Anda di halaman 1dari 2

Mengenali School Refusal Pada Anak

(Sefrita Danur, S.Psi., M.Psi)

Pada tahun 2018 klinik psikologi Rumah Sakit Jiwa Daerah Kepulauan Bangka Belitung
(RSJD Babel) banyak mendapat permintaan pemeriksaan psikologis terhadap siswa Sekolah
Dasar dan Sekolah Menengah Atas, mulai dari kelas I hingga kelas XII. Hal ini merupakan
musim yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya merujuk data yang ada di klinik psikologi
RSJD Kepuluan Bangka Belitung. Pada tahun sebelumnya permintaan pemeriksaan
psikologis lebih dikarenakan rendahnya daya tangkap anak dalam belajar, sehingga
direkomendasikan oleh guru untuk melakukan tes intelegensi untuk melihat kapasitas
intelegensi anak. Berbeda dengan tahun sebelumnya, tahun 2018 rekomendasi pemeriksaan
psikologis bagi siswa sekolah sudah mulai ada dari awal bulan Januari, dengan kasus yang
lebih beragam dimana masalahnya tidak hanya rendahnya tingkat intelegensi akan tetapi juga
terkait dengan anak yang tidak mau sekolah.
Banyak orang tua tidak memahami alasan sesungguhnya anak tidak mau berangkat atau sulit
untuk tinggal disekolah dan mengikuti pembelajaran dengan baik. Keluhan orang tua diruang
konseling hal tersebut lebih disebabkan rasa malas anak yang tinggi atau anak mengeluhkan
sakit pada beberapa bagian tubuh seperti sakit perut atau pusing diwaktu jam sekolah.
Dengan alasan sakit orang tua tidak tega untuk memaksa anak untuk tetap sekolah. Ditinjau
dari aspek psikologis, hal tersebut dapat terkait dengan kondisi emosional dimana seorang
anak memiliki beban tertentu seperti adanya kecemasan atau ketakutan tertentu yang
menimbulkan perilaku yang tidak wajar terkait sekolah, salah satunya dengan menolak untuk
kesekolah meski sudah dibujuk dengan berbagai cara, dimana hal ini dikenal dengan istilah
school refusal. School refusal adalah masalah emosional yang dimanifestasikan dengan
ketidakinginan anak untuk menghadiri sekolah dengan menunjukkan simptom fisik, yang
disebabkan karena kecemasan berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif di
sekolah atau karena punya masalah dalam keluarga (Manurung, 2012).

Jumlah klien dengan masalah menolak ke sekolah yang datang ke Klinik Psikologi RSJD
Babel dan menjalani terapi di tahun 2018 hingga akhir tahun 2018 ini berjumlah lebih kurang
6 orang. Dimana data ini tentunya belum dapat dijadikan sebagai rujukan bahwa kasus school
refusal sudah banyak terjadi di Provinsi Bangka Belitung umumnya atau pulau Bangka pada
khususnya, namun dari data yang ada di klinik Psikologi RSJD Babel menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika di telusuri lebih lanjut mungkin
data ini akan menjadi lebih besar, karena di beberapa wilayah di Indonesia kasus school
refusal dilaporkan juga semakin meningkat (Republika.co.id, 26 April 2016). Dengan
banyaknya kasus school refusal, diharapkan orang tua dapat mengenali karakteristik anak
yang mengalami ganggun tersebut gar dapat mengatasinya lebih awal.

Dalam jurnal psikologi Undip Volume XI tahun 2012 dengan judul school refusal pada anak
sekolah dasar, dijabarkan beberapa karakteristik school refusal dari Kearney, yaitu :
a. Absen dari sekolah, menolak pergi ke sekolah, tidak mau pergi ke sekolah.
b. Hadir di sekolah tapi kemudian meninggalkannya sebelum jam sekolah usai.
c. Hadir di sekolah tapi menunjukkan tingkah laku yang tidak diharapkan, dari tingkah laku
menyendiri, tidak ingin pisah dari figure attachment-nya, agresif, tidak kooperatif sampai
temper tantrum.
d. Mengemukakan keluhan fisik dan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan agar
tidak pergi ke sekolah.

Penyebab school refusal sangat beragam, diantaranya kecemasan berpisah dari orang tua atau
orang terdekat yang bisa disebabkan kurangnya kemandirian anak dan adanya pengalaman
yang tidak menyenangkan disekolah yang tidak bisa diatasi oleh anak, selain itu masalah
keluarga juga bisa menjadi penyebab anak mengalami school refusal. Dari penelitian yang
ada kecemasan berpisah dari figur orang terdekat menduduki peringkat teratas sebagai
penyebabnya. Salah satu studi oleh Last dan Strauss (dalam manurung, 2012) menemukan
bahwa 75% anak-anak yang menolak untuk sekolah disebabkan oleh kecemasan berpisah dari
ibu atau orang yang terdekat dengannya.

School refusal jika berlangsung dalam rentang waktu yang panjang tentunya akan
menimbulkan konsekuensi, yakni konsekuensi terhadap akademik dan sosial yang serius bagi
anak dan dapat sangat merusak (Davison, John & Ann, 2006). Salah satu konsekuensinya
adalah anak jadi kurang bersosialisasi dengan orang lain. Kurangnya sosialisasi ini secara
tidak langsung mempengaruhi prestasi belajar anak, karena anak tergantung pada ibu atau
orang yang dekat dengannya maka prestasi belajarnya juga tergantung pada orang-orang
tersebut (Rifai, 1993). Menurut Kearney (dalam Manurung, 2012), dampak yang paling
buruk adalah anak bisa dikeluarkan dari sekolah (dropout) karena terlalu lama tidak masuk
sekolah.

Untuk mengindari dampak buruk dari school refusal, jika anak menunjukan karakteristik
yang di jabarkan Kearney atau kombinasi dari karakteristik tersebut, maka orang tua perlu
melakukan penanganan, yang langkahnya yang diabarkan oleh Jannah (2007), dengan cara :
Temukan penyebab kenapa anak takut ke sekolah. Sempatkan waktu untuk berdiskusi dengan
anak.
1. Tetap menekankan pentingnya bersekolah , the best theraphy for school phobia is to
be in school everyday
2. Konsultasikan masalah kesehatan anak ini pada dokter atau psikolog jika masalah
terjadi berlarut-larut
3. Bekerjasama dengan guru
4. Lepaskan anak secara bertahap dan jangan lupa, berikan penghargaan pada anak bila
mereka mulai berubah. Penghargaan ini bisa dari kata-kata pujian sampai dengan
memberi hadiah-hadiah kecil

Referensi :
Jannah, M. (2007). Phobia sekolah. Diakses dari http://ragamperempuan.blogspot.
Manurung, Nazwa (2012). School Refusal pada Anak Sekolah Dasar. Jurnal Psikologi Undip.
Republika.co.id. Aduan 'School Refusal' Meningkat di Kota Malang, Selasa 26 Apr 2016.

Anda mungkin juga menyukai