandu biopsi ke area yang kemungkinan memberikan hasil diagnostik,
DSC-MRI dapat mengidentifikasi area anaplasia fokal di DIPG yang dicirikan oleh CBV
yang lebih tinggi, dan pemetaan ASL dapat menggambarkan area heterogenitas vaskular.

3.4. Perkembangan di masa yang akan datang


3.4.1. Teknik-teknik baru yang bermunculan
Metode analisis DWI yang lebih canggih muncul ketika pemahaman parameter
ADC meningkat. DWI dipengaruhi oleh komponen struktural dan perfusi jaringan
biologis, yang menyebabkan variasi dalam nilai ADC tergantung pada pilihan nilai-b.
Variabilitas ini dapat membatasi identifikasi nilai ambang ADC untuk membedakan lesi
jinak dari lesi ganas dan hal ini membuat perbandingan penelitian yang ada menjadi sulit.
Nilai multi-b ADC dimaksudkan untuk memisahkan efek perfusi dari difusi murni. Difusi
sejati (D), fraksi perfusi (f), dan koefisien perfusi (D*) dapat diukur sebagai parameter
ADC tambahan dengan D berpotensi lebih tepat daripada ADC sebagai parameter yang
dapat direproduksi.
Ada kekhawatiran baru-baru ini atas bukti akumulasi gadolinium di jaringan otak
setelah injeksi kontras, sehingga mengundang pengembangan teknik pencitraan baru
yang independen dengan kontras. Pencitraan amideproton transfer (APT) adalah teknik
MRI non-invasif yang mendeteksi protein dan peptida seluler endogen dalam jaringan
untuk mencerminkan proliferasi seluler yang berhubungan dengan Ki-67. Penelitian telah
menunjukkan pencitraan APT memungkinkan deteksi dan karakterisasi tumor otak ganas,
dengan potensi untuk memberikan informasi tentang proliferasi tumor, respon
pengobatan awal, dan diferensiasi perkembangan tumor dari efek pasca perawatan.
Pencitraan difusi kurtosis (DKI) adalah varian dari DWI yang menggunakan nilai b yang
sangat tinggi dan sangat sensitif terhadap struktur mikro kompleks jaringan biologis.
Rerata kurtosis dianggap sebagai ukuran arsitektur mikro kompleksitas, mencerminkan
kompleksitas sito-arsitektonik pada substantia alba dan grisea. Penelitian terhadap orang
dewasa menunjukkan bahwa DKI dapat memfasilitasi sistem derajat tumor otak, karena
glioma derajat tinggi menunjukkan peningkatan nilai parameter kurtosis yang
mencerminkan tingkat kompleksitas jaringan yang lebih tinggi karena peningkatan
selektivitas tumor, nekrosis, perdarahan dan proliferasi endotel. Glioma derajat rendah
dengan area sel tumor yang relatif homogen memiliki nilai parameter kurtosis yang lebih
rendah. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada populasi anak-anak.

3.5. Histogram DWI


Tumor adalah massa heterogen yang terdiri dari campuran jenis sel histologis,
diselingi dengan perubahan nekrosis dan kemoterapi. Rerata ADC mungkin tidak
representatif karena ADC tinggi di daerah yang non-viabel melawan nilai rendah di
daerah seluler. Menghitung histogram ADC menggunakan multi-Gaussian model akan
memberikan informasi tentang sub-populasi seluler yang berbeda. Puncak frekuensi
sesuai dengan jenis jaringan yang berbeda dan mencerminkan perubahan yang dipicu
kemoterapi saat diferensiasi terjadi. Histogram bisa memandu biopsy untuk mentargetkan
area ganas dan menghindari nekrosis dan kistik
Histogram ADC telah digunakan pada Wilms’tumor untuk menentukan tipe sel
histologi predominan dan prediksi subtype pasca kemoterapi. Membandingkan histogram
pada pra-pengobatan dan pasca pengobatan akan menunjukkan pergeseran positif
terhadap rerata ADC, yang menyiratkan adanya transformasi menjadi jaringan stromal
yang selularitasnya berkurang.
Gambar 6. Pencitraan Difusi Tertimbang (DWI) digunakan untuk mengakses respon
chemotherapeutic di Tumor Wilms. (A) Histrogram ADC menggeser ke kanan mengikuti
respon neoadjuvant chemotherapy. (B) Region of interest (ROI) tergambar disekitar
tumor.

3.5.1 Teknik kedokteran nuklir


Teknik kedokteran nuklir saat ini penggunaannya meningkat pesat, terutama
dalam penggunaannya dengan pendekatan pencitraan yang terintegrasi, serta memberikan
informasi mengenai detail jaringan. Evaluasi terperinci berdasarkan teknik-teknik
tersebut merupakan bahasan di luar topik makalah ini, namun penting dicatat bahwa
pentingnya teknik-teknik tersebut bagi pencitraan onkologi pediatri, dan kami garis
bawahi di sini beberapa hal penting. Tomografi emisi Florin-18-fluorodeoxyglucose-
positron / computed tomography (FDGPET/CT) dapat mendeteksi perbedaan tumor
ganas dan non-ganas berdasarkan pengukuran ambilan glukosa. Penggunaan FDG-PET
masih terbatas pada pemanfaatan glukosa spesifik organ, yang khususnya relevan pada
tumor SSP. Namun, ini digunakan secara rutin dalam penilaian penyakit Hodgkin di mana
ia dapat mengevaluasi pengobatan pasca tumor aktif dan memiliki beberapa efektivitas
dalam limfoma lainnya. Pemindaian MRI Seluruh tubuh sebagai pemulihan inversi TI
pendek (STIR) dan DWIBS juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi nodus limfe
abnormal, dan studi yang membandingkan teknik-teknik ini diperlukan.
Metaiodobenzylguanidine scintigraphy digunakan secara rutin dalam penilaian
neuroblastoma yang sangat berguna untuk memeriksa seluruh tubuh untuk memberi
informasi mengenai penentuan stadium dan respon pengobatan. Teknik ini melibatkan
radiasi pengion, suatu pertimbangan penting dalam populasi anak karena potensi efek
lambat lain dan keganasan sekunder. PET-MRI muncul sebagai modalitas pencitraan
yang menjanjikan dalam onkologi pediatri, menunjukkan akurasi yang sama untuk PET-
CT sambil mengurangi paparan radiasi dan meningkatkan pencitraan struktural dalam
banyak kasus dan memungkinkan kombinasi PET dengan berbagai teknik MRI canggih
yang dijelaskan dalam artikel ini. Kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan cukup
lama (hingga 90 menit), persyaratan untuk teknik analisis yang canggih, dan terbatasnya
ketersediaan pemindai PET / MRI simultan.

3.6. Menerapkan pencitraan fungsional dan integrasi ke dalam praktek klinis rutin
Beberapa tantangan masih ditemui dalam hal pelaksanaan rutin pencitraan
fungsional di praktek klinis, termasuk bagaimana mengembangkan protokol akuisisi
standar dengan langkah-langkah pengendalian kualitas yang tepat, pengolahan dan
penyajian informasi, serta khususnya, penanganan data kuantitatif yang jauh dari kerja
radiologi tradisional. Hambatan utama untuk menggabungkan pencitraan fungsional
multimodal ke dalam diagnosis radiologi secara nyata adalah kesulitan dalam
memperoleh data kuantitatif yang tepat waktu dan analisis multimodal pada saat
pelaporan awal. Hal ini terutama berlaku di departemen radiologi yang sibuk dan dalam
keadaan darurat.
Terdapat kekurangan bukti mengenai integrasi pencitraan fungsional ke dalam
praktek klinis dalam onkologi pediatrik. Studi prospektif diperlukan untuk mengevaluasi
dampak diagnostik pencitraan fungsional dibandingkan dengan MRI konvensional saja.
Biomarker harus dievaluasi dalam uji klinis pada kelompok diagnostik yang terdefinisi
dengan baik. Standar untuk Pelaporan Pedoman Akurasi Diagnostik (Standards for
Reporting of Diagnostic Accuracy—STARD ) untuk melaporkan akurasi diagnostik
harus diikuti untuk memberikan bukti ilmiah kedokteran kualitas tinggi sebagai nilai
tambah baiknya teknik pencitraan ini secara lanjut.

3.6.1. Protokol
Teknik yang dijelaskan dalam ulasan ini sebagian besar merupakan tambahan
yang baik untuk diketahui, serta terdapat tren peningkatan bahwa pendekatan multimodal
untuk akuisisi data harus dipatuhi. International Society of Pediatric Oncology di Eropa,
Kelompok Kerja Pencitraan Otak telah menyetujui protokol untuk tumor otak yang
mencakup MRS voxel tunggal, DTI dan DSC-MRI. Di Inggris Raya, Kelompok Kerja
Pencitraan Fungsional pada Kanker dan Leukemia pada Anak telah menganjurkan
protokol untuk tumor abdomen yang mencakup nilai multi-b DWI. Protokol ini
membentuk titik awal yang berguna bagi mereka yang tidak memiliki keahlian khusus
dan set parameter utama untuk protokol ini diberikan dalam materi tambahan (Appendiks
1 dan 2). Situasi klinis tertentu dapat membuat protokol lain menjadi optimal tetapi
adaptasi seperti itu biasanya membutuhkan pengalaman lokal yang signifikan dalam
menggunakan teknik tersebut.

4. Kesimpulan
Pencitraan fungsional menyediakan informasi tentang sifat tumor yang tidak
tersedia dari pencitraan MR konvensional. Pendekatan multimodal mengoptimalkan
informasi yang tersedia dan semakin meningkatkan pemahaman kita tentang tumor in situ
pada anak. Secara klinis, pencitraan fungsional dapat meningkatkan diagnosis non-invasif
dan pemantauan pengobatan dini, serta menyediakan biomarker prognosis. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan bagaimana penggunaan pencitraan fungsional
secara optimal dalam pengaturan klinis dan mengintegrasikan teknik-teknik baru yang
menjanjikan ini ke dalam praktik rutin untuk meningkatkan perawatan anak-anak dengan
kanker.

Diterjemahkan dari: Manias KA, et al., Magnetic resonance imaging based functional
imaging in paediatric oncology, European Journal of Cancer (2016),
http://dx.doi.org/10.1016/j.ejca.2016.10.037

Anda mungkin juga menyukai