Anda di halaman 1dari 67

PERILAKU SOSIAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

TUNAGRAHITA (STUDI KASUS PADA SISWA


DI SD UMUM BENGKULU UTARA)

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH
INDAH RAHMAWATI
A1G018047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak semua anak terlahir dengan sempurna, melainkan ada yang

mempunyai kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus dapat diartikan sebagai

kebutuhan khas yang diperlukan anak dengan berbagai keistimewaannya

(Wardani, 2013: 1.5). Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan

menghambat perkembangannya secara optimal. Kebutuhan khusus sendiri

terbagi dalam konteks yang berbeda diantaranya ada yang bersifat biologis,

psikologis dan sosio-kultural (Desiningrum, 2016 : 2).

Jumlah anak Indonesia sebanyak 82.980.000. Dari populasi tersebut,

9.957.600 anak adalah anak berkebutuhan khusus dalam kategori penyandang

disabilitas. Sendangkan jumlah anak dengan kecerdasan istimewa dan

berbakat istimewa adalah sebesar 2,2 % dari populasi anak usia sekolah (4-18

tahun) atau sekitar 1.185.560 anak. Winarsih dkk ( 2013: 2)

Ada berbagai jenis klasifikasi anak berkebutuhan khusus, salah

satunya yaitu anak dengan gangguan intelektual. Tunagrahita termasuk ke

dalam gangguan intelektual, yaitu anak yang mengalami hambatan dan

keterbelakangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata sehingga

berpengaruh terhadap kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas dan

kuantitas (Desiningrum, 2016 : 16). Hal tersebut diperkuat kembali oleh

pernyataan Utari & Nanik (2015: 280), bahwa anak tunagrahita mengalami
retardasi mental sehingga perkembangan otak dan fungsi saraf tidak

sempurna.

IQ (intelligence quotient) anak tunagrahita menjadi faktor

digolongkannya tingkat tunagrahita seorang anak. Di Indonesia klasifikasi

yang digunakan terdapat dalam PP 72 Tahun 1991 yang terdiri dari

tunagrahita ringan, sedang, berat dan sangat berat. Tunagrahita sedang

memiliki intelegensi 30-50. Umumnya anak tunagrahita sedang berada pada

tahap bina diri yang memerlukan bantuan orang terdekatnya untuk memenuhi

kebutuhannya sendiri seperti makan dan minum (Wardani, 2013: 6.23).

Didalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan

Inklusif, mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit

satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap

kecamatan. Dan satu-satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan

pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.

Tunagrahita adalah anak yang memiliki gangguan mental intelektual.

Anak tunagrahita cenderung memiliki intelegensi dibawah rata-rata normal,

disertai dengan ketidak mampuan dalam perilaku adaptif yang muncul dalam

masa perkembangannya. Ramadhan (2017:14).

Dampak dari ketunagrahitaan tentunya cukup luas. Wardani (2013:

6.20), mengemukankan dampak tersebut yaitu pada kemampuan akademik,

sosial/emosional dan fisik/kesehan. Dampak ketunagrahitaan sosial/emosional

berkaitan dengan lingkungan tempat anak tumbuh seperti di rumah, sekolah


dan masyarakat. Anak yang mengalami tunagrahita memiliki kesulitan atau

kurang mampu dalam berperilaku yang sesuai dengan anak seusianya.

Manusia dikatakan sebagai mahluk sosial, dikarenaka pada diri

manusia ada dorongan untuk berhubungan (berinteraksi) dengan orang lain.

Ada kebutuhan sosial (social need) untuk hidup berkelompok dengan orang

lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk mencai kawan atau teman. Sihotang

(2008:38). Sebagai makhluk sosial, tentunya sesorang tidak dapat hidup

sendiri melainkan membutuhkan orang lain, sehingga perlu adanya interaksi

antara sesama manusia. Perilaku sosial yang ditunjukkan oleh seseorang

tentunya berbeda satu dengan yang lain.

Survei awal dalam penelitian ini melalui wawancara dengan Guru Wali

Kelas III SDN 143 Bengkulu Utara dan observasi langsung, diketahui bahwa

diantara siswa yang berada di kelas III terdapat satu siswa yang mengalami

ABK (tunagrahita). Siswa tersebut mengalami kesulitan dalam berbagai

aktivitas di sekolahnya, yaitu kemampuan berbicara yang sulit dipahami oleh

guru dan teman-teman sekelasnya, respon yang tidak sesuai ketika berinteraksi

dengan orang lain seperti hanya tertawa, dan juga sering mengganggu teman-

temannya ketika sedang belajar atau pada jam istirahat. Siswa tersebut tidak

mampu berkomunikasi maupun berpartisipasi dalam kegiatan kelas. Hal

tersebut mengakibatkan siswa tersebut cenderung menyendiri ketika teman-

teman yang lain sedang bermain bersama. Oleh karena itu, perilaku sosial

anak tunagrahita perlu mendapatkan perhatian khusus dari orang-orang

dilingkungan sekitarnya. Dari hasil onservasi tersebut juga ditemukan bahwa,


hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita tersebut tergolong tunagrahita

ringan yaitu : (1) cara berbicara yang kurang sopan; (2) tidak mau bekerja

sama dalam kelompok; (3) tidak mampu mengendalikan emosi; dan (4)

cenderung pendiam. Hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita sedang

antara lain: (1) tidak mau bekerja sama dalam kelompok; (2) cenderung

menarik diri; (3) tidak mampu menanggapi pembicaraan teman maupun guru

dengan tepat; (4) cenderung takut dengan teman yang lawan jenis; dan (5)

cenderung pendiam.

Adapun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada anak

berkebutuhan khusus tunagrahita diantaranya: Pertama, Suhendra (2021)

tentang meningkatkan kepercayaan diri anak tunagrahita di SLBN Tanjab

Timur, yaitu kenali kekurangan dan kelebihan anak, lakukan hal-hal yang

disukai oleh anak agar tidak bosan dengan kegiatan yang berulang. Kedua,

Azizah (2020) juga telah melakukan penelitian tentang pemenuhan kebutuhan

orangtua pada anak tunagrahita di SLBN Banjarnegara, pemenuhan kebutuhan

orang tua yang diberikan pada anak tuna grahita di sekolah yaitu, kebutuhan

fisiologis meliputi sandang seperti menyediakan kendaraan atau transportasi

untuk perjalanan ke sekolah, kebutuhan pangan seperti menyediakan bekal

atau membelikan makanan. Ketiga, Rina & Ane 2018 juga telah melakukan

penelitian tentang literasi matematika untuk anak sekolah dasar luar biasa

bagian C (Tuna Grahita), Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam GLS

(Gerakan Literasi Sekolah) adalah dengan kegiatan 15 menit membaca buku

non pelajaran sebelum waktu belajar di mulai. Keempat, Dewi & Agustan
(2018( telah melakukan penelitian tentang Analisis Kesulitan Belajar pada

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Di SMA Negeri 10 Kota Ternate

diantaranya yaitu lambat dalam mengerjakan tugas-tugas belajar, tidak mampu

menangkap penjelasan materi, tidak pernah mengumpulkan dan

menyelesaikan tugas dan sulit beradaptasi dengan proses belajar di sekolah

dan inteligensi dibawah ratarata serta kurang percaya diri. Dan kelima, Siti,

Binahayati & Budi (2017) telah melakukan penelitian tentang Pendidikan

Bagi Anak Tuna Grahita (Studi Kasus Tunagrahita Sedang di SLBN

Purwakarta) yang mengatakan bahwa Meskipun anak tunagrahita memiliki

hambatan, tidak menutup kesempatan untuk menerima pendidikan yang layak

dan tepat baik di rumah dan khususnya di sekolah, agar anak dengan

tunagrahita memiliki masa depan yang cerah, sama seperti anak pada

umumnya.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai anak kebutuhan khusus

Tunagrahita, banyak dilakukan di Sekolah Luar Biasa. Sejalan dengan

penelitian tersebut, peneliti beranggapan bahwa selain di Sekolah Luar Biasa

(SLB), ada juga anak kebutuhan khusus tunagrahita yang bersekolah di

sekolah umum pada jenjang Sekolah Dasar (SD) yang tentunya memiliki

lingkungan berbeda dengan SLB. Penelitian ini penting dilakukan karena

masih jarang peneliti terdahulu yang melakukan penelitian serupa di SD

Umum.

B. Fokus Penelitian
Sehubungan dengan judul dan latar belakang di atas, peneliti

memfokuskan penelitian ini pada Perilaku Sosial Anak Berkebutuhan Khusus

Tunagrahita di SD Umum Bengkulu Utara. Objek yang dituju adalah hanya

untuk perilaku salah satu anak tunagrahita di kelas III SDN 143 Bengkulu

Utara.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang

menjadi pokok permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana perilaku

sosial anak berkebutuhan khusus Tunagrahita di kelas III SDN 143 Bengkulu

Utara?.

D. Tujuan Penelitian

Dalam sebuah penelitian, tentu terdapat suatu tujuan yang ingin di

capai. Adapun tujuan dalam penelitian ini, yaitu Untuk mendeskripsikan

perilaku sosial anak berkebutuhan khusus Tunagrahita di kelas III SDN 143

Bengkulu Utara.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat diantaranya

adalah:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

perilaku sosial anak berkebutuhan khusus tunagrahita di SD umum


Bengkulu Utara. Selain itu diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumber informasi bagi peneliti lain yang akan

meneliti tentang perilaku sosial anak tunagrahita.

2. Manfaat praktis

a. Manfaat bagi peneliti

Menambah pengetahuan peneliti tentang perilaku sosial anak

tunagrahita di Sekolah Dasar Umum Bengkulu Utara.

b. Manfaat bagi Informan

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada

orang tua, guru dan masyarakat pada umumnya akan pengetahuan

tentang perilaku anak kebutuhan khusus tunagrahita, dimana

perilaku ini perlu disikapi dengan semestinya baik di lingkungan

sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

c. Manfaat bagi Akademis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka

melakukan upaya-upaya yang lebih terencana untuk mengurangi

hambatan yang dialami anak tunagrahita dalam melakukan

interaksi sosial di sekolah.

d. Manfaat bagi Lembaga

Hasil penelitian yang tersusun dalam laporan tugas akhir ini

diharapkan bisa menjadi literatur perpustakaan PGSD Universitas

Bengkulu.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Perilaku Sosial

a. Pengertian Perilaku sosial

Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan

hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri

melainkan memerlukan bantuan dari orang lain. Ada ikatan saling

ketergantungan diantara satu orang dengan yang lainnya. Artinya

bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana

saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut

mampu bekerja sama, saling menghormati, tidak menganggu hak

orang lain, toleransi dalam hidup bermasyarakat. Budiman

(2012:1)

Perilaku sosial berkaitan dengan kehidupan sehari-hari

manusia. Nurfidaus (2019: 39) perilaku sosial adalah adanya suatu

hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan lingkungan sekitar.

Damayanti (2017: 2) perilaku sosial adalah kegiatan yang

berhubungan dengan orang lain, kegiatan yang berkaitan dengan

pihak lain yang memerlukan sosialisasi dalam hal bertingkah laku

yang dapat diterima oleh orang lain, belajar memainkan peran

sosial yang dapat diterima oleh orang lain, serta upaya

mengembangkan sikap sosial yang layak diterima oleh orang lain.


Novasari (2016: 7) perilaku sosial yaitu kelangsungan hidup

manusia saling ketergantungan pada manusia yang satu dengan

yang lain untuk menjamin keberadaan manusia.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial merupakan

tingkah laku manusia terhadap manusia lain di lingkungan sekitar,

belajar memainkan peran sosial, mengembangkan sikap sosial,

hidup saling ketergantungan pada manusia lain untuk menjamin

keberadaban manusia.

b. Perilaku Sosial Anak Sekolah Dasar

Perilaku sosial manusia berbeda-beda termasuk pada

anak sekolah dasar. Nurfidaus (2019: 41) perkembangan sosial

pada anak-anak sekolah dasar mengalami perluasan hubungan,

selain dengan keluarga mereka juga memulai suatu hubungan atau

ikatan baru dengan teman sebayanya sehingga ruang gerak

sosialnya semakin luas. Mardiah (2017: 109) perkembangan

perilaku sosial siswa ditandai dengan adanya minat terhadap

aktivitas teman-teman dan meningkatkan keinginan yang kuat

untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas

bila tidak bersama teman-temannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial anak

sekolah dasar mengalami perluasan dengan teman sebayanya

agar dapat diterima pada lingkungan tersebut.


c. Bentuk-Bentuk Perilaku Sosial

Klasifikasi mengenai perilaku sosial atau tindakan

sosial menurut Max Weber (2001: 23) dalam Nisrima,

Muhammad & Erna (2016: 198) adalah .

1) Rasionalitas Instrumental (Zweckkrationalitat)

Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan

kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang

akan dicapai.

2) Rasionalitas yang Berorientasi Nilai (Wertrationalitat)

Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan

manfaatnya tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu

dipentingkan oleh si pelaku.

3) Tindakan Tradisional

Tindakan tradisional adalah tindakan yang ditentukan oleh

cara bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan.

Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional.

Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya

atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan

dan cara yang akan digunakan.

4) Tindakan Afektif

Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau

emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang


sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-

luap seperti cinta, ketakutan, kemarahan, atau kegembiraan,

dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa

refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif.

Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya

pertimbangan yang logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas

lainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial dapat

terbentuk dari adanya interaksi manusia sebagai makhluk

sosial atau makhluk individu.

d. Faktor Pembentuk Perilaku Sosial

Nurfidaus (2019: 40) Perilaku sosial dapat terbentuk

dari adanya interaksi manusia sebagai mahluk sosial dan

mahluk individu. Baron dan Byrne (2003: 24) dalam Nisrima,

Muhammad & Erna (2016: 198-199) berpendapat bahwa ada

empat kategori utama yang dapat membentuk perilaku sosial

seseorang yaitu:

1) Perilaku dan karakteristik orang lain jika seseorang lebih

sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter

santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti

kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam

lingkungan pergaulannya. Sebaliknya jika ia bergaul


dengan orang-orang berkarakter sombong maka ia akan

terpengaruh oleh perilaku seperti itu.

2) Proses kognitif Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide,

keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran

sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku

sosialnya.

3) Faktor lingkungan Lingkungan alam terkadang dapat

mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Misalnya orang

yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan yang

terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku sosialnya

seolah keras pula, ketika berada di lingkungan masyarakat

yang terbiasa lembut dan halus dalam bertutur kata, maka

anak cenderung cenderung bertutur kata yang lemah lembut

pula.

4) Tatar Budaya Sebagai tampat perilaku dan pemikiran sosial

itu terjadi. Misalnya seseorang yang berasal dari etnis

budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial

aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang

beretnis budaya lain atau berbeda.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa faktor mempunyai peran penting dalam perilaku

sosial.
e. Indikator Perilaku Sosial

Berbagai bentuk perilaku sosial seseorang pada

dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian yang dapat

teramati ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain.

Seperti dalam kehidupan kelompok, kecenderungan perilaku

sosial seseorang yang menjadi anggota kelompok akan terlihat

jelas diantara anggota kelompok lainnya. Menurut Budiman

(2012: 3), Indikator perilaku sosial dapat dilihat melalui sikap

dan pola respon antar pribadi, yaitu :

1) Kecenderungan Perilaku Peran

a) Sifat pemberani dan pengecut secara sosial

Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial,

biasanya dia suka mempertahankan dan membela

haknya, tidak malu-malu atau tidak segan melakukan

sesuatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat

dalam mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat

tenaga. Sedangkan sifat pengecut menujukkan perilaku

atau keadaan sebaliknya, seperti kurang suka

mempertahankan haknya, malu dan segan berbuat untuk

mengedepankan kepentingannya.

b) Sifat berkuasa dan sifat patuh

Orang yang memiliki sifat sok berkuasa dalam perilaku

sosial biasanya ditunjukkan oleh perilaku seperti


bertindak tegas, berorientasi kepada kekuatan, percaya

diri, berkemauan keras, suka memberi perintah dan

memimpin langsung. Sedangkan sifat yang patuh atau

penyerah menunjukkan perilaku sosial sebaliknya,

misalnya kurang tegas dalam bertindak, tidak suka

memberi perintah dan tidak berorientasi kepada

kekuatan dan kekerasan.

c) Sifat inisiatif secara sosial dan fasif

Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka

mengorganisasi kelompok, tidak suka mempersoalkan

latar belakang, suka memberi masukan atau saran-saran

dalam berbagai pertemuan, dan biasanya suka

mengambil alih kepemimpinan. Sedangkan sifat orang

yang pasif secara sosial ditunjukkan oleh perilaku yang

bertentangan dengan sifat orang yang aktif, misalnya

perilakunya yang dominan diam, kurang berinisiatif,

tidak suka memberi saran atau masukan.

d) Sifat mandiri dan tergantung

Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat

segala sesuatunya dilakukan oleh dirinya sendiri, seperti

membuat rencana sendiri, melakukan sesuatu dengan

cara-cara sendiri, tidak suak berusaha mencari nasihat

atau dukungan dari orang lain, dan secara emosiaonal


cukup stabil. Sedangkan sifat orang yang

ketergantungan cenderung menunjukkan perilaku sosial

sebaliknya dari sifat orang mandiri, misalnya membuat

rencana dan melakukan segala sesuatu harus selalu

mendapat saran dan dukungan orang lain, dan keadaan

emosionalnya relatif labil.

2) Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial

a) Dapat diterima atau ditolak oleh orang lain

Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang

lain biasanya tidak berprasangka buruk terhadap orang

lain, loyal, dipercaya, pemaaf dan tulus menghargai

kelebihan orang lain. Sementara sifat orang yang

ditolak biasanya suak mencari kesalahan dan tidak

mengakui kelebihan orang lain.

b) Suka bergaul dan tidak suka bergaul

Orang yang suka bergaul biasanya memiliki hubungan

sosial yang baik, senang bersama dengan yang lain dan

senang bepergian. Sedangkan orang yang tidak suak

bergaul menunjukkan sifat dan perilaku yang

sebaliknya.

c) Sifat ramah dan tidak ramah


Orang yang ramah biasanya periang, hangat, terbuka,

mudah didekati orang, dan suka bersosialisasi. Sedang

orang yang tidak ramah cenderung bersifat sebaliknya.

d) Simpatik atau tidak simpatik

Orang yang memiliki sifat simpatik biasanya peduli

terhadap perasaan dan keinginan orang lain, murah hati

dan suka membela orang tertindas. Sedangkan orang

yang tidak simpatik menunjukkna sifat-sifat yang

sebaliknya.

3) Kecenderungan perilaku ekspresif

a) Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka

bersaing (suka bekerja sama)

Orang yang suka bersaing biasanya menganggap

hubungan sosial sebagai perlombaan, lawan adalah

saingan yang harus dikalahkan, memperkaya diri

sendiri. Sedangkan orang yang tidak suka bersaing

menunjukkan sifat-sifat yang sebaliknya

b) Sifat agresif dan tidak agresif

Orang yang agresif biasanya suka menyerang orang lain

baik langsung ataupun tidak langsung, pendendam,

menentang atau tidak patuh pada penguasa, suka

bertengkar dan suka menyangkal. Sifat orang yang tidak

agresif menunjukkan perilaku yang sebaliknya.


c) Sifat kalem atau tenang secara sosial

Orang yang kalem biasanya tidak nyaman jika berbeda

dengan orang lain, mengalami kegugupan, malu, ragu-

ragu, dan merasa terganggu jika ditonton orang.

d) Sifat suka pamer atau menonjolkan diri

Orang yang suka pamer biasanya berperilaku

berlebihan, suka mencari pengakuan, berperilaku aneh

untuk mencari perhatian orang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial

berindikator dengan hubungan sosial yang dinamis

antara individu dengan individu, individu dengan

kelompok, maupun kelompok dengan kelompok

f. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sosial

Menurut Utami (2018: 43) faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku sosial anak yaitu:

1) lingkungan keluarga, keluarga merupakan kelompok sosial

pertama dalam kehidupan sosial anak, diantara faktor yang

terkait dengan keluarga adalah sosial ekonomi, keluarga,

keutuhan keluarga, serta sikap dan kebiasaan orang tua,

2) faktor luar rumah, pengalaman sosial awal di luar rumah

melengkapi pengalaman di dalam rumah dan merupakan

penentu yang penting bagi sikap sosial dan pola perilaku

anak,
3) faktor pengalaman sosial awal, pengalaman sosial awal

sangat menentukan kepribadian selanjutnya.

2. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

a. Pengertian ABK

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang karena

sesuatu hal mengalami kondisi apa saja yang menghambat

pertumbuhan dan perkembangan normal anak, yang

menyimpang (membuat tidak normal atau kelainan)

pertumbuhan dan perkembangan normal anak, serta kondisi apa

saja yang mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan

dan perkembangan atau penyesuaian hidup normal anak.

Menurut Ramadan (2017: 10), anak berkebutuhan khusus atau

sering disingkat ABK adalah mereka yang memiliki perbedaan

dengan rata-rata anak seusianya atau anak-anak pada

umumnya. Sedangkan menurut Desiningrum (2016: 1), Anak

berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan

penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan

dan kelainan yang dialami anak. Wardani (2013: 15)

menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK)

digunakan sebagai istilah umum untuk semua anak yang

mempunyai kebutuhan khusus karena kelainan fisik,

emosional, mental, sosial, dan/atau kecerdasan atau bakat

istimewa yang dimilikinya.


Jadi dapat disimpulkan bahwa anak berkebuhan khusus

merupakan anak dengan keterbatasan pertumbuhan dan

perkembangan yang dapat menghambat tumbuh kembang

maupun fisiknya sehingga memerlukan kebutuhan yang

berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

b. Klasifikasi ABK

Ramadhan (2017: 11-32) beragam sekali anak

berkebutuhan khusus di sekeliling kita. Berikut adalah

beberapa jenis ABK yang sering kita temui :

1) Tunarungu

Tunarungu adalah seseorang yang memiliki hambatan

dengan pendengarannya baik permanen maupun tidak

permanen. Hal ini disebabkan karena organ

pendengaran anak tidak berfungsi sebagaimana

mestinya, sehingga menyebabkan mereka memiliki

karakteristik yang khas, berbeda dengan anak-anak

normal pada umumnya.

2) Tunagrahita

Tunagrahita adalah anak yang memiliki gangguan

mental-intelektual. Anak tunagrahita cenderung

memiliki intelegensi di bawah rata-rata normal. Disertai

dengan ketidakmampuan dalam perilaku adaptif yang

muncul dalam masa perkembangannya. Perilaku adaptif


diartikan sebagai kemampuan seseorang memikul

tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial

tertentu. Sifatnya kondisional sesuai dengan tahapan

perkembangannya.

3) Tunadaksa

Tunadaksa merupakan anak yang mengalami gangguan

pada anggota tubuhnya. Biasanya mengalami kelainan

fisik atau cacat pada anggota tubuh. Selain itu anak

tunadaksa juga memiliki gangguan gerak yang

disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur

tulang yang bersifat bawaan sejak lahir, sakit,

disebabkan obat-obatan atau kecelakaan, termasuk

celebral palsy (kelainan yang terdapat di syaraf pusat

atau otak), amputasi, polio, dan lumpuh.

4) Tunawicara

Tunawicara merupakan ketidakmampuan anak untuk

berbicara. Hal ini disebabkan adanya gangguan pada

fungsi bicara seperti organ berikut : pita suara, paru-

paru, mulut, lidah, langit-langit, dan tenggorokan. Tidak

berfungsinya organ pendengaran, perkembangan bahasa

yang lambat, kerusakan pada sistem syaraf dan struktur

otot, tidak mampu mengontrol gerak itu semua dapat

mengakibatkan hambatan dalam berbicara.


5) Autis

Anak penyandang autis sangat beragam, dilihat dari

kemampuan yang dimiliki, perilakunya bahkan tingkat

intelegensinya. Karakteristiknya yaitu hambatan dalam

komunikasi, Kesulitan dalam berhubungan dengan

orang lain, bermain dengan mainan atau benda lain

secara tidak wajar, sulit menerima perubahan, gerakan

tubuh yang berulang-ulang.

6) Disleksia

Anak ini mengalami kesulitan mengenali huruf maupun

kata-kata. Tidak hanya itu anak disleksia mengalami

kesulitan membaca, mengeja, menulis, maupun tata

bahasa yang lain. Akan tetapi dilihat dari segi

intelegensinya mereka mempunyai level yang normal,

bahkan sebagian lain di atas normal.

7) Disgrafia

Disgrafia merupakan anak yang mengalami hambatan

secara fisik yaitu kemampuan menulis, tulisan buruk

atau bahkan tidak mampu memegang pensil dengan

baik. Anak ini kesulitan ketika memadukan antara

ingatan dengan penguasaan gerak otot secara otomatis

ketika menulis huruf abjad dan angka-angka.


8) ADD

ADD singkatan dari Attention Deficit Disorders. Anak

ADD mengalami kesulitan dalam memusatkan

perhatian (defisit dalam memusatkan perhatian)

sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang

diberikan kepadanya secara baik. Tidak hanya itu,

mereka juga mengalami kesulitan dalam bermain

bersamatemannya karena tidak memiliki perhatian yang

baik.

9) ADHD

ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) adalah

gangguan hiperaktif (defisit perhatian) atau gangguan

mental yang terutama menyerang anak-anak. Para ahli

percaya bahwa setidaknya tiga dari seratus anak usia 4-

14 tahun menderita ADHD. Ditaksir ADHD

memepengaruhi 5 hingga 10 kali lebih sering pada anak

laki-laki daripada anak perempuan.

Pada penelitian ini, peneliti fokus pada anak-anak

Tunagrahita. Secara sosial anak tunagrahita dipandang

sebagai bentuk adanya masalah sosial karena

keterbatasan dan kelainan mereka menghambat

partisipasi dalam masyarakat secara penuh bahkan

menjadi beban masyarakat terutama di dalam keluarga.


c. Faktor penyebab ABK

Wardani (2013: 1.21), berdasarkan waktu terjadinya,

penyebab kelainan dapat di bagi menjadi tiga kategori

1) Penyebab Prenatal, yaitu penyebab yang beraksi

sebelum kelahiran. Artinya, pada waktu janin masih

berada dalam kandungan, mungkin sang ibu terserang

virus, misalnya virul rubela, mengalami trauma atau

salah minum obat, yang semuanya ini berakibat bagi

munculnya kelainan kepada bayi.

2) Penyebab Perinatal, yaitu penyebab yang muncul pada

saat atau waktu proses kelahiran, seperti terjadinya

benturan atau infeksi ketika melahirkan, proses

kelahiran dengan penyedotan (di-vacum), pemberian

oksigen yang terlampau lama bagi anak yang lahir

premature.

3) Penyebab Postnatal, yaitu penyebab yang muncul

setelah kelahiran, misalnya kecelakaan, jatuh, atau kena

penyakit tertentu.

d. Dampak ABK

Wardani (2013: 1.24-1.29), dampak bagi anak, keluarga

dan masyarakat

1) Dampak Kelainan bagi Anak


Bagi anak, kelainan akan mempengaruhi

perkembangannya dan berdampak selama hidupnya.

Intensitas dampak ini dipengaruhi pula oleh jenis dan

tingkat kelainan yang diderita, serta masa munculnya

kelainan.

2) Dampak Kelainan bagi Keluarga

Bagi keluarga, dampak kelainan bervariasi, namun pada

umumnya keluarga merasa shock dan tidak siap

menerima kelainan (khususnya yang di bawah normal)

yang diderita oleh anaknya.

3) Dampak Kelainan bagi Masyarakat

Adanya anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam

keluarga dan masyarakat membuat keluarga dan

masyarakat menyediakan layanan dan fasilitas yang

dibutuhkan oleh ABK tersebut.

Maka dapat disimpulkan bahwa, terasingnya seseorang

dapat disebabkan oleh banyak hal, salahsatunya karena

cacat mental (hambatan mental/tunagrahita). Orang

yang mengalami hambatan mental akan mengalami

perasaan rendah diri, karena kemungkinan untuk

mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang

dan bahkan tertutup sama sekali.


3. Tunagrahita

a. Pengertian Tunagrahita

Tunagrahita memiliki kecerdasan di bawah anak

seusianya. Ramadhan (2017: 14) Tunagrahita adalah anak yang

memiliki gangguan mental-intelektual. Anak tunagrahita

cenderung memiliki intelegensi di bawah rata-rata normal dan

disertai dengan ketidakmampuan dalam perilaku adaptif yang

muncul dalam masa perkembangannya. Menurut American

Assosiation on Mental Deficiency (Pratiwi & Afin, 2020: 45),

tunagrahita disebut sebagai ketidakmampuan fungsi intelektual,

secara umumnya lamban, yaitu memiliki IQ kurang dari 84,

muncul sebelum usia 16 tahun, dan disertai dengan hambatan

dalam perilaku adaptif. Desiningrum (2016: 16) Tunagrahita

merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang

mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah

lain untuk tunagrahita ialah sebutan untuk anak dengan

hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya

kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah anak

dengan intellegensi dibawah anak seusianya serta memiliki

hambatan dalam berperilaku adaptif. secara sosial anak


tunagrahita dipandang sebagai bentuk adanya masalah sosial

karena keterbatasan dan kelainan mereka menghambat

partisipasi dalam masyarakat secara penuh bahkan menjadi

beban masyarakat terutama di dalam keluarga.

b. Faktor penyebab Tunagrahita

Menurut Afin & Pratiwi (2020: 48), faktor penyebab

tunagrahita di kelompokkan sebagai berikut:

1) Faktor genetis atau keturunan, yang dibawa dari gen ayah

dan ibu. Faktor ini bisa diantisipasi dengan konsultasi

kesehatan pra-marital dan sebelum kehamilan.

2) Faktor metabolisme dan gizi yang buruk, hal ini terjadi saat

ibu sedang hamil atau menyusui. Antisipasi bisa dilakukan

dengan memperhatikan gizi ibu dan rajin memeriksakan

janin serta bayi ke bidan, dokter, atau petugas kesehatan

setempat.

3) Infeksi dan keracunan yang bisa terjadi saat kehamilan.

Infeksi rubella dan sipilis dinyatakan sebagai dua faktor

yang membawa dampak buruk bagi perkembangan janin

termasuk terjadinya tunagrahita. Hal ini dapat dicegah

dengan cara merawat kesehatan sebelum dan selama

kehamilan serta melakukan imunisasi sesuai saran dokter

terhadap pencegahan beberapa penyakit berbahaya yang

mungkin timbul.
4) Proses kelahiran, terdapat beberapa proses kelahiran yang

menggunakan alat bantu semacam tang atau catut untuk

menarik kepala bayi karena sulit keluar. Proses ini bisa

melukai otak bayi dan berkemungkinan mengalami

tunagrahita. Untuk menghindari kemungkinan ini, biasanya

dokter ahli kandungan akan langsung melakukan proses

caesar saat dirasa bayi kesulitan untuk lahir lewat jalan

normal.

5) Lingkungan buruk, diantaranya lemahnya ekonomi dan

kurangnya pendidikan sehingga keadaan kehamilan dan

masa menyusui menjadi kurang optimal. Penanganan dan

pengasuhan yang tidak baik juga bisa menyebabkan adanya

beberapa masalah seperti tunagrahita. Mengupayakan

keluarga berencana bisa menjadi salah satu cara

memberikan lingkungan yang baik dan sehat pada anak-

anak.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam

mengurus dirinya sendiri, sangat bergantung pada orang

tua, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial, mudah

dipengaruhi orang lain, dan melakukan sesuatu tanpa

memikirkan akibatnya.
c. Klasifikasi Tunagrahita

Menurut Pratiwi & Afin (2020: 47). Anak-anak yang

mengalami tunagrahita dimasukkan ke dalam beberapa

tahapan.

1) Tunagrahita Ringan

Anak-anak yang tergolong tunagrahita ringan disebut juga

dengan istilah debil atau tunagrahita yang mampu didik.

Sebutan tersebut karena anak tunagrahita kategori ini masih

dapat menerima pendidikan sebagaimana anak normal,

tetapi dengan kadar ringan dan cukup menyita waktu. Anak

tunagrahita ringan rata-rata memiliki tingkat intelegensi

antara 50-80. Dengan tingkat intelegensi tersebut, anak

tunagrahita ringan bisa melakukan kegiatan dengan tingkat

kecerdasan anak-anak normal usia 12 tahun. Cukup bagus

apabila terus dilatih dan dibiasakan untuk belajar dan

berpikir, asalkan tidak terlampau dipaksakan sehingga

mereka merasa sangat terbebani.

2) Tunagrahita Sedang

Anak-anak yang tergolong tunagrahita sedang disebut juga

anak-anak yang mampu latih atau diistilahkan sebagai

imbesil. Anak-anak ini minimal mampu dilatih untuk

mandiri, menjalankan aktivitas keseharian sendiri tanpa

bantuan orang lain. Mandi, berpakaian, makan, berjalan,


dan mampu mengungkapkan keinginan dalam pembicaraan

sederhana. Namun, untuk memahami pelajaran yang

bersifat akademis, anak-anak ini kurang mampu

melakukannya. Anak tunagrahita sedang rata-rata memiliki

tingkat intelegensi antara 30-50. Dengan tingkat intelegensi

tersebut, anak-anak tunagrahita sedang bisa mencapai

kecerdasan maksimal setara dengan anak normal usia 7

tahun. Latihan dan kesabaran diperlukan agar anak-anak ini

tetap mampu menolong dirinya sendiri dalam melakukan

kegiatan sehari-hari.

3) Tunagrahita Berat

Anak-anak yang tergolong tunagrahita berat diistilahkan

sebagai idiot atau perlu rawat. Anak-anak golongan ini sulit

diajarkan mandiri karena keterbatasan mental dan

pemikiran ke arah kemandirian. Untuk menolong dirinya

sendiri dalam bertahan hidup, rasanya sulit bagi anak-anak

golongan ini. Kadang berjalan, makan, dan membersihkan

diri perlu dibantu oleh orang lain. Anak tunagrahita berat

memiliki tingkat intelegensi di bawah 30. Dengan tingkat

intelegensi tersebut, anak tunagrahita berat hanya mampu

memiliki kecerdasan optimal setara dengan anak normal

usia 3 tahun. Oleh sebab itu, diperlukan kesabaran ekstra


dan kasih sayang penuh untuk merawat mereka sepanjang

hidupnya.

Berdasarkan klasifikasi di atas, dalam penelitian ini siswa

yang mengalami tunagrahita berada pada tahap tunagrahita sedang

atau anak yang mampu latih atau diistilahkan sebagai imbesil.

Wardani (2013: 6.10) Selain klasifikasi di atas ada pula

pengelompokan berdasarkan kelainan jasmani yang disebut tipe

klinis. Tipe-tipe klinis yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1) Down Syndrome (Mongoloid)

Anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena

memiliki raut muka menyerupai orang Mongol dengan

mata sipit dan miring, lidah tebal suka menjulur ke luar,

telinga kecil, kulit kasar, susunan gigi kurang baik.

2) Kretin (Cebol)

Anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk

dan pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, kulit

kering, tebal, dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir

tebal, kelopak mata kecil, telapak tangan dan kaki tebal,

pertumbuhan gigi terlambat.

3) Hydrocephalus

Anak ini memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka

kecil, pandangan dan pendengaran tidak sempurna,

mata kadang-kadang juling.


4) Microcephalus

Anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil.

5) Macrocephalus

Memiliki ukuran kepala lebih besar dari ukuran normal.

d. Dampak Tunagrahita

Wardani (2013: 6.20), mengemukakan dampak

ketunagrahitaan secara umum diantaranya sebagi berikut.

1) Dampak Terhadap Kemampuan Akademik

Kapasitas belajar anak tunagrahita sangat terbatas,

terlebih kapasitasnya mengenai hal-hal yang abstrak.

Mereka lebih banyak belajar dengan membeo (rote

learning) dari pada dengan pengertian. Setiap hari

mereka membuat kesalahan yang sama. Mereka

cenderung menghindar dari perbuatan berpikir. Mereka

mengalami kesukasar memusatkan perhatian, dan

lapang minatnya sedikit. Mereka juga cenderung cepat

lupa, sukar membuat kreasi baru, serta rentang

perhatiannya pendek.

2) Dampak Terhadap Sosial/Emosional

Dampak sosial dan emosional tunagrahita dapat berasal

dari ketidakmampuannya dalam menerima dan

melaksanakan norma sosial dan pandangan masyarakat

yang masih menyamakan keberadaan anak tunagrahita


dengan anggota masyarakat lainnya atau masyarakat

masih menganggap bahwa anak tunagrahita tidak dapat

berbuat sesuatu karena ketunagrahitaannya.

3) Dampak Terhadap Fisik/Kesehatan

Baik struktur maupun fungsi tubuh pada umumnya anak

tunagrahita kurang dari anak normal. Mereka baru dapat

berjalan dan berbicara pada usia yang lebih tua dari

anak normal. Sikap dan gerakannya kurang indah,

bahkan diantaranya banyak yang mengalami cacat

bicara. Pendengaran dan penglihatannya banyak yang

kurang sempurna. Kelainan ini bukan pada organ tetapi

pada pusat pengolahan di otak sehingga mereka

melihat, tetapi tidak memahami apa yang dilihatnya,

mendengar, tetapi tidak memahami apa yang

didengarnya.

Maka dapat ditarik kesimpulan yaitu, anak tunagrahita

memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa,

karena pusat pengolahan (perbendaharaan kata) kurang

berfungsi dengan normal.

B. Penelitian Relevan

Berikut merupakan penelitian yang relevan dengan penelitian ini :

1. Febriani, Rina & Sari, A.A.P, 2018, Pentingnya Literasi Matematika

untuk Anak Sekolah Dasar Luar Biasa bagian C (Tuna Grahita). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa literasi matematika sangat penting

dan diperlukan oleh anak tuna grahita. Literasi matematika sangat

berguna untuk kehidupan sehari-hari anak tuna grahita.

2. Dewi Mufidatul Ummah & Agustan Arifin, 2018, Analisis Kesulitan

Belajar pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Di SMA Negeri 10

Kota Ternate. Hasil penelitian di lokasi penelitian yang telah dianalisis,

maka analisis kesulitan belajar siswa berkebutuhan khusus pada 2

subjek yang mengalami tuna rungu dan tuna grahita di SMA Negeri 10

Ternate yang terdiri dari kesulitan belajar, faktor penyebab kesulitan

belajar dan alternatif penanganan kesulitan belajar.

3. Siti Fatimah Mutia Sari, Binahayati, Budi Muhammad T, 2017,

Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita (Studi Kasus Tunagrahita Sedang

Di SLB N Purwakarta). Hasil penelitian bahwa anak berkebutuhan

khusus memiliki hak yang sama, khususnya tunagrahita. Hak yang

sama dalam berbagai hal, termasuk mendapatkan pendidikan yang

layak. Pendidikan secara formal ataupun nonformal. Merekapun

memiliki hak untuk mendapatkan semua fasilitas yang diberikan oleh

negara dengan tanpa dibedakan.

Terdapat persamaan antara kelima penelitian di atas dengan penelitian

yang akan dilakukan oleh peneliti, yaitu berkaitan dengan anak berkebutuhan

khusus tunagrahita. Perbedaannya ialah pada penelitian ini (1), peneliti

melakukan penelitian terhadap upaya dalam meningkatkan kepercayaan diri

anak tunagrahita di SLBN Tanjung Jabung Timur dan pada penelitian ke (2),
pemenuhan kebutuhan oleh orang tua pada anak tunagrahita di SLBN

Banjarnegara dan penelitian ke (3), pentingnya literasi matematika untuk

Anak Sekolah Dasar Luar Biasa bagian C (Tuna Grahita) dan pada penelitian

ke (4), Analisis Kesulitan Belajar pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Di

SMA Negeri 10 Kota Ternate dan pada penelitian ke (5), Pendidikan Bagi

Anak Tuna Grahita (Studi Kasus Tunagrahita Sedang Di SLB N Purwakarta).

Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan tentang perilaku

sosial anak berkebutuhan khusus tunagrahita (studi kasus pada siswa di Sd

Umum Bengkulu Utara).

C. Kerangka konseptual

Kerangka berpikir atau kerangka konseptual adalah penjelasan rasional

dan logis yang diberikan oleh seorang peneliti terhadap pokok atau objek

penelitiannya (Winarni, 2018: 18). Kemudian menurut Sugiyono (2019: 96),

kerangka berpikir merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang

disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan, selanjutnya dianalisis

secara kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan

antar variabel yang diteliti.

Perilaku sosial anak berkebutuhan khusus tunagrahita berbeda dengan

anak pada umunya. Perbedaan ini terlihat dari respon-respon yang diberikan

anak terhadap indikator perilaku sosial dan pola perilaku sosial. Perilaku ini

semakin terlihat dikarenakan anak yang berada pada lingkungan yang berbeda

pada dirinya yaitu di SD Umum, dimana seharusnya anak berkebutuhan

khusus tunagrahita bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).


Anak Berkebutuhan Khusus

Tunagrahita

Kondisi di lapangan:

Siswa Tunagrahita di SD Umum. Indikator Perilaku Sosial:

1. kemampuan berbicara yang sulit 1. Kecenderungan

dipahami oleh guru dan teman- Perilaku Peran.

teman sekelasnya. 2. Kecenderungan

2. respon yang tidak sesuai ketika perilaku dalam

berinteraksi dengan orang lain hubungan sosial.

seperti hanya tertawa. 3. Kecenderungan

3. sering mengganggu teman- perilaku ekspresif.

temannya. agan 2.

Perilaku sosial Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita di SD Umum

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir


BAB III

METODOLOGI

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dilihat dari tujuannya yaitu untuk mengetahui perilaku sosial anak

berkebutuhan khusus tunagrahita di SD Umum Bengkulu Utara, maka

penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Sugiyono (2019: 17)

metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik

karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting); disebut

juga sebagi metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak

digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai

metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat

kualitatif.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan studi kasus

untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna

sesuatu/subjek yang diteliti. Penelitian studi kasus lebih dipahami sebagai

pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau menginterpretasikan suatu

kasus dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi dari pihak luar

(Pongtiku & Robby, 2019 : 61). Dengan menggunakan tipe penelitian ini akan

dapat diungkapkan gambaran yang mendalam dan mendetail tentang suatu

situasi atau objek. Kasus yang akan diteliti dapat berupa satu orang, keluarga,

satu peristiwa, kelompok lain yang cukup terbatas, sehingga peneliti dapat

menghayati, memahami, dan mengerti bagaimana objek itu beroperasi atau

berfungsi dalam latar alami yang sebenarnya.


Dapat disimpulkan bahwa dalam menggunakan pendekatan ini,

peneliti berusaha mencari makna, pemahaman, pengertian, tentang suatu

fenomena, kejadian apapun mencari sebab suatu gejala-gejala tertentu.

Penelitian ini memberikan suatu gambaran perilaku sosial dalam keseluruhan

aspek yang diteliti terkait masalah yang menjadi objek penelitian yakni 3

siswa Tunagrahita di kelas III SDN 143 Bengkulu Utara. Melalui pendekatan

studi kasus, peneliti mampu memperoleh pemahaman mendalam mengenai

situasi berbeda yang dihadapi anak berkebutuhan khusus tunagrahita yang

bersekolah di SD Umum.

Beberapa kegiatan yang dilakukan yakni: (1) penyusunan pedoman

wawancara, pedoman observasi/pengamatan dan menyiapkan alat doukumtasi;

(2) melakukan wawancara kepada, siswa, dan guru wali kelas serta mengamati

proses pembelajaran di kelas untuk memperoleh data mengenai perilaku anak

tunagrahita saat melakukan proses pembelajaran serta didukung dengan foto-

foto sebagai dokumentasi; (3) analisis data secara deskriptif kualitatif.

B. Subjek Penelitian

Penelitian tentang perilaku sosial anak berkebutuhan khusus

tunagrahita (studi kasus pada siswa di SD Umum Bengkulu Utara)

dilaksanakan di Kelas III SDN 143 Bengkulu Utara yang beralamatkan di

Desa Paninjau Dusun Air Limas II Kecamatan Batiknau Kabupaten Bengkulu

Utara.. Subjek dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita, guru wali kelas,

kepala sekolah SDN 143 Bengkulu Utara.


C. Data dan sumber data

1. Data

Menurut Pongtiku & Robby, (2019: 68) Data adalah bahan

informasi untuk proses berpikir gamblang (eksplisit) kemungkinan-

kemungkinan pemecahan, persoalan, atau keterangan sementara yang

sudah disusun harus di uji melalui pengumpulan data yang sudah

relevan atau ada kaitannya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian

ini dikenal dengan data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah pengambilan data dari sumber pertama

di lapangan atau yang dihimpun langsung oleh peneliti. Data

primer yang dihimpun berupa perilaku peran, perilaku dalam

hubungan sosial, dan perilaku ekspresif pada anak tunagrahita.

Dalam hal ini data primer diperoleh melalui pedoman observasi

atau lembar pengamatan langsung pada siswa berkebutuhan khusus

tunagrahita di kelas III SDN 143 Bengkulu Utara.

b. Data Sekunder

Data sekunder ialah pengambilan data melalui sumber data

penunjang atau pendukung. Data ini berupa wawancara siswa,

wawancara guru wali kelas dan kepala sekolah. Data sekunder

merupakan data yang sifatnya pendukung data primer yang

berkaitan dengan pencapaian tujuan mendeskripsikan perilaku


sosial anak berkebutuhan khusus tunagrahita di SD Umum

Bengkulu Utara.

2. Sumber Data

Arikunto (2012), mengemukakan bahwa sumber data dalam

penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Dalam

penelitian kualitatif yang menjadi sumber data adalah manusia sebagai

responden, sumber tertulis, sumber tempat dan peristiwa. Dalam

penelitian ini, pencatatan sumber data utama dilakukan melalui

pengamatan langsung terhadap anak berkebutuhan khusus tunagrahita.

Untuk mendapatkan data yang lebih absah, maka dibutuhkan data

tambahan yang berasal dari sumber tertulis. Sumber data tertulis ini

dapat berupa dokumentasi (kegiatan siswa disekolah), buku-buku

(yang menyangkut tentang perilaku sosial dan tentang tunagrahita),

dan data kearsipan (berupa biodata, nilai dan jurnal guru) yang

berhubungan dengan penelitian ini.

D. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peneliti bertindak sebagai alat

penelitian yang menjadi instrumen. Peneliti sebagai human instrument

berfungsi mentapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber

data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,

menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya (Winarni,

2018:155). Penelitian deskriptif ini digunakan untuk mengetahui lebih

dalam apa yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian kualitatif instrumen


utamanya adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus

penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan

instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data

dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi

dan wawancara (Sugiyono, 2019: 295).


Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian

No Indikator Deskriptor Aspek yang diamati

1 Kecenderungan 1) Sifat pemberani dan pengecut secara 1) Cara berkomunikasi dengan anak

perilaku peran sosial tunagrahita .

2) Sifat berkuasa dan sifat patuh 2) Bahasa yang digunakan guru untuk

3) Sifat inisiatif secara sosial dan pasif berkomunikasi dengan anak

4) Sifat mandiri dan tergantung tunagrahita.

3) Masalah yang dihadapi ketika

berinteraksi dengan anak tunagrahita.

2 Kecenderungan 1) Dapat diterima atau ditolak oleh 1) Hambatan yang dialami ketika

perilaku dalam orang lain berinteraksi dengan teman normal,

hubungan sosial 2) Suka bergaul dan tidak suka bergaul sesama tunagrahita, ABK lainnya,

3) Sifat ramah dan tidak ramah guru, dan tenaga kependidikan lainnya.

4) Simpatik atau tidak simpatik 2) Dorongan berinteraksi dengan teman.


3) Masalah yang dihadapi anak dalam

melakukan interaksi sosial di sekolah.

3 Kecenderungan 1) Sifat suka bersaing dan tidak suka 1) Tindakan negatif yang pernah diterima

perilaku ekspresif bersaing dari anak tunagrahita.

2) Sifat agresif dan tidak agresif 2) Pengalaman mengerjakan tugas

3) Sifat kalem atau tenang secara sosial bersama anak tunagrahita.

4) Sifat suka pamer atau menonjolkan 3) Cara anak normal berinteraksi dengan

diri tunagrahita,
1. Observasi

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan observasi

secara langsung. Observasi dilakukan selama 1 minggu di sekolah.

Observasi digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran

dengan jelas tentang perilaku sosial anak berkebutuhan khusus

tunagrahita studi kasus salah satu siswa kelas III di SD 143 Bengkulu

Utara.

Menurut Nasution dalam Sugiyono (2019: 297), menyatakan

bahwa “observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan”. Sanafiah

Faisal dalam Sugiyono (2019: 297), mengklasifikasikan observasi

menjadi: (1) observasi berpartisipasi (participant observation); (2)

observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt observation

and covert observation); (3) dan observasi yang tak berstruktur

(unstructured observation). Observasi yang digunakan adalah

observasi partisipasi pasif, maksudnya peneliti tidak ikut aktif dalam

proses pembelajaran yang berlangsung di kelas. Data yang di dapat

melalui pedoman observasi, akan memperkuat data yang diperoleh

melalui pedoman wawancara dan akan dihubungkan dengan kenyataan

yang di dapat.

2. Wawancara

Wawancara adalah komunikasi dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan

makna dalam suatu topik tertentu (Esterberg dalam Sugiyono, 2019:


304). Dalam proses wawancara peneliti menggunakan alat bantu yaitu

pedoman/panduan wawancara agar proses komunikasi dan interaksi

dalam mengumpulkan data dapat terarahkan dengan baik. Wawancara

dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung pada

siswa, guru wali kelas. Kegiatan wawancara digunakan untuk

mendapatkan data dan informasi secara lisan tentang perilaku sosial

anak berkebutuhan khusus tunagrahita di SD Umum.

Dalam melakukan wawancara, pedoman wawancara yang akan

digunakan adalah bentuk pertanyaan semiterstruktur yang berisi

tentang pokok-pokok pertanyaan. Jadi peneliti menggunakan

wawancara sebagai penunjang untuk memperoleh data yang

berhubungan dengan masalah yang akan peneliti bahas.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah data pendukung yang dikumpulkan

sebagai penguatan data observasi dan wawancara yang berupa gambar,

data sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam kegiatan dokumentasi

ini, peneliti mengumpulkan data melalui foto, catatan serta arsip

dokumen informan yang dapat dijadikan sumber informasi dalam

penelitian.

E. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan

data. Menurut Sugiyono (2019: 296), terdapat empat macam teknik


pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, Dokumentasi, dan analisis

data/tringulasi. Maka prosedur pengumpulan data untuk mengetahui

perilaku sosial anak berkebutuhan khusus tunagrahita di SD Umum

Bengkulu Utara dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.

1. Observasi

Menurut Pongtiku & Robby (2019: 69), observasi adalah usaha

sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis

dengan prosedur standar. Observasi merupakan teknik pengumpulan

data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang

sedang berlangsung. Kunci keberhasilan observasi sebagai teknik

pengumpulan data sangat banyak ditentukan pengamat sendiri, sebab

pengamat melihat, mendengar suatu objek penelitian dan kemudian ia

menyimpulkan dari apa yang diamati itu. Sehubungan dengan

observasi, Sanafiah Faisal dalam Sugiyono (2019: 297),

mengklasifikasikan observasi menjadi: (1) observasi berpartisipasi

(participant observation); (2) observasi yang secara terang-terangan

dan tersamar (overt observation and covert observation); (3) dan

observasi yang tak berstruktur (unstructured observation).

Berdasarkan permasalahan yang diangkat oleh peneliti, observasi yang

digunakan yakni dengan cara mengamati siswa agar dapat menemukan

hal-hal yang diperlukan. Hal yang menjadi fokus peneliti untuk di

observasi adalah perilaku sosial anak berkebutuhan khusus tunagrahita.

2. Wawancara
Zurairah dalam Pongtiku & Robby (2019: 69), menyatakan

bahwa “wawancara ialah alat pengumpul informasi dengan cara

mengajukan pertanyaan secara lisan dan dijawab secraa lisan pula”.

Wawancara dilaksanakan secara lisan dan tatap muka secara individual

maupun kelompok. Tujuannya untuk menghimpun data dan

mendapatkan informasi secara langsung dari responden. Data yang

diperoleh dari wawancara sebagai data penguat dari pengamatan yang

dilakukan dan sebgai pendukung penjelasan dari permasalahan yang

diteliti.

Menurut Esterberg dalam Sugiyono (2019: 305), macam-

macam wawancara sebagai berikut: (1) wawancara terstruktur

(structured interview), yaitu pengumpul data telah menyiapkan

instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang

alternatif jawabannya pun telah disiapkan; (2) wawancara semi

terstruktur (semi structure interview), yaitu dalam pelaksanaannya

lebih bebas bila di bandingkan dengan wawancara terstruktur; (3)

wawancara tak bertruktur (unstructured interview), yaitu wawancara

yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara

yang telah tersusun secra sistematis da lengkap untuk pengumpulan

datanya. Fungsi dari pedoman wawancara ini adalah memberikan

pedoman tentang apa yang akan ditanyakan, mengantisipasi

kemungkinan lupa terhadap pokok persoalan yang ditanyakan, serta

agar wawancara dapat efektif dan efisien.


Pada penelitian ini, teknik wawancara yang digunakan ialah

wawancara dengan pendekatan menggunakan wawancara semi

terstruktur. Wawancara jenis ini lebih bebas dilakukan untuk

menemukan permasalahan seacara lebih terbuka. Wawancara

dimaksudkan untuk memperoleh data atau informasi yang lebih

terperinci. Pada penelitian ini, wawancara dilakukan peneliti kepada

siswa, dan guru wali kelas.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan atau karya seseorang tentang

sesuatu yang sudah berlalu. Dokumen tentang orang atau sekelompok

orang, peristiwa, atau kejadian dalam situasi sosial yang sesuai dan

terikat dengan fokus penelitian adalah sumber yang sangat berguna

dalam penelitian kualitatif. Peneliti mengambil dokumentasi foto-foto

kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan peneliti. Foto menghasilkan

data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk

menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara

induktif. Selain menginfentaris foto, peneliti juga mencatat semua

kegiatan.

Dalam kegiatan dokumentasi ini, peneliti mengumpulkan data

melalui foto, catatan serta arsip dokumen informan yang dapat

dijadikan sumber informasi dalam penelitian. Dalam kaitannya, data

yang diperoleh dari lingkungan sosial seperti kegiatan yang diikuti

anak berkebutuhan khusus tunagrahita di sekolah serta arsip dokumen


yang berkaitan dengan data diri selama bersekolah juga menjadi

penguat sumber informasi peneliti. Secara visual, foto-foto yang

diperoleh mampu memperkuat terhadap penelitian anak berkebutuhan

khusus tunagrahita di SD Umum tepatnya di SDN 143 Bengkulu Utara

Desa Paninjau Dusun Air Limas II Kecamatan Batiktau.

F. Teknik analisis data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam

pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat

kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain

(Sugiyono, 2019: 320). Setelah data-data tersebut dibaca, ditelaah, dan

dipelajari maka dilakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah

penyajian data, dan terakhir mengadakan kesimpulan atau verifikasi.

Menurut Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2019: 321),

aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah

jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduction data, display data,

dan conclusion drawing/verification.


Data Collection Data Display

Data reduction

Conclusion:
Drawing/Verifying

Bagan 3.1 Komponen dalam Analisis Data (Interactive Model)

1. Data Collection/Pengumpulan Data

Kegiatan utama pada setiap penelitian adalah mengumpulkan

data. Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data pada umumnya

dengan observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi atau

gabungan ketiganya (triangulasi). Pengumpulan data dilakukan

berhari-hari, mungkin berbulan-bulan, sehingga data yang diperoleh

akan banyak. Pada tahap awal peneliti melakukan penjelajahan secara

umum terhadap situasi sosial/obyek yang diteliti, semua yang dilihat

dan didengar direkam semua. Dengan demikian peneliti akan

memperoleh data yang sangat banyak dan sangat bervariasi.

2. Data Reduction/Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak,

untuk itu perlu dicatat secra teliti dan rinci. Data yang semakin banyak,

kompleks dan rumit perlu segera dilakukan analisis data melalui

reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih dan memilih

hal-halyang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari


tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti

untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila

diperlukan.

3. Data Display/Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah

mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa

dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar

kategori, flowchart dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan

untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks

yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja

selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

4. Conclusion Drawing/Verification

Langkah ke empat dalam analisis data kualitatif menurut Miles

and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan

akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila

kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-

bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan

mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel.


G. Keabsahan data

Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian kualitatif ini

menggunakan uji kredibilitas, yang mana uji kredibilitas ini merupakan

kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif. Macam-macam cara

pengujian kredibilitas data dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono

(2019: 365), sebagai berikut :

Perpanjangan Pengamatan

Peningkatan Ketekunan

Triangulasi
v
Uji Kredibilitas Data
Diskusi dengan teman
sejawat

Analisis Kasus Negatif

Member Check
Bagan 3.2 Uji Kredibilitas Data dalam Penelitian Kualitatif

1. Perpanjangan Pengamatan

Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke

lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data

yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan perpanjangan

pengamatan ini berarti hubungan peneliti dengan narasumber akan

semakin terbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi),


semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi

yang disembunyikan lagi.

2. Meningkatkan ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara

lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka

kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti

dan sistematis.

3. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai

pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan

berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,

triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu.

4. Diskusi dengan teman sejawat

Diskusi teman sejawat dilakukan untuk mengetahui keabsahan

data yang diperoleh dengan pihak berkompeten di bidangnya. Diskusi

yang dilakukan adalah membahas hal yang berkaitan dengan

penelitian.

5. Analisis kasus negatif

Melakukan analisis negatif berarti peneliti mencari data yang

berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan.

Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan

temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.

6. Mengadakan Member check


Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh

peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check adalah untuk

mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang

diberikan oleh pemberi data.

Data yang sudah terkumpul dalam kegiatan penelitian maka harus

di usahakan kemantapan dan kebenarannya. Setiap peneliti harus bisa

menentukan validitas data yang diperoleh. Berdasarkan ke enam cara

dalam menguji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif seperti pada

penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini menggunakan dua cara dalam

pengujian kredibilitas datanya, yaitu sebagai berikut: (1) peningkatan

ketekunan dan (2) triangulasi. Yang diuraikan sebagai berikut:

1. Meningkatkan ketekunan

Meningkatkan ketekunan ini dimaksudkan dengan menemukan

ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan

persoalan yang sedang dicari dan memusatkan diri pada hal-hal

tersebut secara rinci. Menurut Sugiyono (2019: 367), “meningkatkan

ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan

berkesinambungan”. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan

urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.

Dengan meningkatkan ketekunan, maka peneliti dapat melakukan

pengecekan kembali apakah data yang telah ditemukan salah atau

tidak. Demikian juga dengan meningkatkan ketekunan maka, peneliti


dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang

apa yang diamati.

2. Triangulasi

Menurut Sugiyono (2019: 368), “Triangulasi dalam pengujian

kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber

dengan berbagai cara dan berbagai waktu”. Dengan demikian terdapat

triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dan waktu.

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan

dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber.

Misalnya untuk menguji kredibilitas data tentang kepemimpinan, maka

pengumpulan dan pengujian data dilakukan kepada bawahan, atasan

dan teman sejawat. Dari ketiga sumber tersebut akan dideskripsikan,

dikategorikan pandangan yang sama dan berbeda, dan mana spesifik

dari tiga sumber data tersebut. Data yang dianalisis menghasilkan

suatu kesimpulan dan dimintakan kesepakatan pada tiga sumber data

tersebut.

Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data pada

sumber yang sama dengan teknik berbeda. Misalnya data awal yang

diperoleh melalui wawancara, lalu dicek kembali dengan observasi.

Bila menghasilkan data yang berbeda, maka peneliti melakukan

diskusi dengan sumber data yang bersangkutan untuk memastikan data

yang benar.
Triangulasi waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data,

data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari saat

narasumber dalam keadaan segar akan berbeda dengan data yang

diperoleh melalui wawancara pada siang ataupun sore hari. Untuk itu

perlu dilakukannya pengujian dengan menggunakan teknik lain dalam

waktu dan situasi yang berbeda. Apabila data yang diperoleh berbeda,

maka perlu dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan data

yang pasti.

Dalam penelitian ini, sumbernya adalah siswa, dan guru wali

kelas. Maka untuk menguji kredibilitas data dari hasil pengumpulan

data observasi, wawancara dan dokumentasi tersebut, digunakanlah

triangulasi dengan teknik. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Dalam

penelitian ini triangulasi dilakukan dengan membandingkan dan

mengecek balik derajat kepercayaan dari hasil observasi, wawancara

dan dokumentasi. Hasil observasi diperoleh dari sumber observasi,

hasil wawancara diperoleh dari lembar wawancara, dan dokumentasi

diperoleh dari foto-foto.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bambang S. 2015. Psikologi Sosial. Bandung: CV PUSTAKA SETIA

Asri, Dahlia N & Suharni. 2021. Modifikasi Perilaku Teori dan Penerapannya.
Madiun: UNIPM Press.

Budiman, Didim. 2012. Bahan Ajar M.K Psikologi Anak Dalam Penjas PGSD.
Tersedia: http:file.upi.edu.

Damayanti, Fila. 2017. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Sosial
Anak di Kelompok B1 TK Kelama Bhayangkari 01 PIM Staf Besusu
Tengah. Jurnal Bungamputi, 4, 1-13.

Febrinasnti, Rina & Ane Armitha PS. 2018. Pentingnya Literasi Matematika
Untuk Anak Sekolah Dasar Luar Biasa Bagian C (Tunagrahita). PRISMA,
Prosiding Seminar Nasional Matematika, 208-21.

Mardiah, Dedeh & Djaswidi Al-Hamdani. 2017. Pengaruh Model Pembelajaran


Kooperatif Tipe Cooperative Integratide Reading and Composition
Terhadap Perilaku Sosial dan Spiritual Siswa. Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam, 5, 105-120.

Nisrima, Siti, Muhammad Yunus & Erna Hayati. 2016. Pembinaan Perilaku
Sosial Remaja Penghuni Yayasan Islam Media Kasih Kota Banda Aceh.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unsyiah, 1, 192-
204

Novasari, Tria & I Made Suwanda. 2016. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua
Terhadap Perilaku Sosial (Studi Pada Siswa Kelas X SMKN 5 Surabaya).
Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 03, 1991-2005

Nurfirdaus, Nunu & Risnawati. 2019. Studi Tentang Pembentukan Kebiasaan dan
Perilaku Sosial Siswa (Studi Kasus di SDN 1 Windu Janten). Jurnal Lensa
Pendas, 4, 36 – 46

Pratiwi, Ratih P & Afin Murtiningsih. 2020. Kiat Sukses Mengasuh Anak
Berkebutuhan Khusus. Yogyakarata: Ar-Ruzz Media

Pongtiku, Arry & Robby Kayame. 2019. Metode Penelitian Tradisi Kualitatif.
Bogor: Penerbit IN MEDIA

Ramadhan, M. 2017. Ayo Belajar Mandiri Pendidikan Keterampilan &


Kecakapan Hidup Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta:
Javalitera
Sugiyono. 2019. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
ALFABETA

Utami, Dian T. 2018. Pengaruh Lingkungan Teman Sebaya Terhadap Perilaku


Sosial Anak Usia 5 – 6 Tahun. Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini,
1, 39 – 50

Utari, Yuniar I & Nanik Indahwati. 2015. Upaya Meningkatkan Gerak Dasar
Lokomotor Anak Tunagrahita Ringan Melalui Permainan Tradisional.
Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, 03, 279-282

Wahyuningtyas, Febriana. 2019. Penerapan Metode Resitasi Berbasis Android


Terhadap Perilaku Sosial Pada Anak Tunagrahita Ringan. Jurnal
Pendidikan Khusus, 1-16.

Wardani, I.G.A.K. 2013. Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.


Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.

Widayanti, Sri, Sulaiman Samad, & Abdul Saman. 2016. Analisis Perilaku Sosial
Murid Berkebutuhan Khusus Tipe Hiperaktif (Studi Kasus Pada Salah
Satu Murid SD Inpres Mallawa Kabupaten Barru). Program
Pascasarjana, 1-13.

Wijaya, David. 2019. Manajemen Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar. Jakarta:


PRENADAMEDIA GROUP

Winarni, Endang W. 2018. Teori dan Praktik Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,


Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Research and Development (R &D).
Jakarta: Bumi Aksara
L
A
M
P
I
R
A
N
PEDOMAN OBSERVASI SISWA

Informan : ....................................................

Hari/Tanggal Observasi : ....................................................

Waktu Observasi : ....................................................

Tempat Observasi : ....................................................

No Indikator Deskriptor Hasil

Observasi

1 Kecenderungan 1) Sifat pemberani dan pengecut

Perilaku Peran secara sosial

2) Sifat berkuasa dan sifat patuh

3) Sifat inisiatif secara sosial dan

pasif

4) Sifat mandiri dan tergantung

2 Kecenderungan 1) Dapat diterima atau ditolak

perilaku dalam oleh orang lain


hubungan sosial 2) Suka bergaul dan tidak suka

bergaul

3) Sifat ramah dan tidak ramah

4) Simpatik atau tidak simpatik

3 Kecenderungan 1) Sifat suka bersaing dan tidak

perilaku ekspresif suka bersaing

2) Sifat agresif dan tidak agresif

3) Sifat kalem atau tenang secara

sosial

4) Sifat suka pamer atau

menonjolkan diri
PEDOMAN WAWANCARA SISWA

Informan : .....................................................

Tempat Wawancara : .....................................................

Waktu Wawancara : ....................................................

No Hal yang ditanyakan Deskripsi

wawancara

1 Apakah kamu memiliki sifat pemberani atau penakut

dengan orang di lingkungan sekitarmu?

2 Apakah kamu sering memimpin temanmu atau

mengikuti perintah temanmu?

3 Apakah kamu sering berinisiatif melakukan sesuatu

atau tidak melakukan sesuatu sebelum ada perintah?

4 Apakah kamu selalu mengerjakan urusanmu secara

mandiri atau selalu dibantu orang lain?

5 Apakah kamu merasa diterima atau tidak diterima oleh


lingkungan sekitarmu?

6 Apakah kamu suka bergaul atau tidak suka bergaul

dengan lingkungan sekitarmu?

7 Apakah kamu selalu ramah atau tidak ramah terhadap

lingkungan sekitarmu?

8 Apakah kamu sering merasa simpatik atau tidak

simpatik terhadap lingkungan sekitarmu?

9 Apakah kamu suka bersaing atau selalu mengalah

terhadap lingkungan sekitarmu?

10 Apakah kamu memiliki sifat agresif atau tidak agresif

terhadap lingkungan sekitarmu?

11 Apakah kamu memiliki sifat kalem atau tenang

terhadap lingkungan sekitarmu?

12 Apakah kamu suka pamer atau menonjolkan diri

terhadap lingkungan sekitarmu?


PEDOMAN WAWANCARA GURU KELAS

Informan : .....................................................

Tempat Wawancara : .....................................................

Waktu Wawancara : ....................................................

No Hal yang ditanyakan Deskripsi wawancara

1 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat pemberani atau

penakut secara sosial?

2 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat berkuasa atau sifat

patuh?

3 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat inisiatif secara

sosial atau memiliki sifat pasif?

4 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus


tunagrahita memiliki sifat mandiri atau

bergantung pada orang lain?

5 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita dapat diterima atau ditolak oleh

lingkungan sekitarnya?

6 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita suka bergaul dengan sesama atau

tidak suka bergaul?

7 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat ramah atau tidak

ramah?

8 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki simpatik terhadap orang

lain atau tidak simpatik?

9 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat suka bersaing atau

tidak suka bersaing?

10 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat agresif atau tidak

agresif?

11 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat kalem atau sifat

tenang secara sosial?


12 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita memiliki sifat suka pamer atau

menonjolkan diri?

PEDOMAN WAWANCARA KEPALA SEKOLAH

Informan : .....................................................

Tempat Wawancara : .....................................................

Waktu Wawancara : ....................................................

No Hal yang ditanyakan Deskripsi wawancara

1. Sejak kapan siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita bersekolah di SDN 143 Bengkulu

Utara?

2. Apakah yang menjadi pertimbangan anda

menerima siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita di SDN 143 Bengkulu Utara?

3 Apa yang anda ketahui tentang siswa yang

berkebutuhan khusus tunagrahita?

4 Bagaimana latar belakang keluarga siswa yang

berkebutuhan khusus tunagrahita?


5 Bagaimana latar belakang tenaga pengajar

siswa yang berkebutuhan khusus tunagrahita?

6 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

mengikuti pembelajaran sesuai kurikulum

yang digunakan pada siswa lainnya?

7 Apakah siswa yang berkebutuhan khusus

tunagrahita menggunakan fasilitas yang sama

dengan siswa pada lainnya?

8 Apa saja yang menjadi faktor pendukung siswa

yang berkebutuhan khusus tunagrahita dalam

mengembangkan minat dan bakatnya?

9 Apa saja yang menjadi faktor penghambat

siswa yang berkebutuhan khusus tunagrahita

dalam mengembangkan minat dan bakatnya?

10 Apakah prestasi yang pernah dicapai oleh

siswa yang berkebutuhan khusus tunagrahita di

sekolah?

Anda mungkin juga menyukai