Anda di halaman 1dari 4

Plasenta merupakan organ sementara dan menjadi tempat berlangsungnya

pertukaran fisiologik antara induk dan fetus yang bersifat permeabel (Junqueira et al ,
1998). Fungsi utama plasenta yakni memungkinkan difusi bahan makanan dari darah
ibu ke dalam darah fetus dan difusi hasil-hasil ekskresi dari fetus kembali ke dalam
tubuh induk. Pada saat awal perkembangan janin, permeabilitas plasenta relatif
sedikit dan luas permukaan plasenta masih kecil serta membran vili plasenta tebalnya
belum mencapai minimal. Pada saat plasenta bertambah tua permeabilitasnya
meningkat secara progresif sampai akhir masa kehamilan. Setelah itu, permeabilitas
mulai berkurang kembali. Peningkatan permeabilitas membran plasenta disebabkan
penambahan luas permukaan membran plasenta dan penipisan progresif lapisan-
lapisan vili (Siswosudarmo, 1988).

Jalur utama transfer zat asing melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana.
Zat asing yang bersifat lipofilik lebih mudah menembus plasenta daripada zat
nonlipofilik (Lenz &Knapp, 1962). Menurut Datu (2005) zat asing yang tidak
terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta
dibandingkan zat asing yang bersifat asam atau basa. Faktor-faktor yang
mempengaruhi transfer zat asing melalui plasenta antara lain adalah berat molekul zat
asing, pH saat 50% zat asing terionisasi, dan ikatan antara zat asing dengan protein
plasma (Krishnamurthy, 1983). Mekanisme transfer zat asing melalui plasenta dapat
dengan cara difusi, baik aktif maupun pasif, transport aktif, fagositosis, dan
pinositosis (Fraser, 1992).
Plasenta memiliki sifat selektif untuk mentransfer obat secara perlahan atau
secara cepat dari ibu ke janin tergantung pada variabel, seperti kualitas aliran darah
uteroplasenta. Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi
sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan
sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Seperti juga pada membran
biologis lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni:
1. Kelarutan dalam lemak Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan
mudah melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental,
obat yang umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti nafas)
pada bayi yang baru dilahirkan.
2. Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat
yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang
derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di
di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam
lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada
pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini
disebabkan oleh tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat
yang tidak terion. Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar
tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa
polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar.
3. Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati
pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi.
Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati
plasenta dan obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit
menembus plasenta. Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat
molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt
menembus plasenta sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman
pada kehamilan.
4. Ikatan protein: Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas)
yang dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein,
terutama albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan
tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu
mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya
dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada aliran
darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan terionisasi maka
perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya ikatan
dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting,
misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu
dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan
basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton)
dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi
dari darah ibu ke janin.
Menurut Katzung (1998), terdapat dua mekanisme yang memberikan perlindungan
janin dari obat dalam sirkulasi darah maternal :

a. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai


tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama
metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi
aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya,
kapasitas metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau
meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren.
Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang struktur
molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme
yang bermakna di plasenta.
b. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena
umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin,
sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke
hati janin, mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi
umum janin, walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak
berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal.Obat-obat yang bersifat
teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam valproat,
isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH
sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH
cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat
asam akan tinggi kadarnya di sel embrio.
Meskipun terdapat mekanisme perlindungan pada plasenta, penggunaan obat
pada wanita hamil perlu diperhatikan karena dalam plasenta obat mengalami proses
biotransformasi, sehingga dapat menyebabkan teratogenik atau dismorfogenik.
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat
diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut
dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif,
atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan
oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih
lanjut dan diekskresi sehingga kerjanya berakhir.

Katzung, G. Bertram. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik: Edisi keenam.


EGC:Jakarta.
Junqueira, L.C., J. Carnairo., R.O. Keley. 1998. Histologi Dasar. Edisi 6. Jakarta :
EGC.
Siswosudarmo, R. 1988. Efek Samping Obat Terhadap Perkembangan Janin.
Yogyakarta: Yayasan Melati Nusantara.
Lenz, W., and Knapp, K. 1962. Thalidomid Embriopathy. Arch Environ Health. 5 :
100-105.
Datu, A.R. 2005. ”Cacat Lahir Disebabkan oleh Faktor Lingkungan (Birth Defects
Caused by Environmental Factors)”. Jmed Nus vol 26 no 3
Fraser, V.J. 1992. Prinsip-prinsip Terapi Antimicrobial. Yogyakarta : Yayasan
Essentia Medica.
Krishnamurthy, S. 1983. The Intriguing Biological Role of Vitamin E. J Chem Ed, 60:
465-467

Anda mungkin juga menyukai