APPENDISITIS AKUT
Oleh:
Firdaus M. W. A G99172078
Nurrohmat Triatmojo G99172129
Natasha Ninda P. G99162078
Pembimbing:
dr. Sulistyani Kusumaningrum, M. Sc., Sp. Rad
2018
BAB I
PENDAHULUAN
ANATOMI
Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks merupakan organ
sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan
limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat
pada permukaan sekum. Sekum adalah bagian dari usus besar yang terletak di
perbatasan ileum dan usus besar. Bagian apendiks lainnya bebas. Apendiks ditutupi
seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium
intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek yang dinamakan
mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf-saraf.
Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung apendiks mudah bergerak
dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:
1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis kanan,
2. Melengkung di belakang sekum,
3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.
Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan.
Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan
parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Perdarahan apendiks berasal dari arteri
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya pada thrombosis, apendiks akan mengalami gangren (Gearhart & Silen,
2013).
INSIDENSI
Terdapat sekitar 70.000 kasus per tahun pada anak usia 0-19 tahun, dengan
kasus terbanyak pada usia dekade kedua (usia 10-19 tahun). Appendisitis lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2.1
Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.
Appendisitis akut lebih sering terjadi selama musim panas. Insidensi Appendisitis
acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa
tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan
oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan.
ETIOLOGI
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang
paling sering adalah fecolith. Fecalith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
appendisitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit. Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendisitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendisitis yaitu: Bakteri aerob fakultatif. Bakteri anaerob
Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus
Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus
species (Singh & Mariadason, 2013).
PATOGENESIS
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas
dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan
abses setelah 2-3 hari Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab,
antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing
(Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith
dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga
menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20%
pada anak dengan appendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi
appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi
lumen (Petroianu & Barroso, 2016). Insidensi terjadinya appendisitis berhubungan
dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan
limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan
Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi
appendisitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid
tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor
berlokasi di 1/3 proksimal. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendisitis. Awalnya, pasien akan merasa gejala
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan
BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis appendisitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan
perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah
periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeridalam, tumpul, berlokasi di dermatom
Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah,
dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum
nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat
yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan
intraluminal, terjadi gangguan aliran limfe, terjadi oedem yang lebih hebat.
Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding
appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik
Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic
biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks
retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang
terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica
urinaria pada appendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri
seperti terjadi retensi urine. Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya
abscess lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan
progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya
perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat
tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam
tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan
peningkatan risiko perforasi.
Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan
lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk
terjadinya abses yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan
pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau
caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abses pelvis (Petroianu &
Barroso, 2016).
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gambaran klinis pada apendisitis akut antara lain:
a. Nyeri abdomen yang diawali dari regio epigastrium atau sekitar umbilicus
kemudian menyebar ke area kanan bawah.
b. Hilang nafsu makan
c. Mual, muntah.
d. Konstipasi atau diare.
e. Tenesmus
f. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,50 – 38,5o C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi (NIDDK, 2004).
Tidak semua pasien dengan apendisitis akan mengalami gejala-gejala
tersebut. Nyeri biasanya semakin parah ketika pasien bergerak, menarik napas
dalam, batuk atau bersin. Pasien dengan kondisi khusus mungkin tidak memiliki
rangkaian gejala diatas dan mungkin hanya mengalami perasaan tidak sehat secara
umum. Pasien dengan kondisi ini antara lain:
Pasien bayi, anak-anak dan lansia
Pasien dengan terapi imunosupresif
Pasien dengan riwayat transplantasi organ
Pasien dengan HIV
Pasien dengan Diabetes Melitus
Pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi
Pasien dengan obesitas
Pada bayi atau anak-anak, gejala yang dirasakan tidak spesifik berupa
turunnya nafsu makan, letargi, konstipasi dan terkadang keluar feses dengan
ukuran kecil yang disertai mukus. Pada pasien lanjut usia sering mengalami
demam subfebris dan nyeri perut yang dirasakan biasanya tidak sehebat pada
kelompok umur lainnya (NIDDK, 2004).
Gambar 1 Algoritma diagnosis apenisitis akut pada dewasa
Gambar 2 Algoritme diagnosis apendisitis akut pada anak-anak
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis yang dikeluhkan pasien bervariasi tiap individu dan sering
sekali tidak spesifik, oleh karena itu pemeriksaan fisik dapat sangat membantu
untuk menentukan diagnosis apendisitis (Ishikawa, 2003).
a. Inspeksi
Tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses
periapendikuler. Tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan
b. Auskultasi
Biasanya normal
Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata
akibat apendisitis perforata
c. Perkusi
Pekak hati menghilang jika terjadi perforasi usus.
d. Palpasi
Nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas
Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri.
e. Rectal Toucher dan pemeriksaan pelvis pada wanita
Pemeriksaan ini berguna untuk membantu mengidentifikasi inflamasi
apendiks yang letaknya di dalam cavum pelvis dan mengetahui penyebab nyeri
abdomen selain apendisitis (Bickley et al, 2008).
f. Psoas sign
Pemeriksaan Psoas sign dilakukan dengan cara memberi rangsangan
pada m. psoas melalui hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi sendi
panggul kanan, kemudian paha ditahan. Rasa nyeri akan muncul bila terdapat
apendiks yang meradang yang menempel pada m. psoas major.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Lab
2) USG Abdomen
Apendiks normal biasanya tidak dapat dinilai dengan jelas
menggunakan USG, namun pada kasus peradangan apendiks akan dapat
dilihat karena ukurannya akan membesar. Beberapa gambaran dari USG
yang dapat mengarah ke diagnosis apendisitis antara lain hipertropi dinding
apendiks, perubahan pada struktur normal apendiks, kerusakan pada dinding
apendiks dan adanya cairan atau fecalith dalam lumen apendiks (Ishikawa,
2003).
a) Diameter melintang lebih dari 6 mm, namun hingga 23% orang dewasa laki-laki
yang sehat memiliki appendiks cecal dengan diameter transversal yang lebih besar
dari ini. Sehingga jika ditemukan diameter 6 -9 mm, harus dianggap "belum
ditentukan" dan tanda-tanda lain apendisitis harus dicari: misalnya, tidak dapat
dimampatkan, bentuk dan perubahan echogenicity dari jaringan yang berdekatan.
d) Peningkatan vaskularisasi
Gambar 11 Apendicolith
3) CT-Scan Abdomen
Dibandingkan dengan USG, CT scan lebih objektif dan hasil
pemeriksaannya tidak dipengaruhi oleh adanya gas interstisial. CT scan dapat
menunjukkan gambaran apendiks yang membesar, namu tidak dapat
menunjukkan struktur dindingnya seperti USG, oleh karena itu USG lebih
unggul dibandingkan CT scan dalam menentukan tingkat keparahan
apendisitis, tergantung perubahan pada dinding apendiks (Ishikawa, 2003).
Kekurangan CT antara lain adanya kemungkinan alergi terhadap
bahan kontras, ketidaknyamanan pasien dari administrasi media kontras
(terutama jika digunakan media kontras rektal), paparan radiasi pengion, dan
biaya yang relatif lebih mahal (Jain et al., 2006). Berdasarkan temuan dari CT
scan, dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok kriteria yaitu kriteria primer
dan kriteria sekunder.
a) Kriteria primer:
Pembesaran apendiks akibat inflamasi (diameter > 6 mm pada dewasa
dan diameter > 8 mm pada anak-anak.
Gambaran appendicolith
Lumen tidak terisi kontras
b) Kriteria Sekunder
Penebalan dinding apendiks
Lapisan lemak tipis
Penebalan fokal cecum
Adenopathy
Obstruksi usus halus
Cairan bebas pada cavum pelvis
Gambar 13 Apendiks normal
DIGNOSIS BANDING
Ada beberapa diagnosis banding apendisitis akut, antara lain:
1. Divertikulitis
Divertikulitis adalah suatu peradangan atau infeksi pada diverticula yaitu
kantung-kantung yang terbentuk di sepanjang saluran cerna terutama usus besar.
Pada pemeriksaan colon in loop, akan terlihat gambaran additional shadow (Travis
et al., 2012).
Gambar 17 Gambaran additional shadow pada divertikulitis
2. Ca Colon
Pada Ca colon, gambaran kha yang didapatkan pada pemeriksaan colon in loop
yaitu berupa apple core appearance (Taylor et al., 2017).
Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan
Laparotomy Perawatan appendisitis tanpa operasi
Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob
1. Open Appendectomy
Pararectal/Paramedian
Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke
medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis
karena fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan karena
bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis.
2. Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai
sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan
suspek appendisitis akut. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk
pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan
penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut sangat mudah dengan
menggunakan laparoskop (Warsinggih, 2016).
PROGNOSIS
Apendisitis akut merupakan penyebab utama kegawatan bedah abdomen.
Penegakan diagnosis yang terlambat menyebabkan meningkatnya angka mortalitas
dan morbiditas. Tingkat mortalitas keseluruhan 0,2-0,8% akibat komplikasi pada
intervensi bedah. Mortalitas pada anak-anak sekitar 0,1-1% dan mortalitas pada
pasien usia >70 tahun meningkat diatas 20%, terutama akibat keterlambatan
diagnostik dan terapeutik.
Risiko mortalitas apendisitis akut tanpa gangren <0,1%, namun meningkat
menjadi 0,6% pada apendisitis dengan gangren. Tingkat perforasinya 16-40%
dengan frekuensi lebih tinggi pada usia yang lebih muda (40-57%) dan pada pasien
usia >50 tahun (55-70%). Komplikasi terjadi pada 1-5% pasien dengan apendisitis
dan morbiditas infeksi luka pasca operasi terhitung hampir sepertiga (Pham dkk,
2016).
KOMPLIKASI
Komplikasi apendisitis menurut Craig (2018) dan Alder (2017) antara lain:
1. Perforasi
Angka kejadian luka operasi pada apendisitis sederhana tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan apendisitis perforasi (Bahar, 2010).
6. Obstruksi usus
7. Abses intra abdomen/pelvis
8. Kematian
Angka kematian akibat apendisitis di Belanda sebanyak 1 kasus per tahun pada
tahun 1996 – 2003 (Narsule, 2011).
BAB III
PENUTUP