Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE NON HEMORAGIK (SNH)

ATIK NUR APRIYANTI


P 27220016 058

D III KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
2019
A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Menurut Yasmara (2016) stroke merupakan penyakit
serebrovaskuler yang adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang
terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui suplai
arteri di otak. Stroke juga merupakan penyakit serebrovaskuler yang
menunjukkan beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun
struktural yang disebabkan oleh bebrapa keadaan patologis dari
pembuluh darah serebral atau dari seluruh pembuluh darah otak, yang
disebabkan robekan pembuluh darah atau oklusi parsial/total yang
bersifat sementara atau permanen. Menurut Sadewo (2011) stroke adalah
salah satu gangguan pada jaringan otak akibat kelainan kardiovaskuler.
Kelainan ini dapat disebabkan kondisi iskemik ataupun perdarahan.
Stroke non hemoragik/ Cerebro Vaskuler Accident (CVA) adalah
kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke
otak disebabkan karena adanya thrombus atau embolus (Oktavianus,
2014). Menurut Yasmara (2016) stroke non hemoragik (iskemik) terjadi
akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi
serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang
terbentuk di dalam pembuluh darah otak atau pembuluh darah organ
distal. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Stroke Non
Hemoragik merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak
akibat terganggunya suplai darah ke otak akibat trombus atau embolus.
2. Klasifikasi Stroke Non Hemoragik
Klasifikasi stroke non hemoragik menurut Satyanegara dalam Ariani
(2012) antara lain :
a. Serangan Iskemi Sepintas (Transient Ischemic Attack-TIA)
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-spisode serangan
sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan vaskuler
dengan lama serangan sekitar 2-15 menit sampai paling lam 24 jam.
b. Defisit Neurologis iskemik Sepintas (Reversible ischemic
neurology deficit-RIND)
Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berlangsung lebih lama
dari 24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu kurang
dari tiga minggu).
c. Progessing Stroke atau In Evolutional
Gejala gangguan neurologis yang progresif dalam waktu enam jam
atau lebih.
d. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala gangguan neurologis dengan les-lesi yang stabil selama periode
waktu 18-24 jam tanpa adanya progesitivitas lanjut.

3. Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma (2016) faktor-faktor yang
menyebabkan stroke, antara lain:
a. Faktor yang tidak dapat dirubah (Non reversible)
1) Jenis kelamin
2) Usia
3) Keturunan
b. Faktor yang dapat dirubah (reversible)
1) Hipertensi
2) Penyakit jantung
3) Kolesterol tinggi
4) Obesitas
5) Diabetes Mellitus
6) Polisetemia
7) Stress emosional
c. Kebiasaan Hidup
1) Merokok
2) Minum alkohol
3) Konsumsi obat-obatan terlarang
4) Aktifitas yang tidak sehat (kurang olahraga, makanan
berkolesterol)

4. Patofisiologi
Menurut Oktavianus (2014) pada stroke trombotik, oklusi
disebabkan karena adanya penyumbatan lumen pembuluh darah otak
karena trombus yang makin lama makin menebal, sehingga aliran darah
menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemi
yang akan berlanjut menjadi infark. Dalam waktu 72 jam daerah tersebut
akan mengalami edema dan lama kelamaan akan terjadi nekrosis. Lokasi
yang paling sering pada stroke trombosis adalah dipercabangan arteri
carotis besar dan arteri vertebra yang berhubungan dengan arteri basiler.
Stroke emboli terjadi karena adanya emboli yang lepas dari bagian
tubuh lain sampai ke arteri carotis, emboli tersebut terjebak di pembuluh
darah otak yang lebih kecil dan biasanya pada daerah percabangan lumen
yang menyempit, yaitu arteri carotis dibagian tengah atau Middle Carotid
Artery (MCA). Dengan adanya sumbatan oleh emboli akan menyebabkan
peredaran darah dalam otak akan terganggu. Jika aliran darah terganggu,
maka supply oksigen ke jaringan juga akan terganggu, dan akan
menyebabkan kerusakan yang akhirnya akan menimbulkan infark pada
otak dalam hitungan menit.
Menurut Long (1996) dalam Ariani (2012), otak sangat bergantung
pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen. Bila terjadi
anoksia, metabolisme otak akan mengalami perubahan, kematian sel dan
kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 sampai 10 menit. Hipoksia
menyebabkan iskemik otak. Iskemik otak dalam waktu lama
menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi infark otak yang
disertai dengan edema otak karena pada daerah yang dialiri darah terjadi
penurunan perfusi dan oksigen, serta peningkatan karbon dioksida dan
asam laktat. Maka dari itu pada pasien stroke non hemoragik perlu
diberikan oksigen yang adekuat .
5. Penatalaksanaan Stroke Non Hemoragik
Menurut Muttaqin dalam Dewi (2018) penatalaksanaan Stroke Non
Hemoragik dengan gangguan oksigenasi adalah stabilisasi jalan nafas
dan pernapasan, yang terdiri dari:
a. Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis. Nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan selama 72
jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
b. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen <95%.
c. Intubasi ET atau LMA diperlukan pada pasien dengan hipoksia
(PO2 ˂ 60 mmHg atau PCO2 > 50 mmHg) atau syok/pasien dengan
risiko aspirasi.
d. Terapi oksigen diberikan pada pasien dengan hipoksia.
e. Pasien Stroke Iskemik akut yang non hipoksia tidak memerlukan
terapi oksigen.

6. Pathway
Trombosis Emboli cerebral
cerebral

Sumbatan pembuluh darah di otak

Transient Ischemic Attack


Stroke In evolution
Koma
Batang otak
Cerebelum
Gangguan
Penurunan
involunter/
tingkat kesadaran apatis s.d koma
inkoordinasi Menekan medula oblongata
Gejala neurologik betambah
Suplai darah dan O2 ke otak menurun Kematian
Kelainan neurologik sementara
Sembuh total beberapa hari
Cerebrum Defisit mobilitas
Gangguan motorik fisik
Penurunan tingkat kesadaran
Pola
Kematian napas tidak efektif
Pengobatan dan perawatan Reflek patologi
Sembuh total <24
Gangguan jammotorik
fungsi Gangguan persepsitidak akurat
sensori
Gangguan perfusi jaringan
Iskemik otak Reflek menelan turun
Defisit motorik
Penurunan aliran darah ke otak
Penglihatan, peraba, Infark serebri
Bicara Kelemahan anggota gerakpendengaran, pengecap
Reflek batuk menurun
(disfasia, disatria)
Bersihan jalan napas tidak efektif
Gangguan
Gangguan komunikasi verbalmobilitasGangguan
fisik pemenuhan nutrisi
B. Sumber: Oktavianus (2014), Mutaqqin dalamKONSEP
Pertiwi (2018)

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dalam melakukan asuhan
keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan
dalam tahap berikutnya. Kemampuan seorang perawat dalam melakukan
pengkajian akan menentukan diagnosa keperawatan (Rohmah, 2016).
Menurut Muttaqin (2008) pengkajian dalam anamnesis pasien stroke non
hemoragik terdiri dari identitas pasien (nama, usia), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medis.
Proses pengkajian Stroke Non Hemoragik dibagi menjadi dua
bagian yaitu :
a. Pengkajian
Primer
Menurut Musliha (2010) pengkajian primer merupakan pengkajian
cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah actual/potensial
dari kondisi life threatening (berdampak terhadap kemampuan pasien
untuk mempertahankan hidup). Pengkajian primer dilakukan untuk
menangani masalah yang harus segera dilakukan tindakan
(Kartikawati, 2013). Ada beberapa tahapan dalam melakukan
pengkajian primer antara lain :
1) Airway (Jalan
napas)
Menurut Junaidi dalam Dewi (2018) masalah jalan napas umumnya
terjadi pada pasien dengan stroke perdarahan. Pada pasien dengan
stroke iskemik, jalan napas biasanya stabil kecuali infark batang
otak atau kejang yang berulang. Untuk mengatasi hal tersebut, yang
dapat dilakukan yaitu dengan memelihara oksigen yang adekuat.
Hipoksia dapat memicu metabolisme anaerobik dan penggunaan
energi simpanan saat otak mengalami serangan atau cedera, yang
menyebabkan meluasnya lesi. Salah satu penyebab umum hipoksia
adalah sumbatan jalan napas. Untuk menghindari sumbatan jalan
napas pada pasien tidak sadar, pasien harus pada posisi dekubitus
lateral (leher hiperekstensi ringan, dan bahu diangkat), lendir
disedot bila perlu dilakukan pemasangan endotrakealtube.
2) Breathing
(pernafasan)
Pada pasien stroke diberikan tambahan oksigen aliran rendah 1-3
liter/ menit melalui hidung sampai ada hasil analisa gas darah, dan
disesuaikan dengan target PaO2= 80-100 mmHg dan PaCO2= 35-
45 mmHg. Pemberian oksigen pada pasien stroke umumnya
bermanfaat karena otak memerlukan oksigen yang banyak untuk
metabolisme dan untuk mencegah terjadinya hipoksia yang dapat
menyebabkan infark.
3) Circulation
Setelah tindakan jalan napas dan oksigen maka selanjutnya yang
penting juga adalah memperbaiki sirkulasi dan perfusi otak secara
cukup dengan cara mempertahankan curah jantung dan tekanan
darah. Pemantauan dengan elektrokardiogram dalam 24 jam
pertama dari stroke sangat penting untuk mendeteksi adanya atrial
flutter, atrial fibrilasi, atau infark miokard.
4) Disability
Dalam Musliha (2010) dijelaskan bahawa pada disability, hal
perlu dikaji yaitu mengenai tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas,
GCS (Glasgow Coma Scale), atau pada anak tentukan: Alert (A),
Verbal (V), Pain (P), Unresponsive (U), ukuran pupil dan respon
pupil terhadap cahaya. Menurut Junaidi dalam Dewi (2018) pada
saat pengkaian primer, penilaian neurologis hanya dilakukan secara
singkat. Jika pasien mengalami koma maka kaji tingkat kesadaran
GCS (Glasgow Coma Scale).
a) Respon membuka
mata (eye)
Membuka mata spontan =4
Berespon terhadap suara =3
Berespon terhadap nyeri =2
Tidak ada respon =1
b) Respon verbal
(verbal)
Orientasi dengan baik =5
Bingung =4
Kata-kata tidak sesuai =3
Kata-kata tidak bermakna =2
Tidak ada respon =1
c) Respon motorik
(motor)
Mematuhi perintah =6
Melokalisir nyeri =5
Fleksi, menghindari nyeri =4
Fleksi abnormal =3
Ekstensi terhadap nyeri =2
Tidak ada respon =1
5) Eksposure
Menurut Junaidi dalam Dewi (2018), pemaparan (exposure)
dilakukan dengan cara melepas semua pakaian pasien secara cepat
untuk memeriksa cedera, perdarahan, atau keanehan lainnya. Selain
itu, hal yang perlu dikaji pada eksposure menurut Musliha (2010)
antara lain tekanan darah, irama dan kekuatan andi, irama,
kekuatan dan penggunaan otot bantu, serta satursi oksigen.
b. Pengkajian sekunder
Menurut Musliha (2010) pengkajian sekunder dilakukan setelah
masalah airway, breathing, dan circulation yang ditemukan pada
pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian
objektif dan subjektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat
keluarga) dan pengkajian dari kepala sampai kaki. Dalam Kartikawati
(2013) disebutkan bahwa pengkajian sekunder bertujuan untuk
mengidentifikasi semua penyakit atau masalah yang berkaitan dengan
keluhan pasien.
Pada pengkajian sekunder didapatkan riwayat kesehatan pasien
yang sesuai dan relevan dengan kondisi pasien. Riwayat kesehatan
tersebut terdiri dari keluhan utama pasien, riwayat penyakit saat ini,
riwayat pengobatan, pengobatan yang sedang dijalani, riwayat
keluarga dan sosial, serta review sistem. Untuk mengetahui dan
memudahkan mengingat komponen pendataan riwayat, maka
digunakanlah mnemonic SAMPLE yang merupakan pengkajian
mengenai riwayat singkat pasien dirawat di rumah sakit (Kartikawati,
2013).
Menurut Juanidi dalam Dewi (2018) pengkajian SAMPLE
terdiri dari:
1) S (Symptoms), yaitu gejala utama yang dirasakan pasien
pada saat itu
2) A (Allergies), adakah riwayat alergi pada pasien, seperti
alergi obat-obatan, makanan dan plester, atau makanan tertentu
3) M (Medications), yaitu obat-obatan yang terakhir kali
sudah diberikan kepada pasien dan apakah terapi tersebut
mengurangi permasalahan pasien atau tidak
4) P (Past Medical History) atau riwayat medis sebelum
pasien dirawat saat ini
5) L (Last Oral Intake), yaitu terahir kali pasien makan dan
minum dan jenis detail makanan atau minuman yang baru saja
dikonsumsi pasien
6) E (Even Prociding Incident), yaitu hal-hal yang
memungkinkan atau peristiwa yang mengawali terjadinya serangan
atau penyakit pasien pada saat ini.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut SDKI (2016), antara
lain sebagai berikut:
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan
penurunan aliran oksigen ke otak
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme
jalan napas
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan sesuai NIC NOC menurut Nurarif &
Kusuma dalam Dewi (2018) adalah sebagai berikut ini:
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan
penurunan aliran oksigen ke otak
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
perfusi jaringan serebral kembali optimal
Kriteria hasil :
1) Pasien tidak gelisah
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang
3) GCS 15, E4V5M6, pupil isokor, reflek cahaya (+)
4) Saturasi oksigen dalam rentang normal
5) TTV normal (Nadi: 60-100x/menit, suhu: 36-37°C,
pernapasan: 16-20x/menit)
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital dan status neurologis dengan
GCS
Rasional : mengurangi kerusakan otak lebih lanjut
2) Memberikan posisi kepala lebih tinggi 15-30° dengan letak
jantung
Rasional : mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan
drainage vena dan memperbaiki sirkulasi serebral
3) Kolaborsi pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional : mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan
vasodilatasi cerebral dan volume darah serta TIK
4) Kolaborasi pemberian cairan perinfus dengan pemberian
ketat
Rasional : meminimalkan beban vaskuler dan tekanan intrakranial.
Retriksi cairan-cairan dapat menurunkan edema cerebral
5) Kolaborasi pemberian terapi sesuai indikasi, seperti :
steroid (deksamethason), antibiotik, obat osmosis diuretik
(furosemid, manitol), aminofel.
Rasional : dapat membantu menurunkan permeabilitas kapiler,
menurunkan metabolik sel, kejang dan menurunkan edema serebri.
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme
jalan napas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat
meningktakan dan mempertahankan bersihan jalan napas
Kriteria hasil :
1) Bunyi napas terdengar bersih
2) Ronchi tidak terdengar
3) Tidak ada penumpukan sekret di saluran nafas
4) RR: 16-20x/menit
Intervensi :
1) Observasi keadaan jalan napas
Rasional : obstruksi mungkin disebabkan oleh akumulasi secret,
sisa cairan mucus, perdarahan, bronkospasme, dan cairan
2) Auskultasi paru dan elevasi pergerakan dinding dada
Rasional : saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
penumonia dan akan menimbulkan perubahan suara nafas seperti
ronkhi atau mengi
3) Lakukan suction jika diperlukan
Rasional : pada pasien dengan penurunan kesadaran terjadi
penumpukan secret pada jalan nafas dan harus dikeluarkan dengan
suction
4) Berikan minum hangat jika memungkinkan
Rasional : membantu pengenceran sekret
5) Kolaborsi pemberian obat bronkodilator sesuai indikasi
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent), adoetharine
hydrochloride (bronkosol).
Rasional : mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
relaksasi otot/bronkospasme.
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan
Tujuan : setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan
pola dapat menunjukkan pola napas yang efektif
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan tanda-tanda penurunan upaya pernapasan
2) Frekuensi napas normal 16-20x/menit
Intervensi
1) Berikan posisi tidue semifowler
Rasional : posisi semifowler mempermudah fungsi pernapasan dan
dapat sebagai alat ekspansi dada.
2) Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan
bibir
Rasional : teknik ini membantu memperbaiki ventilasi dan untuk
menghasilkan sekresi tanpa menyebabkan sesak napas dan
keletihan.
3) Observasi frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan
Rasional : membantu pola napas pasien
4) Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional : pemberian oksigen membantu memenuhi kebutuhan
oksigen.
5) Kolaborasi pemberian obat-obatan bronkodilator dan
kortikosteroid sesuai indikasi
Rasional : bronkodilator membantu merilekskan otot halus dan
menurunkan spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan
guna membantu pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Hidayat,
2014). Menurut Rohmah (2016) kegiatan dalam pelaksanaan juga
meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien
selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru.
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Muttaqin dalam Dewi (2018), evaluasi adalah tahapan yang
menentukan apakah tujuan dari intervensi tersebut tercapai atau tidak.
Evaluasi dilakukan menggunakan metode SOAP, dan hasil yang
diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan keperawatan pada penderita
stroke dengan gangguan kebutuhan oksigenasi yang tertuang dalam
tujuan pemulangan adalah:
a. Berikan posisi tidur semifowler
b. Perfusi jaringan serebral efektif.
c. Bersihan jalan nafas baik dan paten.
d. Pola nafas efektif.
e. Keluarga dan pasien dapat memahami proses dan prognosis
penyakit dan pengobatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, T.A. (2012). Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika

Dewi, I.Y. (2018). Pemberian Terapi Oksigenasi dengan Nasal Kanula untuk
Meningkatkan Perfusi Jaringan Serebral pada Pasien Stroke Non
Hemoragik. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta

Hidayat, A. A. (2014). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknis Analisis Data.


Jakarta : Salemba Medika

Kartikawati, N. D. (2013). Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:


Salemba Medika

Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika


Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif, A.H. & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc Dalam Berbagai Kasus Edisi Revisi
Jilid 1. Jogjakarta: MediAction.

Octavianus. (2014). Asuhan Keperawatan pada Sistem Neurobehavior.


Yogyakarta: Graha Ilmu

Pertiwi, R (2018). Pemberian Terapi Oksigen Nasal Kanul Pada Pasien Stroke
Non Hemoragik. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta

Rohmah, N.,& Saiful,W. (2016). Proses Keperawatan: Teori & Aplikasi.


Yogyakarta : Ar-Ruzz Media

Sadewo, W., dkk. (2011). Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: CV Sagung Seto

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa KeperawatnIndonesia.


Jakarta: DPP PPNI

Yasmara, D. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah:Diagnosis


NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC hasil NOC. Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai