Anda di halaman 1dari 16

Implimentasi Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Peraturan Perundang-

Undangan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Hukum Tata Usaha Negara

DOSEN PENGAMPU :

Endrik

Oleh :

DADANG ABDUL AZIZ (210216098)

JUNIAR (210216103)

LUTFI NUR ROFI’AH (210216094)

NURIL CHAFIDOH (210216108)

Kelas: SM. D

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2018-2019


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya dengan
untaian alhamdulillah hirobbil’alamiin. Sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya
sampai hari akhir.

Pada kesempatan ini kami telah menyeleseikan makalah dengan judul “Implementasi
Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Peraturan Perundang-undangan” untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Tata Usaha Negara.

Akhirnya kami berharap makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Apabila terdapat kesalahan kami mohon maaf, kritik dan saran kami harapkan untuk
perbaikan makalah kami selanjutnya.

Ponorogo, 5 November 2018

2
3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara, dikarenakan pengaruhnya


yang demikian menentukan terhadap kompleksitas kelangsungan hidup negara dan
masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan negara antara lain juga mencerminkan kualitas
keberadaan dari suatu pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya.1

Apabila sumber pendanaan dari keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka
kedudukan Pemerintah di dalam menjalankan keorganisasian negara, baik dalam rangka
melaksanakan urusan-urusan pemerintah dan pembangunan maupun pelayanan terhadap
warganya akan bertambah stabil dan semakin baik serta positif di mata rakyatnya.
Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi berbagai problema pelik dalam
memperlancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan, jika tidak didukung kondisi
keuangan negara yang baik pula.

Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi suatu negara, maka segala daya
upaya akan dilakukan oleh Pemerintah untuk menciptakan dan memanfaatkan segenap
sumber keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk
membiayai pengeluaran kegiatan jalannya pemerintahan dan pembangunan. Sebagian besar
hasil penerimaan yang diperoleh dari upaya pemanfaatan segenap potensi keuangan yang
berhasil diterima oleh Pemerintah Pusat, disalurkan dan digunakan melalui sektor-sektor
yang ditentukan dalam APBN.

1
Faisal Akbar Nasution, Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasca
Reformasi, JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 18, 2011, 2

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dana Perimbangan


Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari dana
APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai
tujuan pemberian otonomi kepala daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik
Menurut Elmi (2002), secara umum tujuan pemerintah pusat melakukan transfer
dana kepada pemerintah daerah adalah:
1. Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi ketimpangan pembagian "kue
nasional", baik vertikal maupun horizontal.
2. Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan
menyerahkan sebagian kewenangan di bidang pengelolaan keuangan negara
dan agar manfaat yang dihasilkan dapat dinikmati oleh rakyat di daerah yang
bersangkutan.
Secara umum Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber
dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah
dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan
pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Dana Perimbangan juga adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.2
Namun selama ini sumber dana pembangunan daerah di Indonesia mencerminkan
ketergantungan terhadap sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat. Sejalan dengan itu,
Elmi (2002) juga menyatakan bahwa ketidakseimbangan fiskal (fiscal inbalance) yang terjadi
antara pemerintah pusat dan daerah selama ini telah menyebabkan ketergantungan keuangan
pemerintah daerah kepada bantuan dari pemerintah pusat yang mencapai lebih dari 70 persen
kecuali Propinsi DKI Jakarta.
Padahal sebenarnya bantuan dana dari pemerintah pusat tersebut hanyalah untuk
rangsangan bagi daerah agar lebih meningkatkan sumber penerimaan pendapatan asli
daerahnya, yang merupakan bagian penting dari sumber penerimaan daerah, bukan
menjadikannya sebagai prioritas utama dalam penerimaan daerah.

2
Haris Syamsuddin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ( Desentralisasi, Demokratisasi dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah), (Jakarta: LIPI Press, Cetakan Kedua, 2005), 25.

5
B. Pembagian Dana Perimbangan

1. Dana Bagi Hasil (yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Sumber-sumber penerimaan perpajakan
yang dibagihasilkan meliputi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang
pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan
adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.3
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000, bagian daerah dari PPh,
baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang pribadi, ditetapkan masing-masing sebesar
20 persen dari penerimaannya. Dua puluh persen bagian daerah tersebut terdiri dari 8 persen
bagian Propinsi dan 12 persen bagian Kabupaten/Kota. Pengalokasian bagian penerimaan
pemerintah daerah kepada masing-masing daerah Kabupaten/Kota diatur berdasarkan usulan
gubernur dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah penduduk, luas wilayah,
serta faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan.
Sementara itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000, bagian
daerah dari PBB ditetapkan 90 persen, sedangkan sisanya sebesar 10 persen yang merupakan
bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian
daerah sebesar 90 persen tersebut, 10 persennya merupakan upah pungut, yang sebagian
merupakan bagian pemerintah pusat.
Sementara itu, bagian daerah dari penerimaan BPHTB berdasarkan UU No. 33 Tahun
2004 ditetapkan sebesar 80 persen, sedangkan sisanya 20 persen merupakan bagian
pemerintah pusat. Dalam UU tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari
penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan 15
persen dan 30 persen. Sementara itu, penerimaan SDA pertambangan umum, kehutanan, dan
perikanan, ditetapkan masing-masing sebesar 80 persen.

2. Dana Alokasi Umum (DAU)


Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah, yang dimaksud dengan dana alokasi umum yaitu dana yang berasal dari
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.4
Pada Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004, besarnya DAU ditetapkan sekurang-
kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU
untuk daerah Propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 persen
dan 90 persen dari DAU.

3
Kurniawati Hastut, Dinamika Hubungan Keuangan Pusat – Daerah, (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), 93 – 107.
4
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.

6
Dana Alokasi Umum (DAU) bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya
diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Dana Alokasi Umum terdiri dari:

a) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi


b) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)


Pengertian dana alokasi khusus menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah dana yang
berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus, termasuklah yang berasal dari dana reboisasi. Kebutuhan khusus yang dimaksud
yaitu:
1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi
umum, dan/atau
2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Penerimaan
negara yang berasal dari dana reboisasi sebesar 40 persen disediakan kepada daerah penghasil
sebagai DAK.
Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan
atau peningkatan prasarana dan sarana fisik secara ekonomis untuk jangka panjang. Dalam
keadaan tertentu, Dana Alokasi Khusus dapat membantu biaya pengoperasian dan
pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga)
tahun.

C. Permasalahan pada Perimbangan Keuangan

Indonesia merupakan negara yang baru dalam menetapkan sistem desentralisasi


terutama dalam bidang keuangan, jadi tidak dapat kita lari dari kenyataan akan banyaknya
permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi terutama dalam bidang
keuangan, berikut beberapa permasalahan yang kerap di hadapi dalam pelaksanaan kebijakan
keuangan antara pusat dan daerah antara lain :

a) Perimbangan Keuangan
Pelaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah terkesan dibiarkan
berjalan sendiri tanpa ada pembimbing dalam pergerakannya, karena masalah pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah saja masih belum menemukan titik temu di antara
keduanya. Pembiayaan yang seyogianya akan mengikuti kewenangan yang diserahkan namun
di biarkan berjalan di depan tanpa ada penuntun arah yang jelas, sehingga perhitungan DAU
yang akan dialokasikan kepada daerah tiadak memiliki gambaran yang jelas tentang besaran
beban pelimpahan kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah. Namun dari keadaan
tersebut, pada era awal-awal pelaksanaa desentralisasi bidang keuangan telah menghadapi

7
ketidaksesuaian pembiayaan baik positif maupun negatif. Ini disebabkan karena adanya
kessenjangan antara pusat dan daerah serta adanya wilayah atau ruang lingkup yang tidak
terbukak yang cukup luas dalam pemisahan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota,
sedangkan pengaturan yang ada hanya memuat bahwa yang mengatur kewenangan adalah
pusat dan provinsi, sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota tidak ada kejelasan
dari peraturan yang ada, sementara seharusnya kewenangan kabupaten dan kota adalah
kewenangan yang terlepas dari kewenangan pusat dan provinsi.

Salah satu indikator yang mungkin bisa dijadikan tolok ukur dalam melihat adanya
ketidak sesuaian adalah dari proses transfer pegawai dari pusat ke daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) serta dari provinsi ke kabupaten/kota. Sampai saat ini proses pengalihan
pegawa daerah provinsi menjadi pegawai daerah kabupaten/kota belum selesai. Sementara
provinsi justru telah menerima pengalihan pegawai dari pemerintah pusat (akhir bulan maret
2001). Dipihak lain, sumber keuangan daerah provinsi semakin berkurang namun beban
pembiayaan khusunya dari beban belanja pegawai justru mengalami peningkatan.

b) Bagi Hasil
Dalam rangka penyaluran dana bagi hasil juga dihadapkan dengan beberapa dilema,
walaupun secara umum dapat dilakukan sesuai dengan rencana. Dalam penetapan bagi hasil
kepada daerah terutama dari SDA yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan
(KMK) No.343 Tahun 2001 tidak menyebut secara tegas apakah penyaluran berdasarkan
realisasi atau budget APBN Tahun 2001. Jika penyaluran dilakukan atas dasar budget, maka
APBN Tahun 2001 tidak sanggup menutup kekurangannya dikarenakan beberapa sektor
penerimaan SDA tidak dapat memenuhi target penerimaan yang ditetapkan dan bahkan relatif
sangat kecil, seperti penerimaan SDA sektor perikanan. Sementara jika dilakuakan atas dasar
realisasi, maka pelaksanaan penyaluran dalam Triwulan IV pada bulan Desember 2001 tidak
dapat dilakukan karena tahun anggaran berkahir pada tanggal 31 Desember 2001, sehingga
konsekuensi realisasi penyaluran dalam Triwulan IV harus dicarry over dalam tahun
berikutnya. Jika hal ini ditempuh akan menyulitkan cash flow di daerah mengingat. Daerah
sudah menetapkan bagi hasil tersebut dalam APBD Tahun 2001, sedangkan sebagian dari
penerimaan bagi hasil SDA dalam tahun anggaran berjalan baru dapat diterima dalam tahun
anggaran berikutnya.

Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan penyaluran dana bagi hasil yang
didasarkan atas dasar realisasi penyaluran dilakukan secara periodik tiap minggu, bulanan
atau triwulanan tergantung jenis penerimaannya. Dengan mekanisme seperti itu, maka
kelancaran likuiditas keuangan daerah dapat terjaga, dapat mengurangi resiko yang harus
ditanggung APBN apabila realisasi penerimaan yang menjadi hak daerah lebih kecil dari
yang telah ditetapkan, dan daerah dapat lebih menggunakan perinsip kehati-hatian serta
menjaga akuntabilitas atas penyusunan dan pelaksanaan APBD-nya.

c) Formula Dana Alokasi Umum (DAU)


Sesuai dengan penetapan DAU, diamana DAU digunakan guna perimbangan
keuangan keuangan antar daerah, dana ini digunakan untuk menutup adanaya perbedaan yang

8
muncul akibat kebutuhan suatu daerah ternyata jauh dari kemampuan dana yang ada di
daerah atau potensi daerah tersebut, kemudian dalam pengaturannya daerah yang memiliki
potensi keuangan yang relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan
dengan daerah yang miskin secara keuangan. Dalam perhitungan DAU tahun 2001 diakui
memang terdapat banyak kelemahan sehingga konsep fiscal gap belum dapat dioptimalkan
dan daerah-daerah maju/kaya juga memperoleh DAU yang relatif besar. Kondisi ini dicoba
untuk diperbaiki dengan formula DAU yang lebih efektif dan digunakan dalam perhitungan
DAU tahun 2001, sehingga ada beberapa daerah yang penerimaan DAU-nya tahun 2001
dikoreksi dan memperoleh DAU yang lebih kecil dibandingkan tahun 2001.

Adanya penurunan DAU telah menimbulkan kecaman keras dari beberapa daerah
yang mengalami penurunan tersebut dan mengharap kepada pemerintah pusat untuk meninjau
kembali formula dan perhitungan agar tidak terjadi penurunan. Dalam hal ini, ada perbedaan
pola pandang antara pusat dan daerah mengenai alokasi DAU. Bagi pemerintah pusat, alokasi
DAU dimaksudkan sebagi alat untuk pemerataan atau mengisi keuangan di dalam strurktur
keuangan daerah, sementara bagi daerah, alokasi DAU dimaksudkan untuk mendukung
kecukupan daerah (sufficiency). Perbedaan tersebut sering bermasalah ketika daerah minta
kepada pusat untuk memberikan DAU sesuai dengan kebutuhan daerah.

Penurunan DAU tahun 2002 dibandingkan dengan DAU tahun 2001 yang dialami
beberapa daerah telah diakomodasi oleh Panitia Anggaran DPR-RI, sehingga dengan
pertimbangan bersifat politis telah menginstruksikan pemerintah pusat untuk melakukan
penyesuaian dengan batasan bahwa tidak ada daerah yang mengalami penurunan DAU tahun
2002 atau minimal sama dengan penerimaan DAU tahun 2001 di tambah Dana Kontinjensi
2001. Paradigma ini menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal khususnya alokasi
DAU dalam rangka perimbangan keuangan antar daerah untuk mengatasi horizontal
imbalance belum dapat dilakukan secara optimal dan masih memerlukan tahap-tahap
selanjutnya dalam memantapkan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

d) Penetapan Dana Alokasi Khusus (DAK)


Dalam penetapan DAK, masih ada keengganan pemerintah pusat untuk
mengalokasikan dana di luar Dana Reboisasi (DR). Hal ini tercermin dengan pelaksanaan
APBN dalam tahap awal pelaksanaan desentralisasi fiskal yang masih menganggarkan DAK
dari DR saja. Selayaknya dengan pelaksanaan otonomi daerah, anggaran sektoral di APBN
sudah dapat ditekan. Hal ini mengingat sebagian besar kewenangan sudah beralih ke daerah
sebagai kewenangan desentralisasi. Namun dalam kenyataannya masih terdapat kegiatan-
kegiatan desentralisasi yang masih dibiayai oleh anggaran sektoral, walaupun dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh daerah melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan.5

D. Pengertian Sistem Keuangan Negara

5
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), 95.

9
Dalam Pasal 1 UU No. 17 Tahun 2003 ditegaskan bahwa Keuangan Negara adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Negara yang berdaulat memiliki keuangan yang dijalankan untuk menyelenggarakan
pemerintah. Negara yang tidak memiliki uang, baik dalam bentuk anggaran dan belanja akan
kesulitan untuk menyelenggarkan pemerintah. Keuangan negara diatur dan dikelola
berdasarkan prinsip-prinsip kesejahteraan rakyat. Dalam konsepsi ini, keuangan negara diatur
dan dikelola dengan baik agar penyelenggara negara dapat terkendali dan terarah berdasarkan
cita-cita negara. Kekeliruan dalam mengatur system keuangan negara akan menimbulkan
kerumitan dalam mengelola keuangan untuk kepentingan sirkulasi penyelenggara negara. 6

Dari sudut moneter, system keuangan didefinisikan sebagai suatu system yang terdiri
dari system moneter dan di luar moneter. Selain system moneter, lembaga keuangan bukan
bank juga merupakan bagian dari system keuangan. Lembaga keuangan bukan bank ini
adalah semua badan yang melakukan kegiatan secara langsung atau tidak langsung
menghimpun dana teruatama dengan jalan mengeluarjan kertas berharga dan menyalurkan ke
dalam masyarakat, terutama guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. System
keuangan negara di definisikan Achwan, Herry Tjahyono, Totok Subjakto sebagai suatu
system yang terdiri dari:

1. Lembaga keuangan, lembaga intermediasi yang menghubungkan unit yang


surplus dan unit yang defisit dalam suatu ekonomi;
2. Instrument-instrumen keuangan, dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut;
3. Pasar tempat instrument-instrumen tersebut diperdagangkan.

Pengelolaan keuangan negara merupakan bagian dari pelaksanaan pemerintah negara.


Pengelolaan keuanagn adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai
dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan negara. Dalama pengertian ini, terkandung
pokok-pokok dan alur pengelolaan negara yang dilakukan oleh pejabat negara sesuai
kewenangannya.7

6
Ahmad Sukardjo, Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 218
7
Ibid, 220

10
E. Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah Dalam Peraturan Perundang-
undangan

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 18 yang dibingkai dalam hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
daerah yang kemudian direalisasikan dalam pembagian urusan antara Pemerintah Pusat dan
daerah. Implikasi dari hubungan ini terjadilah hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan daerah. Dengan demikian, perimbangan keuangan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dalam penyelenggaraan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melaksanakan
hubungan keuangan sebagai konsekuensi karena ada pembagian tugas antara Pemerintah
Pusat dan daerah. Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan sebuah sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, efisien, dalam rangka
pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi,
kebutuhan daerah, serta besaran-besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.8
Adapun tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah yaitu:
a. Pembagian kekuasaan yang rasional antarberbagai tingkatan pemerintahan dalam
memungut dan membelanjakan sumber dana pemerintah, yakni suatu pembagian yang
sesuai dengan pola umum desentralisasi.
b. Bagian yang memadai dari sumbersumber dana secara keseluruhan untuk membiayai
pelaksanaan fungsifungsi, penyediaan pelayanan dan pembangunan yang
diselenggarakan Pemerintah Daerah
c. Pembagian yang adil antardaerah atas pengeluaran pemerintah, atau sekurang-
kurangnya ada perkembangan ke arah itu.
d. Suatu upaya perpajakan (tax effort) dalam memungut pajak dan distribusi oleh
Pemerintah Daerah yang sesuai dengan pembagian yang adil atas beban keseluruhan
dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat.

1. Tata Cara dan Fungsi Keuangan Pusat dan Daerah


a) Keuangan Daerah

8
Poni Sukaesih Kurniati, Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Di Indonesia
Pada Ea Reformasi, Jurnal, Ilmu Hukum Dan Komunikasi, VOL III No. 1, 2013, 5

11
Pendekatan dalam memahami ruang lingkup keuangan daerah dapat dipandang dari
sisi objek, subjek, proses dan tujuannya yaitu: Pertama, dari sisi objek, yang dimaksud
keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah, dalam kerangka APBD.9
Kedua, dari sisi subjek, subjek keuangan daerah adalah mereka yang terlibat dalam
pengelolaan keuangan daerah dalam hal ini pemerintah daerah dan perangkatnya,
perusahaan daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan daerah, seperti
DPRD dan Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK). Ketiga, dari sisi
proses, keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan objek mulai dari perumusan kebijakan sampai dengan
pertanggungjawaban. Keempat, dari sisi tujuan, keuangan daerah meliputi keseluruhan
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/ atau
penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dari gambaran objek, subjek, proses dan tujuan tersebut di atas pada dasarnya
berada pada satu kegiatan yang disebut dengan pengelolaan keuangan daerah.
Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan,
penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Dalam menjalankan pengelolaan
tersebut dikenal adanya kekuasaan pengelola. Pemegang kekuasaan mengelola
keuangan di daerah adalah gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintahan
daerah.
Pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut kemudian
dilaksanakan oleh dua komponen yaitu Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan
Daerah selaku pejabat pengelola APBN dan Kepala SKPD selaku Pejabat Pengguna
Anggaran/Barang Negara.
Dari ruang lingkup keuangan daerah, sebagaimana diuraikan di atas, maka akan
selalu melekat dengan konsep anggaran teruatma terkait dengan APBD yaitu suatu
rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah.
Rencana pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam APBD merupakan salah satu
bentuk instrumen kebijakan ekonomi, yang mempunyai fungsi tersendiri yaitu:

9
Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Kerangka Pengelolaan
Keuangan Negara dan Daerah, Jurnal , Hukum, NO. 4 VOL. 17, 2010, 10

12
1) Fungsi Otorisasi. Mengandung pengertian bahwa anggaran menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2) Fungsi Perencanaan. Mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3) Fungsi Pengawasan. Mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
4) Fungsi Alokasi. Mengandung arti bahwa anggaran harus diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perekonomian.
5) Fungsi Distribusi. Mengandung arti bahwa kebijakan anggaran harus memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan.
6) Fungsi Stabilisasi. Mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan menngupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Kritik Dan Saran

Kritik dan saran sangat kami harapkan dalam makalah ini, segala kekurangan yang
ada dalam makalah ini mungkin karena kelalaian atau ketidaktahuan kami dalam
penyusunannya. Segala hal yang tidak relevan, kekurangan dalam pengetikan atau
bahkan ketidakjelasan dalam makalah ini merupakan proses kami dalam memperlajari

14
bidang studi ini dan diharapkan kami yang menulis ataupun bagi pembaca dapat
mengambil manfaat dari makalah ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

16

Anda mungkin juga menyukai