Oleh:
ABSTRACT
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologis
anak berkebutuhan khusus berkembang di sekolah inklusif, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi psikologis mereka. Dalam penelitian ini, metode deskriptif
kualitatif digunakan untuk pengumpulan data, yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis dari berbagai sumber. Teknik pengumpulan data ini
dilakukan dengan mencari referensi terkait dengan jurnal, skripsi, dan sumber
informasi lainnya. Setelah mencari dari berbagai sumber, referensi yang dicari
kemudian digunakan untuk membuat kesimpulan. Hasil penelitian menyatakan
bahwa: 1) Anak Berkebutuhan Khusus melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
dan menguasai lingkungannya dengan baik; 2) Anak Berkebutuhan Khusus memiliki
cita-cita dalam menentukan tujuan hidup, tetapi tidak dapat mengarahkannya; dan 3)
subjek memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, dipengaruhi oleh
bagaimana orang lain memperlakukan mereka. 4) Faktor-faktor yang mempengaruhi
psikologis anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif, seperti sistem pembalajaran,
ekonomi, sosial, dan karakteristik subjek, menyebabkan subjek merasa terancam
berada di lingkungan tersebut;
Kata kunci; Psikologis Anak, Anak Berkebutuhan Khusus, Sekolah Inklusif.
A. LATAR BELAKANG
Setiap orang berhak untuk bahagia, dan anak-anak dengan kebutuhan khusus
juga demikian. Anak-anak yang menderita gangguan kronis yang membatasi
kemampuan mereka untuk sepenuhnya terlibat dalam masyarakat disebut sebagai
penyandang disabilitas. Hal ini sejalan dengan kesepakatan global yang dicapai pada
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas tahun 2017 di New York, Amerika Serikat,
yang mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai seseorang yang mengalami
gangguan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
membatasi kemampuannya untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam
lingkungannya. (www.bps.go.id, 2017).
Anak-anak dengan kebutuhan khusus kini menikmati hak yang sama di semua
bidang kehidupan, termasuk hak atas pendidikan, berkat kemajuan hak asasi manusia.
Hal ini ditandai dengan perubahan dari integrasi dan segregasi menjadi inklusi dalam
sistem pendidikan. Semua anak, baik yang normal maupun berkebutuhan khusus,
dapat belajar di ruang kelas yang sama di sekolah inklusi. Menurut Mangunsong
(2009), sekolah inklusi juga menghargai keberagaman dalam hal bakat, budaya, ras,
etnis, dan latar belakang sosial. Sekitar 299.000 dari 1,6 juta siswa penyandang
disabilitas di Indonesia bersekolah di sekolah konvensional atau sekolah inklusif,
sementara 115.000 lainnya bersekolah di sekolah luar biasa (SLB). Banyaknya jumlah
siswa penyandang disabilitas yang bersekolah di sekolah inklusi mengindikasikan
bahwa sistem pendidikan inklusi telah diterima secara luas di masyarakat Indonesia.
(kemendikbud.go.id, 2017).
Hal ini menunjukkan bahwa di sekolah inklusi, pengajar dan siswa lainnya
tidak memberikan bantuan sosial bagi anak-anak dengan hambatan. Sekolah adalah
lingkungan kedua yang paling berpengaruh setelah keluarga. Anak-anak terpengaruh
oleh interaksi antara pengajar dan teman sekelas (Somantri, 2007).
Diyakini bahwa ABK akan memiliki kesejahteraan psikologis yang buruk jika
mereka tidak menerima bantuan sosial di sekolah. Hal ini didasarkan pada pandangan
yang diungkapkan oleh Jibeen dan Khalid (2010), yang menyatakan bahwa tingginya
tingkat tekanan psikologis seseorang merupakan tanda kurangnya dukungan sosial,
yang pada akhirnya mengarah pada kurangnya kesejahteraan psikologis.
E. KAJIAN PUSTAKA
a. Pengertian psikologis anak
Anak berkebutuhan khusus, juga dikenal sebagai anak luar biasa, adalah
mereka yang berbeda dari rata-rata anak normal dalam hal karakteristik mental,
kemampuan sensorik, fisik, dan neuromuskuler, perilaku sosial dan emosional,
kemampuan komunikasi, atau kombinasi dari dua atau lebih karakteristik yang
disebutkan di atas, menurut Frieda Mangunsong dalam bukunya "Psikologi dan
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus". Mereka juga dapat digambarkan sebagai
anak-anak yang membutuhkan modifikasi pada tugas, kurikulum, atau strategi
instruksional, di antaranya.
c. Pengertian sekolah inklusif
F. PEMBAHASAN
A. DINAMIKA PSIKOLOGIS ABK DI SEKOLAH INKLUSIF
Dinamika psikologis pada Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah inklusif
dapat dilihat dari 6 dimensi psikologis berikut ini:
1. Penerimaan diri (self-acceptance).
Anak-anak berkebutuhan khusus tampak tidak mampu menerima siapa diri
mereka dan terus berfokus pada kekurangan mereka. Ryff dan Singer (2008)
mendeskripsikan penerimaan diri sebagai pandangan positif terhadap inkarnasi
sebelumnya dan merangkul bakat serta kekurangan seseorang.
2. Tujuan Hidup (Purpose in Life).
Anak-anak berkebutuhan khusus menyatakan optimisme mereka akan masa
depan. Namun demikian, tiga partisipan mengatakan bahwa mereka masih
belum dapat mencapai tujuan tersebut. Kapasitas seseorang untuk memberikan
makna pada hidupnya disebut oleh Ryff dan Singer (2008) sebagai tujuan
hidup.
3. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others)
Sejauh mana anak muda memiliki interaksi yang baik dengan orang lain atau
lingkungannya bervariasi. Seseorang yang berada dalam hubungan yang sehat
dapat memiliki persahabatan yang hangat dan menyenangkan dengan orang
lain, demikian menurut Ryff dan Singer (2008).
4. Kemandirian (Autonomy).
DAFTAR PUSTAKA