Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

A. MASALAH UTAMA
Perubahan persepsi sensori : halusinasi

1. Pengertian
 Menurut Cook dan Fontaine (1987) perbuhan persepsi sensori :
halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghidupan.
Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Selain itu,
perubahan persepsi sensori : halusinasi bisa juga diartikan sebagai
persepsi sensori tentang sutu objek, gambaran, dan pikiran yang sering
terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem
pengindraan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, atau
pengecapan ).
 Individu meninterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari
lingkungan ( Depkes RI, 2000 ).
 Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola
stimulus yang mendekat ( yang diprakasai secara internal dan eksternal
) disertai dengan suatu pengurangan berlebih - lebihan atau kelainan
berespon terhadap stimulus ( Towsend, 1998 ).
 Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran,
penglihatan, taktil, atau penciuman yang tidak ada stimulus eksternal (
Antai Otong, 1995 ).
 Gangguan penyerapan/persepsi panca indra tanpa adanya rangsangan
dari luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat
kesadaran idividu tersebut penuh dan baik. Maksudnya rangsangan
tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan
dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespon terhadap

1
rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak
dapat dibuktikan ( wilson, 1983 ).
 Menurut Stuart (2009), halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang
terjadi pada respon neurobiologis yang maladaptif, klien mengalami
distorsi sensori yang nyata dan meresponnya, namun dalam halusinasi
stimulus internal dan eksternal tidak dapat diisentifikasi.
 Menurut NANDA-I (2009-2011) juga menyatakan bahwa halusinasi
merupakan perubahan dalam jumlah dan pola stimulus yang diterima
disertai dengan penurunan berlebihan distorsi atau kerusakan respon
beberapa stimulus.
 Menurut Videbeck (2008) juga menyebutkan bahwa halusinasi adalah
persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi
dalam realitas, halusinasi dapat melibatkan panca indra dan sensai
tubuh.

2. Teori yang menjelaskan halusinasi (Stuart dan sundeen, 1995).

 Teori Biokimia
Terjadi sebagai respons metabolisme tehadap stress yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neurotik (buffafenon dan
dimethytransferase).
 Teori Psikoanalitik
Merupakan respons pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar
yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

3. Jenis Halusinasi serta Data Objektif dan Subjektif


a. Halusinasi Pendengaran
Halusinasi pendengaran merupakan gejala mayoritas yang sering
dijumpai pada klien skizofrenia. Papolos & papolos (2002, dalam
Fontaine, 2009) menyatakan bahwa halusinasi dan delusi mencapai 90%

2
padaindividu dengan skizofrenia dan halusinasi dengar merupakan
masalah utama yang paling sering dijumpai 70%. Diperkuat oleh Stuart
da Laraia (2005) yang menyatakan bahwa klien skizofrenia 70%
mengalami halusinasi dengar. Senada dengan pernyataan diatas Stuart
(2009) yang juga menyatakan bahwa halusinasi yang paling sering
dikaitkan dengan skizofrenia, sekitar 70% klien skizofrenia mengalami
halusinasi dengar.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa persentase halusinasi dengar
merupakan persentase terbesar ang ditemukan pada klien skizofrenia
dibandingkan dengan halusinasi lainnya. Menurut Copel (2007),
halusinasi pendengaran paling sering terjadi pada skizofrenia, ketika
klien mendengar suara-suara, suara tersebut dianggap terpisah dari
pikiran klien sendiri. Isis suara-suara tersebu mengancam dan menghina,
sering kali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan
yang akan melukai klien atau orang lain.
Menurut Stuart (2009), pada klien halusinasi dengar tanda dan gejala
dapat di karakteristik mendengar bunyi atau suara, paling sering dalam
bentuk suara, rentang suara dari suara sederhana atau suara yang jelas,
suara tersebut membicarakan tentang pasien, sampai percakapan yang
komplet antara dua orang atau lebih seperti orang yang berhalusinasi.
Suara yang didengar dapat berupa perintah yang memberitahu pasien
untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang dapat membahayakan atau
mencedera. Cancro dan Lehman (2000, dalam Videbeck,2003)
menyebutkan bahwa paling sering suara yang didengar adalah suara
orang berbicara pada klien atau membicarakan klien. Suara dapat satu
ataupun banyak dan dapat berupa suara yang dikenal maupun suara ang
tidak dikenal. Sedangkan Sauosa (2007) menyebutkan bahwa halusinasi
yang didengar dapat berbentuk suara peremuan (49.87%) dan laki-laki
(50.13%). Dan reaksi klien ketika mendengar suara tersebut, 48.32%
adalah marah dan halusinasi yang didengar berasal dari kedua telinga
(91.47%).

3
Sementara itu hasil penelitian Nayani dan David (1966, dalam
Birchwood, 2009) menunjukkan bahwa isi halusinasi pendengaran 84%
berupa perintah untuk melakukan sesuatu, 77% mengkritik individu,
70% menghina klien. 66% mengancam, 61% membicarakan tentang
orang lain, 53% mendebat klien, 48% menyenangkan klien, 41%
menanyakan sesuatu dan 40% menertawakan klien.
Halusinasi dengar harus menjadi fokus perhatian kita bersama
karena halusinasi dengar apabila tidak ditangani secara baik-baik dapat
menimbulkan resiko terhadap keamanan diri klien sendiri, orang lain
dan juga lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan halusinasi dengar klien
berisikan perintah untuk melukai dirinya sendiri maupun orang lain
(Rogers dkk,1990 dalam Birchwood,2009).
Senada dengan itu, Wong (2008) juga menyebutkan bahwa lebih
dari 75% klien halusinasi dengar mengalami distress yang sangat tinggi
akiba halusinasi yang didengarnya.
Nayani dan David (1966 dalam Birchwood, 2009) juga
menyebutkan bahwa klien halusinasi mengalami distress oleh karena
halusinasi yang didengarnya, karena frekuensi halusinasi muncul
sedikitnya 5 kali dalam sehari dan dengan durasi lebih dari 3 jam perhari.
Birchwood (2009) juga menyebutkan bahwa distress juga dapat
disebabkan karena kekerasan dan suara-suara yang didengar, isi dan
halusinasi dan juga kepercayaan klien terhadap halusinasi. Dan hal
tersebut sering menyebabkan ketakutan/ kecemasan bahkan depresi
pada klien skizofrenia. Dan 40% klien skizofrenia mengalami depresi
akibat halusinasi dengar yang dialaminya.
Penelitian Wong (2008) tentang karakteristik halusinasi dengar pada
klien psikotik didapatkan hasil bahwa frekuensi terjadinya halusinasi
terjadi dalam beberapa kali dalam setiap jam (27%), 18% klien
melaporkan satu kali dalam setiap jam, 41% terjadi setiap hari dan 14%
setiap minggu. Dan durasi halusinasi dengar tersebut terjadi lebih
kurang 10 menit (63%), 27% melaporkan bahwa durasi terjadinya
halusinasi adalah kurang dari 1 jam dan 9% melaporkan bahwa

4
halusinasi terjadi sepanjang hari. Dan berdasarkan keyakinan klien
terhadap halusinasi yang didengarnya didapat hasil bahwa klien percaya
bahwa halusinasi tersebut merupakan suatu hal yang buruk, suatu hal
yang baik, peperangan emosional dan resistensi emosional. Keyakinan
bahwa halusinasi merupakan suatu hal buruk berhubungan dengan
keyakinan klien bahwa halusinasi merupakan suatu hal yang maha kuat.

b. Halusinasi Penglihatan
Isi halusinasi berupa melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada
sama sekali, misalnya cahaya atau orang yang telah meninggal atau
mungkin sesuatu bentuknya menakutkan (Cancro & Lehman, 2000
dalam Videbeck, 2008). Isi halusinasi penglihatan klien adalah klien
melihat cahaya, bentuk geometris, kartun atau campuran antara
gambaran bayangan yang kompleks, dan bayangan tersebut dapat
menyenagkan klien atau juga sebaliknya mengerikan ( Stuart % Laraia,
2005; Stuart,2009).

c. Halusinasi Penciuman
Isi halusinasi dapat berupa klien mencium aroma atau bau tertentu
seperti urine atau feses atau bau yang bersifat lebih umum atau bau
busuk atau bau yang tidak sedap (Cancro & Lehman, 2000 dalam
Videbeck, 2008). Menurut Stuart (2009) pada halusinasi penciuman
klien dapat mencium bau buuku, jorok dan bau tengik seperti bau darah,
urine atau tinja , kadang-kadang bau bisa menyenangkan, halusinasi
penciuman biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang, dan
demensia.

d. Halusinasi pengecapan
Isi halusinasi pengecapan berupa klien mengecap rasa yang tetap ada
dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa seperti sesuatu yang
lin. Rasa tersebut dapat berupa rasa logam atau pahit atau mungkin

5
seperti rasa tertentu. Atau berupa rasa busuk, tak sedap dan anyir seperti
darah, urine atau feces (Stuart & Laraia., 2005; Stuart, 2009).

e. Halusinasi peabaan
Klien merasakan sensai sepertialiran listrik yang menjalar ke seluruh
tubuh atau binatang kecil yang merayap di kulit (Cancro&Lehman, 2000
dalam Videbeck, 2008). Klien juga dapat mengalami nyeri atau tidak
nyaman tanpa adanya stimulus yang nyata, seperti sensasi listrik dari
bumi, benda mati ataupun dari orang lain (Stuart&Laraia, 2005;
Stuart,2009).

f. Halusinasi Chenesthetik
Klien merasa fungsi tubuh seperti darah berdenyut melalui vena dan
arteri, mencerna makanan, atau bentuk urin (Vidbeck, 2008;
Stuart,2009).

g. Halusinasi Kinestetik
Terjadi ketika klien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi
gerakan tubuh, gerakan tubuh yang tidak lazim seperti melayang diatas
tanah. Sensasi gerakan sambil berdiri tak bergerak (Vidbeck,
2008;Stuart,2009).

Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri-ciri yang objektif dan subjektif
pada klien dengan halusinasi.

6
Tabel 4.1 Jenis Halusinasi serta Ciri Objektif dan Subjektif Klien yang
Mengalami Halusinasi
Jenis halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar  Bicara atau  Mendengar
( klien mendengar tertawa sendiri. suara – suara
suara / bunyi yang  Marah – marah atau kegaduhan.
tidak ada tanpa sebab.  Mendengar
hubungannya dengan  Mendekatkan suara yang
stimulus yang nyata / telinga ke arah mengajak
lingkungan ) tertentu. bercakap-cakap.
 Menutup telinga.  Mendengar
suara menyuruh
melakukan
sesuatu yang
berbahaya.
Halusinasi  Menunjuk- Melihat bayangan,
Penglihatan nunjuk ke arah sinar, bentuk geometris,
( klien melihat tertentu. kartun, melihat hantu,
gambaran yang jelas /  Ketakutan pada atau monster.
samar terhadap sesuatu yang
adanya stimulus yang tidak jelas.
nyata dari lingkungan
dan orang lain tidak
melihatnya ).
Halusinasi  Mengendus- Membaui bau-bauan
Penciuman endus seperti seperti bau darah, urine,
( klien mencium suatu sedang membaui feses, dan terkadang
bau yang muncul dari bau-bauan bau-bau tersebut
sumber tertentu tanpa tertentu. menyenangkan bagi
stimulus yang nyata ).  Menutup klien.
hidung.

7
Halusinasi  Sering meludah. Merasakan rasa seperti
pengecapan  Muntah. darah, urine, atau feses.
( klien merasakan
sesuatu yang tidak
nyata, biasanya
merasakan rasa
makanan yang tidak
enak ).
Halusinasi Perabaan Menggaruk-garuk  Mengatakan ada
( klien merasakan permukaan kulit serangga di
sesuatu pada kulitnya permukan kulit.
tanpa ada stimulus  Merasa seperti
yang nyata ). tersengat listrik.
Halusinasi Memegang kakinya Mengatakan badannya
Kinestetik yang dianggapnya melayang di udara.
( klien merasa badan bergerak sendiri.
nya bergerak dalam
suatu ruangan atau
anggota badan nya
bergerak ).
Halusinasi Viseral Memegang badannya Mengatakan perutnya
( perasaan tertentu yang di anggapnya menjadi mengecil
timbul dalam berubah bentuk dan setelah minum soft
tubuhnya ). tidak normal seperti drink.
biasanya.

Sumber: Stuart dan Sundeen (1998)

4. Fase Halusinasi
a. Comforting (Halusinasi menyengkan, cemas ringan)
Klien yang berhalusinasi mengalami emosi yang intense seperti cemas,
kesepian, rasa bersalah, dan takut dan mencoba untuk berfokus pada

8
pikiran yang menyenagkan untuk menghilangkan kecemasan.
Seseorang mengenal bahwa pikiran dan pengalaman sensori berada
dalam kesadaran control jika kecemasan tersebut bisa dikelola.
Perilaku yang dapat di observasi :
1) Tersenyum lebar, menyeringai tetapi tampak tidak tepat.
2) Menggerakkan bibir tanpa membuat suara.
3) Pergerakan mata yang tepat.
4) Respon verbal yang lambat seperti asyik.
5) Diam dan tampak asyik.
b. Comdemning (Halusinasi menjijikan, Cemas sedang)
Klien mulai merasa kehilangan control dan mungkin berusaha
menjauhkan diri, serta merasa maluy dengan adanya pengalaman
sensori tersebut dan menarik diri dari orang lain.
Perilaku yang dapat di observasi :
1) Ditandai dengan peningkatan kerja sistem saraf autonomic yang
mnunjukan kecemasan misalnya terdapat peningkatan nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
2) Rentang perhatian menjdi sempit.
3) Asyik dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan
kemmapuan untuk membedakan halusinasi dengan realitas.
c. Controlling (Pengalaman sensori berkuasa, cemas berat)
Klien yang berhalusinasi menyerah untuk mencoba melawan penglaman
halusinasinya. Isi halusinasi bisa menjadi menarik/ memikat. Seseorang
mungkin mengalami kesepian jika pengalaman snsori berakhir.
Perilaku yang dapat di observasi :
1) Arahan yang diberikan halusinasi tidak hanya dijadikan objek saja
oleh klien tetapi mungkin akan diikuti/ dituruti.
2) Klien mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain.
3) Rentang perhatian hanya dalam beberapa detik atau menit.
4) Tampak tanda kecemasan berat seperti berkeringat, tremor, tidak
mampu mengikuti perintah.
d. Conquering (Melebur dalam pengaruh halusinasi, panik)

9
Pengalaman sensori bisa mengancam jika klien tidak mengikuti perintah
dari halusinasi. Halusinasi mungkin berakhir dalam waktu 4 jam atau
sehari bila tidak ada intervensi terapeutik.
Perilaku yang dapat di observasi :
1) Perilaku klien seperti tampak dihantui teror dan panik.
2) Potensi kuat untuk bunuh diri dan membunuh orang lain.
3) Aktifitas fisik yang digambarkan klien menunjukkan isi dari
halusinasi misalnya klien melakukan kekerasan, agitasi, menarik
diri atau katatonia.
4) Klien tidak dapat berespon pada arahan kompleks.
5) Klien tidak dapat berespon pada lebih dari satu orang.

5. Rentang Respon Neurobiologis

Rentang Respon Neurobiologis

Respon Adaptif R. Maladaptif

1. Pikiran Logis 1. Kadang 1. Gangguan


2. Persepsi proses pikir proses pikir
Akurat terganggu (waham)
3. Emosi 2. Ilusi 2. Halusinasi
konsisten 3. Emosi 3. RPK
dengan 4. Perilaku tidak 4. Perilaku tidak
pengalaman biasa terorganisir
4. Perilaku 5. Menarik diri 5. Isolasi sosial
sesuai

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


Halusinasi sering secara umum ditemukan pada klien skizofrenia. Proses
terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia dapat dijelaskan berdasarkan
Model Adaptasi Stuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009) yaitu faktor

10
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian stressor, sumber koping, dan juga
mekanisme koping.
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2005; Stuart,2009), faktor predisposisi
yang dapat menyebabkan terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia
meliputi faktor biologi, psikologi, dan juga sosialkultural.
a) Faktor Biologi
Menurut Videbeck (2008) :
 Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan
6 yang mempredisposisikan individu mengalami skizofrenia
(Copel, 2007). Sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam
Stuart &Laraia, 2005; Stuart, 2009) menyebutkan bahwa kromosom
yang berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6.
Sedangkan kromosom lain yang juga berpean adalah kromosom
4,8,15,dan 22, Craddock et al (2006 dalam Stuart, 2009). Penelitian
juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggungjawab
memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidakdapat
meningkat secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal,
dimana bagian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan
keputusan Hung et al, (2007 dalam Stuart, 2009).
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian
anak kembar yang menunjukkan anak kembar identik berisiko
mengalami skizofrenia sebesar 50%, sedangkan pada kembar non
identik/ fraternal berisiko 15% mengalami skizofrenia, angka ini
meningkat sampai 35% jika kedua orangtua biologis menderita
skizofrenia (Cancro & Lehman, 2000; Videbeck, 2008;
Stuart,2009). Semua penelitian ini menunjukkan bahwa faktor
genetik hanya sebagian kecil penyebab terjadinya skizofrenia dan
ternyata masih ada faktor lain yang juga berperan sebagai faktor
penyebab terjadinya skizofrenia.

11
 Neuroanatomi
Penelitian menunjukkan kelainan anatomi, fungsional dan
neurokimia di otak klien skizofrenia hidup dan postmortem,
penelitian menunjukkan bahwa kortek prefrontal dan sistem limbik
tidak sepenuhnya berkembang pada di otak klien dengan
skizofrenia. Penurunan volume otak mencerminkan penurunan baik
materi putih dan materi abu-abu pada neuron akson (Kuroki et al,
2006; Higgins, 2007 dalam Stuart, 2009). Hasil pemeriksaan
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI), memperliatkan penurunan volume otak pada individu
dengan skizofrenia, temuan ini memperlihatkan adanya
keterlambatan perkembangan jaringan otak dan atropi. Pemeriksaan
Positron Emission Tomography (PET)menunjukkan penurunan
aliran darah ke otak pada lobus frontal selama tugas perkembangan
kognitif pada individu dengan skizofrenia. Penelitian lain juga
menunjukkan terjadinya penurunan volume otak dan fungsi otak
yang abnormal pada area temporalis dan frontal (Videbeck, 2008).
Perubahan pada kedua lobus tersebut belum diketahui secara pasti
penyebabnya.
Keadaan patologis yang terjadi pada lobus temporalis dan
frontalis berkolerasi dengan terjadinya tanda-tanda positif dan
negatif dari skizofrenia. Copel (2007) menyebutkan bahwa tanda-
tanda positif skizofrenia seperti psikosi disebabkan karena fungsi
otak yang abnormal pada lobus temporalis. Sedangkan tanda-anda
negatif seperti tidak memiliki kemauan untuk motivasi dan
anhedonia disebabkan oleh fungsi otak yang abnormal pada lobus
frontalis.
Hal ini sesuai dengan Sadock dan Sadock (2007 dalam
Towsend, 2009) yang menyatakan bahwa fungsi utama lobus
frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan
konseptual, aspek kepribadian, aspek produksi bahasa. Sehingga
apabila terjadi gangguan pada lobus frontalis, maka akan terjadi

12
perubahan pada aktivitas motorik, gangguan intelektual, perubahan
kepribadian dan juga emosi yang tidak stabil. Sedangkan
fungsiutam adari lobus temporalis adalah pengaturan bahasa,
ingatan dan juga emosi. Sehingga gangguan yang terjadi pada
korteks temporalis dan nukleus-nukleus limbik yang berhubungan
pada lobus temporalis akan menyebabkan timbulnya gejala
halusinasi.

 Neurokimia
Penelitian di bidang neurotransmisi telah memperjelas
hipotetsi disregulasi pada skizofrenia, gangguan terus menerus
dalam satu atau lebih neurotransmiter atau neuromodulator
mekanisme pengaturan homeostatic menyebabkan neurotransmisi
tidak stabil atau tidak menentu. Teori ini menyatakan bahwa area
mesolimbik overaktif terhadap dopamine, sedangkan area
prefrontal mengalami hipoaktif sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara sistem neurotransmiter dopamine dan serotonin serta yang
lain (Stuart, 2009). Pernyataan ini memberi arti bahwa
neurotransmitter mempunyai peranan yang penting menyebabkan
terjadinya skizofrenia.
Beberapa referensi menunjukkan bahwa neurotransmiter
yang bereperan menyebabkan skizofrenia adalah dopamin dan
serotonin. Satu teori yang terkenal memperlihatkan dopamin
sebagai faktor penyebab, ini dibuktikan dengan obat-obatan yang
menyekat reseptor dopamin pascasinaptik mengurangi gejala gejala
psikotik dan pada kenyataan nya semakin efektif obat tersebut
dalam mengurangigejala skizofrenia. Sedangkan serotonin
berfungsi sebagai modulasi dopamine, yang membantu mengontrol
kelebihan dopamine, beberapa peneliti yakin bahwa kelebihan
serotonin itu sendiri bereperan dalam perkembangan skizofrenia, ini
dibuktikan dengan penggunaan obat antipsikotik atipikal seperti
klozapin (clorazil) yang merupakan antagonis dopamine dan

13
serotonin. Penelitian menunjukkan bahwa klozapin dapat
menghasilkan penurunan gejala psikotik secara dramatis dan
mengurangi tanda-tanda negatif skizofrenia (O’Connor, 1998;
Marder, 2000 dalam Videbeck, 2008).
Adanya overload reuptake neurotransmiter dopamin dan
serotonin mengakibatkan kerusakan komunikasi antar sel otak,
sehingga jalur penerima dan pengiriman informasi di otak
terganggu. Keadaan inilah yang mengakibatkan informasi tidak
dapat diproses sehingga terjadi kerusakan dalam persepsi yang
berkembang menjadi halusinasi dan kesalahan dalam membuat
kesimpulan yang berkembang menjadi delusi.

 Imunovirologi
Sebuah penelitian untuk menemukan “virus Skizofrenia”
telah berlangsung (Torrey et al, 2007; alman et al, 2008). Bukti
campuran menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap virus
influenza, terutama selama trimester pertama, mungkin menjadi
salah satu faktor penyebab skizofrenia pada beberapa orang tetapi
tidak pada orang lain (Brown et al, 2004). Teori ini didukung oleh
temuan riset yang memperlihatkan lebih banyak orang dengan
skiofrenia lahir di musim dingin atau awal musim semi dan di
daerah perkotaan (Van Os et al, 2004). Temuan ini menunjukkan
musim potensial dan tempat lahir dampak terhadap resiko untuk
skizofrenia. Infeksi virus lebih sering terjadi pada tempat-tempat
keramaian dan musim dingin dan awal musing semi dan dapat
terjadi in utero atau pada anak usia dini pada beberapa orang yang
rentan (Gallagher et al, 2007; Velling et al, 2008 dalam Stuart,
2009)

b) Faktor Psikologis
Awal terjadinya skizofrenia difokuskan pada hubungan dalam
keluarga yang mempengaruhi perkembangan gangguan ini, teori awal

14
menunjukkan kurangnya hubungan antara orangtua dan anak, serta
disfungsi sistem keluarga sebagai penyebab skizofrenia. Dalam
penelitian lain, beberapa anak dengan skizofrenia menunjukkan
kelainan halus yang meliputi perhatian, koordinasi, kemampuan sosaial,
fungsi neuromotordan respon emosional jauh sebelum mereka
menunjukkan gejala yang jelas dari skizofrenia (Schiffman et al, 2004
dalam Stuart, 2009). Hal di atas dukung oleh Sinaga., (2007) yang
menyebutkan bahwa lingkungan emosional yang tidak stabil
mempunyai resiko yang besar terhadap perkembangan skizofrenia, pada
masa kanak disfungsi situasi sosial seperti trauma masa kecil, kekerasan,
hostilitas dan huungan interpersonal yang kurang hangat diterima oleh
anak sangat mempengaruhi perkembangan neurologikal anak sehingga
lebih rentan mengalami skizofrenia dikemudian hari.
Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005) faktor psikologis yang dapat
mempengaruhi adalah tingkat intelegensi, kemampuan verbal, moral,
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi. Selain itu
faktor penyebab terjadinya skizofrenia berdasarkan teori interpersonal
berpendapat bahwa s skizofrenia muncul akibat hubungan disfungsional
pada masa kehidupan awal dan masa remaja, skizofrenia terjadi akibat
ibu yang cemas atau ayah yang jauh dan suka mengonbtrol (Torrey,
1995 dalam Videbeck, 2008). Halini memberiarti bahwa anak akan
belajar pada orangtua nya yang mengalami skizofrenia dan akan
mempraktekkan apa yang dilihatnya setelah ia besar dalam setiap ia
mengalami masalah.

c) Faktor Sosial Budaya


Dapat menyebab kan skizofrenia alah adanya dounle bind didalam
keluarga dan konflik dalam keluarga. Torrey (1995,dalam
Videbeck,2008) juga menyebutkan bahwa salah satu faktor sosial yang
dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah adanya disfungsi
dalam pengasuhan anak maupun dinamika keluarga. Konflik tersebut

15
apabila tidak diatasi dengan baik maka akan menyebabkan resiko
terjadinya skizofrenia.
Berdasarkan Towsend (2005), faktor sosial kultural meliputi
disfungsi dalam keluarga, konflik keluarga. Komunikasi double bind
serta ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan.
Hal ini didukung oleh Seaward (1997, dalam Videbeck, 2008)
menyebutkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh faktor interpersonal
yang meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang
berlebihan atau menarik diri dalam hubungan, dan kehilangan kontrol
emosional. Pernyataan ini menunjukkan bahwa faktor sosial budaya
seperti pengalaman sosial dapat menjadi faktor penyebab terjadinya
skizofrenia.
Selain itu Seaward (1997, dlam Videbeck, 2008) juga menyebutkan
bahwa faktor budaya dan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya
skizofrenia adalah karena tidak adanya penghasilan, adanya kekerasan,
tidak memiliki tempat tinggal (tunawisma), kemiskinan dan
diskriminasi ras, golongan, usia maupun jenis kelamin. Dan diperkuat
olh Sinaga,(2007) menyatakan bahwa stressor sosial juga
mempengaruhi perkembangan skizofrenia, diskriminasi pada komunitas
minoritas mempunyai angka kejadian skizofreni yang tigi, skizofrenia
lebih banyak didapatkan pada mayarakat dilingkungan perkotaan
disbanting masyarakat pdesaan, individu engan skizofreniaakan
bergeser ke kelompok social ekonomi rendah, bergantung dengan
lingkungan sekitar, kehilangan pekerjaan dan berkurang penghasilan.
Stuart dan Laraia (2005) menyebutkan bahwa faktor sosiokultural yang
dapat mempengaruhi yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan,
pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, nilai dan engalaman
sosial individu. Hal diatas memberikan gambaran pada kita semua
bahwa faktor sosial budaya seperti kemiskinan, pendidikan, maupun
pekerjaan juga dapat mempengaruhi kualitas kesehatan jiwa individu.
Dan oleh sebab itu perlu ditingkatkan kemampuan individu dalam

16
beradaptasi menghadapi situasi tersebut agar individu tidak jatuh pada
skizofrenia.
Pernyataan diatas didukung oleh penelitian Tamer dkk (2002) yang
menunjukkan bahwa karakteristik responden skizofrenia yang
mengalami halusinasi adalah 216 orang berjenis kelamin laki-laki (70%)
dan berusia rata-rata 27 tahun. Hal berbeda dinyatakan oleh Sinaga,
(2007) yang menyatakan bahwa revalensi skizofrenia sama antara laki-
laki dan perempuan, tetapi berbeda dalam onset dan perjalanan penyakit.
Laki-laki mempunyai onset skizofrenia lebih awal dibandingkan wanita.
Penelitian Tamer dkk (1998) juga menunjukkan bahwa 76
responden skizofrenia tidak mempunyai pekerjaan (90%). Pekerjaan
sagat erat kaitannya dengan penghasilan dan status ekonomi individu.
Hal ini didukung oleh Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa stres yang
dialami oleh anggota kelompok sosial ekonomi rendah berperan dalam
perkembangan skizofrenia.
Masalah keluarga dan pendidikan dapat menjadi pencetus terjadinya
skizofrenia. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Tarrier dkk (1998) yang
menemukan bahwa skizofrenia ditemukan pada 24 responden (33.33%)
yang hidup sendiri dan 78 responden tidak mempunyai pendidikan
ataupun keahlian (91%). Hal ini menunjukkan bahwa memang
kehidupan perkawinan dapat menjadi pencetus terjadinya skizofrenia
jika terjadi akumulasi masalah yang tidak dapat diselesaikan (Hawari,
2001 dalam Carolina, 2008). Begitu juga pendidikan, pendidikan dapat
menjadi sumber koping individu yang dapat membantu individu dalam
mengatasi stress (Stuart & Laraia, 2005).
Menurut Sinaga (2007), prevalensi terjadinya skizofrenia pada laki-
laki pada usia 15 sampai 25 tahun, sedangkan pada wanita terjadi pada
usia 25 sampai 35 tahun, sedangkan onset terjadinya skizofrenia
sebelum umur 10 tahun atau sesudah 50 tahun sangat jarang. Carolina
(2008) menyebutkan baha usia berhubungan dengan variasi
stressordalam hidup, sumber dukungan dan sumber koping dalam
mengatasi masalah.

17
2. Faktor Presipitasi
Pada kondisi normal, otak mempunyai peranan penting dalam
meregulasi sejumlah informasi. Informasi normal diproses melalui aktifitas
neuron. Stimulus visual dan auditory dideteksi dan disaring oleh thalamus
dan dikirim untuk di proses di lobus frontal. Sedangkan pada klien
skizofrenia terjadi mekanisme yang abnormal dalam memproses informasi
(Perry, Gerry & Braff, 1999 dalam Stuart & Laraia, 2005). Gejala pencetus
yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah faktor kesehatan, lingkungan,
sikap dan perlaku individu (Stuart & Laraia 2005; Stuart, 2009).
Faktor pencetus halusinasi diakibatkan gangguan umpan balik di
otak ang mengatur jumlah dan waktu dalam proses informasi. Stimuli
penglihatan dan pendengaran pada awalnya disaring oleh hipotalamus dan
dikirim untuk di proses di lobus frontal dan bila informasi yang disampaikan
terlalu banyak pasda suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus
frontal mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan diingatkan lagi
hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal. Penurunan
fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada proses umpan balik
dalam penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload
(Stuartt &Laraia, 2005; Stuart, 2009). Stressor presipitasi yang lain adanya
abnormal pada pintu mekanisme pada klien skizofrenia, pintu mekanisme
adalah proses elektrik yang melibatkan elektrolit, hal ini memicu
penghambatan saraf dan merangsang aksi dan umpan balik yang terjadi pada
sistem saraf. Penurunan pintu mekanisme/ gating proses ini ditunjukkan
dengan ketidakmampuan individu dalam memilih stimuli secara selektif
(Hong et al., 2007 dalam Stuart, 2009).

3. Penilaian Terhadap Stressor


Penilaian terhadap stressor merupakan penilaian individu ketika
menghadapi stressor yang datang. Menurut Sinaga (2007), faktor iologis ,
psikososial dan lingkungan saing berintegrasi satu sama lain saat individu
mengalami stres sedangkan individu sendiri memiliki kerentanan (diatesis),

18
yang jika diaktifkan oleh pengaruh stress maka akan menimbulkan gejala
skizofrenia. Model diatesis stress diatas sama seperti Model Adaptasi Stuart
dan Laraia (2005). Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005) penilaian seseorang
terhadap stressor terdiri dari respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial. Hal ini memberikan arti bahwa apabila individu mengalami suatu
stressor maka ia akan merespon stressor tersebut dan akan tampak melalui
tanda dan gejala yang muncul.

4. Sumber Koping
Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005), sumber koping merupakan
hal yang penting dalam membantu klien dalam mengatasi stressor yang
dihadapinya. Sumber koping tersebut meliputi aset ekonomi, sosial support,
nilai dan kemampuan individu mengatasi masalah. Apabila individu
mempunyai sumber koping yang adekuat maka ia akan mampu beradaptasi
dan mengatasi stressor yang ada.
Keluarga merupakan salah satu sumber koping yang dibutuhkan
individu ketika mengalami stress. Hal terseut sesuai dengan Videbeck (2008)
yang menyatakan bahwa keluarga memang merupakan salah satu sumber
pendukung yang utama dalam penyembuhan klien skizofrenia. Psikosis atau
skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang
memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga. Proses penyesuaian
psikotik terdiri dari empat fase : (1) disonansi kognitif (psikosis aktif), (2)
pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan
kognitif), dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan.
Proses multifase penyesuaian dapat berlangsung 3 sampai 6 tahun (Moller,
2006 dalam Stuart,2009) :
a) Efikasi/ Kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi
gejala dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama
memakan waktu 6 sampai 12 bulan.
b) Awal penegenalan diri/ insight sebagai proses mandiri melakukan
pemeriksaan realitas yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan

19
ini memakan waktu 6 sampai 18 bulan dan tergantung pada keberhasilan
pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan.
c) Setelah mencapai pengenalan diri/ insight, proses pencapaian kognitif
meliputi keteguhan melanjutkan hubungan interpersoanl normal dan
reengaging dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan
dengansekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d) Ordinariness/ kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-
hari mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal
2 tahun. Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap
penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi, dan kemampuan
untuk menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi
jalannya penyesuaian pospsychotic.

5. Mekanisme Koping
Pada klien skizofrenia, klien berusaha untuk melindungi dirinya dan
pengalaman yang disebabkan oleh penyakitnya. Klien akan melakukan
regresi untuk mengatasi kecemasan yang dialaminya, melakukan proyeksi
sebagai usaha untuk menjelaskan persepsinya dan manarik diri yang
berhubungan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan
terhadap pengalaman internal (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).

C. POHON MASALAH

Effect Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Core Problem Perubahan Persepsi


coreSensori : Halusinasi

Causa Isolasi Sosial

20
Harga Diri Rendah Kronis

Gambar 4.1. Pohon Masalah Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

D. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Risiko tinggi perilaku kekerasan.
2. Perubahan persepsi sensori : halusinasi.
3. Isolasi sosial.
4. Harga diri rendah kronis

E. DATA YANG PERLU DI KAJI


Masalah Data yang Perlu Dikaji
Keperawatan
Perubahan persepsi Subjektif :
sensori : halusinasi  Klien mengatakan mendengar sesuatu.
 Klien mengatakan melihat bayangan
putih.
 Klien mengatakan dirinya seperti di sengat
listrik.
 Klien mencium bau-bauan yang tidak
sedap, seperti feses.
 Klien mengatakan kepalanya melayang di
udara.
 Klien mengatakan dirinya merasakan ada
sesuatu yang berbeda pada dirinya.

Objektif :
 Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri
saat dikaji.
 Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.

21
 Berhenti bicara di tengah-tengah kalimat
untuk mendengarkan sesuatu.
 Disorientasi.
 Konsentrasi rendah.
 Pikiran cepat berubah-ubah.
 Kekacauan alur pikiran.

F. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Perubahan persepsi sensori : halusinasi

G. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No. DX. Rencana Rasional


Keperawatan Tindakan Keperawatan
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi

1. Halusinasi TUM : klien


dapat
mengontrol
halusinasi

TUK :1
Klien dapat 1.1.Setelah 2X 1.bina Hubungan
membantu interaksi dengan hubungan saling saling
hubungan saling klien, klien percaya dengan percaya
percaya menunjukkan tanda prinsip merupakan
percaya kepada komunikasi langkah awal
perawat : teraupetik : untuk
-ekpresi bersahabat -sapa klien melakukan
-ada kontak mata dengan ramah , interaksi
-menunjukkan rasa baik verbal
senang maupun non
-mau berjabat verbal
tangan - perkenalkan
-mau duduk nama lengkap,
berdampingan nama panggilan
dengan perawat dan tujuan
-mengungkapkan berkenalan
masalah yang - tanyakan nama
dihadapi yang disukai
klien

22
-buat kontrak
yang jelas
-tunjukkan
sikap jujur dan
menepati janji
-beri perhatian
kepada klien
dan perhatian
kebutuhan dasar
klien
-tanyakan
perasaan klien
dan masalah
yang dihadapi
klien

TUK 2 : 2.1.setelah 2X
klien dapat interaksi klien
mengenal menyebutkan
halusinasinya -isi 1. adakan Mengetahui
-waktu kontrak apakah
-frekuensi langsung dan halusinasi
-situasi dan kondisi singkat secara datang dan
yang menimbulkan bertahap menentukan
halusinasi 2. observasi tindakan
tingkah laku yang tepat
klien terkait atas
dengan halusinasinya
halusinasinya.
-tanyakan
apakah klien
mengalami
halusinasi
-jika klien
menjawabnya,
tanyakan apa
TUK : 3 yang
klien dapat 1.setelah ... kali dialaminya
mengontrol interaksi klien -katakan bahwa
halusinasi menyebutkan perawat percaya
tindakan yang
biasanya dilakukan
untuk
mengendalikan
halusinasinya 1.identifikasi Klien dapat
bersama klien melakukan

23
2. setelah... kali cara atau tindakan
interaksi klien tindakan yang yang tepat
menyebutkan cara dilakukan jika saat
baru mengontrol terjadi halusinasinya
halusinasi halusinasi muncul
3. setelah .. kali 2. diskusikan
interaksi klien cara yang
dapat memilih dan digunakan klien
memperagakan -jika cara yang
cara megatasi digunakan
halusinasi adaptif, beri
4. setelah.. klia pujian
interaksi, klen -jika cara yang
melaksanakan cara digunkan
yang telah dipilih maladaptif
untuk diskusikan
mengendalikan kerugian cara
halusinasi dengar tersebut
5. setelah 2X 3. diskusikan
interaksi, klien cara baru untuk
mengikuti terapi mengontrol
aktivitas kelompok halusinasi
-katakan pada
diri sendiri ini
tidak nyata
(saya tidak mau
mendengar)
-menemui orang
tua /perawat
untuk
menceritakan
tentang
halusinasinya
-membuat dan
melaksanakan
jadwal kegiatan
sehari-hari yang
telah disususn

24
TUK : 4 1.setelah 2X 1.diskusikan
klien dapat interaksi klien denagn klien
memanfaatkan dapat tentang manfaat
obat dengan menyebutkan : dan kerugian
baik -manfaat dari tidak minum
minum obat obat, nama,
-kerugian tidak warna, dosis,
minum obat dan efek terapi
-nama, warna, dan efek
dosis, efek terapi samping
dan efek samping penggunaan
obat obat
2. setelah ... kali 2. pantau klien
interaksi klien saat
mendemonstrasikan penggunaan
penggunaan obat obat
dengan benar 3. beri pujian
3. setelah.. kali bila klien
interaksi menggunakan
klienmenyebutkan obat dengan
akibat berhenti benar
minum obat 4. diskusikan
akibat berhenti
minum obat
tanpa konsultasi
denagn dokter

25
5. anjurkan
klien untuk
konsultasi
kepada
dokter/perawat
jika terjadi hal-
hal yang tidak
diinginkan.

H. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


(INDIVIDU,KELUARGA, DAN KELOMPOK)
1. Individu
Sp 1. Identifikasi dan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik
Sp 2. Evaluasi jadwal kegiatan dan cara mengontol halusinasi dengan
minum obat
Sp 3. Evaluasi jadwal kegiatan dan cara mengontrol halusinasi dengan
bercakap- cakap
Sp 4. Evaluasi jadwal kegiatan dan cara mengontrol halusinasi dengan
melakukan aktivitas sehari-hari
2. Keluarga
Sp 1. Mengenal masalah dalam merawat pasien halusinasi dan melatih
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
Sp 2. Melatih keluarga merawat pasien halusinasi dengan enam benar
minum obat
Sp 3. Melatih keluarga merawat pasien halusinasi dengan bercakap-cakap
Sp 4. Melatih keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up
pasien halusinasi
3. Terapi Aktivtas Kelompok
Sesi 1. Klien mengenal halusinasi
Sesi 2. Mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
Sesi 3. Mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang
lain
Sesi 4. Mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas terjadwal
Sesi 5. Mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat`

26
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. (2004). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Maramis, W.F, 1990. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Erlangga Universitas
Press
Stuart G.W, 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC

27

Anda mungkin juga menyukai