Peneliti Independen
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi, Fisipol Universitas Gadjah Mada
AB S T RACT
This article attempts to discuss the urgency of resilience for Indonesian youths in their
daily lifes. The concept of resilience can be defined as individual ability to survive, to
adapt and, furthermore, to revive from their sufferings. Such ability is important for youths
during the transisional period from childhood to adulthood, where usually contains
huge psychological and emotional instabilities and troubles. It further discusses the
characteristics of youth and the urgency of resilience during the period by highlighting
the rise of suicide among youths as consequence of the lack of resilience, and some efforts
to empower resiliece among youths. The article begins with a brief discussion on the
development of resilience studies, both its conceptual dimensions and its utilities.
Keywords: resilience, youth, transition, suicide
31
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
ningkatnya kecenderungan angka bunuh diri menyebutnya sebagai proses pencarian “iden-
pada penduduk usia muda —pemuda1— usia titas ego”; (4) Tengah mengalami “krisis ori-
16-30 tahun (Amarullah, 2009; Wirasto, 2012: sinalitas” yang ditunjukkan melalui upaya-
98). Sebagai misal, khusus untuk wilayah DKI nya untuk membedakan diri dari anak-anak
Jakarta, sepanjang tahun 2003 Polda Metro maupun orang dewasa, hal tersebut kemudian
Jaya mencatat terjadinya 62 kasus bunuh diri berimplikasi pada timbulnya gap antargenerasi.
pada pemuda. Angka tersebut melonjak tiga Berbagai bentuk ambiguitas pemuda di
kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. Dan atas, sedari posisi sosialnya yang “tanggung”
sebagaimana tahun-tahun setelahnya hingga di antara anak-anak dan orang dewasa, be-
kini, tren angka bunuh diri pada pemuda di rikut kejiwaannya yang labil akibat tengah
tanah air agaknya cenderung mengalami pe- dirundung masa-masa pencarian jati diri serta
ningkatan (Zahra, 2011). mengalami krisis orisinalitas, tak heran jika
Upaya mengurai permasalahan tingginya banyak pihak mendaulat masa muda sebagai
angka bunuh diri pada pemuda dewasa ini periode yang cukup berat dalam hidup,
kiranya tak dapat lepas dari penelaahan akan layaknya masa transisi pada umumnya. Itu-
apa, siapa dan bagaimana karakteristik dari lah mengapa, “wajah Janus”2 pemuda me-
pemuda itu sendiri. Tak dapat dipungkiri, telah nimbulkan ambiguitas tersendiri; di satu sisi,
banyak ahli yang mendefinisikan arti dari gelora kebebasan yang dimilikinya seakan
terminus “pemuda”. Talcott Parsons (dalam menjadikan pemuda sebagai sosok yang
Barker, 2009: 339) misalnya, mendefinisikan kuat dan kokoh bahkan mampu menembus
pemuda sebagai mereka yang memiliki posisi batas-batas yang ada, namun di sisi lain, ke-
sosial di antara anak-anak dan orang dewasa jiwaannya yang belum mapan (labil) turut
ditinjau melalui segi institusi keluarga, pen- mengindikasikan kerapuhan di dalamnya, iba-
didikan dan pekerjaan. Tak pelak, posisi sosial rat sebuah mercusuar yang tampak menjulang
tersebut berimplikasi pada tanggung jawab tegar di pinggir tebing namun sekonyong-
pemuda yang jauh lebih besar ketimbang konyong roboh akibat diterpa angin yang tak
anak-anak, namun mereka tetap berada di kencang-kencang amat.
bawah kontrol orang dewasa (orang tua), Dimensi kerapuhan pemuda sebagai salah
suatu kondisi yang cukup dilematis memang. satu sisi wajah Janus di atas menarik untuk
Namun demikian, Parsons ajeg menekankan dicermati lebih lanjut. Sebab cukup absurd
bahwa karakteristik utama yang dimiliki bila banyak pihak membebankan serangkaian
pemuda adalah kecenderungannya untuk harapan pada pemuda selaku generasi pe-
bergabung dengan dunia orang-orang dewasa. nerus bangsa namun sang pengembannya
Lebih jauh, dalam ranah psikologi per- sendiri —pemuda— justru mudah ambruk
kembangan, Monks (1985: 230-234) meru- kala menemui berbagai hambatan dan rin-
muskan beragam karakteristik yang dimi- tangan di tengah jalan. Salah satu bentuk
liki pemuda sebagai berikut: (1) Memiliki “keambrukkan” tersebut, sebagaimana telah
kecenderungan untuk memisahkan diri dari disinggung sebelumnya, ter-representasi-kan
orang tua dan berkumpul bersama teman-te- melalui contoh paling ekstrem akan banyaknya
man seusianya; (2) Menjadikan norma ke- pemuda yang sengaja mengakhiri hidupnya
lompoknya —teman-temannya— sebagai (baca: bunuh diri) akibat permasalahan yang
patokan dalam berperilaku; (3) Berada pada sesungguhnya dapat dikatakan sepele. Ber-
masa-masa pencarian jati diri, Erik H. Erikson dasarkan data yang dihimpun Komisi Nasional
Perlindungan Anak, pada semester awal tahun
1 Istilah “pemuda” di sini mencakup baik remaja pu-
tra maupun putri (pemuda/i). Begitu pula, dalam 2 “Janus” adalah salah satu nama dewa dalam mi-
pemaparan selanjutnya istilah pemuda akan digu- tologi Romawi Kuno yang memiliki dua wajah sa-
nakan secara bergantian dengan istilah “individu”. ling berlawanan.
32
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
33
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
yang dihadapi individu maupun kolektif (sosial) optimistik bagi individu terkait. Namun,
dalam era high-risk dewasa ini, studi resiliensi sering kali hal tersebut tak terbentuk secara
turut diadopsi oleh para sosiolog, pekerja optimal akibat terlampau dominannya “ingat-
sosial, bahkan para politisi guna merumuskan an masa lalu yang menganggu”. Guna meng-
kebijakan yang tepat bagi masyarakatnya hindarkannya, individu niscaya beranjak pada
(Fine, 1991: 462; Ruhl, 2011: 1374). level makna, yakni memiliki kemampuan
Esensi dari studi resiliensi adalah upaya untuk memprediksi, merubah, memahami
memetakan beragam respon yang diberikan serta menerima kondisinya saat ini dengan
individu kala menghadapi kesulitan hidup. konteks pemaknaan yang penuh. Selanjutnya,
Sebagian darinya ada yang dengan cepat pulih pemaknaan tersebut bakal menimbulkan ke-
dari keterpurukan, sedang sebagian yang lain yakinan bahwa segala sesuatu berada di
kian larut di dalamnya berikut serasa tak bawah kontrol dan demikian membantu da-
memiliki kuasa untuk membebaskan diri dari- lam masa-masa rehabilitasi atau pemulihan.
nya. Individu yang memiliki kemampuan luar Banyak tempat di mana individu dapat mem-
biasa untuk bangkit dari keterpurukan dalam peroleh makna atas tindakannya, antara lain
tempo singkat, disebut sebagai “individu yang pada para pemuka agama, ideologi politik
resilien”. Dalam studi terkait, beragam respon yang dianutnya, bahkan nalar awam (baca:
individu tersebut nantinya dipetakan, ditelisik nilai dan norma sosial) yang terdapat dalam
faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta masyarakatnya, terdapat pula sebagian indi-
diformulasikan sedemikian rupa guna men- vidu yang memperolehnya lewat daya inte-
ciptakan individu-individu yang resilien lain- lektual dan kreativitas kala menghadapi ke-
nya (Fine, 1991: 457). sulitan itu sendiri. Bagi Victor Frankl, pe-
Memang, studi resiliensi dilatarbelakangi maknaan merupakan “ihwal terakhir dari
oleh kenyataan bahwa tak semua individu kebebasan manusia”, ia menunjukkan bagai-
dapat segera bangkit dari keterpurukannya. mana individu menginterpretasikan beragam
Bagi Scott (2009: 1), mereka yang mampu tindakannya (Fine, 1991: 465).
seketika bangkit memiliki syarat untuk me- Adapun kemampuan individu untuk
nyadari kemampuannya sebagai suatu “anu- melakukan pemaknaan secara penuh me-
gerah” tersendiri. Hal tersebut berarti, pe- nurut Garmezy (dalam Fine, 1991: 463), di-
ngalaman yang telah dilaluinya mampu mem- pengaruhi oleh berbagai elemen, antara lain;
bentuknya sedemikian rupa menjadi individu tingkat tempramental, kapasitas intelektual,
dengan daya pegas menghadapi penderitaan rasa humor, empati, ketrampilan memecahkan
yang kuat —the strength to bounce back. masalah, serta keahlian mengungkapkan pe-
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa rasaan (berekspresi). Sementara Reivich
individu yang resilien faktual bukanlah me- dan Shatte (2002: 36-47) mengemukakan
reka yang tak pernah mengalami stres, te- serangkaian elemen sebagai berikut; peng-
kanan atau depresi dalam hidupnya. Begitu aturan emosi, pengendalian impuls/dorongan,
pula, dimensi resiliensi yang kuat tak ter- optimisme, analisis sebab-akibat, efikasi/pe-
bentuk dengan sendirinya, melainkan melalui mulihan diri, serta reaching out atau daya dobrak
serangkaian proses. pemaknaan individu. Pada gilirannya, satu atau
Berdasarkan hasil penelitiannya, Goleman dua di antara berbagai elemen tersebutlah yang
(dalam Fine, 1991: 459-460) menyatakan nantinya berperan dalam proses penguatan
bahwa sesungguhnya “sistem imun” indi- dimensi resiliensi individu mengingat musykil
vidu yang berkonfrontasi dengan ingat- bagi individu untuk memiliki keseluruhan
an traumatis masa lalu secara otomatis elemen di atas. Menurut Reivich dan Shatte
membentuk pandangan dunia yang lebih (2002: 15), proses terbentuknya resiliensi
34
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
merupakan hasil dinamika antara hubungan ditunjukkan individu yang resilien melalui
dunia internal dengan eksternal individu, pilihannya untuk lebih menghadapi kesulitan/
namun demikian, keduanya sepakat bahwa penderitaan hidup dan mempengaruhi “hasil
dunia internal individu jauh lebih menentukan akhir” ketimbang ambruk dalam kepasifan
(berpengaruh). berikut ketidakberdayaan.
Setidaknya, terdapat tiga bentuk resi- Melalui uraian singkat mengenai resi-
liensi yang dihasilkan melalui proses di atas. liensi di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh
Pertama, kompensasi, yakni menunjuk pada bahwa resiliensi, sebagaimana pengertiannya,
kemampuan individu untuk menyesuaikan berfungsi sebagai tameng kala individu
diri kala kompetensi yang dimilikinya ber- tengah dihadapkan pada beragam persoalan
kurang drastis akibat stres. Kedua, proteksi, hidup yang tak jarang menimbulkan stres,
berupa kemampuan untuk memprediksi atau depresi, bahkan mengarahkan tindakannya
memperkirakan bentuk-bentuk penyesuaian pada hal-hal di luar akal sehat. Dengan kata
diri yang diperlukan individu saat menghadapi lain, resiliensi merupakan “jaring pengaman”
situasi dan kondisi di luar kendalinya. Ketiga, individu dari berbagai tindakan yang dapat
tantangan, yakni pola pikir individu yang justru merugikan diri sendiri maupun orang lain.
menempatkan stres sebagai “kompetitor” atau Berita baiknya, penelitian seksama yang telah
pendorong guna meningkatkan kompetensi dilakukan para pakar dalam beberapa dekade
(Fine, 1991: 463). terakhir memungkinkan resiliensi untuk di-
Sementara itu, psikolog kenamaan Ame- pelajari dan diterapkan secara mandiri oleh
rika Serikat, Dr. Salvatore Maddi (dalam individu serta khalayak luas.
Scott, 2009: 1-2), mengemukakan tiga elemen
utama yang terdapat dalam dimensi resiliensi,
yakni tantangan, komitmen dan kontrol. EkspresiDimensi Resiliensi
Menurut Maddi, individu yang resilien ba- dalam Keseharian
kal melihat stres dan berbagai perubahan Bagi individu yang resilien, baik disadariatau
yang terjadi dalam hidupnya sebagai sarana tidak, kuatnya dimensi resiliensi yang di-
pembelajaran diri. Bahkan, sebagian dari milikinya kerap kali tercermin melalui
mereka justru mengharapkan datangnya tan- pemikiran, perasaan bahkan tindakan layak-
tangan guna menguji mentalitas yang di- nya gumaman atau perkataan dalam hati yang
miliki. Uniknya lagi bagi Maddi, individu sering kali terceletuk begitu saja (tanpa sadar),
yang resilien umumnya “kurang nyaman” semisal: “Ah, itu persoalan kecil buatku”;
terhadap status quo yang dimilikinya maupun “Aku pasti bisa menghadapinya!”; “Terlalu
pihak lain. Elemen lain, yakni komitmen, konyol bagiku untuk menyerah”. Salah satu
menunjuk pada kemampuan individu yang contoh ekspresi kuatnya dimensi resiliensi
resilien untuk terlibat aktif dalam berbagai yang terkenal di dunia adalah berbagai tulisan
persoalan yang tengah dihadapi. Hal ter- Anne Frank yang tertuang dalam diary-nya,
sebut menyiratkan kemampuannya untuk satu di antaranya sebagai berikut (Goodrich &
memahami, menginterpretasi, berikut turut Hackett, 2007: 10).
serta mempengaruhi persoalan sembari tetap “…aku ikut merasakan penderitaan ber-
terlibat pada proses di dalamnya. Bagi individu juta-juta orang. Namun saat aku menatap
yang resilien, konflik merupakan perihal langit, aku merasakan bahwa semuanya
wajar dalam keseharian, bahkan mereka akan berubah menjadi lebih baik, dan
menganggapnya sebagai upaya pencapaian perang ini akan berakhir, aku juga ber-
pada kondisi yang lebih baik. Elemen ter- pikir, perdamaian dan ketenangan sekali
akhir menurut Maddi, yakni kontrol, lagi akan kembali. Pada suatu saat aku
35
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
harus berpegang pada idealismeku. Ba- dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor:
rangkali waktunya akan tiba, saat aku terlampau lemah atau kuatnya integrasi sosial
mampu mewujudkannya.” (Samuel, 2010: 56-57). Dalam masyarakat
dengan integrasi sosial yang lemah —ato-
Begitu pula dengan sebuah puisi yang mistik dan individualistik— setiap individu
ditulis seorang anak tak dikenal di kamp di dalamnya syarat menanggung beban hi-
konsentrasi Chezlovakia pada tahun 1944 di dup seorang diri, tanpa teman atau tempat
bawah ini (Fine, 1991: 464). untuk berbagi dan membudalkan keluh-ke-
sah (baca: uneg-uneg). Di Swiss misalkan,
The sun has made a veil of gold
terdapat satu jembatan yang dijaga 24 jam-
So lovely that my body aches. nonstop oleh polisi setempat akibat kerap
Above, the heavens shriek with blue dijadikan tempat bunuh diri para pemuda.
Convinced I’ve smiled by some mistake. Faktual, tingginya angka bunuh diri di negara
The world’s abloom and seems to smile. tersebut disebabkan oleh kultur masyarakat
I want to fly but where, how high? Swiss yang mengharuskan anak muda usia
If in barbed wire, things can bloom 17 tahun ke atas untuk keluar rumah, mencari
kerja dan hidup secara mandiri (Beautrais
Why couldn’t I? I will not die!
& Gold, 2010: 9). Kultur tersebutlah yang
Sebagaimana kita saksikan, berbagai kiranya menyebabkan banyak pemuda Swiss
tulisan di atas mengekspresikan kuatnya di- merasa tertekan, stres atau depresi sehingga
mensi resiliensi individu secara literal. Di dengan mudah mengambil keputusan untuk
dalamnya terkandung semangat individu un- mengakhiri hidupnya.
tuk bangkit melawan penderitaan, bertahan Di sisi lain, fenomena bunuh diri akibat
dalam kesusahan hidup dengan keyakinan terlampau kuatnya integrasi sosial menyi-
bakal melewatinya, dan yang terpenting lagi, ratkan pengekangan berlebih individu oleh
menunjukkan semangat individu untuk terus masyarakatnya, individu serasa dikuasai
menjalani hidup. Hal tersebut tentu akan penuh oleh lingkungan sosial sehingga tak
jauh berbeda pada individu dengan dimensi dapat berbuat banyak untuk menghindarinya.
resiliensi yang lemah atau bahkan sama sekali Adapun fenomena bunuh diri akibat faktor
tak memilikinya. Mereka akan larut dalam terkait dibagi ke dalam beberapa tipe. Per-
penderitaan, menerimanya secara taken for tama, bunuh diri akibat kewajiban, dapat di-
granted, serta berkencederungan menjadi misalkan dengan tradisi masyarakat India
fatalistik. Tegas dan jelasnya, individu yang kuno yang mensyaratkan istri turut mati ber-
demikian dapat diistilahkan sebagai man sama suaminya, sedang apabila sang istri
on the street sebagaimana ungkap Peter L. menolaknya, ia akan menuai cemoohan ma-
Berger: menerima apa-apa yang datang ke- syarakat berikut dianggap sebagai aib dalam
padanya tanpa mempertanyakannya. masyarakatnya. Kedua, bunuh diri akibat
dukungan masyarakat, hal tersebut dapat di-
contohkan dengan seorang prajurit yang me-
Bunuh Diri dalam Kajian ngorbankan dirinya di medan perang demi
menyelamatkan teman-temannya yang lain.
Sosiologi Tipe bunuh diri terkait merupakan perihal
Adalah Emile Durkheim (1858-1917), sosio- yang “didukung” masyarakat, dalam arti,
log asal Perancis yang untuk pertama kalinya siapa yang melakukannya bakal menuai
melakukan kajian mengenai fenomena bunuh penghargaan berikut penghormatan masya-
diri dalam ranah sosiologi. Menurutnya, rakat. Ketiga, bunuh diri akibat kepuasan diri,
tindakan bunuh diri yang dilakukan individu menurut Durkheim, tak ada penjelasan ilmiah
36
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
bagi tindakan bunuh diri dengan tipe ini, keberadaannya berikut menjadi persoalan
sang pelaku sekadar merasa bangga dan puas yang kita hadapi bersama.
mempertontonkan tindakan bunuh dirinya di Apabila berbagai kasus bunuh diri di atas
hadapan publik (Samuel, 2010: 60-62). ditelaah melalui kerangka kajian sosiologis
Pada perkembangannya kemudian, di- sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya,
temui istilah Werther effect atawa ‘efek kiranya faktor lemahnya integrasi sosial dan
Werther’ guna me-representasi-kan fenomena fenomena copycat menjadi penyebab uta-
bunuh diri yang diakibatkan oleh pengaruh ma marak terjadinya aksi terkait dewasa ini.
media. Istilah tersebut menunjuk pada no- Ihwal lemahnya integrasi sosial, hal ter-
vel buah karya Johann Wolfgang Goethe sebut tercermin pada berbagai persoalan
(1749-1832), The Sorrows of Young Werther para pelaku yang bersifat personal (pribadi),
‘Penderitaan Pemuda Werther’ (1774) yang antara lain akibat putus cinta, studi yang tak
membawa Jerman larut dalam gelombang bu- kunjung usai, serta himpitan finansial. Se-
nuh diri massal. Adapun istilah di atas untuk rangkaian persoalan tersebut sama sekali tak
pertama kali dipopulerkan oleh D. Phillips berhubungan dengan integrasi sosial yang
(1974) dalam penelitiannya mengenai melon- terlampau kuat dalam masyarakat. Dalam
jak drastisnya angka bunuh diri di Amerika hal ini, para pelaku melakukan tindakannya
Serikat akibat kematian bunuh diri mega- bukan dikarenakan paksaan atau dukungan
bintang Hollywood, Marilyn Monroe. Phillips masyarakat, melainkan lebih dikarenakan
mencatat, pasca kematian Monroe, prosentase persoalannya sendiri dan sama sekali tak
angka bunuh diri di Amerika Serikat me- berhubungan dengan nilai ataupun norma
ningkat drastis mencapai angka 12 persen sosial. Tak dapat dipungkiri, dukungan sosial
(Bondora & Goodwin, 2005). Di sisi lain, sebagai wadah berbagi atau sekadar sebagai
istilah terkait—efek Werther—secara umum tempat penghempas kekalutan diri kiranya
kerap pula disebut sebagai fenomena copycat, diperlukan bagi individu dengan dimensi
yakni perilaku entitas individu yang gemar resiliensi yang rendah.
menirukan perilaku individu lain baik dalam Ihwal copycat, sebagaimana ungkap psi-
hal-hal yang bersifat faktual maupun fiksional kolog forensik Universitas Bina Nusantara
(WHO, 2000: 5). Dewasa ini, pengkajian Reza Indragiri Amriel, bahwa pemberitaan
atasnya lekat dengan perkembangan budaya media massa mengenai “keberhasilan” sese-
populer layaknya film, televisi, internet, no- orang melakukan aksi bunuh diri justru
vel, musik dan lain sejenisnya. dapat menginspirasi pihak lain untuk turut
melakukannya. Sebagai misal, maraknya aksi
bunuh diri yang dilakukan di mal dan seolah
Beberapa Catatan Kasus Bunuh sempat menjadi “tren” beberapa waktu lalu.
Tercatat, selama dua hari beturut-turut di
Diri Pemuda Tanah Air bulan Januari 2011—tanggal 3-4—terjadi tiga
Sebelum lebih jauh melangkah pada urgen- kasus bunuh diri di mal, di mana ketiga pelaku
si dimensi resiliensi sebagai upaya mem- melancarkan aksinya dengan terjun bebas
perkuat daya pegas (ketahanan) pemuda dari ketinggian gedung (Soebijoto, 2011).
dalam menghadapi berbagai rintangan dan Kiranya, cukup sulit untuk mengatakan jika
penderitaan hidup, berikut akan dipaparkan peristiwa tersebut sama sekali tak berkaitan
beberapa di antara banyaknya catatan kasus dengan pengaruh media. Senada dengan
bunuh diri pemuda tanah air yang terjadi Reza Indragiri, Naoumi Sutikno, psikolog
belakangan ini (lihat Tabel). Pemaparan ini Rumah Sakit Omni, menyatakan bahwa
tak lain guna menunjukkan betapa kasus ter- publikasi media cetak maupun elektronik
kait merupakan realitas sosial yang nyata dengan visualisasi (foto/gambar) para korban
37
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
Tabel:
Kasus-kasus Bunuh Diri di Kalangan Pemuda
Waktu
Korban Keterangan Sumber
Kejadian
15 Eko Prasetyo (25), Ditemukan tewas gantung diri di dapur http://news.okezone.com/
Januari mahasiswa salah satu rumahnya di daerah Sanden, Bantul. read/2008/01/16/1/75585/
2008 PTS Yogyakarta. Prasetyo melakukan aksi bunuh diri stres-urus-skripsi-
akibat skripsinya tak kunjung selesai. mahasiswa-bunuh-diri
(diakses pada 01/03/2012)
38
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
bunuh diri hanya akan menginspirasi pihak yang berlangsung secara terus-menerus dalam
lain untuk melakukan tindakan serupa. Lebih upaya pembentukan dimensi resiliensi pada diri
jauh, ia menjelaskan bahwa dewasa ini mal individu. Terkait hal tersebut, Michael Polanyi
menjadi “lokasi favorit” untuk melancarkan dalam The Study of Man (2001:18) mengatakan
aksi bunuh diri karena lokasinya yang mudah bahwa sering kali manusia jauh tak mengenal
dijangkau dan terbuka bagi seluruh lapisan dirinya ketimbang lingkungannya. Hal tersebut
masyarakat. Di samping itu, terbersit harapan disebabkan oleh terlampau “sibuknya” ia
pada diri pelaku agar permasalahan hidup menggali pengetahuan tentang alam sekitar,
berikut tindakannya menjadi pembicaraan namun melupakan penggalian atas dirinya sen-
banyak orang (menyita perhatian), dengan diri. Bagi Polanyi, penggalian yang sekadar
melancarkan aksinya di mal maka peluang berkutat pada alam sekitar (dunia eksternal)
untuk terekspos media menjadi lebih besar barulah mencapai tingkat “intelegensi bina-
(Dai & Yer, 2011). tang”. Oleh karenanya, pertanyaan yang hadir
kemudian adalah, bagaimanakah cara agar
individu mampu melakukan penggalian atas
dirinya sendiri (refleksi diri)?
Penetrasi Dimensi Resiliensi pada
Adalah faktual bahwa setiap manusia
Pemuda pernah mengalami pengalaman eksistensial
Sebagaimana diungkap Dr. Maddi (dalam layaknya malu, kecewa, terkucil dan ke-
Scott, 2009: 2), hal pertama yang dapat di- hilangan yang teramat sangat (Lathief, 2010:
lakukan guna meningkatkan dimensi resiliensi 103). Semua hal tersebut sesungguhnya me-
pada diri adalah dengan mempelajarinya. rupakan kesempatan bagi individu untuk
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri melakukan refleksi diri. Rasa malu kita yang
bahwa kajian mengenai resiliensi masih cukup disebabkan oleh tatapan mata seseorang mi-
asing bagi para pemuda (baca: mahasiswa) salnya, mengandung pengertian agar kita
khususnya yang berada di luar disiplin psi- melakukan penilaian atas diri sendiri. Begitu
kologi selaku pencetus konsep terkait, ber- pula, kekecewaan akibat ditinggal kekasih
beda halnya dengan tradisi akademik Barat menimbulkan serangkaian tanya pada diri
yang telah mengadaptasikannya pada ber- sendiri: Mengapa? Bagaimana mungkin?.
bagai disiplin keilmuan (Ruhl, 2011: 1374). Disadari atau tidak, semua pengalaman ter-
Oleh karenanya, upaya lebih kiranya masih sebut membalikkan struktur dunia objektif
diperlukan guna mempromosikan dan menge- menjadi subjektif, kita atau individu-lah yang
nalkan studi resiliensi pada publik akademik kemudian “disorot”.
tanah air, khususnya dalam ranah keilmuan
Lebih jauh, hal di atas tak lepas dari muat-
sosial-humaniora. Setidaknya, hal tersebut se-
an kesadaran yang terjadi dalam aktivitas
jalan dengan semangat pengintegrasian ilmu
refleksi diri, yakni spontanitas impersonal
sebagaimana didengungkan akhir-akhir ini.
yang lahir melalui ex-nihilo. Dalam arti, ber-
Berikut akan dipaparkan berbagai upaya dan
bagai kekosongan yang menjangkiti diri ma-
strategi guna melakukan penetrasi dimensi
nusia dan terjadi secara tiba-tiba (spontan)
resiliensi pada diri pemuda di tanah air.
tersebutlah yang kemudian justru membuat
manusia untuk terus bergerak (bertindak).
Refleksi
Namun, sebelum individu melakukan seben-
Diri dan Kemampuan tuk tindakan, terdapat ruang kosong antara
Pemaknaan secara Konstruktif peristiwa yang dialaminya dengan tindakan
Refleksi diri, atau yang secara sederhana dapat yang dilakukannya kemudian. Faktual, ruang
diterjemahkan sebagai “pemahaman men- kosong tersebut berfungsi sebagai tempat me-
dalam atas diri”, merupakan proses belajar lakukan interpretasi atau pemaknaan sehingga
39
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
40
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
intelektual yang mumpuni dikarenakan kege- dalam rangka memupuk kapasitas intelektual.
marannya melahap buku semenjak lama, atau Oleh karenanya, dapatlah ditilik betapa besar
karena mengkultuskan seorang tokoh yang peran institusi keluarga dalam melahirkan
resilien sehingga berpikir maupun bertindak individu-individu yang resilien, bahkan Pierre
layaknya tokoh tersebut, maka dapatlah di- Bourdieu (dalam Harker [et.al], 2005: 113)
katakan bahwa dimensi resiliensi yang di- pun turut mengakui peran penting keluarga
milikinya merupakan buah bentukannya sebagai sarana reproduksi sosial yang secara
sendiri. Sebaliknya, apabila ia lebih banyak tak langsung berkenaan dengan berbagai ele-
meminjam pemaknaan yang bersumber dari men resiliensi di atas.
lingkungan sekitar, maka dimensi resiliensi- Menurut Bourdieu, terdapat perbedaan
nya merupakan buah campur tangan (ben- yang kentara antara pola pendidikan yang
tukan) pihak lain. diterapkan keluarga kelas menengah dengan
kelas bawah. Umumnya, pola asuh yang di-
terapkan keluarga kelas menengah bersifat
Institusi
Keluarga: Antara demokratis, anak sengaja didorong untuk
“Zona Aman”, Habitus dan “vokal” dan bebas mengekspresikan perasaan
Penciptaan Dimensi Resiliensi berikut aspirasinya. Kursus-kursus di luar
Seakan mengamini tesis mengenai disfung- jam sekolah pun sengaja diperuntukkan bagi
sionalisasi institusi keluarga, studi resiliensi anak guna mendukung berbagai ketrampilan
meletakkan perhatian khusus terhadap ke- di atas. Sebaliknya, pola asuh dalam keluarga
biasaan orang tua yang sejak dini sengaja kelas bawah umumnya bersifat otoriter; kon-
menghindarkan anak-anaknya dari penga- disi serba terbatas yang dimiliki orang tua
laman kegagalan berikut kesulitan hidup. meniscayakan anak untuk tak banyak me-
Bagi Reivich dan Shatte (2002: 113), ke- nuntut. Sering kali, “pembungkaman” eks-
biasaan tersebut justru merugikan proses presi dan aspirasi anak tampak melalui ke-
pembentukan dimensi resiliensi. Pasalnya, marahan orang tua yang meletup-letup. Di-
anak selalu dikondisikan dalam “zona aman”, sadari atau tidak, perbedaan kedua pola asuh
mereka tak pernah dilatih untuk mengalami di atas berimplikasi pada sesuai-tidaknya
guncangan mental serta mengatasinya secara habitus anak dalam bangku sekolah. Anak
mandiri. Karena berada di “zona aman” tak dengan pola didikan keluarga yang demokratis
dapat diharapkan terus menerus, maka besar cenderung vokal di kelas, tak ragu bertanya
kemungkinan anak-anak tersebut bakal sulit dan menjawab, serta berani mencoba berikut
bangkit kala menghadapi keterpurukan hidup berbuat salah. Sebaliknya dengan anak yang
di kemudian hari. Terlebih, manusia memang dihasilkan melalui pola didikan keluarga
selalu berada dalam kondisi “tak siap” kala otoriter, mereka cenderung diam di kelas, tak
berhadapan dengan berbagai hal mengerikan berani bertanya berikut menjawab pertanyaan
dalam hidup sebagaimana diyakini studi resi- guru—terdapat ketakutan untuk berbuat salah
liensi (Fine, 1991: 459-460). dan dipermalukan/dimarahi (Harker [et.al],
2005: 114-118). Parahnya, berbagai kebiasaan
Lebih jauh, kajian mengenai hubungan
tersebut kerap kali terbawa hingga bangku
antara institusi keluarga dengan penciptaan
kuliah, perihal yang tentunya merugikan bagi
dimensi resiliensi pada individu kiranya
perkembangan kapasitas intelektual individu
demikian esensial. Hal tersebut mengingat
dan secara tak langsung turut menyiratkan
institusi keluarga merupakan tempat pemben-
perihal kontra-resiliensi.
tukan tingkat tempramental individu/anak,
empati, kemampuan berekspresi, dan pada Di samping sebagai muara pembentukan
gilirannya menjadi pembentuk kognitif anak dimensi resiliensi, keluarga turut ditempatkan
guna menerima berbagai pelajaran di sekolah sebagai “daya dukung” resiliensi itu sendiri
41
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
bagi individu. Dapatlah dibayangkan bila- bakal menimpa, umumnya tragedi tersebut
mana terdapat pemuda pengidap HIV/ diasosiasikan dengan salah satu warga yang
AIDS atau pecandu narkoba yang sama se- akan melakukan aksi bunuh diri di kemudian
kali tak mendapat dukungan keluarganya, hari (Catur, 2010: 39-41).
besar kemungkinan mereka bakal berpikir Menilik eksistensinya sebagai local geni-
dan bertindak fatalis. Pemuda ODHA dapat ous ‘kearifan lokal’ masyarakat setempat,
seketika berpikir untuk mengakhiri hidupnya, mitos pulong gantung memang perlu dihar-
sedang pemuda pemakai narkoba akan sulit gai. Namun, menilik besarnya implikasi ne-
menjalani masa-masa rehabilitasi atau justru gatif yang ditimbulkannya, mitos tersebut
kian larut dalam candunya akibat ketiadaan layak ditinjau kembali. Memang, demikian
perhatian sama sekali dari keluarga. Hal abstrak untuk menggambarkan relasi yang
serupa berlaku pula bagi berbagai kasus terjadi antara penampakan pulong dengan tin-
pemuda layaknya putus cinta, tak lulus dalam dakan bunuh diri mengingat pengkajian ter-
Ujian Nasional (UN), serta mereka yang kait berada dalam tataran metafisika. Bisa
tengah kesulitan menyelesaikan Tugas Akhir jadi, seorang warga yang sebelumnya me-
(skripsi) guna menyabet gelar sarjana. mang telah frustasi dan berniat mengakhiri
hidup, bertambah bulat niatnya karena serasa
menyaksikan pulong. Dengan demikian, ia
Masyarakat: Re-Interpretasi akan berpikir bahwa “waktunya telah tiba”.
Mitos “Pulong Gantung”, Di sisi lain, pulong tersebut dapat pula se-
Sebuah Contoh Kasus kadar dijadikan kedok atau tameng untuk me-
legitimasi tindakannya. Dalam hal ini, sang
Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa
pelaku sama sekali tak melihat penampakkan
Yogyakarta merupakan wilayah dengan pre- pulong, namun dikarenakan mitos tersebut
valensi angka bunuh diri tertinggi di tanah air. ajeg dilestarikan masyarakat sekitar, maka ia
Tercatat, terjadi 9 kasus bunuh diri per 100.000 merasa leluasa melakukan aksi bunuh diri, toh
penduduk, jauh lebih tinggi ketimbang angka nanti masyarakat akan menganggapnya se-
rata-rata kasus bunuh diri tanah air, yakni bagai akibat penampakan pulong—menjadi
1,2 kasus per 100.000 penduduk. Parahnya, perihal yang dimaklumi sebagaimana telah
sebagian besar pelaku bunuh diri terkategori diutarakan sebelumnya. Oleh karenanya, ke-
dalam kelompok usia remaja dan dewasa beradaan pulong bisa jadi sekadar dijadikan
muda. Memang, di samping akibat persoalan sebagai “kambing hitam”, ia menjadi se-
ekonomi, tingginya angka bunuh diri di Gu- macam kedok motif bunuh diri seseorang di
nung Kidul tak lepas dari mitos “pulong hadapan masyarakatnya, meskipun motif yang
gantung” yang menjadikan tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah hal yang dimaksud:
sebagai bisa dimaklumi oleh masyarakat se- penampakan pulong gantung.
tempat (Amarullah, 2009).
Salah satu cara guna “menjinakkan” mitos
Pulong gantung adalah semacam cahaya pulong gantung tanpa harus menghilangkan
(bintang) berekor dengan warna-warna ter- keberadaannya adalah dengan melakukan
tentu yang jatuh di atap rumah warga dan re-interpretasi atau penafsiran ulang. Di sini,
dipercaya memuat sejumlah pesan. Dikata- peran pemuka masyarakat dan kaum inte-
kan, apabila pulong tersebut berwarna putih lektual diperlukan mengingat kedudukan me-
atau biru, maka keberuntunganlah yang di- reka —pemuka masyarakat, terutama—se-
bawanya, semisal menang dalam pilihan ke- bagai pemberi makna dan pembentuk pola
pala desa atau mendapat lotre. Namun se- pikir masyarakat. Bisa saja pulong gantung
baliknya, apabila pulong tersebut berwarna tak lagi dimaknai secara saklek sebagai per-
merah, maka kesialan atau tragedilah yang tanda akan adanya salah satu warga yang
42
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
hendak bunuh diri, melainkan sebagai peng- Negeri Lima Menara-nya, hingga novel fiksi
ingat kepada masyarakat untuk menjaga ke- karya Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat
bersamaan di antara mereka sehingga tidak Cinta dinilai cukup inspiratif bagi khalayak
ada salah satu warganya yang menanggung pembaca dan pemirsa. Munculnya rangkaian
beban berikut kesulitan hidup seorang diri. karya-karya tersebut ditengarai membawa
Hal tersebut misalnya dapat ditempuh dengan arus positif bagi penguatan dimensi resiliensi
perutinan rembug warga atau acara kumpul- masyarakat pada umumnya serta pemuda
kumpul (baca: silaturahmi) yang salah satunya pada khususnya.
berfungsi sebagai penghilang halangan rentang Berkenaan dengan kuatnya pengaruh
geografis di daerah Gunung Kidul.3 literarur terhadap pembaca, Oatley (dalam
Melalui re-interpretasi mitos pulong gan- Wirth & Schramm, 2005: 16-17) menjelaskan
tung, diharapkan tingginya angka bunuh diri bahwa hal tersebut tak lepas dari keberadaan
di daerah Gunung Kidul dapat ditekan secara emosi internal dan eksternal yang terdapat
signifikan. Terlebih dengan mengingat bahwa di dalamnya. Emosi internal terbentuk kala
sebagian besar dari pelaku adalah mereka pembaca masuk dan membenamkan diri
yang tergolong usia remaja dan dewasa muda. dalam teks; esensi utama dari proses tersebut
adalah aspek “penerimaan” dari pembaca
terhadap teks yang dibacanya. Melalui pe-
Penetrasi Dimensi Resiliensi nerimaan tersebut, pembaca mampu me-
melalui Budaya Pop ngembangkan perasaan dan bersimpati pada
figur-figur yang terdapat dalam teks. Di sisi
Sebagaimana diungkapkan Susan B. Fine lain, emosi eksternal bagi Oatley, terbagi
(1991:466), budaya populer semisal film, mu- dalam dua bentuk: asimilasi dan akomodasi.
sik maupun novel dapat pula digunakan se- Asimilasi merupakan upaya mandiri yang
bagai sarana memperkuat dimensi resiliensi dilakukan pembaca untuk mengisi berbagai
pada individu. Seolah menjadi wacana tanding kekosongan yang terdapat dalam alur cerita.
atas “efek Werther” yang berasosiasi negatif Di sini, pembaca selalu berkeinginan untuk
terhadap audiens, penggunaan budaya populer mengetahui kelanjutan alur cerita, namun da-
bagi resiliensi berupaya untuk menggenjot dan lam rangkaiannya sering kali ditemui ketidak-
memicu semangat hidup berikut ketahanan lengkapan atau kekosongan peran, pada celah-
psikis para audiens. Bahkan, upaya tersebut celah tersebutlah pembaca mengambilalih
dapat pula dilakukan dengan menginjeksikan peran yang belum terisi. Sedangkan akomodasi
hal-hal yang bersifat hiperrealitas, fantasi atau menunjuk pada kesenjangan harapan antara
khayal dalam film maupun novel yang dirilis narasi yang terdapat dalam teks dengan narasi
pada publik. yang diharapkan oleh pembaca. Dalam hal ini,
Di Indonesia belakangan ini cukup ketegangan (emosi) membaca muncul akibat
banyak novel yang menggambarkan heroisme adanya berbagai ketidaksesuaian tersebut.
pemuda dalam mewujudkan cita-citanya. Lebih jauh, besarnya potensi pengaruh
Bahkan, sebagian di antaranya telah diangkat media visual —film— terhadap audiens
ke layar lebar. Kisah perjuangan Andrea Hi- dijelaskan oleh Bente dan Fromm (dalam
rata yang tertuang dalam Tetralogi Laskar Wirth & Schramm, 2005: 18) melalui em-
Pelangi, sukses Raditya Dika sebagai penulis pat faktor sebagai berikut. Pertama, persona-
muda yang terkisah dalam buku maupun lisasi, yakni presentasi atau penyajian yang
film Kambing Jantan, Ahmad Fuadi dengan berfokus pada alur cerita individu, di sini
manusia kebanyakan tak begitu penting ke-
3 Terkait topografi daerah Gunung Kidul yang ber-
beradaannya. Kedua, otentitas atau keaslian,
bukit-bukit sehingga rentang jarak antara satu rumah
warga dengan rumah warga lainnya cukup jauh. cerita mengenai orang-orang yang tak terkenal
43
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
44
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I , NO. 1 , MEI 2012
Wahyu Budi Nugroho, Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi
45
JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. I NO. 1 2012