Anda di halaman 1dari 18

PENGELOLAAN TANAH DAN AIR

“UPAYA PENGELOLAAN TANAH SALIN DENGAN


MANAJEMEN PEMBERIAN AMELIORAN (PEMBENAH
TANAH)”

Disusun Oleh Kelompok 5:

1. Romi Mohammad Dhiya U. (1625010106)


2. Nurul Islam Fi Holki Syamsi (1625010115)
3. Firda Sakinah Mawarda (1625010118)
4. Shelvia Anggraeny (1625010122)
5. Mia Ramadayanti (1625010137)

-Agroteknologi C-

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA


TIMUR
SURABAYA
2019
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Degradasi lahan kian meningkat pesat dikarenakan kurangnya manajemen


pengelolaan pada suatu lahan tersebut. Degradasi lahan yang terjadi pada lahan-
lahan pertanian akan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kegiatan
pertanian. Karena produksi yang dihasilkan tanaman diperoleh dari lahan yang
digunakan sebagai tempat budidaya. Apabila lahan tersebut rusak maka produksi
tanaman akan turun bahkan tidak mampu berproduksi lagi. Salah satu contoh yang
menjadi kendala di lahan pertanian yang dekat dengan daerah pesisir pantai akan
menimbulkan permasalahan. Misalnya pada musim kemarau air laut akan intruksi
ke daratan sehingga air yang digunakan untuk pertanian (air irigasi) bercampur
dengan air laut yang memiliki kadar garam yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan
pada daerah air irigasi tidak mampu lagi menyimpan air ataupun air tanah berada
jauh dibawah tanah sehingga memudahkan air laut masuk. Masuknya air laut ke
daratan akan mempengaruhi kadar garam suatu lahan atau yang disebut salinitas.

Salinitas merupakan proses alami yang terkait erat dengan bentang alam dan
proses pembentukan tanah. Garam dalam tanah dapat berasal dari pelapukan bahan
induk yang mengandung deposit garam (El-Swaify 2000), intrusi air laut atau
gerakan air tanah yang direklamasi dari dasar laut (Tan 2000), pupuk anorganik dan
organik, serta dari air irigasi (Kotuby-Amacher et al. 2000). Kondisi iklim dengan
curah hujan rendah, tingkat evaporasi yang tinggi, dan pengelolaan pengairan yang
buruk dapat menimbulkan masalah salinitas (Sposito 2008; Lambers 2003; Gama
et al. 2007).

Penggunaan air tanah untuk irigasi secara terus menerus menyebabkan


akumulasi garam pada lahan pertanian (Tan 2000; Munns et al. 2004; Zhu 2007;
Sonon et al. 2012). Unsur Ca, Mg, dan Na yang terkandung dalam air irigasi akan
mengendap dalam bentuk karbonat seiring dengan terjadinya penguapan. Drainase
tanah yang buruk menyebabkan evaporasi lebih besar daripada perkolasi sehingga
akan mempercepat proses salinisasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam
memperbaiki tanah salin dengan melakukan reklamasi, misalnya: penambahan
gypsum, abu sekam padi, pupuk kandang, dan pemilihan tanaman yang toleran.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah Salin

Salinitas menunjukkan kadar garam terlarut dalam air maupun tanah. Garam
yang terlarut biasanya didominasi kation kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+),
kalium (K+), natrium (Na+), anion karbonat (HCO3–/CO32–), sulfat (SO42–), dan
khlor (Cl–). Kandungan ion Na dan Cl umumnya dominan, sedangkan ion yang lain
beragam. Satuan yang digunakan beragam seperti ppt (part per thousand), PSU
(practical salinity unit = g/kg). Satuan internasional (SI) untuk salinitas adalah
siemens per metre (S/m) pada suhu 25ºC. Namun yang umum digunakan adalah dS/
m(desi siemens/m; 1 dS/m = 1 mmhos/cm = 640 ppm atau mg/kg = 1000
μS/cm)(SA Water 2007).

Tanah salin adalah pelindian akan menaikkan pH tanah dengan nyata.


Kenaikan pH ini tidak akan terjadi apabila garam-garam yang terdapat didalam
tanah salin-sodik adalah garam Ca dan Mg. Hal ini sangat merugikan karena ion
natrium menjadi aktif dan dapat mendispersi koloida mineral yang membentuk
struktur tanah yang kuat dan kedap. Dengan demikian dapat terjdi keracunan
natrium yang nyata (Adi dan Hamdan 2013).

2.2 Tanah Sodik

Tanah sodik adalah tanah yang mengandung banyak garam terlarut netral.
Pengaruh merusak pada tanaman sebagian besar disebabkan oleh keracunan ion Na
dan ion OH. Natrium yang dapat tertukar lebih dari 15% dari kemampuan
pertukaran total tanah ini, bebas untuk dihidrolisa. EC pada tanah ini lebih kecil
dari 4 mmhos/cm dengan pH lebih dari 8,5 bahakan sampai 10. Kebasaan tanah ini
sangat tingi disebabkan oleh kandungan Na2CO3 pada permukaan tanah yang dapat
menimbulkan perubahan warna tanah menjadi gelap, sehingga sering disebut alkali
hitam. Tanah semacam ini sering terdapat di daerah sempit yang licin (slick-spots)
yang dikelilingi oleh tanah-tanah produktif . Tanah sodik berciri Darainase tidak
baik, banyak mengandung kerak, Kemampuan infiltrasi air rendah, Terdapat residu
berbentuk tepung yang berwarna gelap pada permukaan tanah, Tanaman kerdil dan
bagian tepi daun terbakar (Adi dan Hamdan 2013).
2.3 Tanah Masam

Seperti lazimnya kemasaman tanah ditetapkan dengan satuan ukuran pH.


Secara kimiawi murni pH 7 disebut netral . pH dibawah 7 disebut masam dan pH
diatas 7 dinamakan basa atau alkalin. Makin jauh dibawah 7 kemasaman semakin
meningkat, sedang semakin jauh diatas 7 kebasaan atau alkalinitas semakin tinggi.
Menurut ketersediaan hara dalam tanah bagi tanaman pH netral bukanlah bersifat
optimum. pH tanah merupakan salah satu faktor penting yang mengatur keadaan
lingkungan ion dalam tanah. persoalan yang biasanya timbul dalam tanah masam
ialah :

1 Kekahatan Ca, Mg dan P.


2 Kekahatan Cu (terutama tanah organik) dan Mo (terutama untuk tanaman
legum).
3 Keracunan Al dan Mn; kadang-kadang juga keracunan Fe.
4 Laju penguraian bahan organik sangat lambat (daur nitrogen dalam sistem
tanah- tanaman terganggu; kandungan bahan organik dalam ameliorasi
struktur tanah menurun).

2.4 Amelioran (Pembenah tanah)

Menurut Krisnohadi tahun 2011 amelioran berfungsi untuk mengatasi


permasalahan kesuburan tanah. Menurut Salsi (2011) jenis amelioran seperti kapur,
abu janjang kelapa sawit, kompos TKKS, abu sekam padi, dan pupuk kotoran ayam
dapat meningkatkan unsur hara tanah. Salah satu bentuk upaya untuk mengatasi
dampak negatif dari tanah salin adalah penggunaan amelioran secara tepat dan
benar. Amelioran sendiri berguna untuk meningkatkan ketersediaan hara dan hasil
tanaman serta telah diaplikasikan pada lahan (Zuraida 2013).

2.5 Macam-macam Amelioran

1. Gypsum (CaSO4)
Peran Gypsum (CaSO4) berfungsi sebagai reklamasi tanah sodik,
meningkatkan agregasi tanah, perkolasi tanah, dan menurunkan pH tanah
(Franzen et al.,2006). Gypsum dapat menggantikan ion sodium atau Na+
dalam tanah dengan Ca2+. Hal tersebut dapat mengakibatkan Na+ akan
dibuang secara aktif sehingga dapat meningkatkan perkolasi tanah (FAO,
2005). Ca2+ di dalam akar berperan membatasi penyerapan Na+ dan
meningkatkan penyerapan kalium (Hanafiah, 2007). Ca2+ secara bersamaan
dapat menggantikan Na+ dalam kompleks pertukaran. Masing-masing
senyawa Ca2+ mudah larut tidak akan mempengaruhi pH dan bersama air
dapat menurunkan Na+ (Tan, 1995).
2. Abu sekam padi
Merupakan produk samping yang melimpah dari hasil pengolahan
padi. Menurut Hadi (2005), abu sekam padi dapat menggantikan pupuk
kimia dan sebagai sumber kalium dalam bentuk KCl pada penyediaan hara
kalium di dalam tanah. Sekam padi dapat memperbaiki struktur tanah
melalui agregasi dan perbaikan sifat tanah. Penggunaan abu sekam padi
dapat menurunkan kepekaan tanah bertekstur debu terhadap pendispersian
tanah dan pada tanah lempung dapat meningkatkan ketahanan tanah
terhadap kerusakan dari luar. (Sutanto, 2006).
3. Pupuk kandang
Pupuk kandang merupakan salah satu sumber dari bahan organik
tanah. Bahan organik memiliki peranan dalam merangsang granulasi,
menurunkan plastisitas dan kohesi tanah, memperbaiki struktur tanah
menjadi lebih remah, dan meningkatkan daya tanah dalam menahan air
sehingga drainase tidak berlebihan, kelembaban dan temperatur tanah
menjadi lebih stabil (Hanafiah, 2007). Bahan atau pupuk organik dapat
berperan dalam pengikatan butiran primer menjadi butiran sekunder tanah
dalam pembentukan agregat yang mantap. Hal tersebut akan berpengaruh
terhadap porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu
tanah (Simanungkalit et al., 2006). Berdasarkan hasil penelitian Wigati et
al. (2006), pemberian pupuk kandang dengan takaran 20 ton/ha dapat
meningkatkan kadar bahan organik tanah, pertumbuhan tanaman meliputi
berat kering tanaman, konsentrasi dan serapan P dalam jaringan tanaman.
Purbajanti et al. (2010) menambahkan pada pemberian pupuk kandang 20
ton/ha dapat meningkatkan luas daun per tanaman, laju fotosintesis, serapan
nitrogen, laju pertumbuhan relatif, tinggi tanaman, produksi hijauan, dan
bahan kering tanaman.
4. Biochar
Biochar sebagai pupuk harus ditambahkan garam mineral dan
dijaga suhu optimum ~ 30°C serta pH~7 (Vaiskunaite, 2008). Biochar
dapat dibentuk melalui pengarangan biomassa (biochar = pyrolysis
biomasa), penggosokan, atau pengomposan, diasumsikan efektif
menyimpan carbon. Faktor penentu kualitas arang diantaranya kerapatan,
kelembaban, dan ukuran potongan kayu, suhu akhir karbonisasi. Biochar
diproduksi melalui dekomposisi thermal bahan organik dibawah suplai
oxygen (O2) terbatas dan suhu relatif rendah (<700°C) (Lehmann and
Joseph. 2009). Serpihan kayu berukuran antara 10-15 mm, butiran zeolit
10-12 mm, dan kubus karet 30 × 30 × 20 mm diperoleh laju aliran udara
0,1-0,6 m/detik, dan suhu antara 15-35°C. (Baltrėnas and Zagorskis, 2007).
Dosis optimum biochar untuk mengatasi permasalahan tanah asam
bervariasi dengan kisaran 5,0-7,5 t/ha (Nurida, Sutono, dan Rachman,
2012), 50 g/pot biochar jerami padi, kulit durian, dan kotoran sapi (Putri
dkk., 2017). Aplikasi biochar pada tanah ini dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia, biologi Ultisol (pH tanah, Corganik, N-total, P-tersedia, K tukar) dan
pertumbuhan tanaman. Aplikasi asam humat 1g/kg dapat memperbaiki ciri
kimia tanah salin (Mindari, dkk., 2014) namun kombinasi humat dan
biochar belum banyak dilakukan (Mindari, dkk., 2013).
5. Substansi Humat
Zat humat bersifat hidrofilik dan terdiri dari partikel berbentuk
bulat, yang dalam larutan mengandung air hidrasi. Substansi Humat
memainkan peran penting dalam kesuburan tanah dan nutrisi tanaman (Tan,
2003; Spark, 2003; Pettit, 2011). Selain itu substansi humat menstimulasi
mikroorganisme tanah secara lebih efisien untuk merombak bahan
organik, meningkatkan kelembaban tanah, mengkhelat mikronutrisi,
utamanya besi. Pembentukan kompleks antara substansi humat (SH)
dengan mineral liat dipengaruhi oleh sifat kapasitas tukar kation pada
permukaan liat, pH media dan kekuatan ion, berat molekul SH dan spesies
mineral liat. Substansi humat umumnya gagal menambah muatan ke
montmorillonit tetapi dapat melakukannya dalam kondisi yang sangat asam
ketika molekul dasarnya tidak bermuatan penambahan muatan dapat terjadi.
Substansi humat dapat membantu dekomposisi mineral dan mobilisasi ion
logam, sedangkan kompleks liat-humat adalah sorben ion logam dan
senyawa organik nonionik (Theng, 2012).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya pengelolaan lahan salin berdasarkan pada studi literatur yang


dilakukan. Tujuannya untuk mendukung proses perbaikan dari tanah salin dengan
upaya yang telah dilakukan dengan jalan penelitian. Pengelolaan lahan salin bisa
dilakukan dengan dua cara yaitu : a) Dengan pengaturan/manajemen air irigasi yang
akan digunakan untuk kegiatan pertanian. b) Penambahan amelioran (pembenah
tanah) dalam rangka memperbaiki kondisi struktur tanah serta mengembalikan
kesuburan tanah. Pengelolaan lahan salin telah banyak dikaji dan menghasilkan
rekomendasi pengelolaan. Diantaranya :

Pada jurnal “Pengaruh Metode Perbaikan Tanah Salin terhadap Serapan


Nitrogen dan Fosfor Rumput Benggala (Panicum maximum)” dilakukan dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 ulangan dan 7 perlakuan
yaitu: T0 : kontrol, T1 : gypsum (0,02 kg/pot), T2 : abu sekam padi (0,01 kg/pot),
T3 : pupuk kandang (1,30 kg/pot), T4 : gypsum (0,02 kg/pot) dan abu sekam padi
(0,01 kg/pot), T5 : gypsum (0,02 kg/pot) dan pupuk kandang (1,30 kg/pot), T6 : abu
sekam padi (0,01 kg/pot) dan pupuk kandang (1,30 kg/pot).

Serapan nitrogen rumput benggala pada masing-masing perlakuan dapat


dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode perbaikan
tanah salin berpengaruh nyata terhadap serapan nitrogen akar, tajuk, dan total
rumput benggala. Serapan nitrogen akar pada perlakuan gypsum, pupuk kandang,
gypsum + pupuk kandang, dan abu sekam padi + pupuk kandang berbeda nyata
dengan kontrol, abu sekam padi, dan gypsum + abu sekam padi. Serapan nitrogen
tajuk perlakuan pupuk kandang, gypsum + pupuk kandang, dan abu sekam padi +
pupuk kandang berbeda nyata dengan kontrol, gypsum, abu sekam padi, dan
gypsum + abu sekam padi. Serapan nitrogen total, perlakuan gypsum + pupuk
kandang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, gypsum, abu sekam padi, pupuk
kandang, gypsum + abu sekam padi, dan abu sekam padi + pupuk kandang.
Hal tersebut membuktikan bahwa pupuk kandang memiliki peranan yang
lebih besar dibandingkan dengan gypsum. Serapan nitrogen pada perlakuan
gypsum + pupuk kandang salah satunya dipengaruhi oleh kadar nitrogen di dalam
tanah dan besarya nitrogen yang dapat diserap oleh akar tanaman. Hal ini
ditunjukkan pada hasil akhir analisis tanah salin memiliki kadar N tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kadar N tanah dapat mengalami
peningkatan karena adanya tambahan bahan organik di dalam tanah. Bahan organik
yang sudah terdekomposisi akan mengalami proses mineralisasi N organik
sehingga dapat meningkatkan ketersediaan N di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Munawar (2011), bahan organik yang terdapat dalam pupuk kandang
mengalami proses mineralisasi N organik menjadi NH4+ dan NO3- sehingga
nitrogen akan lebih banyak terbentuk dan tersedia di dalam tanah. Pupuk kandang
sebagai sumber bahan organik dapat mengikat air lebih banyak, sehingga akar lebih
mudah menyerap unsur hara. Hal tersebut memberikan pengaruh besar terhadap
ketersediaan unsur hara di dalam tanah salin. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sutanto (2006), pupuk kandang pada tanah berpasir berfungsi dalam meningkatkan
pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air.

Serapan fosfor rumput benggala pada masing-masing perlakuan dapat


dilihat pada Tabel 2. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa metode perbaikan
tanah salin berpengaruh nyata terhadap serapan fosfor tajuk dan total tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap serapan fosfor akar. Serapan fosfor akar tidak berbeda
nyata antar perlakuan. Serapan fosfor tajuk dan total, perlakuan gypsum + pupuk
kandang berbeda nyata dengan kontrol, gypsum, abu sekam padi, pupuk kandang,
gypsum + abu sekam padi, dan abu sekam padi + pupuk kandang. Perlakuan
gypsum + pupuk kandang secara keseluruhan meningkatkan serapan fosfor terbaik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pupuk kandang yang dikombinasikan
dengan gypsum memiliki peranan lebih besar dalam menyediakan P di dalam tanah.
Hal ini ditunjukkan oleh hasil serapan fosfor gypsum baik yang tunggal atau
dikombinasikan dengan perlakuan lainnya memiliki jumlah serapan fosfor yang
lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang secara tunggal
maupun kombinasi. Hal tersebut membuktikan bahwa pupuk kandang memiliki
peranan yang lebih besar dibandingkan dengan gypsum.

Serapan fosfor pada perlakuan gypsum + pupuk kandang salah satunya


dipengaruhi oleh kadar fosfor di dalam tanah, jumlah fosfor yang diserap oleh
tanaman. Pemberian gypsum dapat menurunkan Na+ pada tanah salin memberikan
dampak pada tersedianya unsur hara yang akan diserap oleh akar tanaman. Pupuk
kandang yang diberikan akan berpengaruh terhadap penurunan fiksasi P pada tanah.
Munawar (2011) menjelaskan bahan organik tanah dapat mengurangi fiksasi fosfor
dengan mengganti ion fosfat oleh ion humat pada komplek jerapan, membentuk
kompleks fosfo-humat, dan pelapisan seskuioksida oleh humus, sehingga
penjerapan fosfor tidak terjadi. Penurunan fiksasi P mengakibatkan ketersediaan
fosfor bagi tanaman akan meningkat dan begitu sebaliknya.

Selain pupuk kandang, abu sekam dan gypsum adapun penambahan


amelioran berupa biochar dan humat. Dalam jurnal “Rasionalisasi Peran Biochar
dan Humat terhadap Ciri Fisik-Kimia Tanah” Diantara keduanya, mana yang lebih
rasional memperbaiki kesuburan tanah akan direkomendasikan sebagai bahan
alternatif. Identifikasi dan karakterisasi biochar dan asam humat dari jerami padi
serta dampaknya terhadap kemantapan agregat, nilai pH, C-organik, serta
kandungan NPK tanah-tanah marginal. Biochar jerami dibuat dengan membakar
jerami hingga berwarna hitam namun tidak menjadi abu. Humat diekstrak dari
kompos jerami padi dengan NaOH 0.1N dan H2SO4 hingga pH 6. Biochar dan
humat dikarakterisasi terhadap nilai KTK, C-Organik,dan pH. Amelioran yang
mempunyai nilai KTK dan C-organik tinggi sangat berpotensi memperbaiki pH, C-
organik, dan P tersedia tanah masam dan tamah salin.

Efek biochar pada tanah dievaluasi melalui percobaan laboratorium disusun


menurut RAL faktorial dimana Faktor 1: tiga macam formula meliputi Bio-Ch 1,
Bio-Ch 2, dan Bio-Ch 3; Faktor 2 : lima dosis Bio-Ch meliputi 0, 1, 2, 3, 4, 5, g/kg
tanah dan Faktor 3: dua jenis tanah marginal meliputi tanah masam dan tanah salin).
Sampel tanah masam diambil dari daerah Wonosalam dan tanah salin diambil dari
Gununganyar, masing-masing pada kedalaman 0-20 cm

Komposisi campuran Biochar dan humat yang lebih tinggi memberi


pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan kandungan hara dibanding
campuran dengan komposisi yang sama.Pemberian campuran biochar (arang) dan
asam humat jerami padi yang diinkubasi selama 4 minggu mampu meningkatkan
C-org, P-tersedia, dan N-total tanah. Kandungan C-org dan N total tanah masam
lebih tinggi dibanding tanah salin dan hal sebaliknya terjadi pada kandungan P-
tersedia tanah. Proporsi campuran humat atau arang lebih tinggi terbukti
meningkatkan C-org, P-tersedia dan N-total lebih tinggi dibanding jika proporsi
campuran kedua bahan sama. Campuran biochar dan humat bisa menambah muatan
negatif tanah sehingga akan meningkatkan perannya dalam menjerap nutrisi
tanaman. Proporsi humat yang lebih besar akan menambah kemampuan
menukarkan ion lebih tinggi dibanding biochar. Dengan begitu dapat diketahui
bahwa proporsi asam hutat tinggi lebih baik dibanding biochar.

Asam humat sendiri dipercaya dapat menjaga stabilitas reaksi tanah,


adsorpsi / fiksasi atau khelat kation, sehingga meningkatkan ketersediaan air dan
nutrisi tanaman. Dalam jurnal “Pengaruh Substansi Asam Humat sebagai Buffer
(Penyangga) Kation pada Karakteristik Kimia Tanah Salin dan Pertumbuhan
Tanaman Jagung” Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan K+dan
NH4+mempengaruhi pH, CEC, K+ , NH4+, dan kadar air buffer. Aplikasi berbasis
asam humat buffer secara signifikan menurunkan pH tanah dari > 7 menjadi sekitar
6,3, menurunkan EC tanah menjadi 0,9 mS / cm, dan meningkatkan Na tersedia dari
0,40 menjadi 0,56 me / 100 g tanah, Ca dari 15,57 menjadi 20,21 me / 100 g tanah,
Mg dari 1,76 menjadi 6,52 me / 100 g tanah, dan K dari 0,05-0,51 me / 100 g tanah.
Pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, kandungan klorofil, luas daun, dan berat
batang) pada 35 hari setelah tanam meningkat seiring dengan meningkatnya dosis
dari asam humat. Dosis 2.0g asam humat gambut + NH4+ / 3 kg tanah atau 30 g
asam humat + K + / 3 kg minyak memberikan hasil terbaik pada pertumbuhan
jagung. Terdapat delapan belas perlakuan terdiri dari tiga jenis asam humat
(kompos, gambut dan batubara), dua zat aditif kation (K+ dan NH4+), dan tiga dosis
buffer berbasis asam humat (10, 20, dan 30 g / 3kg), disusun secara faktorial acak
lengkap dengan tiga ulangan. Parameter perlakuan yang diamati yaitu perubahan
pH, konduktivitas listrik (EC), kapasitas tukar kation (CEC), kandungan klorofil,
berat kering tanaman, dan tinggi tanaman.

Zat humat berperan penting dalam kesuburan tanah dan nutrisi tanaman.
Asam humat adalah organik siklik yang memiliki berat molekul tinggi, panjang
rantai, dan gugus karboksil aktif (-COOH) dan fenolik (-OH), yang merupakan
ampoter, pengikatan kation / anion pada kondisi pH tertentu. Karboksilat dari
beberapa kelompok karboksil dilepaskan di bawah pH 6 meninggalkan muatan
negative pada kelompok fungsional: R-COOH = R-COO- + H + . Disosiasi H +
dari amida (= NH) juga dapat meningkatkan muatan negatif. Kelompok terprotonasi
seperti R-OH 2+ dan R-NH 3 dapat menghasilkan muatan positif, tetapi
keseluruhan humus terisi negatif. Ekstraksi asam humat dengan NaOH atau KOH
yang menyebabkan muatan negatif pada asam humat dijenuhi dengan Na atau K,
sehingga ion mudah ditukar. Saturasi NaOH atau KOH meningkatkan pH hingga
11, mendorong semua asam pada tingkat kelarutan dan stabilisasi maksimum
hidrokoloid dalam suspensi.
Aplikasi asam humat telah diidentifikasi dapat mengurangi salinitas tanah
dan meningkatkan serapan hara oleh tanaman (Çelik et al., 2010; Paksoy et al.,
2010; Khaled dan Fawy, 2011; Turan et al., 2011), meningkatkan fisiologi tanaman
dan biokimia, dan produktivitas tanaman (Canellas dan Olivares, 2014). Variasi
dosis asam humat antar peneliti ditentukan oleh sumbernya bahan organik, ekstraksi
asam humat teknik, dan aditif kationik, serta nutris. Dosis asam humat dan N 1,5
hingga 2 g / kg, 0- 150 mg P / kg, dan 0-300 mg K / kg telah dilaporkan dapat
mengurangi salinitas tanah (60 mM NaCl atau 40% CaCO 3) dan meningkatkan
serapan N oleh gandum (Çelik et al., 2010). Aplikasi 4 g asam humat / kg untuk
tanah saline juga meningkatkan serapan N oleh jagung (Khaled dan Fawy, 2011).
Aplikasi asam humat 1,5-2,0 g / kg dan 150 mg NPK / kg untuk tanah salin
meningkatkan berat jerami padi dan jumlah bibit padi pada 35 hari setelah tanam.
Turan et al. (2011) melaporkan bahwa serapan N dan P tidak perlu tambahan asam
humat, tetapi penggunaan Mg dan Mn perlu aplikasi 1 g asam humat / kg, dan
serapan Cu membutuhkan aplikasi 2 g asam humat / kg untuk jagung tumbuh di
tanah salin. Nilai rasio K + / Na + dalam daun dapat digunakan untuk menentukan
indikator tanaman kerentanan (Goudarzi dan Pakniyat, 2008).
IV. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan 3 jurnal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk


mengatasi degradasi lahan karena salinitas dapat menggunakan metode
penambahan amelioran seperti gypsum, pupuk kandang, abu sekam padi, biochar,
dan humat. Pemberian abu.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, nugraha, Hamdan . 2013 . Respon Pertumbuhan Tanaman Terhadap Cekaman


Salinitas Tanah. Forestry information : Sleman.

Baltrėnas, P. and A. Zagorskis. 2007. Investigation into Determining The Humidity


of Charge Used For Biological Air Treatment. Dept Of Environmental
Protection, Vilnius Gediminas Technical University,Saulėtekio Al. 11,
Lt10223 Vilnius, Lithuania.

Canellas, L.P. and Olivares, F.L. 2014. Physiological responses to humic


substances as plant growth promoter. Chemical and Biological
Technologies in Agriculture 1:3 http:// www. Chembioagro
.com/content /pdf/2196-5641-1-3

El-Swaify, S.A. 2000. Soil and Water Salinity. Plant Nutrient Management in
Hawaii’s Soils, Approaches for Tropical and Subtropical Agriculture.
Univ. of Hawai.

Franzen, D., G. Rehm dan J. Gerwing. 2006. Effectiveness of gypsum in the north-
central region of the U.S. North Dakota State University.

Gama, P.B.S., S. Inagana, K. Tanaka and R. Nakazawa. 2007. Physiological


response of common bean (Phaseolus vulgaris. L.) seedlings to salinity
stress. African J. of Biotech. (2):79–88.

Goudarzi M. and Pakniyat, H. 2008. Comparison between salt tolerance of various


cultivars of wheat and maize. Journal of Applied Sciences 8 (12): 2300-
2305

Hadi, P. 2005. Abu sekam padi pupuk organik sumber kalium alternatif pada padi
sawah. GEMA th. XVIII/33/2005.

Hanafiah, K.A. 2007. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Khaled, H. and Fawy, H.A. 2011. Effect of different levels of humic acids on the
nutrient content, plant growth, and soil properties under conditions of
salinity. Soil and Water Research 6 (1): 21–29.

Kotuby-Amacher, J., K. Rich and K. Boyd. 2000. Salinity and plant tolerance.
Available at https://extension. usu. Edu / files / publications /
publication / AGSO-03. pdf.

Lambers, H. 2003. Introduction, dry land salinity: a key environ. issue in Southern
Australia. Plant Soil 257:5–7.

Las, I., K. Subagyono, dan A.P Setiyanto. 2006. Isu dan pengelolaan lingkungan
dalam revitalisasi pertanian. J. Litbang Pertanian 25(3):106–115.

Lehmann and Joseph. 2009, dalam jurnal “Rasionalisasi Peran Biochar dan Humat
terhadap ciri fisik – kimia tanah”.

Mindari, W., N. Aini, and Z. Kusuma. 2014. Effects of humic acid-based buffer +
cation on chemical characteristics of saline soils and maize
growth.Journal of Degraded and Mining Lands Management.
2(1):259–68.

Mindari, W., Z.Guntoro, W. Kusuma, and Syekhfani. 2013. “Isolation and


characterization of humic acid of various waste matterial on saline soil
and their effects to paddy. International Conference on Green Agro-
Industry (ICGAI) 1(2):234–42.

Mindari, W., Sasongko P. E, Khasanah U., dan Pujiono. 2018. “Rasionalisasi Peran
Biochar dan Humat Terhadap Ciri Fisik – Kimia Tanah”.

Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. PT. Penerbit IPB Press,
Bogor.

Munns, R., S. Goyal and J. Passioura. 2004. Salinity stress and its mitigation. Plant
Stress Website. Blum A. (ed). Available at http://www. plantstress.
com/Articles/index. asp.
Nurida, Sutono, dan Rachman, 2012. “Potensi Pembenah Tanah Biochar Dalam
Pemulihan Sifat Tanah Terdegradasi dan Peningkatan Hasil Jagung
Pada Tyoic Kanhapludults Lampung”.

Pettit, R.E. 2011. Organic Matter, Humus, Humate, Humic Acid, Fulvic Acid,
and Humin.

Purbajanti, E.D., D. Soetrisno, E. Hanudin dan S.P.S. Budhi. 2010. Penampilan


fisiologi dan hasil rumput benggala (Panicum maximum Jacq) pada
tanah salin akibat pemberian pupuk kandang, gypsum dan sumber
nitrogen. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 12 (1): 61-67.

Salsi, I. 2011. Karakterisasi gambut dengan berbagai bahan amelioran dan


pengaruhnya terhadap sifat fisik dan kimia guna mendukung
produktivitas lahan gambut. Jurnal Agrovigor, 1(4): 42-50.

S.A. Water, 2007. Technical Guideline, General technical information for


geotechnical design: Part K– Geotechnical SI Units System. South
Australian Water Corporation. 4 pp.

Simanungkalit, R.D.M., D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W.


Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati (Organic Fertilizer
and Biofertilizer). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Lahan Pertanian, Bogor.

Sonon, L.S., S. Uttam and E.K. David. 2012. Soil Salinity: Testing, Data
Interpretation and Recommendations. Agric. and Environm. Services
Labo. The Univ. of Georgia. 6 pp.

Sparks, D. L. 2003. Environmental Soil Chemistry. Second Edition. University


of Delaware. Academic Press. 345 P.

Sposito, G. 2008. The Chemistry of Soil. Oxford Univ. Press, New York. 321 pp.

Suharyani, F. Kusmiyati dan Karno. 2012. “PENGARUH METODE PERBAIKAN


TANAH SALIN TERHADAP SERAPAN NITROGEN DAN
FOSFOR RUMPUT BENGGALA (Panicum maximum”.
Sutanto, R. 2006. Penerapan Pertanian Organik. Jakarta, Kanisius.

Tan, K.H., 2000. Environmental Soil Science. Marcel Dekker New York.

Theng, B.K.G. 2012. Humic Substances. Developments in Clay Science. 4: 391–


456.

Turan, M.A., Asik, B.B., Katkat, A.V. and Celik, H. 2011.The effects of soil-applied
humic substances to the dry weight and mineral nutrient uptake of
maize plants under soil-salinity conditions. Notulae Botanicae Horti
Agrobotanici Cluj-Napoca 39(1):171-177

Vaiskunaite, 2008. dalam jurnal “Rasionalisasi Peran Biochar dan Humat terhadap
ciri fisik – kimia tanah”.

Wigati, ES., A. Syukur dan D.K. Bambang. 2006. Pengaruh takaran bahan organik
dan tingkat kelengasan tanah terhadap serapan fosfor oleh kacang
tunggak di tanah pasir pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 6 (1):
5258.

Zhu J.K. 2007. Plant Salt Stress. Encyclopedia of Life Sciences &2007. John Wiley
& Sons Ltd. www. els. net.

Zuraida. 2013. Penggunaan Berbagai Jenis Bahan Amelioran Terhadap Sifat Kimia
Bahan Tanah Gambut Hemi.

Anda mungkin juga menyukai