Anda di halaman 1dari 16

REVIEW JURNAL

PENANGANAN ABK DI SEKOLAH

Disusun Oleh :

Nama : Berlinda Fellysia

NPM : 2086207009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PAUD

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS WIDYA GAMA MAHAKAM

SAMARINDA
2022
Pelaksanaan Pembelajaran Anak Tunalaras
di Masa Pandemi COVID-19 di Sekolah Dasar
Nur Latifah1, Asep Supena2, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2021

1. Latar belakang masalah


Tunalaras merupakan salah satu dari jenis anak berkebutuhan khusus, Samuel
A.Kirk dalam buku Educating Exceptional Children mendefinisikan tunalaras
(emotional and behavior disorder) suatu kondisi yang menghilangkan satu atau
lebih karakteristik berikut dalam jangka waktu yang lama dan pada tingkat
tertentu yang berdampak buruk pada kinerja pendidikan (Samuel, J..Gallagher,
Marry Ruth, & Nick, 2009), dengan terganggunya aspek emosi seseorang maka
dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain atau lingkungannya. Sedangkan
(Desiningrum, 2016) anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan
perilaku dan memberikan respon-respon kronis yang jelas tidak dapat diterima
secara sosial oleh lingkungan dan atau perilaku yang secara personal kurang
memuaskan, tetapi masih dapat dididik sehingga dapat berperilaku yang dapat
diterima oleh kelompok sosial dan bertingkah laku yang dapat memuaskan
dirinya sendiri. Berarti dapat dikatakan bahwa tunalaras adalah gangguan
emosional dan perilaku yang dapat dilihat dari aspek sosial dan lingkungan.
Berdasarkan jenisnya dibagi menjadi aspek kepribadian dan aspek kesehatan
jiwa berdasarkan derajat penyimpangannya dibagi menjadi taraf ringan, taraf
sedang, dan taraf berat (Desiningrum, 2016). Dalam kurun waktu hanya
beberapa bulan, COVID-19 melanda dengan dahsyat, mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan termasuk pendidikan. Pandemi coronavirus COVID-19 telah
menghasilkan perubahan penerapan pembelajaran yang signifikan (Tovstiga &
Tovstiga, 2020).
Proses pembelajaran dialihkan menjadi pembelajaran jarak jauh yang
menyamaratakan siswa biasa dengan siswa berkebutuhan khusus. Berdasarkan
penelitian terdahulu permasalahan yang timbul pada anak tunalaras yaitu, minat
belajar yang karena anak tunalaras memiliki hambatan dalam memusatkan
perhatiannya sehingga di dalam kelas mereka akan cepat mudah bosan, tidak
aktif dalam pembelajaran dikarenakan pada saat guru menerangkan perhatian
mudah teralihkan, enggan untuk bertanya karena rasa malas dan rasa kurang
percaya diri, tidak tahan belajar dalam waktu yang relatif lama sehingga
mendorong anak untuk keluar kelas saat pelajaran sedang berlangsung (Utami,
Anwar, & Hermawan, 2018). Hal ini menjadi permasalahan ketika pembelajaran
jarak jauh atau online dilakukan.
Perlu adannya penelitian pelaksanaan pembelajaran anak tunalaras di masa
pendemik untuk dapat mengidentifikasi pembelajaran yang sesuai serta dapat
menganalisis sejauh mana peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran anak
tunalaras pada masa pandemi COVID-19 dengan indikator perencanaan
pembelajaran meliputi penyusunan perangkat pembelajaran, Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pelaksanaan pembelajaran dengan aspek
pembelajaran di kelas, aktifitas belajar siswa. dan evaluasi pembelajaran
berdasarkan aspek kognitif efektif dan psikomotor.
2. Variabel penelitian
Pembelajaran Anak Tunalara, Masa Pandemi COVID-19, Sekolah Dasar
3. Subjek dan Instrumen penelitian
Subjek
Guru kelas,Guru pemdamping
Instrumen Penelitian
Observasi dan pengumpulan data/ informasi
4. Hasil penelitian
Kedua narasumber telah melaksanakan dan mencerminkan pelaksanaan
pembelajaran yang terstruktur mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Dengan menganalisis pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan narasumber ditemukan bahwa guru secara terencara
di awal semester telah membuat rencana pelaksanaan pembelajaran untuk anak
normal dan perencanaan pembelajaran individu untuk anak tunalaras, kemudian
dilihat dari pelaksanaan pembelajaran guru mengajar sesuai dengan rencana
pembelajaran yang dibuat serta aktifitas pembelajaran menunjukan aktifitas
belajar yang aktif terlihat melalui kegiatan mental, visual, motorik dan emosional.
Sedangkan evaluasi pembelajaran dilakukan guru mencakup aspek kognitif
efektif dan psikomotor dengan penilaian dan analisis yang terperinci. Menyadari
pelaksanaan pembelajaran anak tunalaras di masa pandemi COVID -19 secara
praktis, diharapkan penelitian ini dapat mendorong guru terutama dalam
pendidikan inklusif untuk melakukan pembelajaran yang sistematis atau
terperinci. Secara teoritis, peneliti merekomendasikan pelaksanaan penelitian
lanjutan untuk menumbuhkan dan meningkatkan pembelajaran tunalaras pada
cakupan subject yang lebih besar seperti dalam satu daerah atau kota.
5. Pendapat Anda mengenai penelitian ini
Guru harus lebih mengembangkan lagi cara pembelajaran untuk anak
berkebutuhan khusu terutama tunalaras di era pandemic COVID-19.
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG DIHADAPI SEKOLAH
PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSI PADA TINGKAT SD
Nissa Tarnoto, Vol. 13 No. 1

1. Latar belakang masalah


Tahun 2001, pemerintah mulai melakukan uji coba perintisan sekolah inklusi di
daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah Ibu Kota Jakarta. Tahun 2004,
Pemerintah Indonesia melalui deklarasi di Bandung mengumumkan secara resmi
program “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” , tetapi dalam pelaksanaan
masih ditemukan banyak kendala dibeberapa kota seperti seperti, manajemen
sekolah inklusi masih belum optimal, tenaga kerja yang memiliki kapabilitas
dalam mengajar anakanak ABK masih dinilai kurang (seperti guru belum
mengetahui karateristik ABK dan metode-metode untuk menanganinya),
kurangnya guru pendamping kelas, belum siapnya sekolah menampung ABK,
masih banyaknya siswa dalam kelas, masih adanya intimidasi anak ABK oleh
teman sekelasnya (Kompas, 2012).
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di provinsi Yogyakarta
tersebar diberbagai wilayah seperti di Kabupaten Gunung Kidul ada 239 sekolah
yang menyelenggarakan pendidikan inklusi (217 SD, 20 SMP dan 1 SMA), di
kota yogya terdapat 20 sekolah (SD-SMA), sementara di kabupaten Bantul dan
Sleman akan segera ditetapkan ditahun ajaran 2011/2012 (DEPDIKNAS DIY,
2011). Data yang didapatkan peneliti ada 10-15 sekolah inklusi yang ada didaerah
bantul dan sleman. Di Yogyakarta sendiri, pelaksanaan sekolah inklusi masih
banyak mengalami persoalan seperti: Sumber Daya Manusia dan fasilitas masih
terbatas serta penanaman yang kurang kepada siswa lain untuk dapat menerima
ABK (HarianJogya, 2013). Di Indonesia, inklusi memberi kesempatan kepada
anak berkelainan dan anak yang lainya yang selama ini tidak bisa sekolah karena
berbagai hal yang menghambat mereka untuk mendapatkan kesempatan sekolah,
seperti letak sekolah luar biasa yang jauh, harus bekerja membantu orangtua, dan
sebab lainya seperti berada di daerah konflik atau terkena bencana alam
(Sugiarmin dalam Smith (2012). Sekolah inklusi bertujuan untuk memberi
kesempatan bagi seluruh siswa untuk mengoptimalkan potensinya dan memenuhi
kebutuhan belajarnya melalui program pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif
ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang
sama sesuai dengan usianya dan perkembangannya (Schmidt dan Venet, 2011).
Pendidikan inklusi juga membuktikan bahwa mendidik anak dengan kebutuhan
khusus bersama dengan anak normal menunjukkan perkembangan yang
signifikan (Sadioglu, Batu, Bilgin, dan Oksal, 2013). Berdasarkan paparan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan sekolah inklusi perlu
adanya integrasi antara seluruh pihak yaitu dari pihak sekolah seperti manajemen
sekolah (kurikulum, sarana prasarana yang mendukung), guru, siswa, orangtua,
masyarakat dan pemerintah, sehingga pendidikan inklusi dapat berjalan dengan
baik.
Pemerintah Indonesia perlu mensyukuri bahwa sejak digulirkannya pendidikan
inklusi di Indonesia, sambutan dan apresiasi masyarakat sangat luar biasa,
sehingga implementasinya tumbuh dan berkembang cepat di berbagai pelosok
negeri. UNESCO menilai bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi
ABK, Indonesia pada tahun 2007 menduduki ranking ke 58 dari 130 negara.
Sayangnya, karena berbagi faktor, terutama kurangnya komitmen dan dukungan
pemerintah, sehingga implementasinya belum menasional dan menyeluruh,
sehingga ranking tersebut terus mengalami kemerosotan, pada tahun 2008 berada
pada ranking ke 63 dan pada tahun 2009 berada pada ranking ke 71 (Kompas).
Peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam masalah-masalah apa saja yang
dihadapi sekolah khususnya terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi,
sebagai upaya untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan mendalam
yang diperoleh dari persepsi guru yang berkaitan dengan kendala-kendala atau
permasalahan yang dihadapi oleh sekolah maupun guru dalam penyelenggaraan
sekolah inklusi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
dunia pendidikan khususnya psikologi pendidikan dan memberi gambaran kepada
pemerintah, masyarakat yang bergerak dan mendalami dunia pendidikan
khususnya, tentang kendala-kendala yang dihadapi guru maupun pihak sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi tingkat SD. Harapannya kendala-
kendala atau hambatan-hambatan tersebut dapat dipetakan sesuai karateristiknya
sehingga ke depan dapat diberikan intervensi yang sesuai.
2. Variabel penelitian
Anak berkebutuhan khusus, pendidikan inklusi, indigenous psychology
3. Subjek dan Instrumen penelitian
Subjek
Guru yang mengajar di sekolah penyelenggara Pendidikan Inklusi. Data diperoleh
melalui open-ended questionnaire (pertanyaan terbuka).
Intrumen Penelitian
Observasi dan pengumpulan data/ informasi
4. Hasil penelitian
Hasil penelitian dapat disimpulkan permasalahan permasalahan yang muncul
terkait pelaksanaan inklusi adalah terkait dengan guru, siswa, orangtua, sekolah,
masyarakat, pemerintah dan kurangnya sarana prasarana yang mendukung
pelaksanaan sekolah inklusi. Hal ini juga dikarenakan kurang adanya kerjasama
dari berbagai pihak. Guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan
inklusi, tetapi tanpa adanya bantuan dari pihak lain pelaksanaan sekolah inklusi
tidak bisa berjalan dengan maksimal, sehingga selain guru yang ditangani, perlu
juga menumbuhkan budaya sekolah inklusi baik didalam sekolah itu sendiri
ataupun komunitas diluar sekolah tersebut, selain itu kebijakan pemerintah juga
sangat menentukan pelaksanaan sekolah inklusi.
5. Pendapat Anda mengenai penelitian ini
Penelitian ini mempunyai keterbasan dengan tidak adanya elaborasi data lebih
lanjut. Untuk itu penelitian selanjutnya sebaiknya: Melakukan wawancara
mendalam atau FGD komprehensif dengan guru, siswa, orangtua, masyarakat dan
pemerintah yang terlibat dalam pelaksanaan sekolah inklusi.
Pelatihan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus Bagi Guru Sekolah
Dasar Rujukan Inklusi
Setyo Eko Atmojo1 Universitas PGRI Yogyakarta, setyoekoatmojo@yahoo.co.id
Beny Dwi Lukitoaji2 Universitas PGRI Yogyakarta, beny@upy.ac.id
Faiz Noormiyanto3 Universitas PGRI Yogyakarta, faiz@upy.ac.id
Vol. 3 No. 2 Agustus 2020

1. Latar belakang masalah


Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bantul
(Dindikbud) telah menunjuk beberapa sekolah sebagai sekolah rujukan inklusif
baik tingkat SD, SMP maupun SMA. Hal ini sejalan dengan mandat Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam UU No. 70 tahun 2009
dan Pergub No. 74 tahun 2014, yang terkait dengan pedoman untuk pendidikan
inklusif di D.I Yogyakarta. Pembentukan sekolah rujukan inklusif dilaksanakan
memenuhi mandat UU 70 tahun 2009 dan mendukung program education for all
yang merupakan salah satu program dari Kementerian Pendidikan
(Kemendikbud). Dengan demikian, sekolah inklusif di Bantul akan dapat
dikembangkan, sehingga memungkinkan anak-anak dengan kebutuhan khusus
untuk menerima pendidikan di sekolah umum berkualitas tinggi tetapi tidak
termasuk dalam sekolah pendidikan khusus. Penerapan program ini sangat
disambut baik oleh seluruh masyarakat khususnya bagi orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus. Bagi sekolah program ini memerlukan bekal khusus
untuk melaksanakannya, dimana selama ini guru hanya menghadapi anak normal
dalam satu kelas akan berubah karena adanya anak berkebutuhan khusus yang
ikut masuk dan belajar di dalamnya. Pembelajaran di kelas inklusif tersebut
tentunya akan membutuhkan penanganan yang berbeda dari sebelumnya (Hartadi
et al., 2019); (Muchtar, 2018). Untuk membekali guru agar memiliki kemampuan
dalam melaksanakan pembelajaran di kelas tersebut diperlukan suatu kegiatan
yang membuat guru memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan menangani
anak berkebutuhan khusus. Mitra dari kegiatan pengabdian ini adalah SD Brajan
yang terletak di desa Tamantirto Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap 12 orang guru dan kepala
sekolah diketahui 83,33% guru belum memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan
pembelajaran dan penanganan anak berkebutuhan khsusus. Berdasarkan hal
tersebut maka diperlukan pelatihan tentang penanganan anak berkebutuahan
khusus di sekolah tersebut. Solusi yang ditawarkan melalui kegiatan ini yaitu
pelatihan penanganan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Dasar Rujukan
Inklusif. Kegiatan pelatihan ini terdiri dari kegiatan penyuluhan penanganan anak
berkebutuhan khusus, pengembangan perangkat pembelajaran untuk Sekolah
Dasar Inklusif dan pengembangan media pembelajaran untuk siswa berkebutuhan
khusus. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap guru di SD Brajan
Kasihan Bantul diketahui bahwa sebagaian besar guru belum memiliki
kemampuan dalam menangani anak berkebutuhan khusus dan pelaksanaan
pembelajaran di kelas inklusif. Melalui kegiatan pengabdian ini akan
dilaksanakan suatu pelatihan bagi guru di SD Brajan Kasihan Bantul dengan
tujuan membekali guru agar memahami prinsip penyelenggaraan pendidikan
inklusif, memahami dan mampu membedakan jenis-jenis gangguan
perkembangan dan karakteristik kondisi kekhususan yang disandang anak didik,
mampu membuat program pembelajaran yang efektif bagi anak dengan kondisi
Autisma, Asperger, Gangguan Emosional dan Perilaku, Gangguan Konsentrasi &
Perilaku Hiperaktivitas, Gangguan Belajar dan Lamban Belajar, serta Cerdas
Berbakat Istimewa di sekolah, memiliki kompetensi memadai dalam menyusun,
mengembangkan, dan menerapkan program pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi kekhususan anak didik di sekolah, mampu mengarahkan dan
menggerakkan penanganan dari kondisi kekhususan anak didik sehingga anak
bisa keluar dari hambatan yang ada dan mampu mengoptimalkan potensinya.
2. Variabel penelitian
Handling, Children with Special Needs, Inclusive Reference Schools
3. Subjek dan Instrumen penelitian
Subjek
Anak berkebutuhan khusus,Guru kelas
Instrument Penelitian
Eksperimen/ percobaan

4. Hasil penelitian
Hasil Penelitian Kegiatan simulasi ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya
adalah metode simulasi ini dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan guru dalam melakukan pembelajaran di kelas inklusif. Selain itu,
pelatihan ini juga memberikan pengalaman secara langsung tentang hal hal yang
diperlukan oleh guru dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan
siswa ABK. Setelah mengikuti pelatihan ini guru dapat menyediakan kondisi
kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai
perbedaan, mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan
pembelajaran yang bersifat individual, menerapkan pembelajaran yang interaktif,
melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan
pelaksanaan dan evaluasi dan melibatkan orang tua secara bermakna dalam
proses pendidikan. Dengan mengikuti pelatihan ini dan memiliki pengetahuan
tentang penanganan anak berkebutuhan khusus, penyusunan RPP dan
mensimulasikannya maka guru telah siap untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran di kelas inklusi dengan memperhatikan tata cara penanganan anak
berkebutuhan khusus.
5. Pendapat Anda mengenai penelitian ini
Metode yang digunakan dalam penelitian ini sangat efektif, memberikan
pengalaman secara langsung tentang hal hal yang diperlukan oleh guru dalam
menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan siswa ABK.
ANALISIS PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DI SEKOLAH DASAR INKLUSI KOTA PADANG
Siska Angreni,Rona Taula Sari, Vol. 8 No. 1, Januari 2022

1. Latar belakang masalah


Pendidikan inklusi merupakan sekolah reguler yang menerima siswa dengan
kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan dan peluang
yang sama untuk memperoleh pendidikan dengan siswa normal lainnya.
Pernyataan ini dipertegas oleh (Dewi Mufidatul Ummah, 2018) Anak
berkebutuhan khusus juga mempunyai hak yang sama dengan anak-anak lainnya
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Sesuai yang diatur dalam undang-
undang, pasal 5 disebutkan setiap warga Negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (ayat 1); Warga Negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus (ayat 2); Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 3). (Bebetsos et al.,
2014) Melalui pendidikan inklusi diskriminasi kepada anak berkebutuhan khusus
dapat diminimalisir karena mereka juga mempunyai hak yang sama dengan siswa
normal. Baik hak untuk memperoleh materi pembelajaran, sarana, suasana
pembelajaran di kelas reguler dan lain sebagainya. Meskipun demikian, proses
pembelajaran harus disesuaikan dengan ketunaan dan kebutuhannya. Tidak
semua anak berkebutuhan khusus mampu untuk belajar bersama dengan siswa
normal (Laksana dwi Sigit, 2016). Berdasarkan hal tersebut maka sangat perlu
dilakukan analisis pembelajaran anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi.
Ada beberapa komponen pembelajaran yang mesti diperhatikan mulai dari
kurikulum, rencana pembelajaran, media yang digunakan, strategi pembelajaran
dan lain sebagainya. Hal ini sangat urgensi mengingat keberhasilan anak
berkebutuhan khusus tergantung pada komponen tersebut. Hakikatnya anak
berkebutuhan khusus sama dengan anak-anak lainnya, hanya saja mereka
mempunyai kelainan yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan, sehingga mereka membutuhkan pelayanan yang sesuai dengan
hambatannya.
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus melalui pendidikan inklusi sudah direalisasikan mulai tahun
2005 (Rasmitadila, 2020). Diharapkan dengan adanya pendidikan inklusi anak
berkebutuhan khusus dapat memperoleh pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan hasil penelitian (Angreni & Sari, 2020) sekitar 78 anak
berkebutuhan khusus sedang mengeyam pendidikan di sekolah inklusi yang
tersebar di Sumatera Barat, 23 di antaranya terdapat di Kota Padang. Adapun
kelainan anak berkebutuhan khusus yang teridentifikasi diantaranya tuna grahita
ringan, lamban belajar dan tuna laras. Berdasarkan kelainannya, anak
berkebutuhan khusus tentu harus mendapatkan layanan yang sesuai dengan
ketunaannya. Hal ini dikarenakan tidak semua anak berkebutuhan khusus
mempunyai kebutuhan yang sama baik dari proses pembelajaran seperti rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), media pembelajaran, serta strategi yang
digunakan guru dalam mengajar. Setiap anak berkebutuhan khusus membutuhkan
layanan yang berbeda, seperti anak berkebutuhan khusus tuna grahita
memerlukan modifikasi materi dan juga metode belajar tapi tidak untuk anak
berkebutuhan khusus tuna laras (Wahyuno, 2014). Disamping itu juga menjadi
perhatian adalah layanan kelas, kurikulum, dan system penilaian (Pratiwi, 2015).
Anak berkebutuhan khusus yang belajar satu kelas dengan siswa yang normal
mestinya dibedakan baik proses pembelajaran maupun sarana yang digunakan.
Sesuai pendapat (Siswanto, 2019) sarana yang dibutuhkan oleh anak
berkebutuhan khusus dengan kelainan penglihatan atau tuna netra adalah huruf
braile, buku-buku tulisan braile, berbeda dengan anak berkebutuhan khusus tuna
laras membutuhkan sarana yang menarik untuk menumbuhkan motivasi belajar.
Selanjutnya, kriteria penempatan anak berkebutuhan khusus di kelas reguler. Ada
beberapa teknik penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler yaitu
(1) Kelas Reguler (Inklusi Penuh), (2) Kelas regular dengan Cluster, (3) Kelas
Reguler denganPull Out, (4) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out, (5)
Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian(Mintarsih Euis, 2017).
Selanjutnya dari kurikulum juga harus ada modifikasi berdasarkan kelainan anak
berkebutuhan khusus. Ada empat bentuk model kurikulum yaitu model duplikasi,
model modifikasi, model substitusi dan model omisi (Rasmitadila, 2020).
Kesesuaian layanan untuk anak berkebutuhan khusus merupakan kunci
keberhasilan anak berkebutuhan dalam pendidikan. Semakin tepat layanan yang
diberikan semakin memberikan dampak yang positif untuk keberhasilan anak
berkebutuhan khusus. Seyogyanya sekolah/guru harus memperhatikan kebutuhan
siswa sesuai dengan ketunaannya mulai dari kurikulum, rencana pembelajaran
yang digunakan, media dan metode pembelajaran serta system penilaian untuk
anak berkebutuhan khusus. Selain itu, untuk penempatan kelas juga disesuaikan
dengan kebutuhannnya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian guna mengetahui
dan menganalisis rencana pembelajaran, media dan strategi pembelajaran serta
kurikulum yang digunakan oleh sekolah inklusi di kota Padang. Apakah sudah
sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus yang mengeyam pendidikan
di sekolah tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dilakukan analisis
proses pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di
kota Padang. Adapun tujuan penelitian adalah (1) menganalisis proses
pembelajaran (rencana pelaksanaan pembelajaran, media dan strategi
pembelajaran) anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kota
Padang, (2) menganalisis kebutuhan (kurikulum, kelas dan model layanan) anak
berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kota Padang.
2. Variabel penelitian
Pendidikan inklusi; proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus
3. Subjek dan Instrumen penelitia
Subjek
Anak berkenutuhan Khusus
Instrumen Penelitian
Observasi dan pengumpulan data/ informasi

4. Hasil penelitian
Fokus permasalahan yang ingin dikaji dalam hal ini adalah karakteristik, faktor-
faktor penyebab gangguan, pendekatan yang bias dilakukan untuk mengatasi dan
model layanan pendidikan digunakan untuk membantu anak berkebutuhan khusus
dengan gangguan emosi dan perilaku dalam belajar dan mengembangkan
kreativitasnya.

5. Pendapat Anda mengenai penelitian ini


Selain guru, orang tua juga perlu tau adanya faktor-faktor penyebab gangguan,
pendekatan yang biasa dilakukan untuk mengatasi dan model layanan pendidikan
digunakan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi
dan perilaku dalam belajar dan mengembangkan kreativitasnya.
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Dengan
Gangguan Emosi dan Perilaku
Vol 3 No 2, Tahun 2020

1. Latar belakang masalah


Pendidikan merupakan sebuah proses transformasi pengetahuan menuju ke arah
perbaikan, penguatan dan penyempurnaan semua potensi manusia. Oleh karena
itu, pendidikan tidak mengenal ruang dan waktu, berlangsung sepanjang hayat
dan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja oleh manusia serta mampu
melakukan proses kependidikan (life long education) (Arriani, 2017;
Fridayanthie, 2016a; Murniarti & Anastasia, 2016; Rahayu, 2015). Semua warga
negara berhak mendapatkan pendidikan termasuk di dalamnya anak berkebutuhan
khusus. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat (2) yang berbunyi Warga
Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.Pemerintah telah memfasilitasi
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan adanya lembaga pelayanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak dengan gangguan
emosi dan perilaku.
2. Variabel penelitian
Layanan Pendidikan, Gangguan Emosi Perilaku
3. Subjek dan Instrumen penelitian
Subjek
Anak berkebutuhan khusus
Intrumen penelitian
Observasi dan pengumpulan data/ informasi
4. Hasil penelitian
Hasil Penelitian dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, anak berkebutuhan
khusus dengan gangguan emosi dan perilaku diartikan sebagai anak yang
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun
masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan
karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya
maupun lingkungannya. Kedua, karakteristik anak dengan gangguan perilaku dan
emosi yaitu inteligensi dan prestasi belajar, karakteristik sosial dan emosi.
agresif, acting-out behaviorn(externalizing), dan immature, withdrawl behavior
(internalizing). Ketiga, beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gangguang
emosi dan perilaku yaitu faktor biologi, faktor lingkungan atau keluarga, faktor
sekolah, dan faktor masyarakat. Keempat, beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan dalam usaha mengatasi permasalahan anak dengan gangguan emosi
dan perilaku yaitu: pendekatanbiomedis, pendekatan psikodinamik, pendekatan
perilaku, pendekatan pendidikan, dan pendekatan ekologi. Kelima, model
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok besar, yaitu: bentuk layanan pendidikan segregrasi; bentuk
layanan pendidikan terpadu/integrasi, dan pendidikan inklusif.
5. Pendapat Anda mengenai penelitian ini
Model layanan pendidikan yang dirancang harus mampu memfasilitasi berbagai
kebutuhan yang melekat pada anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi
dan perilaku.

Anda mungkin juga menyukai