Anda di halaman 1dari 55

Grand Case

PERITONITIS DIFUS EC PERFORASI ULKUS GASTER

Oleh:
Rahmi Zalia Putri 1740312272

Preseptor
dr. M. Iqbal Rivai, Sp.B (K)BD

ILMU BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL PADANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum yang dapat terjadi karena kontaminasi

mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan kimiawi, atau keduanya. Peritonitis

merupakan salah satu penyebab akut abdomen tersering. Infeksi peritonitis dibagi menjadi

primer, sekunder, dan tersier. Dalam sebuah studi, penyebab paling sering peritonitis

sekunder, diantaranya perforasi ulkus peptikum (64%), diikuti oleh perforasi usus kecil

(24%), dan perforasi appendicitis (12%). Insiden tertinggi peritonitis sekunder didapatkan

pada diamati pada kelompok usia 21 sampai 30 tahun (32%), diikuti oleh 31 sampai 40 tahun

(26%). Insiden puncak di kalangan kelompok usia ini di negara berkembang sering

disebabkan oleh ulkus peptikum. Pria yang paling sering terkena, dengan rasio laki-laki

terhadap perempuan 9:1, yang sedikit lebih tinggi daripada apa yang telah dilaporkan dalam

literatur sebelumnya, 3:01 atau 4:01 atau 5:01 laki-laki terhadap perempuan. 1,2

Komplikasi perforasi pada ulkus peptikum terjadi sama dengan komplikasi perdarahan

saluran cerna. Lokasi perforasi paling banyak terjadi pada sisi anterior (60%), dapat pula

terjadi pada bagian anthrum (20%) dan pada bagian kurvatora minor (20%). 5,6

Di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, kasus perforasi gaster tahun 2005 26

orang, tahun 2006 sejumlah 38 orang dan tahun 2007 meningkat menjadi 57 orang. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang juga dilakukan di Rumah Sakit Immanuel Bandung dimana

kasusnya pada tahun 2006 tidak lebih dari 10 orang, tetapi dalam 6 bulan terakhir

mencapai 46 orang. Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Solo ( RSDM ) selama

kurun waktu 1 tahun, mulai Januari – Desember 2007, didapatkan penderita peritonitis

karena perforasi gaster sebanyak 27 kasus, yang dirawat di RSDM.7

Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, pada periode 01 Januari 2013–31 Desember 2013

terdapat 144 kasus peritonitis yang dirawat inap dengan jenis peritonitis terbanyak adalah
peritonitis sekunder umum akibat perforasi apendiks yaitu 53 orang diikuti oleh perforasi

gaster sebanyak 13 orang. 4

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah menambah pengetahuan dan pemahaman

mengenai peritonitis

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah laporan kasus ini adalah anatomi peritoneum, definisi peritonitis,

etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diangnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, dan

prognosis

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan laporan kasus ini adalah laporan kasus dan teori kepustakaan yang

merujuk ke berbagai literatur.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Peritonitis

Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga

abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya) yang menjadi salah satu penyebab

tersering dari akut abdomen. 1

Sebuah Penelitan cohort yang dilakukan di Sagorre Dutta Hospital India dari Juni

2008- Juli 2011 terhadap 545 pasien dengan peritonitis. Pada penelitian tersebut didapatkan

peritonitis lebih penyebab peritonitis terbanyak adalah perforasi gastroduodenal (264 kasus),

perforasi apendiks sebanyak 101 kasus, trauma abdomen (74 kasus). Di Republik Demokrasi

Kongo, antara 1 Oktober dan 10 Desember 2004, telah terjadi 615 kasus peritonitis berat

(dengan atau tanpa perforasi), termasuk 134 kematian (tingkat fatalitas kasus, 21,8%), yang

merupakan komplikasi dari demam tifoid.1,2

Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, pada periode 01 Januari 2013–31 Desember 2013

terdapat 144 kasus peritonitis yang dirawat inap dengan jenis peritonitis terbanyak adalah

peritonitis sekunder umum akibat perforasi apendiks yaitu 53 orang diikuti oleh perforasi

gaster sebanyak 13 orang. 3

Penyakit ulkus peptikum terdiri dari ulkus gaster dan duodenum, merupakan

penyakit yang banyak dijumpai pada populasi dengan angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi pada dua dekade terakhir. Dalam satu dekade terakhir dilaporkan adanya

peningkatan insiden perforasi ulkus peptikum yang disebabkan oleh meningkatnya

penggunaan obat golongan non steroid anti inflammatory drugs (NSAIDs) dan jamu

yang mengandung steroid. Obat golongan ini menyebabkan kerusakan barier mukosa

gaster serta duodenum sampai akhirnya menimbulkan komplikasi perforasi. Komplikasi

perforasi pada ulkus peptikum terjadi sama dengan komplikasi perdarahan saluran

cerna. Lokasi perforasi paling banyak terjadi pada sisi anterior (60%), dapat pula terjadi

pada bagian anthrum (20%) dan pada bagian kurvatora minor (20%). 4,5

Di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, kasus perforasi gaster tahun 2005

26 orang, tahun 2006 sejumlah 38 orang dan tahun 2007 meningkat menjadi 57 orang.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang juga dilakukan di Rumah Sakit Immanuel

Bandung dimana kasusnya pada tahun 2006 tidak lebih dari 10 orang, tetapi dalam 6

bulan terakhir mencapai 46 orang. Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Solo

( RSDM ) selama kurun waktu 1 tahun, mulai Januari – Desember 2007, didapatkan

penderita peritonitis karena perforasi gaster sebanyak 27 kasus, yang dirawat di

RSDM.6

2.2 Anatomi dan Fisiologi Peritoneum dan Gaster

2.2.1 Peritoneum

Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.

Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding
rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan peritoneum visceral,

yang menyelaputi semua organ yang berada di dalam rongga itu. Ruang yang bisa terdapat

di antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. 7

Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum yang berfungsi sebagai

pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan gesekan yang berarti.

Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan peritoneal terdiri atas

plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta mempunyai kadar protein kurang dari 30 g/L,

juga mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi dan bermacam sel imun. Luas

peritoneum kira-kira 1,8 meter2, sama dengan luas permukaan kulit orang dewasa. 7

Organ yang terletak di dalam kavitas peritoneal disebut letak intraperitoneal,

seperti pada lambung, jejunum, ileum, dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang

peritoneum disebut retroperitoneal seperti pada ginjal dan pankreas.7,8

Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan

alat visera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum

(omentum majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus

kecil disebut mesenterium, dari apendik disebut mesoapendiks dari colon transversum dan

sigmoideum disebut mesocolon transversum dan sigmoideum. 7,9


Gambar 2. Struktur peritoneum 12
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah, dari kraniodorsal diperoleh

perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal

terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior.

Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n.

lumbalis I. 9

2.2.2 Anatomi Gaster

Secara anatomi, lambung dibagi menjadi empat bagian, yaitu cardia, fundus, corpus,

dan pylorus. Cardia merupakan bagian atas yang langsung berhubungan dengan

esofagus, tepat di bawah sphincter esofagus setinggi vertebrae torakal ke-10 dan berada di

bagian posterior yang menghadap ke costae ke-7. Bagian kiri cardia yang disebut

Fundus merupakan bagian kubah di daerah sinistra yang langsung bersentuhan dengan

diafragma dan letaknya setinggi sulcus inercostal ke-5. Corpus merupakan bagian

tengah dari lambung yang berukuran paling besar. Corpus dibatasi oleh pankreas dan

bagian descenden diafragma. Sementara pylorus merupakan bagian berbentuk saluran/

cerobong pada bagian ujung dari lambung. 10


Sphincter pylorus merupakan otot sirkular yang termodifikasi pada ujung pylorus

yang bersambungan dengan usus halus. Pylorus berada setinggi vertebrae lumbal ke-1 dan

2,5 cm kanan dari midline. Persambungan ini mengatur pergerakan chyme menuju usus

halus dan menghambat aliran balik ke arah lambung. Pylorus terbagi menjadi bagian antrum

(menghubungkan corpus dari gaster), canal (menghubungkan gaster ke duodenum), dan

sphincter (otot polos yang menghubungkan pylorus ke duodenum).10

Dinding lambung mempunyai empat lapisan dari luar ke dalam : tunica serosa diluar,

serabut otot polos (tunica muscularis propia), tunica submocosa dan membrana mukosa.

Permukaan luar organ ini dibagi kedalam regio anatomi berdasarkan kira-kira jenis sel

yang ditemukan dalam mukosa yang berdekatan. Lambung proksimal (corpus)

mengandung banyak sel parietalis, sumber asam klorida (HCl) dan faktor intrinsik serta sel

principalis sumber utama pepsinogen. Jenis sel tambahan mencakup sel epitel permukaan,

yang mensekresi mukus dan bikarbonat kedalam lumen lambung, sel mukosa cerviks juga

mensekresi mukus dan merupakan prekursor kedua sel epitel permukaan dan sel parietalis

serta sel mast yang mengandung histamin. Corpus dibatasi di superior oleh cardia (bagian

lambung yang tepat dibawah sambungan gastroesophagus)dan fundus (bagian lambung

yang terletak di kiri superior terhadap sambungan gastrooesophagus). Bagian terdistal

lambung merupakan antrum, yang mengandung kelenjar persekresi mukus maupun sel G,

sumber hormon gastrin. Lambung mempunyai dua kurvatura, major dan minor serta dua

permukaan anterior dan posterior. Kurvatura gastrika mayor dekat dengan kolon

transversum, Kurvatura minor berbatasan dengan hepar. 11


Gambar 2.1 Anatomi gaster (Debas, 2004)

Vaskularisasi lambung berasal dari Arteri mesenterica superior dan truncus coeliacus.

truncus bercabang menjadiarteri gastrica,hepatica dan splenica. Arteri gastrica

sinistramemperdarahicurvatura minordanesofagus bawah, beranastomosis dengan arteria

gastrica dextra, yang merupakan salah satu cabang arteria hepatica. Curvatura major

menerima vaskularisasi dari arteri gastro-epiploica dextra, suatu cabang arteri

gastroduodenalis, dari arteria gastroepiploica sisnistra serta dari arteria gastrica breves,

keduanya berasal dari arteria splenica. 11


Gambar 2.2 Vaskularisasi dari gaster. Arteri Coeliacus (CA), arteri gastricasinistra

(LGA), arteri gastrica dextra (RGA), arteri gastroduodenale (GDA), arteri hepatica

communis (CHA), arteri gastroepiploica dextra (RGE), arteri gastroepiploica sinistra

(LGE), arteri spleenica (SPA) (Debas, 2003)

Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf

parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui

snervus vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan

seliaka. 11

Persarafan simpatis melalui nervus splanikus mayor dan ganglia seliaka. Serabut-

serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontaksi

otot, serta peradangan dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut

eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. 1


2.3 Ulkus Gaster
2.3.1 Definisi Ulkus Gaster

Secara anatomis, ulkus peptikum merupakan defek mukosa/ submukosa yang berbatas

tegas dapat menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat

menyebabkan perforasi. Secara klinis, ulkus adalah hilangnya epitel dengan diameter ≥ 5mm

yang dapat diamati secara endoskopu atau radiologi . Ulkus yang mengenai mukosa gaster

disebut Ulkus Gaster sedangkan ulkus yang terjadi pada duodenum disebut sebagai Ulkus

Duodenum yang masing-masing memiliki ciri khas masing-masing.12,13,14

2.3.2 Etologi dan Patofisiologi Ulkus Gaster


1. Infeksi Helicobater Pylori

Helicobater pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk basil. Bakteri ini

pertama kali dapat dikultur tahun 1982 di Perth Australia. Pada tahun 1993 nama bakteri ini

diganti menjadi Helicobacter Pylori. Bakteri ini mampu menghasilkan urease yang

menyebabkan bakteri ini mampu bertahan dalam pH asam gaster. Urease dihasilkan 6% dari

total protein bakteri. Bakteri ini juga menghasilkan VacA (Vacuolating Cytotoxin) yang

menyebabkan apoptosis pada sel eukariotik dengan cara pembentukan vakuola sitoplasma

multipel berukuran besar. 15,16

Helicobater pylori terkolonisasi pada sel gaster yang memproduksi mukus. Bakteri ini

melekat pada glikoprotein yang terdapat di permukaan dari sel epitel dengan menggunakan

fimbriae. Selanjutnya bakteri akan berpindah ke lapisan mukosa. Urease yang dihasilkan

bakteri ini mampu memproduksi ammonia, berperan dalam menciptakan suasana netral bagi

pertumbuhan bakteri. Ketika bakteri melakukan aktivitas pada lapisan mukosa gaster,

mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi dengan adanya infiltrasi dari sel-sel mononuclear

pada lapisan lamina propria. Reaksi ini akan terus meningkat hingga mampu memicu

terjadinya inflamasi hebat dengan munculnya netrofil, limfosit serta terbentuknya


mikroabses. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan oleh efek dari urease dan VacA. Selain

itu, adanya bakteri ini pada mukosa mampu menstimulasi NAP (Neutrophil Activating

Protein). Proses inflamasi yang terus menerus ini mengakibatkan terjadinya kematian pada

sel epitel dan memicu terjadinya ulkus. 15,16

Infeksi primer Helicobacter Pylori tidak memberikan gejala spesifik. Gejala mual dan

nyeri abdomen bagian atas mulai dirasakan pada minggu kedua. Namun nyeri abdomen

bersifat intermitten dengan kualitas yang rendah. Dalam waktu 1 tahun, nyeri semakin jelas,

frekuensi dan intensitas meningkat, disertai dengan mual, muntah, anoreksia dan nyeri

epigatrium. Beberapa pasien bahkan tidak mengeluhkan gejala apapun selama hampir satu

decade. Infeksi bakteri ini mampu menyebabkan terjadinya perforasi gaster dengan

perdarahan serta menimbulkan terjadinya peritonitis. 15,16

Penegakkan diagnosis paling sensitif untuk mengetahui keterlibatan dari Helicobater

pylori adalah dengan menggunakan endoskopi. Pada endoskopi dilakukan biopsi dan kultur

pada mukosa gaster. Metode non invasive adalah dengan menggunakan pemeriksaan Urea

Breath Test. Pada pemeriksaan ini pasien diminta untuk mengkonsumsi 13C -14C yang telah

dilabel urea. Jumlah urea pada gaster akan dihitung sesuai dengan jumlah CO 2 pada

pernapasan.15,16,17

2. Penggunaan NSAID

Nonsteroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID) merupakan golongan obat yang

memiliki kegunaan klinis sebagai antipiretik, analgesic dan anti inflamasi. Obat ini mampu

menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam sehingga efektif sebagai antipiretik. Obat

golongan ini berguna untuk analgesic pada nyeri ringan hingga sedang seperti myalgia, sakit

gigi, dysmenorrhea dan sakit kepala. Berbeda dengan analgesic opioid, obat ini tidak

menimbulkan depresi SSP. Sebagai agen anti inflamasi, NSAID digunakan secara luas dalam
pengobatan nyeri kronik seperti artritis rheumatoid, osteoarthritis, arthritis gout, dan

ankhilosing spondylitis.18

NSAID bekerja dengan menghambat kerja dari COX (Cyclooxigenase) baik COX-1

maupun COX-2. COX-2 adalah COX dominan yang memproduksi prostaglandin selama

proses inflamasi. Prostaglandin menimbulkan beberapa manifestasi inflamasi local maupun

sistemik seperti vasodilatasi, hyperemia, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, tumor

dan dolor. Prostaglandin memiliki peran penting dalam menjaga integritas dan perbaikan

mukosa gastroduodenal. Cidera pada mukosa terjadi karena adanya paparan dengan NSAID.

NSAID dalam lingkungan gaster yang asam bersifat lipofilik terionisasi, sehingga mampu

bermigrasi melintasi membran lipid sel epitel dan menimbulkan kerusakan pada intraselular.

NSAID yang berada pada gaster juga mampu menimbulkan difusi kembali dari ion H dan

Pepsin yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut. 17,18

3. Faktor pathogenesis yang tidak berhubungan dengan NSAID dan Helicobater

pylori pada Ulkus Peptikum

Kebiasaan merokok memiliki keterlibatan dalam pathogenesis ulkus peptikum. Pada

perokok insidensi ulkus peptikum terjadi lebih sering dibandingkan pada orang yang bukan

perokok, menurunkan tingkat penyembuhan, mengganggu respon terapi serta meningkatkan

komplikasi. Beberapa hipotesis menyebutkan rokok mampu menurunkan produksi bikarbonat

pada duodenum proksimal, peningkatan risiko infeksi Helicobater pylori dan menginduksi

pembentukan radikal bebas yang berbahaya terhadap mukosa.19

Faktor psikologis dipikirkan memiliki keterkaitan terhadap terjadinya ulkus peptikum

namun studi menunjukkan factor psikologis tidak memiliki hubungan bermakna terhadap

insiden ulkus. Faktor psikologis ini lebih dikaitkan dengan insiden Dyspepsia Non Ulcer.10,17
Pola diet memiliki keterkaitan dengan terjadinya ulkus peptikum. Dari penelitian

didapatkan bahwa konsumsi alcohol dan kafein memiliki hubungan bermakna dengan

insidensi ulkus peptikum. 10,17

2.3.4 Perforasi Ulkus Gaster

Seperempat dari pengguna NSAID dalam jangka waktu lama akan berkembang menjadi

ulkus peptikum dan 2-4% diantaranya akan mengalami perdarahan atau perforasi. Perforasi

gastrointestinal adalah penyebab tersering dari akut abdomen.Tumpahannya dapat berupa

udara, cairan dari gaster dan sekresi duodenum, makanan dan bakteria.Udara bebas atau

pneumoperitoneum terbentuk ketika udara keluar dari sistem gastrointestinal ke rongga

peritoneum. Hal ini dapat terjadi setelah perforasi gaster, duodenum dan usus besar. Pada

kasus perforasi dari usus halus, tidak terdapat udara bebas atau sedikit sekali udara bebas

yang keluar.Udara bebas dapat terlihat di rongga peritoneum setelah 20menit dari

timbulnya perforasi. 19

Secara umum episode dari perforsi ulkus peptikum dibagi menjadi tiga fase :

a. Peritonitis kimia.

Pada awal perforasi menimbulkan peritonitis kimia, dengan atau tanpa kontaminasi

mikroorganisme. Bocornya isi gastroduodenum biasanya terjadi difus tetapi dapat pula

terlokalisir pada abdomen bagian atas dengan adanya adhesi dari omentum.
-
Fase intermediate.

Setelah 6 – 12 jam pasien dapat menunjukkan penurunan gejala nyerinya. Hal ini

mungkin disebabkan oleh dilusi dari cairan gastroduodenum dengan adanya eksudat

peritoneal.

-
Fase infeksi abdomen.
Jika pasien belum dilakukan operasi, setelah 12 – 24 jam akan terjadi infeksi

intraabdomen.2

Klasifikasi perforasi ulkus gaster terdiri dari :

1. Tipe I , paling sering, terjadi sepanjang kurvatura minor, biasanya terjadi di sekitar

incisura angularis.
2. Tipe II, biasanya dua ulkus, pada corpus gaster dan di duodenum
3. Tipe III, berlokasi di prepyloric
4. Tipe IV, jarang terjadi, terjadi pada kurvatura minor dekat dengan

gatroesophageal junction. 22

2.4 Peritonitis
2.4.1 Definisi Peritonitis

Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga

abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan

merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses

infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon,

maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster,

keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. 23,24

2.4.2 Etiologi dan Klasifikasi Peritonitis

2.4.2.1 Berdasarkan Agen Penyebab

1. Peritonitis Aseptik, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung,

cairan empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
Peritonitis steril dapat berkembang menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa

jam mengikuti transmigrasi dari mikroorganisme (contohnya dari usus)


2. Peritonitis septik yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus,

sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan

peradangan.9,25

2.4.2.2 Berdasarkan sumber kuman

1. Peritonitis primer

Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara hematogen.

Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk

yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau nekrose (infeksi transmural)

dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.7

Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif

(E.coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas, Proteus), bakteri gram positif (Streptococcus

pneumonia, Staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan menjadi:

a. Spesifik, disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman tuberkulosa.


b. Non- spesifik disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya kuman

penyebab pneumonia yang tidak spesifik.7


2. Peritonitis sekunder

Peritonitis ini bisa disebabkan oleh :



Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus

genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada: perforasi appendiks,

perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi

usus, dan luka tusuk.



Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi

pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.

Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters. 7,8
3. Peritonitis tersier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan

operasi sebelumnya. Peritonitis tersier biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous

Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromis. Organisme

penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu koagulase negatif, Staphylococcus,

S.Aureus, gram negatif bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah

dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan

atau tanpa fistula. 8,9

2.4.3 Patofisiologi Peritonitis

Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ

abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum

terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah

(abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan

biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan

obstruksi usus.9

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di

epigastrium dan meluas keseluruh peritoneum akibat peritonitis generalisata. Penderita

yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini
timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritoneum

oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh

perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,

kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan

rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan

mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.8,9

Peritonitis dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis

lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan

tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis

yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis

generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum

viseral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik

berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus

mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat

terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.8,9,14

2.4.4 Diagnosis

2.4.4.1 Anamnesis

Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan

terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh

abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.


Gejala lainnya meliputi:


Demam, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia

Mual dan muntah, timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat

iritasi peritoneum

Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan

kesulitan bernafas.

Tidak dapat BAB atau flatus. 8

2.4.4.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,

pernapasan, suhu badan, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda

dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.8

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik.

Demam dengan temperatur >38°C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan

muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi

dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam,

kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen.

Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin

hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya

peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.8

Pemeriksaan abdomen meliputi :

1. Inspeksi
Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan

kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus

yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut

yang membuncit dan tegang atau distended.8,9

2. Auskultasi

Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien

dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini

disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak

bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar

normal. 7,8

3. Palpasi

Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat sensitif.

Bagian anterior dari peritoneum parietal adalah yang paling sensitif. Nyeri tekan dan

defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai

peritoneum parietal (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan

dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan

tekanan.7,8

Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot

dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang

meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.8

4. Perkusi

Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas atau

cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan

shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan

perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.8,25


Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok

dubur untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general

peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis

usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi

usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk

kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.8,9


2.4.4.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan

dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada pasien dengan akut abdomen

dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : 1,25

a. Tidur telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi

anteroposterior ( AP )
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar

horizontal proyeksi AP.


c. Tidur miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,

proyeksi AP.

Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu : terlihat kekaburan pada cavum

abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas

subdiafragma atau intra peritoneal.9,25

2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematokrit yang meningkat
b. Analisis Gas Darah, menunjukan asidosis metabolik, dimana terdapat peningkatan kadar

karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.


c. Pada peritonitis tuberkulosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3

gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi

peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma

yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.9
2.4.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding peritonitis dapa dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.29

Tabel 2.1 Perbandingan Manifestasi Penyebab Akut Abdomen


2.4.5 Tatalaksana

2.4.5.1 Konservatif
-
Memuasakan pasien
-
Pemberian oksigen vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat

dimonitor oleh pulse oximetri atau analisis gas darah


-
Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
-
Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,

biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.

Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus

dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena

sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis

atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan

dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan

menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler,26


-
Pemberian antibiotik yang sesuai. Antibiotik yang diberikan adalah

spektrum luas, yang sensitif untuk bakteri aerob dan anaerob, diberikan intravena.

Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer.8


-
Analgetik, digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan

antiemetik.26

2.4.5.2 Definitif
Tatalaksana definitif peritonitis yaitu dengan pembedahan

1. Laparotomi, Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline

tergantung dari lokasi yang dikira. Tujuan laparotomi :

26
 menghilangkan kausa peritonitis

 mengkontrol sepsis dengan membuang organ yang mengalami

inflamasi atau iskemik (atau penutupan viskus yang mengalami

perforasi).

 Peritoneal lavage. 26

2. Laparoskopi

Laparoskopi efektif pada penanganan appendsitis akut dan perforasi ulkus

duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi

angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi

pada laparoskopi.26

2.4.6 Komplikasi

1. Syok Sepsis
2. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten
3. Adhesi, dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus. 8

2.4.7 Prognosis

Terdapat ±11 sistem skoring yang digunakan untuk memprediksi

outcome pasien dengan perforasi ulkus peptikum, namun yang biasanya paling

valid adalah Boey score dan ASA score. Mortalitas dan morbiditas yang

27
disebabkan oleh perforasi ulkus peptikum sangat besar, dan angka mortalitas

berkisar antara 1,3-20% telah dilaporkan pada beberapa penelitan.Sejumlah

faktor-faktor untuk mengetahui morbiditas dan mortalitas dari perforasi ulkus

peptikum telah diketahui dan beberapa angka prediksi klinis telah diajuka27

Faktor-faktor seperti penyakit penyerta, syok, penundaan operasi (>24

jam), infeksi luka post operasi, usia lanjut, asidosis metabolik berhubungan

dengan morbiditas dan mortalitas dari pasien-pasien dengan perforasi ulkus

peptikum. Penundaan operasi masih merupakan faktor utama yang penting dari

peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien dengan perforasi ulkus peptikum

dimana angka mortalitas mencapai 12-47% Pada beberapa penelitian

menunjukkan bahwa kultur jamur yang positif sering terjadi dan merupakan

faktor resiko yang signifikan berhubungan dengan outcome pasien perforasi

ulkus peptikum. Kultur jamur yang positif berhubungan dengan tingginya

insidensi infeksi luka operasi, lamanya perawatan RS, dan tingginya angka

mortalitas penyakit.27,28

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

 Nama : Tn. S
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Umur : 68 tahun
 Agama : Islam
 Status Pernikahan : Menikah
 Pekerjaan : Petani
 Alamat : Pesisir Selatan
 Tanggal masuk : 1 Desember 2018

28
3.2. Anamnesis
3.2.1. Keluhan Utama

Nyeri perut sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit

3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


 Nyeri perut sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan

tiba-tiba, di seluruh perut, terus menerus, dan tidak menjalar, dan

meningkat dengan pergerakan Riwayat nyeri perut yang berpindah-pindah

sebelumnya tidak ada.


 Mual ada, muntah ada 1 kali, berisi apa yang dimakan
 BAB ada, terakhir 9 jam sebelum masuk rumah sakit, konsistensi biasa,

tidak berlendir dan tidak berdarah


 Riwayat trauma pada perut tidak ada
 Demam tidak ada
 BAK normal
3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
 Riwayat nyeri ulu hati berulang sebelumnya tidak ada
 Riwayat mengkonsumsi obat-obat anti nyeri tidak ada, riwayat

mengkonsumsi jamu-jamuan ada sejak ± 2 tahun yang lalu, rutin 1 kali

sehari
 Riwayat TB paru BTA (+) putus obat setelah minum obat TB ±2 bulan
3.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa dengan pasien

3.3. Pemeriksaan Fisik


3.3.1. Umum
 Keadaan umum : Sakit berat
 Kesadaran : Komposmentis
 Tekanan darah : 100/60 mmHg
 Frekuensi nadi : 120 x/menit
 Frekuensi napas : 20 x/menit
 Suhu : 36.6°C
 Edema : tidak ada

42
 Ikterus : tidak ada
 Anemis : tidak ada
 Sianosis : tidak ada
3.3.2. Khusus
 Kulit : Hangat, turgor baik
 Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
 Kepala : Bulat, simetris, normosefal
 Rambut : Hitam, tidak mudah rontok, uban (+)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Tidak ditemukan kelainan
 Hidung : Tidak ditemukan kelainan
 Tenggorok : Tidak ditemukan kelainan
 Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah
 Leher : JVP 5 – 2 cmH2O
 Toraks

Paru

 Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi (-)


 Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Vesikuler, Rh +/+, Wh -/-

Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
 Perkusi : Batas jantung tidak melebar
 Auskultasi : Reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
o Inspeksi : Distensi (+), Darm Contour (-), Darm Steifung (-)
o Palpasi : Nyeri tekan(+), Nyeri lepas(+), Defans muskular

(-), Asites (-)


o Perkusi : Pekak hepar menghilang
o Auskultasi : Bising usus (+)
 Punggung : Tidak ditemukan kelainan
 Genitalia : Tidak ditemukan kelainan
 Rektal : Anus tenang, sfingter menjempit, mukosa licin,

ampula kolaps, teraba massa (-), feses (-), lendir (-), darah (-)
 Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik

43
Foto Klinis Pasien

44
3.4. Pemeriksaan Laboratorium
3.4.1. Darah

Hb : 10,0 g/dL

Leukosit : 9530 / mm3

Trombosit : 443.000 /mm3

Hematokrit : 32%

PT/APTT : 11,4/43,5

Kesan : Anemia ringan, trombositosis

3.4.2. Kimia Klinik


 Gula darah sewaktu : 123 mg/dL
 Ureum / kreatinin : 81 / 2,6 mg/dL
 Na / K / Cl : 140 / 4,9 / 112 mmol/L
 Protein total / albumin / globulin : 6,4 / 3,0 / 3,4 g/dL
 SGOT / SGPT : 20 / 19
 Bilirubin total/direk/indirek :0,7 / 0,4 / 0,3
Kesan : ureum, kreatinin, Albumin,

total protein,

3.4.3. Foto Abdomen

Foto Polos Abdomen Posisi Erect dan LLD

45
 Interpretasi:
o Preperitoneal Fat Line tidak jelas
o Poas Line jelas
o Distribusi udara usus tidak sampai distal
o Tak tampak distensi dan dilatasi usus
o Tak tampak gambaran air fluid level
o Tampak gambaran free air
 Kesan: Peritonitis

3.4.3 Rontgen Thorax posisi supine

46
Interpretasi :

 Trakea tidak deviasi


 Corakan bronkovaskular meningkat
 Tampak gambaran infitrat di kedua lapangan paru
 Tulang-tulang intak
 Jantung tidak membesar
 Sudut kostofrenikus lancip
 Diafragma licin
Kesan : TB Paru
3.5. Diagnosis Kerja

 Peritonitis difus ec Susp Perforasi Ulkus Gaster

 AKI Rifle 1

 TB Paru putus obat DD/ Bekas TB

3.6. Tata Laksana

47
 O2 10L/i NRM
 Puasa sementara
 Pasang NGT
 Pasang kateter
 Rehidrasi cairan
 Inj Ceftriaxone 2 x 1 g
 Inj Ketorolac 3 x 30 mg
 Inj Rantidine 2 x 50 mg
 Rencana Laparotomi Eksplorasi

LAPORAN OPERASI

Jenis Anestesi : Umum

Kriteria Operasi : Emergensi

Diagnosis Pra Operasi : Peritonitis Difus ec Susp Perforasi Gaster

Diagnosis Pasaca Operasi : Peritonitis Difus ec Perforasi Gaster

Indikasi Operasi : Diagnosis

Nama Operasi : Laparotomi Eksplorasi + Repair Gaster

Komplikasi : Infeksi, perdarahan

Jumlah perdarahan : 50 cc

Tanggal Operasi : 1/12/2018

48
Prosedur operasi :

 Pasien posisi supinasi dalam general anesthesia


 Disinfeksi lapangan operasi
 Lakukan insisi midline atas umbilikus
 Buka kutis, subkutis, fascia, lakukan muscle splitting, buka peritoneum
 Keluar gastric juice
 Identifikasi gaster, tampak perforasi di pre-pyloric ukuran 1 x 0,5 cm,

lakukan debridement
 Lakukan omental patch
 Cuci rongga abdomen dengan aqua steril ± 4L
 Rawat perdarahan, tutup luka operasi lapis demi lapis
 Operasi Selesai dengan meninggalkan drain

Follow Up :

2/12/2018

S/ - Pasien rawat di ICU


- Terintubasi
- Demam (-)
- BAB (-)
O/ Keadaan umum : Berat

Kesadaran: Dalam pengaruh obat

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Frek Nadi : 120x/mnt

Frek Napas: on Ventilator RR 12x/mnt

Temperatur : 36,8°C

Abdomen :

Inspeksi : Dsitensi (-)

Auskultasi : BU (-)

Palpasi : Supel

Perkusi : Timpani

Drain : 80 cc

49
NGT : 50 cc

A/ Post Laparotomi Eksplorasi + Repair Gaster


P/ Puasa

Ceftriaxone 2x1 gr IV

Omeprazole 3x40 mg IV

Paracetamol 4x1 gr IV

Metronidazol 3x500 mg IV

Vit K 3x10 mg IV

50
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki 68 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan nyeri

seluruh perut dirasakan tiba-tiba, terus menerus sejak ±16 jam sebelum masuk

rumah sakit. Nyeri perut merupakan keluhan yang sering ditemukan di layanan

primer maupun sekunder. Di USA, Hampir 50% orang dewasa pernah mengalami

nyeri perut dan 5-10% diantaranya dibawa ke IGD. Keluhan nyeri perut dapat

ringan namun juga dapat berupa manifestasi dari kondisi yang mengancam nyawa.
29

Berdasarkan onset nyeri perut dikategorikan menjadi akut dan kronik.

Nyeri abdomen akut (kurang dari 24 jam) harus dipertimbangkan sebagai akut

abdomen. Akut abdomen merupakan keadaan klinis kegawatan di rongga perut,

timbul mendadak, dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan

penanggulangan segera berupa tindakan bedah. Penyebab tersering dari akut

abdomen antara lain appendisitis, kolik bilier, kolisistitis, divertikulitis, obstruksi

51
usus, perforasi viskus, pankreatitis, peritonitis, salpingitis, adenitis mesenterika

dan kolik renal. Penyebab akut abdomen dapat diprediksi berdasarkan lokasi dan

tipe nyeri. Nyeri yang tiba-tiba dengan sensasi terbakar, intensitas hebat, berawal

di daerah epigastrium kemudian menjadi difus di seluruh perut merupakan

gambaran gejala perforasi ulkus peptikum. Tidak adanya riwayat trauma pada

perut dapat menyingkirkan kecurigaan perforasi saluran cerna akibat trauma.29

Selain nyeri perut, keluhan penyerta lainnya juga harus diperhatikan. Pasien

juga mengeluhkan mual dan muntah yang biasanya merupakan keluhan awal dari

akut abdomen. Muntah pada akut abdomen biasanya tidak progresif, namun jika

muntah progresif dan terus menerus dan diikuti nyeri perut hebat harus dicurigai

sebagai obstruksi saluran cerna.30,31

Pasien BAB terakhir 9 jam sebelum masuk rumah sakit, konsistensi biasa

tidak berlendir dan tidak berdarah. Tidak adanya keluhan obstipasi dan tidak dapat

flatus dapat menyingkirkan kemungkinan nyeri disebabkan oleh ileus atau

obstruksi pada usus. BAB dengan konsistensi biasa serta tidak bercampur dengan

darah dapat menyingkirkan kemungkinan nyeri perut akibat Inflammatory Bowel

Disease (IBD).30,31

Pasien mempunyai riwayat mengkonsumsi jamu-jamuan sejak ±2 tahun

yang lalu,rutin diminum 1 kali sehari. Dalam satu dekade terakhir dilaporkan

adanya peningkatan insiden perforasi ulkus peptikum yang disebabkan oleh

meningkatnya penggunaan obat golongan non steroid anti inflammatory drugs

(NSAIDs) dan jamu yang mengandung steroid. Obat golongan ini menyebabkan

kerusakan barier mukosa gaster serta duodenum sampai akhirnya menimbulkan

52
komplikasi perforasi. Seperempat dari pengguna NSAID dalam jangka waktu

lama akan berkembang menjadi ulkus peptikum dan 2-4% diantaranya akan

mengalami perdarahan atau perforasi. 4,5,19

Pada pemeriksaan fisik pasien keadaan umum sakit berat tetapi

hemodinamik masih stabil dan tidak ada demam. Pasien dengan peritonitis,

keadaan umumnya tidak baik. Demam dengan temperatur >38°C biasanya

terjadi namun tidak selalu. Pada Pasien dengan sepsis hebat akan muncul gejala

hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi

dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual dan muntah,

demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya

dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin

hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan

adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.8

Pada inspeksi abdomen didapatkan adanya distensi, tidak tampak kontur

ataupun pergerakan usus. Perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan

usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan

ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distensi. 8,9

Pada auskultasi ditemukan bising usus pasien masih ada. Pasien dengan

peritonitis difus, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal

ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut

lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising

usus dapat terdengar normal. 7,8

53
Palpasi abdomen didapakan nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh regio

abdomen, tidak ada defans muskular. Peritoneum parietal dipersarafi oleh

nervus somatik dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterior dari

peritoneum parietal adalah yang paling sensitif. Nyeri tekan dan defans

muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai

peritoneum parietal (nyeri somatik). 7,8

Pada pasien dilakukan RT dan didapatkan anus tenang, sfingter

menjepit, mukosa licin, ampula kolaps, tidak teraba massa, pada handscoen

tidak terdapat feses, lendir maupun darah. Pasien dengan keluhan nyeri perut

umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk membantu

penegakan diagnosis. Colok dubur dapat membedakan antara obstruksi usus

dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang

melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Dengan

perkembangan peritonitis difus, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul

ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Perlekatan dapat

terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat

mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 8,9

Pada pasien dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen posisi berdiri dan

LLD dan didapatkan gambaran preperitoneal fat line tidak jelas dan udara bebas

pada subdiafragma yang merupakan gambaran khas dari peritonitis. 9,25

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

pasien didiagnosis dengan peritonitis ec suspek perforasi ulkus gaster. Tindakan

bedah merupakan tatalaksana definitif dari peritonitis dan prosedur yang sering

54
digunakan adalah laparotomi eksplorasi yang bertujuan untuk menemukan kausa

peritonitis, mengontrol infeksi dengan membuang organ yang mengalami

inflamasi atau iskemik atau penutupan viskus yang mengalami perforasi dan

peritoneal lavage. 26

Sebelum dilakukan operasi, pasien diberikan tatalaksana awal berupa O2

10L/i NRM, Puasa sementara, pemasangan NGT, pemasangan kateter urin,

rehidrasi cairan, Ceftriaxone 2 x 1 g IV, Ketorolac 3 x 30 mg IV, dan Rantidine 2 x

50 mg IV. Pemasangan NGT bertujuan untuk dekompresi saluran

cernaPengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,

biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi..

Pasien harus dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Pemberian

antibiotik spektrum luas, yang sensitif untuk bakteri aerob dan anaerob, secara

intravena. Cefalosporin generasi III adalah strategi primer. Untuk mengurangi

keluhan nyeri dapat diberikan.8,26

55
BAB 5

KESIMPULAN

1. Akut abdomen merupakan suatu keadaan klinis akibat kegawatan di

rongga perut, timbul mendadak, dengan nyeri sebagai keluhan utama dan

memerlukan penanggulangan segera berupa tindakan bedah.


2. Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang lapisan serosa yang

menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya


3. Peritonitis dapat diklasifikasikan berdasarkan agen penyebab yaitu

peritonitis septik dan aseptik serta berdasarkan sumber kuman yaitu

peritonitis primer, sekunder, dan tersier


4. Ulkus peptikum merupakan defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas

dapat menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa pada

gaster atau duodenum sehingga dapat menyebabkan perforasi sehingga

terjadi peritonitis
5. Diagnosis peritonitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang

56
6. Penatalaksaan peritonitis berupa konservatif dan tindakan bedah
7. Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,

gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik tergangg

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Ghosh PS, Mukherjee R, Sarkar S, Halder SK, Dhar D. Epidemiology of Secondary


Peritonitis : Analysis of 545 Cases. Int J of Scientific Study. 2016;3(12): 83-8
2. World Health Organization. Typhoid fever, Democratic Republic of the Kongo.
Weekly Epidemiological Record. 2005; 1(80):1-8.
3. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut di
Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang [serial online] 2014 (diakses 5 Desember
2018). Tersedia dari :URL : http://jurnal.fk.unand.ac.id
4. Lange, J.F., Nicolai, A., Tilanus, H.W., Kuipers, E.J., Eijck, van, C.H.J. 2011.Perforated
Peptic Ulcer : new insights. Erasmus Universiteit Rotterdam.Chapter : 4.
5. Prabu, V. dan Shivani, A. An Overview of History Pathogenesis and Treatment
ofperforated peptic ulcer Disease with Evaluation of prognostic Scoring in Adults. Annals
of Medical and Health Science Research. 2014; 4
6. Wahyudi A. Gambaran Perforasi Gaster di RSUD Dr. MoewardiSurakarta Tahun 2007
[serial online] 2008 (diakses tanggal 5 Desember 2018). Tersedia dari: URL :
7. Schrock TR. Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Edisi 7. 2000. EGC:
Jakarta.
8. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
9. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
10. Schafer, TW. Peptic Ulcer Disease. The American College of Gastroenterology, Bethesda,
Maryland. 2008.
11. Mercer, David, W, Robinson EK. Stomach. In: Sabiston Textbook of Surgery. 17th
edition. Belanda: Elsevier. 2004
12. John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal Medicine 17th .
Braunwald. USA: McGraw-Hill. 2008
13. Akil HAM. Tukak Duodenum dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simandibrata M,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing. Jakarta.
2010. P 523-8
14. Price, A Sylvia. Patofisiologi Edisi 6 Volume II. EGC: Jakarta. 2007. p.1388

3
15. Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. USA: The McGraw−Hill Companies. 2002. p.
918-919
16. Ryan, Kenneth J. Sherris Medical Microbiology an Introduce to Infection Disease 4 th
Edition. 2004. The McGraw−Hill Companies. p.380-384
17. John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal Medicine 17th .
Braunwald. USA: McGraw-Hill. 2008
18. Modern pharmacology with Clinical Applications. p. 425-428
19. Chung KT, Shelat V. Perforated Peptic Ulcer-an Update. J Gastrointest Surg. 2017; 9(1):
1-12
20. Schaible A. Peptic Ulcer Disease: Perforation. In: General Surgery. Second edition.
London : Springer-Verlag London Limited. 2009.
21. Muholland MW. Gastroduodenal ulceration. In : Greenfied’s Surgery : Scientific
Principles and Practice, 4th edition. Chapter 46. Lippincott Williams and wilkins. 2006
22. Tsai S, Mulholland, Michael W. Emergency Operations for Peptic Ulcer Dissease.Current
Procedures of Surgery.USA: McGraw-Hill Companies Inc. 2010. p. 67 – 69
23. Gearhart SL, Silen W. Acute appendisitis and peritonitis. Dalam: Fauci A, Braunwald E,
Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al, editor (penyunting). Harrison’s principal
of internal medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA: McGraw-Hill; 2008. p. 1916-7.
24. Daldiyono, Syam AF. Nyeri Abdomen Akut. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid Ke-1. Jakarta :
Interna Publishing. 2010. p 476-6
25. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya Baru. 1999. p.256-7
26. Rotstein, OD, Simmins RL. Peritonitis dan Abses Intra-abdomen dalam Terapi Bedah
Mutakhir Jilid 2 Ed.4. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997
27. Buck, David, L., Andersen, Morten, V., Moller, Morten, H. 2012. Accuracy of clinical
prediction rules in peptic ulcer perforation: an observational study. Scandinavian Journal
of Gastroenterology, 2012;47:28-35
28. Soreide K, Thorsen K, Soreide JA. Strategies to improve the outcome of emergency
surgery for perforated peptic ulcer. Br J Surg 2014; 101:e51-e6

4
29. Abdullah M, Firmansyah MA. Management of Acute Abdominal Pain. Acta Medica
Indonesiana-The J of Int Medicine. 2012; 44(4): 344-350
30. Millham FH. Acute abdominal pain. In: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, eds. Feldman:
sleisenger and fordtran's gastrointestinal and liver disease. 9th ed. Philadelphia: Elvesier.
2010. p. 151-62.
31. Squires RA, Postier RG. Acute Sbdomen. In: Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mattox KL, eds. Sabiston Textbook of Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical
Practice 19th ed. Philadelphia: Elvesier. 2012. p. 1141-59.

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Anda mungkin juga menyukai