Anda di halaman 1dari 26

c

JOURNAL READING

CASE BASED DISCUSSION


“Seorang Anak Laki-laki 2,5 Tahun dengan Keluhan Telinga Kiri
Keluar Cairan ”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Ujian Kepanitraan Klinik


Ilmu Penyakit THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Pembimbing :

dr. Dina Permatasari, Sp. THT-KL

Disusun oleh :
Farah Nida Adillah
H2A012066

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RSUD TUGUREJO SEMARANG

2017

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Farah Nida Adillah


NIM : H2A012066
Fakultas : Kedokteran Umum

1
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit THT-KL
Pembimbing : dr. Dina Permatasari Sp.THT-KL

Telah dipresentasikan pada tanggal Desember 2017.

Pembimbing

dr. Dina Permatasari Sp.THT-KL

BAB I
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Fa
Alamat : Mangunharjo, Semarang
Jenis kelamin : laki-laki
Usia : 2,5 tahun

2
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
Status : Belum menikah
Tanggal periksa : Senin, 04 Desember 2017

2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Poli THT RSUD Tugurejo pada tanggal 04
Desember 2017 pukul 10.00 WIB secara alloanamnesis.
a. Keluhan utama
Telinga kiri keluar cairan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga
kiri sejak ± 5 hari yang lalu. Cairan berwarna kekuningan, sedikit, agak
kental dan tidak berbau. Cairan keluar terus menerus. Keluhan lebih
ringan saat pasien tidur miring ke kiri kemudian cairan mengalir keluar
telinga. Sebelumnya ± 7 hari yang lalu pasien demam tinggi,sering
rewel menangis dan memegang telinga kirinya, pasien juga batuk dan
pilek. Pasien sudah pernah berobat ke klinik umum di beri obat penurun
panas dan obat telinga namun pasien belum juga sembuh. Saat ini
pasien sudah tidak demam, tidak rewel, tidak merasa kesakitan.
Keluhan seperti sakit tenggorok, nyeri telan, sulit telan, benjolan di
leher dan telinga disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit serupa sebelumnya : disangkal
 Riwayat ISPA :diakui, hampir setiap 3 bulan
sekali mengalami batuk dan pilek.
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Batuk lama/ pengobatan 6 bulan : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit serupa : diakui, kakak pasien keluar
cairan dari telinga kanan tetapi sudah sembuh.
 Riwayat ISPA : diakui, kakak pasien sering
batuk dan pilek
 Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi

3
Pasien tinggal dengan kedua orangtua dan kakaknya, pasien sehari-
hari mengkonsumsi nasi dan sayur serta masih menyusui dengan ASI.
Pasien tidur cukup dan tidak rewel/menangis. Biaya pengobatan pasien
menggunakan biaya umum. Kesan ekonomi cukup.

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah :-
Nadi : 110 x/menit
Nafas : 21x/menit
Suhu : 36,5oC (axiller)
Berat badan : 10 kg
Kulit : Sawo matang
Kepala : Mesosefal
Wajah : simetris (+), facies adenoid (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis
(-/-), skleraikterik (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,
lapang pandang + normal
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung : dalam batas normal
Paru : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
b. Status Lokalis
1) Telinga
Telinga AD AS

Preaurikula Fistel (-) Fistel (-)

Retroaurikula Dbn Dbn

Aurikula Nyeri tarik (-), Nyeri tarik (-), kelainan


kelainan congenital (-) congenital (-)

Tragus pain Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Mastoid Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)


Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Canalis akustikus eksternus (otoskop)


Canalis akustikus AD AS

4
eksternus

Mukosa hiperemis (-) (-)

Otorea (-) (+) mukopurulen


minimal tidak berbau

Serumen (+) (+)

Granulasi (-) (-)

Furunkel (-) (-)

Jamur (-) (-)

Corpus alienum (-) (-)

Membran timpani (otoskop)


Membran timpani AD AS

Warna Putih keabu-abuan Hiperemis

Reflek cahaya (+) (-)

Perforasi (-) (+) perforasi sentral di


kuadran
posteroinferior

Bulging (-) (-)

Retraksi (-) (-)

Eksudat (-) (-)

2) Hidung
Hidung luar
Bentuk Dbn

Massa (-)

Deformitas (-)

Radang (-)

Kelainan congenital (-)

Nyeri tekan (-)/(-)

5
Hidung dalam
Rinoskopi Kanan Kiri
anterior

Mukosa Edem (-), hiperemi (-) Edem (-), hiperemi (-)

Konka Permukaan rata Permukaan rata


Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Septum deviasi (-) (-)

Discharge (-) (-)

Massa (-) (-)

Sinus paranasal
Sinus Frontal Sinus Maxilla Sinus Etmoid
Hiperemis (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Bengkak (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Nyeri Tekan (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Nyeri Ketok (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Transluminasi Tidak dilakukan

3) Rongga mulut dan orofaring


Bagian Kelainan Keterangan
Mulut Mukosa Tenang
Mulut Bersih
Lidah Tidak ada deviasi
Palatum Reflek muntah (+)
Hiperemis (-) permukaan licin,
warna sama dengan kulit sekitar,
konsistensi kenyal, berbatas
tegas, tidak mobil, nyeri tekan (-).
Gigi geligi Caries (-)
Uvula Ditengah, dalam batas normal
Tonsil Permukaan Rata
Ukuran T2 – T2
Warna Hiperemis (-)
Kripta Melebar (-)
Detritus (-)
Faring Mukosa Hiperemis (-)
Granulasi (-)
Post Nasal Drip (-)

6
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Usulan pemeriksaan penunjang pada kasus ini adalah
a. Audiometri : memeriksa gangguan pendengaran.
b. Sediaan basah :mengambil sekret untuk diperiksa bakteriologis
(kultur)
c. Lab darah rutin :mengetahui tanda-tanda infeksi akut (leukositosis,
limfosit, neutrofil, dsb).

5. RESUME
Pasien laki-laki datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga
kiri sejak ± 5 hari yang lalu. Cairan berwarna kekuningan, sedikit, agak
kental dan tidak berbau. Cairan keluar terus menerus. Keluhan lebih
ringan saat pasien tidur miring ke kiri kemudian cairan mengalir keluar
telinga. Sebelumnya ± 7 hari yang lalu pasien demam tinggi,sering
rewel menangis dan memegang telinga kirinya, pasien juga batuk dan
pilek. Pasien sudah pernah berobat ke klinik umum di beri obat penurun
panas dan obat telinga namun pasien belum juga sembuh. Saat ini
pasien sudah tidak demam, tidak rewel, tidak merasa kesakitan.
Keluhan seperti sakit tenggorok, nyeri telan, sulit telan, benjolan di
leher dan telinga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik tanda vital, nadi 110x/menit, RR :
21x/menit, suhu 36,5oC. Status lokalis pada liang telinga kanan maupun
kiri didapatkan serumen dan otorea sebelah kiri mukopurulen minimal
tidak berbau. Kemudian pada membran timpani telinga kiri tampak
hiperemis, dan terdapat adanya perforasi sentral di posteroinferior, cone
of light negatif. Pemeriksaan hidung dan tenggorokan dalam batas
normal.

6. DIAGNOSIS BANDING
1) AS Otitis Media Akut stadium perforasi
2) AS Otitis Media Supuratif Kronik aktif tipe aman
3) AS Otitis Media Kronik eksaserbasi akut

7
7. DIAGNOSIS KERJA
AD Otitis Media Akut Stadium Perforasi
8. TATALAKSANA (Initial Plan)
AD Otitis Media Akut Stadium Perforasi
a. Diagnosis :
- Pemeriksaan darah rutin
- audiometri
b. Terapi :
1) Medikamentosa :

R/ Amoxicillin tablet 100 mg tab


Dexametason 0,5 mg tab
m.f pulv dtd no X
S 2 dd 1 pulv po
R/ Tarivid Otic ED no. I
S 3 dd gtt I AS

c. Monitoring :
 Keadaan umum
 Tanda vital
 Evaluasi Pendengaran
d. Edukasi :
 Pasien dianjurkan untuk tetap menjaga kebersihan telinga dan tidak
mengorek-ngorek liang telinga dengan benda keras.
 Antibiotik harus digunakan sampai habis walaupun gejala sudah
hilang, agar penyembuhan berlangsung baik dan tidak terjadi
komplikasi.
 Untuk sementara, telinga kiri jangan dulu terkena air. Bila mandi
telinga kanan ditutup dengan kapas.
 Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi,
istirahat yang cukup dan minum obat teratur.
 Datang kembali untuk kontrol, untuk melihat perkembangan
peyembuhan pada perforasi membrani timpani.

9. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : Dubia ad bonam
b. Quo ad sanam : Dubia ad bonam

8
c. Qou ad functionam : Dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga

9
Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.

Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (daun telinga) dan canalis auditorius
eksternus ( liang telinga ). Telinga dalam terdiri dari koklea ( rumah siput) yang
berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis.

Anatomi telinga tengah

Telinga tengah terdiri dari 3 bagian yaitu membran timpani, cavum


timpani dan tuba eustachius.

1. Membrana timpani
Membrana timpani memisahkan cavum timpani dari kanalis akustikus
eksternus. Letak membrana timpai pada anak lebih pendek, lebih lebar dan lebih
horizontal dibandingkan orang dewasa. Bentuknya ellips, sumbu panjangnya 9-10
mm dan sumbu pendeknya 8-9 mm, tebalnya kira-kira 0,1 mm.
Membran timpani terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa (merupakan bagian
terbesar) yang terletak di bawah malleolar fold anterior dan posterior dan pars
flacida (membran sharpnell) yang terletak diatas malleolar fold dan melekat
langsung pada os petrosa. Pars tensa memiliki 3 lapisan yaitu lapiasan luar terdiri
dari epitel squamosa bertingkat, lapisan dalam dibentuk oleh mukosa telinga

10
tengah dan diantaranya terdapat lapisan fibrosa dengan serabut berbentuk radier
dan sirkuler. Pars placida hanya memiliki lapisan luar dan dalam tanpa lapisan
fibrosa.
Vaskularisasi membran timpani sangat kompleks. Membrana timpani
mendapat perdarahan dari kanalis akustikus eksternus dan dari telinga tengah, dan
beranastomosis pada lapisan jaringan ikat lamina propia membrana timpani. Pada
permukaan lateral, arteri aurikularis profunda membentuk cincin vaskuler perifer
dan berjalan secara radier menuju membrana timpani. Di bagian superior dari
cincin vaskuler ini muncul arteri descendent eksterna menuju ke umbo, sejajar
dengan manubrium. Pada permukaan dalam dibentuk cincin vaskuler perifer yang
kedua, yang berasal dari cabang stilomastoid arteri aurikularis posterior dan
cabang timpani anterior arteri maksilaris. Dari cincin vaskuler kedua ini muncul
arteri descendent interna yang letaknya sejajar dengan arteri descendent eksterna.
2. Kavum timpani
Kavum timpani merupakan suatu ruangan yang berbentuk irreguler
diselaputi oleh mukosa. Kavum timpani terdiri dari 3 bagian yaitu epitimpanium
yang terletak di atas kanalis timpani nervus fascialis, hipotimpananum yang
terletak di bawah sulcus timpani, dan mesotimpanum yang terletak diantaranya.
Batas cavum timpani :

Atas : tegmen timpani


Dasar : dinding vena jugularis dan promenensia styloid
Posterior : mastoid, m.stapedius, prominensia pyramidal
Anterior : dinding arteri karotis, tuba eustachius, m.tensor timpani

Medial : dinding labirin


Lateral : membrana timpani
Kavum timpani berisi 3 tulang pendengaran yaitu maleus, inkus, dan
stapes. Ketiga tulang pendengaran ini saling berhubungan melalui artikulatio dan
dilapisi oleh mukosa telinga tengah. Ketiga tulang tersebut menghubungkan
membran timpani dengan foramen ovale, seingga suara dapat ditransmisikan ke
telinga dalam.

11
Maleus, merupakan tulang pendengaran yang letaknya paling lateral.
Malleus terdiri 3 bagian yaitu kapitulum mallei yang terletak di epitimpanum,
manubrium mallei yang melekat pada membran timpani dan kollum mallei yang
menghubungkan kapitullum mallei dengan manubrium mallei. Inkus terdiri atas
korpus, krus brevis dan krus longus. Sudut antara krus brevis dan krus longus
sekitar 100 derajat. Pada medial puncak krus longus terdapat processus
lentikularis. Stapes terletak paling medial, terdiri dari kaput, kolum, krus anterior
dan posterior, serta basis stapedius/foot plate. Basis stapedius tepat menutup
foramen ovale dan letaknya hampir pada bidang horizontal.

Dalam cavum timpani terdapat 2 otot, yaitu :


- M.tensor timpani, merupakan otot yang tipis, panjangnya sekitar 2 cm, dan
berasal dari kartilago tuba eustachius. Otot ini menyilang cavum timpani ke lateral
dan menempel pada manubrium mallei dekat kollum. Fungsinya untuk menarik
manubrium mallei ke medial sehingga membran timpani menjadi lebih tegang.
- M. Stapedius, membentang antara stapes dan manubrium mallei dipersarafi oleh
cabang nervus fascialis. Otot ini berfungsi sebagai proteksi terhadap foramen
ovale dari getaran yang terlalu kuat.

3. Tuba eustachius
Kavitas tuba eustachius adalah saluran yang meneghubungkan kavum
timpani dan nasofaring. Panjangnya sekitar 31-38 mm, mengarah ke antero-
inferomedial, membentuk sudut 30-40 dengan bidang horizontal, dan 45 dengan
bidang sagital. 1/3 bagian atas saluran ini adalah bagian tulang yang terletak
anterolateral terhadap kanalis karotikus dan 2/3 bagian bawahnya merupakan
kartilago. Muara tuba di faring terbuka dengan ukuran 1-1,25 cm, terletak setinggi
ujung posterior konka inferior. Pinggir anteroposterior muara tuba membentuk
plika yang disebut torus tubarius, dan di belakang torus tubarius terdapat resesus
faring yang disebut fossa rosenmuller. Pada perbatasan bagian tulang dan
kartilago, lumen tuba menyempit dan disebut isthmus dengan diameter 1-2 mm.
Isthmus ini mudah tertutup oleh pembengkakan mukosa atau oleh infeksi yang
berlangsung lama, sehingga terbentuk jaringan sikatriks. Pada anak-anak, tuba ini

12
lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal dibandingkan orang dewasa,
sehinggga infeksi dari nasofaring mudah masuk ke kavum timpani.

OTITIS MEDIA AKUT

A. Definisi

Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa


telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis
media akut didefinisikan bila proses peradangan pada telinga tengah yang
terjadi secara cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang
disertai dengan gejala lokal dan sistemik2.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring
dan faring. Secara fisiologis terdapat mikroorganisme pencegahan masukunya
mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim
dan antibodi1

B. Etiologi

Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus, Escherchia


Coli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus Vulgaris dan Pseudomonas
aurugenosa, M. catarrhalis, H. influenza, S. pneumonia. Virus seperti
rhinovirus (HRV), polyomavirus (HPyV), adenovirus (HAdV), bocavirus
(HBoV), dan coronavirus (HCoV).1

C. Patogenesis1

13
D. Manifestasi klinis1
Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium
penyakit dan umur penderita. Gejala stadium supurasi berupa demam tinggi dan
suhu tubuh menurun pada stadium perforasi. Gejala klinik otitis media supuratif
akut (OMA) berdasarkan umur penderita, yaitu1,2:
a) Bayi dan anak kecil
Gejala: demam tinggi bisa sampai 39⁰C merupakan tanda khas, sulit tidur,
tiba-tiba menjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit
b) Anak yang sudah bisa bicara
Gejala: biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu tubuh tinggi, dan riwayat
batuk pilek sebelumya
c) Anak lebih besar dan orang dewasa
Gejala: rasa nyeri dan gangguan pendengaran (rasa penuh dan
pendengaran berkurang)

E. Faktor Resiko3
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras,
faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu
(ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain,

14
abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau
virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba
Eustachius dan lain-lain.
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insiden
OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan
fungsi tidak matang atau imatur tuba eustachius. Selain itu, sistem
pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah. Insidens
terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak
perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous
Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras
lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosial ekonomi juga
berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang
terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam
pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI
banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak
mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.
Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di
pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan
adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena
fungsi tuba eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit
telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi
akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus.
F. Stadium Otitis Media
a. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai
oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani
negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi
membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal,
refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius
juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani

15
kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.1
b. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran
timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis,
edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku
di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan
otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di
kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan
satu hari.1
Gambar Membran Timpani Hiperemis

c. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain
itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel
superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah
liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi
dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien

16
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan
gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai
muntah dan kejang. 1
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik
akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis
mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah
yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-
vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau yellow spot. 1

Gambar Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

d. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga
tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat
pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya
pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,
anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur
nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau
nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut
otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap
berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka
keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.1
Gambar Membran Timpani Peforasi

17
e. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani
menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan
berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini
berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar
secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa
otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di
kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.1

G. Diagnosis Deferensial
- Otitis media akut stadium oklusi tuba eustachius
- Otitis media akut stadium hiperemis
- Otitis media akut stadium supurasi
- Otitis media akut stadium perforasi
- Otitis media akut stadium resolusi
- Otitis Eksternus Akut
- Otitis media supuratif kronik
H. Terapi
Pengobatan

18
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran
napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan
antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari
komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran
timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.1
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang.
Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk
anak kurang dari 12 tahun atau HClfedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk
anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik.1
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung
dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-
100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.1
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus
dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh
sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.1
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2
3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali
dalam 7 sampai dengan 10 hari.

19
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran
timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini
berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.1
Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya nyeri.
Jika terdapat nyeri, harus memberikan terapi untuk mengurangi nyeri
tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan terutama dalam 24 jam pertama
onset OMA tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik. Penanganan nyeri
telinga pada OMA dapat menggunakan analgetik seperti: asetaminofen,
ibuprofen, preparat topikal seperti benzokain, naturopathic agent,
homeopathic agent, analgetik narkotik dengan kodein atau analog, dan
timpanostomi / miringotomi.
Di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang pada penderita OMA
khususnya stadium presupurasi dan supurasi diberikan analgetik karena pada
stadium ini umumnya penderita merasakan nyeri pada telinga. Pada stadium
supurasi bila membran timpani menonjol dan masih utuh dianjurkan untuk
melakukan miringotomi.
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien dengan
alergi hidung. Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan hidung.
Tetapi baik antihistamin maupun dekongestan tidak memperbaiki
penyembuhan atau meminimalisir komplikasi dari OMA, sehingga tidak rutin
direkomendasikan.
Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih kontroversi.
Dasar pemikiran untuk menggunakan kortikosteroid dan antihistamin adalah
obat tersebut dapat menghambat sintesis atau melawan aksi mediator
inflamasi, sehingga membantu meringankan gejala pada OMA.
Kortikosteroid dapat menghambat perekrutan leukosit dan monosit ke daerah
yang terkena, mengurangi permeabilitas pembuluh darah, dan menghambat
sintesis atau pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Di bagian THT-KL
RSUP Dr. M. Djamil Padang penggunaan antihistamin dan kortikosteroid

20
juga tidak rutin dilakukan, tetapi masih menganjurkan penggunaan
dekongestan topikal (Efedrin HCL 0,5%) terutama untuk mengatasi sumbatan
hidung2. Mengingat etiologi OMA salah satunya adalah bakteri, permberian
antibiotik tentu saja dianjurkan. Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
Padang, antibiotik merupakan terapi rutin yang diberikan pada penderita
OMA pada semua stadium tanpa memandang umur atau berat-ringan
penyakit2.
Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi.1
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat
langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior.
Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi
miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan
terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap
dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu
tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak
OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur. 1
b. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,
dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak

21
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau
pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,
gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo
dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah
dijalankan.1

I. Edukasi
-Hindari kontak dengan air pada bagian telinga yang sakit.
-Hindari memanipulasi telinga yang sakit dengan benda asing khususnya
benda yang tajam.
-Pemakaian obat teratur serta kontrol kembali sehari sebelum obat habis
atau terdapat keluhan kembali.
J. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang
semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif
kronik. Komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi
membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis,
petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).1
Komplikasi OMA dapat dibagi menjadi:4
Komplikasi Intra temporal
a) Otitis Media Supuratif Kronik
Terjadi karena penanganan OMA yang terlambat, penanganan yang
tidak adekuat, daya tahan tubuh yang lemah dan virulensi kuman yang
tinggi. Secara klinis ada 2 stadium yaitu stadium aktif dimana dijumpai
sekret pada liang telingadan stadium nonaktif dimana tidak ditemukan
sekret di liang telinga.
b) Mastoiditis Akut

22
Adanya jumlah pus yang berlebihan akan masuk mendesak selulae
mastoid dan terjadi nekrosis pada dinding selule dengan bentuk
empiema, mastoidkapsul akan terisi sel peradangan sehingga bentuk
anatomi akan hilang. Infeksi dapat melanjut menembus tulang korteks
sehingga terjadi abses subperiosteal. Pada beberapa kasus dimana
drainase cukup baik akan terjadi keadaan kronik dimana didapat retensi
pus di dalam seluler mastoid yang disebut sebagai mastoid reservoir
dengan gejala utama otore profus.
Klinis : panas tinggi, rasa sakit bertambah hebat, gangguan
pendengaran bertambah, sekret bertambah, bengkak dan rasa sakit di
daerah mastoid.
c) Petrositis
Terjadi karena pneumotisasi di daerah os petrosus umumnya kurang
baik. Walau demikian, petrositis jarang terjadi pada OMA.
d) Fasial paralisis
Adanya pembengkakan pada selubung saraf di dalam kanalis falopian
akan terjadi penekanan pada saraf fasial. Pada OMA jarang terjadi
kecuali bial ada kelainan kongenital di mana terdapat hiatus pada kanal
falopian.
Klinis : gejala pertama adalah kelemahan pada sudut mulut yanng
cenderung menjadi berat. Paralisis terjadi pada stadium hiperemi atau
supurasi. Kelumpuhan ini akan sembuh sempurna bila otitis medianya
sembuh
e) Labirintitis
Meskipun jarang terjadi perlu diketahui bahwa infeksi disini adalah
kelanjutan dari petrositis atau karena masuknya kuman melaui foramen
ovale dan rotundum. Peradangan ini dapat mengenai koklea, vestibulum
dan kanalis semi sirkularis. Klinis : mual, tumpah, vertigo dan kurang
pendengaran tipe sensorineural.
f) Proses adhesi atau perlengketan

23
Dapat terjadi pada otitis media yang berlangsung 6 minggu. Sekret
mukoid yang kental dapat menyebabkan kerusakan tulang pendengaran
atau menyebabkan perleketan tulang pendengaran dengan dinding
cavum timpani.
g) Ketulian
Komplikasi Intrakranial
a) Abses extradural
Terjadi penimbunan pus antara duramater dan tegmen timpani.
Seringkali tegmen timpani mengalami erosi dan kuman masuk ke dalam
epitimpani, antrum, adn celulae mastoid. Penyebaran infeksi dapat pula
melalui pembuluh darah kecil yang terdapat pada mukosa periosteum
menuju bulbus jugularis, nervus facialis, dan labirin. Klinis : otalgia,
sakit kepala, tampak lemah.
b) Abses subdural
Jarang terjadi penimbunan pus di ruang antara duramater dan arachnoid.
Penyebaran kuman melalui pembuluh darah. Klinis : sakit kepala,
rangsang meningeal, kadang – kadang hemiplegi.
c) Abses otak
Terjadi melalui trombophlebitis karena ada hubunganb antara vena –
vena daerah mastoid dan vena – vena kecil sekitar duramater ke
substansia alba. Klinis : sakit kepala hebat, apatis, suhu tinggi, tumpah,
kesadaran menurun, kejang, papil edema.
d) Meningitis otogenik
Terjadi secara hematogen, erosi tulang atau melalui jalan anatomi yang
telah ada. Pada anakkomplikasi ini sering terjadi karena pada anak jarak
antara ruang telinga tengah dan fossa media relatif pendek dan
dipisahkan oleh tegmen timpani yang tipis. Klinis : tampak sakit,
gelisah, iritabel, panas tinggi, nyeri kepala, rangsang meningeal (+).
e) Otitic Hodrocephalus

24
Jarang terjadi. Infeksi ini terjadi melalui patent sutura petrosquamosa.
Klinis : sakit kepala terus – menerus, diplopia, paresis N VI sisi lesi,
mual, tumpah, papil edem.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
ke-6 . Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2007
2. Munilson,Jacky. Yan Edward, Yolazenia. Penatalaksanaan Otitis Media Akut.
Diunduh dari respository.unand.ac.id pada 1 Desember 2014.
3. Soepardi, Efiaty Arsyad. buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, Tenggrpk,
Kepala dan Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2010

25
4. Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook
of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
5. Riece H. Komplikasi Otitis Media Akuta. Kumpulan Karya Ilmiah.

26

Anda mungkin juga menyukai