Anda di halaman 1dari 12

PSIKOLOGIS ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSIF

Oleh:

Zaina Yan Sakila, Arsan Shanie M.pd ( yansakila@gmail.com )

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Walisongo Semarang

ABSTRACT

The purpose of this paper is to identifying the psychological characteristics of


children with particular requirements in inclusive schools, as well as the elements that
impact their psychology. In this study, data is gathered using a qualitative descriptive
approach, which yields descriptive information in the form of written words from
diverse sources. Data gathering approaches include searching for references in
journals, theses, and additional sources of information. After investigating multiple
sources, draw conclusions based on the references found. The study's findings indicate
that: 1) Children with special requirements have independence in performing daily
activities and have a strong grasp of their environment; 2) Children with Special
requires have targets, but are not yet capable to direct them; and 3) The subject's
favorable connection with other people is affected by how others react to the subject.
If the environment bullies the subject, the subject feels threatened by existing in that
setting; 4) Economic, social, learning systems, and subject qualities impact the
psychology of children with particular requirements in inclusive educational
environments.

Keywords; Child Psychology, Children with Special Needs, Inclusive Educational


Environments.

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologis
anak berkebutuhan khusus berkembang di sekolah inklusif, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi psikologis mereka. Dalam penelitian ini, metode deskriptif
kualitatif digunakan untuk pengumpulan data, yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis dari berbagai sumber. Teknik pengumpulan data ini
dilakukan dengan mencari referensi terkait dengan jurnal, skripsi, dan sumber
informasi lainnya. Setelah mencari dari berbagai sumber, referensi yang dicari
kemudian digunakan untuk membuat kesimpulan. Hasil penelitian menyatakan
bahwa: 1) Anak Berkebutuhan Khusus melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
dan menguasai lingkungannya dengan baik; 2) Anak Berkebutuhan Khusus memiliki
cita-cita dalam menentukan tujuan hidup, tetapi tidak dapat mengarahkannya; dan 3)
subjek memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, dipengaruhi oleh
bagaimana orang lain memperlakukan mereka. 4) Faktor-faktor yang mempengaruhi
psikologis anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif, seperti sistem pembalajaran,
ekonomi, sosial, dan karakteristik subjek, menyebabkan subjek merasa terancam
berada di lingkungan tersebut;
Kata kunci; Psikologis Anak, Anak Berkebutuhan Khusus, Sekolah Inklusif.

A. LATAR BELAKANG

Setiap orang berhak untuk bahagia, dan anak-anak dengan kebutuhan khusus
juga demikian. Anak-anak yang menderita gangguan kronis yang membatasi
kemampuan mereka untuk sepenuhnya terlibat dalam masyarakat disebut sebagai
penyandang disabilitas. Hal ini sejalan dengan kesepakatan global yang dicapai pada
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas tahun 2017 di New York, Amerika Serikat,
yang mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai seseorang yang mengalami
gangguan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
membatasi kemampuannya untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam
lingkungannya. (www.bps.go.id, 2017).

Anak-anak dengan kebutuhan khusus kini menikmati hak yang sama di semua
bidang kehidupan, termasuk hak atas pendidikan, berkat kemajuan hak asasi manusia.
Hal ini ditandai dengan perubahan dari integrasi dan segregasi menjadi inklusi dalam
sistem pendidikan. Semua anak, baik yang normal maupun berkebutuhan khusus,
dapat belajar di ruang kelas yang sama di sekolah inklusi. Menurut Mangunsong
(2009), sekolah inklusi juga menghargai keberagaman dalam hal bakat, budaya, ras,
etnis, dan latar belakang sosial. Sekitar 299.000 dari 1,6 juta siswa penyandang
disabilitas di Indonesia bersekolah di sekolah konvensional atau sekolah inklusif,
sementara 115.000 lainnya bersekolah di sekolah luar biasa (SLB). Banyaknya jumlah
siswa penyandang disabilitas yang bersekolah di sekolah inklusi mengindikasikan
bahwa sistem pendidikan inklusi telah diterima secara luas di masyarakat Indonesia.
(kemendikbud.go.id, 2017).

Sebagaimana dinyatakan dalam Permendiknas RI No. 70 tahun 2009, salah


satu tujuan pengembangan sekolah inklusi di Indonesia adalah memberikan
pendidikan yang tidak diskriminatif dan menghargai keberagaman kepada semua
siswa. Lebih lanjut, menurut Kustawan (2013), sekolah inklusi memungkinkan siswa
biasa dan siswa berkebutuhan khusus untuk mencapai potensi penuh mereka dan
berkembang sebagai sebuah komunitas. Siswa berkebutuhan khusus yang dapat
belajar bersama siswa biasa dan mencapai potensi penuh mereka menunjukkan
dukungan sosial dari lingkungan sekolah di sekolah inklusi. Jibeen dan Khalid (2010)
mengusulkan bahwa ada hubungan yang baik antara kesejahteraan psikologis yang
dilaporkan dengan dukungan sosial. Dengan kata lain, anak-anak dengan hambatan
yang dapat berhasil di kelas inklusif bersama dengan siswa biasa dianggap memiliki
kesejahteraan psikologis yang tinggi.

Namun, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2015 di


sekolah inklusi di Kabupaten Bantul, anak-anak ABK menerima instruksi dan
program yang sama dengan siswa lainnya tanpa perlu rencana pembelajaran khusus.
Oleh karena itu, ABK tidak dapat memahami materi pelajaran. Guru di kelas dan
GPK yang berlatar belakang pendidikan umum juga tidak memiliki keahlian untuk
bekerja dengan siswa penyandang disabilitas di seluruh kurikulum. Sebenarnya, GPK
hanya bekerja dua kali dalam seminggu di sekolah inklusi. Sebaliknya, orang tua
memiliki pengaruh yang terbatas terhadap pendidikan anak mereka. Mayoritas orang
tua yang anaknya memiliki keterbatasan hanya datang ke sekolah ketika mereka
menerima undangan untuk mengambil beasiswa. Bahkan ada juga orang tua yang
masih merasa malu karena menganggap anak mereka yang menyandang status ABK
sebagai penyandang cacat.
Di salah satu sekolah inklusi di Sidoarjo, Jawa Timur, siswa dengan disabilitas
mengalami perundungan, menurut laporan Ribbany (2016). Selama jam sekolah,
anak-anak berkebutuhan khusus sering diganggu oleh teman sebaya, baik di dalam
maupun di luar kelas. Hal ini terjadi di sela-sela jam pelajaran. Kontak verbal
langsung-seperti mengancam, merendahkan, menginterupsi, menyindir, mencela dan
mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan rumor, memeras-serta kontak fisik-
seperti mendorong, menjambak, mencubit, menendang, dan menendang-serta perilaku
non-verbal langsung maupun tidak langsung-semuanya digunakan dalam perilaku
perundungan.

Hal ini menunjukkan bahwa di sekolah inklusi, pengajar dan siswa lainnya
tidak memberikan bantuan sosial bagi anak-anak dengan hambatan. Sekolah adalah
lingkungan kedua yang paling berpengaruh setelah keluarga. Anak-anak terpengaruh
oleh interaksi antara pengajar dan teman sekelas (Somantri, 2007).

Diyakini bahwa ABK akan memiliki kesejahteraan psikologis yang buruk jika
mereka tidak menerima bantuan sosial di sekolah. Hal ini didasarkan pada pandangan
yang diungkapkan oleh Jibeen dan Khalid (2010), yang menyatakan bahwa tingginya
tingkat tekanan psikologis seseorang merupakan tanda kurangnya dukungan sosial,
yang pada akhirnya mengarah pada kurangnya kesejahteraan psikologis.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kesejahteraan psikologis sangat


penting bagi anak penyandang disabilitas untuk menerima diri mereka sendiri,
kekuatan dan kelemahan mereka, memiliki tujuan hidup yang bermakna, tumbuh
menjadi orang dewasa yang otonom, memiliki akses yang memadai terhadap sumber
daya lingkungan mereka (penguasaan lingkungan), dan mampu mengendalikan
lingkungan mereka. Penelitian mengenai kesehatan mental siswa penyandang
disabilitas yang bersekolah di sekolah inklusi didorong oleh adanya permasalahan
dalam pendidikan siswa penyandang disabilitas di lembaga-lembaga tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah dinamika psikologis anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif
dipengaruhi olehnya?
2. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi kesehatan mental siswa berkebutuhan
khusus di sekolah inklusif?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui perkembangan psikologis anak berkebutuhan khusus di sekolah
inklusif
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak berkebutuhan
khusus di sekolah inklusif
D. METODE PENELITIAN

Metode deskriptif kualitatif yang digunakan penulis dalam penelitian ini


menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari berbagai sumber. Teknik
pengumpulan data ini dilakukan dengan mencari referensi terkait dengan jurnal,
skripsi, dan sumber informasi lainnya. Setelah melakukan pencarian dari berbagai
sumber, penulis kemudian membuat kesimpulan berdasarkan referensi yang telah
dicari.

E. KAJIAN PUSTAKA
a. Pengertian psikologis anak

Psikologi anak adalah bidang psikologi di mana fokusnya adalah


perkembangan anak. Fokus kajian psikologi anak adalah memahami
perkembangan mental anak melalui bagaimana anak berinteraksi dengan orang
tua, lingkungannya, dan dirinya sendiri. Psikologi anak juga membahas pola
psikologis dalam perilaku anak. Memahami pola-pola ini akan membantu orang
tua dalam berkomunikasi dengan anak, mengajarkan mereka bagaimana
menggunakan mekanisme coping untuk mengatur emosi mereka, dan membantu
mereka berkembang di setiap tahap perkembangan psikologis. Dengan memahami
psikologi anak, orang tua dan guru juga dapat menemukan masalah pembelajaran,
hiperaktivitas, atau instruksi untuk mengatasi kecemasan yang disebabkan oleh
trauma masa kecil.

Selain berkaitan dengan perkembangan anak, psikologi anak berkaitan juga


dengan bagaimana lingkungan membantu anak tumbuh dan berkembang. Semua
orang tua ingin yang terbaik untuk anak mereka, tetapi perlu diingat bahwa setiap
anak unik. Jadi, agar anak lebih percaya diri dan mandiri dalam menjalani
kehidupannya, mereka juga membutuhkan dukungan dari lingkungannya.

b. Pengertian anak berkebutuhan khusus


Anak Berkebutuhan Khusus, yang dikenal sebagai ABK, menunjukkan
perbedaan yang mencolok dalam beberapa area penting dari fungsi kemanusiaan
mereka. Pencapaian tujuan, kebutuhan, atau potensi penuh mereka terhambat oleh
hambatan sosial, psikologis, kognitif, atau fisik. Ini termasuk mereka yang tuli,
buta, mengalami kesulitan bicara, masalah kesehatan mental, masalah emosional,
atau gangguan pendengaran. Karena mereka membutuhkan perawatan khusus dari
para ahli, anak-anak yang sangat pandai juga dapat dikategorikan sebagai anak
istimewa atau luar biasa (Suran dan Rizzo, 1979).

Anak berkebutuhan khusus, juga dikenal sebagai anak luar biasa, adalah
mereka yang berbeda dari rata-rata anak normal dalam hal karakteristik mental,
kemampuan sensorik, fisik, dan neuromuskuler, perilaku sosial dan emosional,
kemampuan komunikasi, atau kombinasi dari dua atau lebih karakteristik yang
disebutkan di atas, menurut Frieda Mangunsong dalam bukunya "Psikologi dan
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus". Mereka juga dapat digambarkan sebagai
anak-anak yang membutuhkan modifikasi pada tugas, kurikulum, atau strategi
instruksional, di antaranya.
c. Pengertian sekolah inklusif

Anak-anak berkebutuhan khusus sering kali didaftarkan ke program


pendidikan khusus atau sekolah luar biasa (SLB) oleh orang tua mereka. Hal ini
karena sekolah khusus menggunakan strategi pengajaran yang secara khusus
dibuat untuk memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Untuk
memastikan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pengajaran dan
keterampilan yang tepat, ada banyak solusi alternatif yang tersedia. Anak
berkebutuhan khusus juga bisa mendapatkan pendidikan di sekolah inklusi.

Anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah inklusi bersama


dengan siswa lainnya, namun tetap diawasi oleh guru pendamping selama di
kelas. Anak berkebutuhan khusus dapat beradaptasi dan memperoleh pendidikan
sebaik mungkin jika sekolah inklusi memiliki sistem pembelajaran, pengajaran,
kurikulum, sarana dan prasarana, serta sistem evaluasi yang disesuaikan dengan
kebutuhan mereka.

Siswa yang memiliki keterbatasan yang sama akan bersekolah di sekolah


inklusi bersama dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Siswa akan belajar untuk
menghargai, menghormati, dan menerima satu sama lain secara empatik di
sekolah-sekolah ini.

F. PEMBAHASAN
A. DINAMIKA PSIKOLOGIS ABK DI SEKOLAH INKLUSIF
Dinamika psikologis pada Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah inklusif
dapat dilihat dari 6 dimensi psikologis berikut ini:
1. Penerimaan diri (self-acceptance).
Anak-anak berkebutuhan khusus tampak tidak mampu menerima siapa diri
mereka dan terus berfokus pada kekurangan mereka. Ryff dan Singer (2008)
mendeskripsikan penerimaan diri sebagai pandangan positif terhadap inkarnasi
sebelumnya dan merangkul bakat serta kekurangan seseorang.
2. Tujuan Hidup (Purpose in Life).
Anak-anak berkebutuhan khusus menyatakan optimisme mereka akan masa
depan. Namun demikian, tiga partisipan mengatakan bahwa mereka masih
belum dapat mencapai tujuan tersebut. Kapasitas seseorang untuk memberikan
makna pada hidupnya disebut oleh Ryff dan Singer (2008) sebagai tujuan
hidup.
3. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others)
Sejauh mana anak muda memiliki interaksi yang baik dengan orang lain atau
lingkungannya bervariasi. Seseorang yang berada dalam hubungan yang sehat
dapat memiliki persahabatan yang hangat dan menyenangkan dengan orang
lain, demikian menurut Ryff dan Singer (2008).
4. Kemandirian (Autonomy).

Mereka mampu melakukan tugas sehari-hari secara mandiri termasuk makan,


minum, mandi, menggunakan kamar kecil, dan buang air besar. Keempat
responden tetap dijemput oleh orang tua mereka atau pergi ke sekolah dengan
bantuan orang lain. Di sekolah, tidak satu pun dari keempat responden yang
dapat menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran mandiri. Guru pendamping
khusus dibutuhkan untuk keempat murid, namun tidak selalu ada untuk
mendampingi mereka di kelas. Tak satu pun dari keempat orang tersebut yang
terlihat memiliki bantuan di rumah. Akibatnya, instruktur mereka sering kali
menyelesaikan tugas mereka dan bukan mereka. Orang dengan kemandirian
yang tinggi, menurut Ryff dan Singer (2008), adalah orang yang otonom dan
mandiri; mereka dapat menahan tekanan sosial dalam ide dan perilaku mereka;
dan mereka dapat mengendalikan perilaku mereka sendiri; dan mereka
mengevaluasi diri mereka sendiri berdasarkan standar pribadi mereka.

5. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery).


Ryff dan Singer (2008) mendeskripsikan penguasaan lingkungan sebagai akses
yang cukup terhadap sumber daya kehidupan. Individu yang percaya bahwa
mereka dapat mengelola situasi sulit dalam berbagai kegiatan, memanfaatkan
kemungkinan di lingkungan mereka, dan memilih atau menciptakan
pengaturan yang sesuai dengan nilai atau persyaratan mereka dianggap
memiliki penguasaan lingkungan yang tinggi. Dalam hal ini, mereka mampu
mengatur pergerakan dan aksesibilitas di lingkungan sekolah dengan cukup
efektif.
6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Tampaknya subjek belum melakukan perkembangan semaksimal mungkin dan
masih terpaku pada kekurangannya, baik mental maupun fisik. Menurut Ryff
dan Singer (2008), orang yang mengalami pertumbuhan pribadi memandang
diri mereka selalu berkembang, mengakui bahwa mereka sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, menerima pengalaman baru, mengakui
bahwa mereka sedang mengalami perubahan perilaku dan peningkatan diri,
serta mengalami perubahan yang mencerminkan efikasi dan pengetahuan diri.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PSIKOLOGIS ANAK


DI SEKOLAH INKLUSIF
Dalam penelitian ini ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi psikologis
pada anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif, antara lain:
1. Sosial
Lingkungan sekolah berdampak pada dukungan sosial bagi anak-anak
berkebutuhan khusus saat mereka belajar. ABK akan kesulitan mengikuti
pelajaran di sekolah inklusi jika mereka tidak sering mendapatkan bantuan
dari anggota staf yang terampil dalam menangani ABK.
2. Ekonomi
Jika orangtua tidak mampu membayar SPP, ABK akan merasa tidak nyaman.
Selain itu, orangtua belum mampu untuk menyediakan Guru Pendamping
Khusus secara mandiri karena keadaan ekonomi yang buruk.
3. Sistem Pembelajaran
Metode pembelajarannya sama dengan kelas reguler tanpa penyesuaian,
meskipun persyaratan evaluasi untuk siswa normal dikurangi. Hal ini
menyulitkan siswa ABK untuk mengikuti proses pembelajaran.
4. Karakteristik
Selain itu, kesehatan mental anak-anak penyandang disabilitas dipengaruhi
oleh banyak kategori atau ciri-ciri yang mendefinisikan mereka. Pembatasan:
Anak-anak penyandang disabilitas yang menunjukkan keterbatasan yang jelas-
seperti keterbatasan fisik atau perilaku yang tidak biasa-lebih mungkin
dirundung oleh orang lain di lingkungan mereka. Perundungan dari
lingkungan sekitar tidak terjadi ketika seseorang memiliki keterbatasan yang
tidak terlihat secara kasat mata dan membutuhkan penilaian lebih lanjut,
seperti keterbatasan mental.
G. SIMPULAN
Mengacu pada hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Karena kemandirian mereka dalam tugas sehari-hari dan kesadaran lingkungan
yang kuat, anak-anak berkebutuhan khusus dapat menavigasi lingkungan
sekolah dan melakukan orientasi dan mobilitas secara mandiri.
2. Anak Berkebutuhan Khusus memang memiliki cita-cita dalam hidupnya,
tetapi mereka tidak dapat mengarahkannya. Hal ini disebabkan oleh fakta
bahwa mereka tampaknya tidak menerima yang baik dan terus berfokus pada
kekurangan mereka, baik fisik maupun nonfisik. Selain itu, kurangnya
penerimaan diri ini menyebabkan subjek tidak tumbuh secara optimal secara
pribadi.
3. Interaksi positif yang dimiliki anak-anak berkebutuhan khusus dengan orang
lain dipengaruhi oleh bagaimana orang lain memperlakukan mereka. Mereka
akan merasa takut berada di sana jika orang-orang di sekitarnya merundung
mereka. Di sisi lain, jika mereka diperlakukan seperti anak-anak "normal" di
lingkungannya, mereka juga akan merasa nyaman dan dapat bergaul.
4. Kesehatan psikologis anak-anak ABK di sekolah inklusi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, termasuk kondisi sosial dan ekonomi, strategi pengajaran, dan
karakteristik siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Alsa, A. (2004). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam


Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
BPS. (2017, Agust 3). BPS Dukung Hak Penyandang Disabilitas. Diunduh dari
https://www.bps.go.id/index.php/k egiatanLain/91.
Conger, R.D., Wallace, L.E., Sun, Y., Simon, R.L., McLoyd, V.C., Brody, G. H.
(2002). Economic Pressure in African American Families: A Replication and
Extension of the Family Stress Model. Journal of Development Psychology,
38, 179-193.
Diener, E., Wirtz, D., BiswasDiener, R., Tov, W., Kim-Prieto, Chu, Choi, Dong-won,
& Oishi, S. (2009). New measures of well-being. E. Diener (ed.), Assessing
well-being: The collected works of Ed Diener, Social Indicators Research
Series 39, doi: 10.1007/978-90-481-2354- 4 12.
Halahan, D.P & Kauffman, J.M. (2006). Exeptional Childern: Introduction to Special
Education (International, ed). Allyn & Bacon: Boston.
Huppert, F. A. 2009. Psychological Well-being: Evidence Regarding its Causes and
Consequences. Journal Compilation of Applied Psychology: Health and
Wellbeing, 1, 137-164.
Jibeen, T., & Khalid, T. (2010). Predictors of psychological well-being of Pakistani
immigrants in Toronto, Canada. International Journal of intercultural relation,
34, 452-464.
Keyes, C. L. (2013). Mental Well Being: International Contributions to The Study of
Positive Mental Health. Atlanta: Springer.
Kustawan, D. (2013). Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta: PT.
Luxima Metro Media.
Mangungsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Jilid
kesatu. Jakarta: LP3PS UI
Mangungsong, F. (2011).Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Jilid
kedua. Jakarta: LP3PS UI
Maulana, M. (2008). Anak Autis: Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain
Menuju Anak Cerdas dan Sehat.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Nelma H., Bintari D. R, Nurwiyanti F. (2012). Hubungan Komitmen Beragama
Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Masyarakat Jakarta Usia Dewasa.
Jurnal Pitutur. 1, 25 -56
Ninawati, F.I. (2005). Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda
Ditinjau Dari Pola Attachment. Jurnal Psikologi, 3, 44 – 64.
Rahma RN. 2015. Kesejahteraan Psikologis Penyandang Tunanetra (Studi pada
Mahasiswa Tunanetra Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta). Jurnal Bimbingan dan Konseling, 7, 1-13
Ribbany, E.T. (2016). Bullying Pada Pola Interaksi Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) di Sekolah Inklusif. Jurnal Paradigma, 4, 1 – 7.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). Onhappiness and human potensials: areview of
research on hedonic and eudaimonic well being. Annual Review, 141- 66.
Ryff, C.D., & Singer, B.H. (2008). Know Thyself and Become What You Are: An
Eudaimonic Approach to Psychological Well-being. Journal of Happiness
Studies 9,13-39.
Smith, J.D. (2012). Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung:
Nuansa
Winarsih, T. (2006). Subjective wellbeing pada wanita menopause. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. (Tidak Diterbitkan).

Anda mungkin juga menyukai