Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Tuberkulosis (tb) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer (Setiawati et al, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) dan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tuberkulosis anak adalah
tuberkulosis pada anak dibawah 15 tahun. Berbeda dengan dewasa, manifestasi klinis
penyakit tuberkulosis pada anak berhubungan dengan tuberkulosis primer. Setiap
tahun prevalensi tuberkulosis terus meningkat. Penderita tuberkulosis dapat
disembuhkan bila ditangani sejak dini dan dengan seksama. Diagnosis tuberkulosis
pada anak menjadi tantangan karena anak kurang menunjukkan gejala dan tanda
penyakit yang spesifik, mempunyai kultur mikobakteri positif yang rendah, memiliki
peningkatan risiko untuk berkembangnya penyakit bila terinfeksi, dan risiko menjadi
penyakit diseminasi meningkat (Feja & Saiman, 2005).
Ada beberapa bentuk klinis tuberkulosis pada anak yaitu infeksi tuberkulosis
dan penyakit tuberkulosis. Infeksi tuberkulosis ditegakkan berdasarkan uji tuberkulin
positif tanpa kelainan klinis, radiologis, dan laboratorium. Penyakit tuberkulosis
dibagi menjadi tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru
meliputi tuberkulosis paru primer (pembesaran kelenjar hilus dengan atau tanpa
kelainan parenkim), tuberkulosis paru progresif (pneumonia, tuberkulosis
endobronkial), tuberkulosis paru kronik (kavitas, fibrosis, tuberkuloma), tuberkulosis
milier dan efusi pleura tuberkulosis. Sedangkan tuberkulosis ekstra paru termasuk
kelenjar limfe, otak dan selaput otak, tulang dan sendi, saluran cerna (hati, kandung
empedu, pankreas), saluran kemih, kulit, mata, telinga dan mastoid, membran serous
(peritoneum, perikardium), kelenjar endokrin (adrenal), dan saluran nafas bagian atas
2

(tonsil, laring, kelenjar endokrin). Diagnosis pasti tuberkulosis ditegakkan dengan


ditemukannya Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau bilasan
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura atau pada biopsi jaringan. Karena
menegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak sulit, data tuberkulosis anak termasuk
di Indonesia sangat terbatas (Rahajoe et al, 2008).
Infeksi Mycobacterium tuberculosis memiliki kekhasan tersendiri, karena
bakteri tersebut hidup intraselular. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang
mempersulit upaya pengobatan. Reaksi terhadap infeksi tuberkulosis terdiri dari
reaksi non spesifik (primer) yang dimulai sejak adanya infeksi sampai terjadi
fagositosis bakteri oleh makrofag dan reaksi spesifik (sekunder) yang dimulai dengan
adanya aktifasi sel limfosit T sampai pelepasan sitokin dan pembentukan granuloma.
Sel T helper-1 (Th1) sangat berperan pada sistem pertahanan tubuh terutama dalam
menghadapi infeksi bakteri intraseluler. Salah satu sitokin yang diproduksi sel Th1
adalah interferon gamma (IFN-γ) yang berperan penting dalam mengeliminasi bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Interferon gamma bertugas untuk memperkuat potensi
fagosit dari makrofag yang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yaitu
dengan cara menstimulasi pembentukan fagolisosom. Interferon gamma juga
menstimulasi pembentukan radikal bebas untuk menghancurkan komponen bakteri
Mycobacterium tuberculosis yaitu DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) dan dinding sel
bakteri. Infeksi Mycobacterium tuberculosis merangsang imunitas seluler terutama
limfosit T untuk menghasilkan interferon gamma yang akan mengaktivasi makrofag
untuk menghancurkan Mycobacterium tuberculosis sehingga bila terjadi defisiensi
atau kadar interferon gamma yang diproduksi oleh sel limfosit T rendah akan terjadi
penyakit tuberkulosis. Terjadinya gangguan atau penurunan aktivitas sel Th1 dan
sitokinnya yaitu IFN-γ cukup bermakna dalam mempengaruhi mekanisme pertahanan
tubuh terhadap penyakit tuberkulosis. Manifestasi klinis penyakit tuberkulosis terjadi
karena adanya defisiensi imun terutama imunitas seluler (Palomino, 2007).
3

Diagnosis tuberkulosis anak sukar ditegakkan dimana metode konvensional


seperti apusan BTA (Basil Tahan Asam) sputum, kultur BTA sputum sulit dikerjakan
pada anak dan tes tuberkulin masih kurang sensitif. Sedangkan diagnosis yang cepat
dan terapi yang tepat dan efektif adalah hal yang sangat penting dalam mengontrol
penyakit ini, dan merupakan hal yang utama dalam mengurangi angka kesakitan dan
kematian. Karena itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang cepat, sensitif dan
spesifik di dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis anak. Beberapa tes lain yang
dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya tuberkulosis anak adalah secara radiologis
dan secara serologis.
Pemeriksaan radiologis memiliki tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang
cukup baik. Pemeriksaan ini baik untuk dilakukan karena dapat digunakan untuk
mendeteksi tuberkulosis primer maupun post-primer. Selain itu, pemeriksaan ini juga
cukup terjangkau. Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria
American Thoracic Society (ATS), tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi 3
kelompok yaitu lesi minimal, lesi sedang, dan lesi luas (Rook et al, 2001).
Penggunaan cara serologis prinsipnya untuk mendeteksi adanya antibodi yang
terdapat dalam tubuh pasien. Pemeriksaan kadar IFN-γ merupakan pemeriksaan yang
cepat dimana kita bisa mendapatkan hasilnya dalam waktu 1 hari, juga sensitif dan
spesifik seperti yang telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya di
berbagai negara. Di Indonesia penelitian mengenai perbandingan kadar interferon
gamma pada penderita tuberkulosis anak belum pernah dilakukan, karena itu penulis
tertarik ingin mengadakan penelitian tentang bagaimana perbandingan kadar
interferon gamma pada penderita tuberkulosis anak dilihat dari derajat lesi paru.

B. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang telah disebutkan, pada
penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut, yaitu :
4

Apakah ada perbedaan kadar interferon gamma dilihat dari derajat lesi paru
pada penderita tuberkulosis anak ?

C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengkaji perbedaan kadar interferon gamma dilihat dari derajat lesi paru pada
penderita tuberkulosis anak.

D. Manfaat Penelitian
1. Bidang ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi bidang infeksi
penyakit tropis tentang patofisologi dan imunologi penyakit tuberkulosis terkait
profil sitokin Th1 (IFN-γ) serta interaksinya pada infeksi tuberkulosis anak.
2. Bidang pengabdian masyarakat
Bila diketahui ternyata perbedaan kadar interferon gamma pada penderita
tuberkulosis anak bermakna, maka diharapkan pemeriksaan IFN-γ dapat dipakai
sebagai alat bantu mendiagnosis tuberkulosis secara cepat dan menjadi masukan
dalam menentukan terapi tuberkulosis pada anak.
3. Bidang penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan data dan pustaka bagi
penelitian yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang hubungan kadar interferon gamma dengan derajat
keparahan penyakit tuberkulosis pada anak belum banyak dilakukan, diantaranya
(tabel 1) :
5

1. Sant’Anna et al (2001)
Empat puluh delapan anak umur 0-13 tahun diperiksa tes serologi enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dengan tujuan untuk mendeteksi antibodi anti
Purified Protein Derivate (PPD) imunoglobulin G (IgG) untuk diagnosis
tuberkulosis paru dan menetapkan hubungan antara respon imun dan derajat
tuberkulosis paru berdasarkan radiologis (ringan, sedang dan berat). Terdapat 29
anak dengan tuberkulosis paru dan 19 anak tanpa tuberkulosis. Angka median
densitas optikal ELISA 0.098 pada anak dengan primer kompleks (ringan); 0.092
pada anak dengan gambaran pneumonia (sedang) dan 0.134 pada anak dengan
tuberkulosis milier (berat). Data ini menunjukkan hasil tes serologi positif lebih
tinggi pada tuberkulosis paru derajat berat (p = 0.0007).
2. Jamil et al (2007)
Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara sitokin yang dihasilkan yaitu
interferon gama (IFN-γ), Tumor Necroting Factor alfa (TNF-α), interleukin 10
(IL10) dan interleukin 6 (IL6) dengan lokalisasi atau diseminasi tuberkulosis.
Terdapat laporan keterlibatan ekstra-paru tuberkulosis dengan derajat klinis yang
berbeda. Sitokin (IFN-γ, TNF-α, IL10 dan IL6) disekresi sebagai respon terhadap
stimulasi panel yaitu phytohemaglutinin (PHA), lipopolisakarida (LPS) atau
antigen mikobakterial pada pemeriksaan darah 82 pasien tuberkulosis. Kriteria
WHO diterapkan untuk stratifikasi pasien sesuai derajat penyakit : diseminasi
atau penyakit berat (TB ekstra paru1; N=29); penyakit terlokalisasi pada
parenkim paru (TB paru; N=32) dan penyakit terlokalisasi pada perifer tanpa
keterlibatan paru (TB ekstra paru2; N=21). Antigen mikobakterial yang diinduksi
rasio IFN-γ/IL10 menunjukkan hubungan langsung dengan derajat penyakit (rasio
median : TB ekstra paru1=0.21; TB paru=0.85; TB ekstra paru2=7.7) dan korelasi
paling tinggi (Spearman Rank; rho=0.673, p<0.000001). Rasio IFN-γ/IL10 juga
menunjukkan derajat klinis sesuai letak anatomi, sebagai marker objektif derajat
penyakit yang berguna pada tuberkulosis paru dan ekstra-paru.
6

Tabel 1. Penelitian tentang hubungan kadar interferon gama dengan derajat


keparahan penyakit tuberkulosis
No Peneliti Tahun Disain Jumlah subyek Hasil penelitian
penelitian penelitian
1. Sant’Ann 2001 48 anak usia 0- 48 anak umur 0-13 tahun
a et al 13 tahun diperiksa tes serologi
ELISA dengan tujuan untuk
mendeteksi antibodi anti
PPD IgG untuk diagnosis
tuberkulosis paru dan
menetapkan hubungan
antara respon imun dan
derajat tuberkulosis paru
berdasarkan radiologis
(ringan, sedang dan berat).
Terdapat 29 anak dengan
tuberkulosis paru, 19 anak
tanpa tuberkulosis. Angka
median densitas optikal
ELISA 0.098 pada anak
dengan primer kompleks
(ringan); 0.092 pada anak
dengan gambaran
pneumonia (sedang) dan
0.134 pada anak dengan
tuberkulosis milier (berat).
Data ini menunjukkan hasil
tes serologi positif lebih
tinggi pada tuberkulosis
paru derajat berat (p =
0.0007).
2. Jamil et 2007 82 pasien Antigen mikobakterial yang
al tuberkulosis diinduksi rasio IFN-γ/IL10
menunjukkan hubungan
langsung dengan derajat
penyakit (rasio
median:EPTB1=0.21;
PTB=0.85; EPTB2=7.7) dan
korelasi paling tinggi
(Spearman Rank;
7

rho=0.673, p<0.000001).
Rasio IFN-γ/IL10 juga
menunjukkan derajat klinis
sesuai letak anatomi,
sebagai marker objektif
derajat penyakit yang
berguna pada tuberkulosis
paru dan ekstra-paru.

Penelitian tentang perbedaan kadar interferon gamma pada penderita


tuberkulosis anak di Indonesia khususnya di Yogyakarta belum pernah dilakukan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu antara lain 1) Metode
penelitian yang digunakan yaitu cross-sectional, 2) Tempat dan waktu penelitian
(Indonesia), 3) Kriteria diagnosis tuberkulosis yang digunakan adalah sistim skoring
tuberkulosis IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) yaitu skor ≥6. Dan pada penelitian
ini tidak akan berisi materi penelitian yang pernah dipublikasikan oleh orang lain,
kecuali yang digunakan sebagai referensi yang dinyatakan sumbernya.

Anda mungkin juga menyukai