Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH APLIKASI GYPSUM DAN PUPUK KANDANG SAPI PADA

TANAH SALIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL


TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril)

penggunaan gypsum merupakan amelioran yang tepat dibandingkan dengan penggunaan


pupuk kandang dan pada genotip IAC, 100/Bur// Malabar penggunaan pupuk kandang dan
gypsum belum dapat meningkatkan produktivitas tanaman kedelai.

Upaya meningkatkan produksi kedelai dapat dilakukan dengan salah satu cara yaitu
ekstenfikasi. Ekstenfikasi antara lain dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan sub optimal
atau lahan marginal. Salah satu cara untuk memanfaatkan lahan sub optimal yang terlantar dan
tidak produktif yaitu dengan menggunakan tanah salin. Tanah salin adalah tanah yang
mengandung garam yang terlarut yang jumlahnya cukup besar bagi pertumbuhan kebanyakan
tanaman, akumulasi garam dalam tanah lapisan atas biasanya hasil dari evapotranspirasi yang
dapat meningkatkan konsentrasi garam
Salinitas tanah mempunyai efek toksik dan mampu meningkatkan tekanan osmotik akar yang
membuat pertumbuhan tanaman terhambat. Tanah salin banyak dijumpai di daerah iklim kering
dengan curah hujan kurang dari 500 mm/tahun dan daya hantar listrik > 4 mS cm-1.

Upaya mengatasi dampak negatif dari lahan salin dapat dilakukan dengan pemberian bahan
amelioran seperti bahan amelioran seperti pupuk kandang dan gypsum. Penggunaan pupuk
kandang umumnya lebih bersifat sebagai pembenah tanah salah satunya pada tanah salin dan
pemberian gypsum pada tanah salin dapat menurunkan kadar salinitas tanah sehingga
mengurangi dampak negatif pada tanah salin dalam pertumbuhan dan produksi tanaman.
gypsum dapat menurunkan salinitas, dengan kandungan Ca+ serta SO4- mampu membawa
Na+ terlarut bersama air sehingga tanaman mudah menyerap unsur hara yang dibutuhkan.

Dalam penelitian Daeli, Putri dan Nuriadi (2013) Konsentrasi NaCl yang tinggi menekan
pertumbuhan tanaman sehingga dapat menghambat pembesaran dan pembelahan sel karena
tanaman sulit menyerap air
Efektivitas Amelioran dan Toleransi Genotipe Kedelai terhadap Salinitas pada Tanah
Salin

Cekaman salinitas pada lahan pertanian mengakibatkan gangguan pertumbuhan sehingga


menurunkan hasil kedelai. Ameliorasi pada tanah salin dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kedelai. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan jenis amelioran yang efektif meningkatkan produktivitas kedelai di tanah
salin. Penelitian dilakukan di Desa Sidomukti, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan,
Jawa Timur.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Faktor I adalah
empat 4 macam genotype kedelai yaitu Wilis, Tanggamus, IAC100/Burangrang//Malabar-10-
KP-21-50 (G1) dan Argopuro//IAC100 (G2). Faktor II yaitu jenis amelioran tanah yaitu tanpa
amelioran, pupuk kandang 5 t/ha, jerami padi 5 t/ha, dan gipsum 5 t/ha. Hasil penelitian
menunjukkan genotipe kedelai toleran salinitas IAC100/Burangrang// Malabar10-KP-21-50 (G1)
dan Argopuro//IAC100 (G2) mampu menghasilkan biji masing-masing 281 dan 368 kg/ha atau
lebih tinggi 112–295% daripada varietas peka salinitas (Wilis dan Tanggamus) pada tanah salin
dengan DHL (Daya Hantar Listrik) >13 dS/m. Penggunaan jerami padi sebanyak 5 t/ha sebagai
mulsa pada tanah salin berpengaruh positif terhadap perbaikan sifat kimia tanah, mampu
meningkatkan kadar K+ tanah, menurunkan kadar Na+, Cl-, Ca2+ dan Mg2+ dan SAR tanah,
serta meningkatkan pertumbuhan kedelai.

Pengelolaan tanah yang terpengaruh garam bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
garam dari tanah, dengan penggelontoran air irigasi berkualitas baik, ameliorasi dengan Ca dan
Mg (kapur, gipsum), serta bahan organik seperti kompos, pupuk kandang dan gambut matang.
Hal ini akan meningkatkan KTK sehingga dapat mengurangi garam yang terlarut dalam tanah
(Roesmarkam dan Yuwono,Jones 2002).

Ameliorasi pada tanah salin, salin-sodik, dan sodik bertujuan untuk menghilangkan Na+ dari
situs pertukaran kation koloid dan pencucian Na+ keluar dari zona akar melalui perkolasi air.
Amelioran dengan bahan kimia menyediakan sumber Ca2+ untuk menggantikan Na+ dari
kompleks pertukaran kation. Bahan amelioran yang biasa digunakan sebagai sumber Ca2+
termasuk kalsium klorida (CaCl2. 2H2O), gipsum(CaSO4.2H2O), dan phosphogypsum. Dari
berbagai bahan tersebut, gipsum adalah amelioran yang umum digunakan karena relatif murah,
banyak tersedia, dan mudah diaplikasikan.

Pada tanah kering dengan pH basa, amelioran dengan residu organik merupakan strategi
ameliorasi tanah salin yang baik.

Produktivitas tanah salin dapat ditingkatkan melalui perbaikan kesuburan dan penggunakan
varietas toleran salinitas. Tanaman kedelai termasuk agak peka salinitas, tetapi tingkat
kepekaannya berbeda di antara genotipe. Ambang batas salinitas untuk kedelai menurut
Chinusamy et al. (2005) adalah 5,0 dS/m. Potensi hasil kedelai 50% dicapai pada tanah dengan
kadar salinitas 7,5 dS/m dan hasil kedelai menurun 20% pada salinitas tanah 4,0 dS/m dan
56% pada 6,7 dS/m

Hasil analisis kimia tanah di lokasi penelitian menunjukkan salinitas tanah cukup tinggi, bahan
organik sangat rendah, N, P, dan K berstatus rendah, sebaliknya Na, Ca, Mg dan Cl tinggi
hingga sangat tinggi
Penggunaan amelioran menyebabkan perubahan sifat kimia tanah seperti kadar K+, Na+,
Ca2+, Mg2+ dan Cl –
tanah. Penggunaan amelioran tidak mempengaruhi pH dan DHL tanah, pH tanah ber kisar
antara 7,62–7,75 dan DHL 13,13–14,15 dS/m. Kadar Na+ menurun dengan pemberian
amelioran, sedangkan kadar K+ meningkat. Kadar Ca2+ terbanyak terdapat pada gipsum,
sedangkan yang paling sedikit pada jerami. Kadar Mg2+ terbanyak juga pada gipsum,
sedangkan yang paling sedikit pada jerami. Penggunaan amelioran kotoran sapi, gipsum, dan
jerami padi berturut-turut menurunkan kadar Cl– 45,7, 47,9 dan 51,2% dibandingkan dengan
tanpa amelioran.

Penggunaan amelioran gipsum, jerami padi, dan kotoran sapi tidak berpengaruh terhadap pH
dan kadar salinitas tanah pada saat panen. Hal ini disebabkan salinitas tanah semakin
meningkat dengan meningkatnya umur tanaman karena rendahnya curah hujan di lokasi
penelitian. Pada awal tanam masih terdapat cukup hujan dengan curah hujan 93 mm/bulan dan
hingga tanaman berumur 60 hari meningkat mencapai 132 mm per bulan (data iklim curah
hujan di Brondong, Lamongan 2013). Lahan yang digunakan merupakan sawah tadah hujan,
sehingga penurunan curah hujan menyebabkan kadar garam tanah semakin meningkat. Seperti
dijelaskan Rachman et al. (2008), pencucian garam yang efektif membutuhkan kedalaman air
tanah >2 m dan dilakukan selama musim hujan dengan curah hujan sedang sampai tinggi.

Keracunan Tanaman, Indeks, dan Kadar Klorofil Daun

Ameliorasi pada tanah salin tidak berpengaruh terhadap skor keracunan tanaman dan indeks
klorofil daun (Tabel 4). Indeks klorofil daun cenderung turun dari 26–29 pada 43 HST menjadi
23–26 pada 63 HST. Genotipe kedelai mempunyai indeks klorofil dan skor keracunan yang
berbeda. Genotipe G1 dan G2 mempunyai indeks klorofil lebih tinggi, sebaliknya skor
keracunan visual lebih rendah dibandingkan dengan Wilis dan Tanggamus, baik pada 43
maupun 63 HST
varietas Wilis dan Tanggamus mengalami keracunan garam dengan kondisi parah, daun
klorosis mulai daun tua, tepi daun mengulung, seperti terbakar dan akhirnya rontok. Genotipe
IAC100/Burangrang//Malabar-10-KP-21-50 dan Argopuro//IAC100 tergolong toleran hingga
salinitas 12,2 dS/m

Rasio K+/ Na+, kadar Cl – Akar, dan Daun

Genotipe G1 pada perlakuan ameliorankotoran sapi mempunyai rasio K+/Na+ pada akar
tertinggi, sedangkan varietas Tanggamus pada perlakuan tanpa amelioran mempunyai rasio
K+/Na+ paling rendah. Rasio K+/Na+pada daun lebih tinggi daripada akar (Gambar 4B).
Genotipe G1 dengan aplikasi amelioran kotoran sapi mampu meningkatkan kadar K+,
sebaliknya terjadi pembatasan akumulasi ion Na+ pada daun sehingga rasio K+/Na+ pada daun
paling tinggi.

Kadar Cl– pada akar dan daun juga dipengaruhi oleh penggunaan amelioran dan genotipe
kedelai Varietas Tanggamus mempunyai kadar Cl – akar paling tinggi pada perlakuan tanpa
amelioran dan kotoran sapi. Sebaliknya genotipe G1 mempunyai kadar Cl – pada akar dan
daun paling sedikit dengan amelioran kotoran sapi

Genotipe G1 dan G2 yang lebih toleran salinitas pada penelitian ini mempunyai klorofil a, ab
dan total lebih banyak, kadar K+ pada akar dan daun lebih tinggi, rasio K+/Na+ lebih tinggi
tetapi kadar Na+ dan Cl– pada akar dan daun lebih sedikit dibandingkan dengan varietas Wilis
dan Tanggamus

Kesimpulan
Genotipe kedelai toleran salinitas G1 (IAC100/Burangrang//Malabar-10-KP-21-50 dan G2
(Argopuro//IAC100) mampu menghasilkan biji masing-masing 281 dan 368 kg/ha atau lebih
tinggi 112–295% daripada genotipe peka salinitas (Wilis dan Tanggamus) pada tanah salin
dengan DHL >13 dS/m.

Penggunaan jerami padi sebanyak 5 t/ha sebagai mulsa pada tanah salin berpengaruh positif
terhadap perbaikan sifat kimia tanah, mampu meningkatkan kadar K+ tanah, menurunkan kadar
Na+, Cl–, Ca2+, dan Mg2+ dan SAR tanah serta meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai.
PENGARUH AMELIORAN TANAH PADA PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI (Glycine
max L.) PADA KONDISI SALINITAS

Salinitas menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman pada tanah salin. Peningkatan
pertumbuhan dapat dilakukan dengan cara menggunakan varietas tahan serta penambahan
amelioran yang dapat memperbaiki kondisi tanah.

Anda mungkin juga menyukai