KENOTARIATAN
Disusun Oleh:
Nadia (210216097)
Dosen Pengampu:
Kelas:
Syariah Muamalah. D
2018
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dan pihak yang berkepentingan;
dan
d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
4. Akhir atau penutup akta memuat:
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1)
huruf 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan
akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal tiap-tiap saksi akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau
uraian tentang adanya perubahan yang berupa penambahan, pencoretan, atau
penggantian.
5. Akta Notaris penganti, Notaris pengganti Khusus, dan pejabat sementara Notaris,
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3)dan ayat (4),
juga memuat nomor da tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.
B. GROSSE AKTA, SALINAN AKTA, DAN KUTIPAN AKTA
Mengenai definisi grosse akta, Martias Gelar Imam Radjo Mulano menyatakan
bahwa: “Grosse adalah salinan dari suatu akta otentik yang diperbuat dalam bentuk yang
dapat dilaksanakan, atau grosse dari suatu akta otentik yang memuat pada bagian
kepalanya: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sedangkan menurut UU No. 2 Tahun 2014 atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris Grosse Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang
dengan kepala akta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang
mempunyai kekuatan eksekutorial,
Grosse akta merupakan suatu salinan atau turunan akta notaris yang diberi titel
eksekutorial. Akta notaris tersebut haruslah dibuat dalam bentuk yang sesuai dengan
Undang-Undang dan disimpan di kantor notaris sedangkan untuk akta yang dibuat dalam
4
bentuk orginally tidak bisa dibuatkan grossenya melainkan minutnya atau aslinya
langsung diberikan kepada yang berkepentingan.
Di dalam kamus hukum yang disusun oleh Mr. Fockema Andrea disebutkan
bahwa grosse akta adalah salinan pertama dari akta otentik, salinan yang pertama-tama
dikeluarkan dari suatu tulisan otentik atau dari suatu putusan pengadilan yang
diperuntukkan bagi yang berkepentingan sebagai kebalikan dari naskah asli (minut) yang
tetap berada dalam simpanan pejabat yang bersangkutan.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa arti Grosse Akte
adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan
eksekutorial.
Secara umum Grosse akta pengakuan utang diatur pada Pasal 224 HIR. Grosse
akta sendiri merupakan salah satu akta notaris yang mempunyai sifat dan karakteristik
yang khusus bila dibandingkan dengan akta otentik lainnya. Adapun pengertian dari
Grosse akta sendiri adalah suatu salinan atau kutipan (secara pengecualian) dari minuta
akta (naskah asli) yang di atasnya (di atas judul akta) memuat kalimat berikut ini: Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dibawahnya dicantumkan kalimat
berikut ini: Diberikan sebagai Grosse Pertama dengan menyebut nama dari orang, yang
atas permintaannya, Grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.1
Persyaratan yang merupakan Unifiedlegal Frame Work mengenai grosse akta
pengakuan hutang, yaitu (M. Yahya Harahap, 1993: 305):
a. Syarat Formil
1) Berbentuk akta Notaris
a) bisa merupakan lanjutan atau peningkatan dari perjanjian hutang
semula (dokumen pertama);
b) Bisa juga perjanjian hutang langsung dituangkan dalam bentuk akta
Notaris.
2) Memuat titel eksekutorial.
a) Lembar minut (asli) disimpan Notaris;
1
Nia Mardianto. 2012. “Peranan Grosse Akta Pengakuan Hutang dalam eksekusi Jaminan Kredit Harta Kekayaan”.
Skripsi. Program studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.45
5
b) Grosse (salinan yang memakai irah-irah) diberikan kepada Kreditur.
Harus diingat tidak ada kewajiban hukum memberikan grosse kepada
debitur, karenanya tidak diberikan kepada debitur tidak melanggar syarat
formal dan tidak menghalangi parate eksekusi.2
b. Syarat Materiil
Salinan Akta adalah Salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian
bawah akta tercantum Frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya.”
Diperuntukkan klien yang minta agar akta tersebut dibuat dihadapan notaris, Pembuatan
salinan akta harus berpedoman terhadap minuta aktanya. Salinan akta ada setelah minuta
akta dibuat oleh Notaris. Pengertian salinan akta diperjelas dalam Pasal 1 angka 9 UUJN
yaitu salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta
tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”. Dalam salinan akta ada
pernyataan Notaris dimulai dari awal akta dan akhir akta. Awal akta menerangkan bahwa
para pihak telah menghadap kepada Notaris dan di akhir akta ada keterangan mengenai
2
PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI GROSSE AKTA PENGAKUAN HUTANG Elza Sylvania Pittaloka.
Privat Law Vol. IV No 1 Januari-Juni 2016.79
3
Shendy Vianni Rangian. 2015. “Pelaksanaan eksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang Dalam
Penyelesaian Sengketa Kredit Macet Perbankan”. Jurnal Calyptra. Vol. 4 Nomor 1. Surabaya: Fakultas
Magister Kenotariatan Universitas Surabaya
6
minuta akta tersebut telah ditandatandangani dengan sempurna dan salinan yang sama
bunyinya. Maksud dari sama bunyinya tersebut adalah salinan akta sama persis isinya
dengan minuta akta.4
7
usaha untuk menyimpan dan memelihara protokol notaris merupakan
pertanggungjawaban notaris serta notarispengganti selanjutnya pejabat sementara notaris
dan Majelis Pengawas Daerah kepada negara dan masyarakat dalam pelaksanaan tugas
jabatannya.5
Sedangkan Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa
bagian dari akta, dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum “frasa diberikan sebagai
kutipan”.6
8
tugas serta kewenangan notaris untuk memberikan pelayanan publik dalam
membuat akta-akta otentik. Notaris diberikan juga tugas untuk melakukan
pendaftaran dan mengesahkan (waarmerken dan legaliseren) surat-surat/akta-akta
yang dibuat dibawah tangan. Notaris diwajibkan untuk memberikan nasehat dan
penjelasan mengenai undang-undang, peraturan yang berlaku dalam perbuatan
hukum yang dilakukan oleh para pihak, salah satunya yaitu perjanjian.
8
Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004.
9
a. Meninggal dunia;
Apabila notaris meninggal dunia, maka penyerahan protokol notaris
dilakukan oleh ahli warisnya kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis
Pengawas daerah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak notaris meninggal dunia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 63
ayat (3) UUJN.
10
ditunjuk oleh Menteri atas usul MPD, sebagaimana diatur dalam Pasal 63
ayat (4) UUJN.
g. Diberhentikan sementara;
Dalam hal notaris diberhentikan sementara maka penyerahan protokol
notaris dilakukan oleh notaris kepada notaris lain yang ditunjuk oleh MPD
jika pemberhentian sementara lebih dari 3 (tiga) bulan, sebagaimana diatur
dalam Pasal 63 ayat (3) UUJN.
11
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, adanya perlakuan khusus untuk
pemanggilan bukan hanya bagi Notaris saja, tetapi juga untuk beberapa jabatan lain
yang masing-masing diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Contoh-contohnya,
yaitu:
a. Pemanggilan terhadap anggota Dewan Gubernur menurut UU No. 23 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Dalam Pasal 49 ditentukan bahwa, ”Dalam hal anggota Dewan Gubernur patut
diduga telah melakukan tindak pidana, pemanggilan, permintaan keterangan dan
penyidikan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.”
b. Pemanggilan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
menurut UU No. 32 Tahun 2004. Dalam Pasal 53 ayat (1) ditentukan bahwa,
”Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota
DPRD provinsi dan dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi
anggota DPRD kabupaten/kota.”
Dalam dua contoh di atas, diharus adanya terlebih dahulu persetujuan tertulis
dari pejabat tertentu sebelum dilakukannya tindakan penyidikan (pemanggilan,
pemeriksaan, dan sebagainya). Walaupun perlakuan khusus dalam pemanggilan
sudah dikenal dikenal sebelumnya berkenaan dengan pemanggilan beberapa pejabat
tertentu, menjadi pertanyaan, apakah dasar pikiran untuk perlakuan khusus dalam
pemanggilan Notaris tersebut? Hal ini berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
yang menentukan bahwa, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.9
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 tidak ada keterangan secara langsung tentang apa
yang menjadi dasar pikiran perlakuan khusus dalam pemanggilan Notaris tersebut.
Walaupun demikian, dapat dipahami bahwa perlakuan khusus dalam pemanggilan
Notaris berkenaan dengan kewajiban Notaris untuk menyimpan dan memelihara
9
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah
(http://www.indonesia.go.id/id/files/UUD45/satunaskah.pdf)
12
Protokol Notaris. Menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 30 Tahun 2004, Protokol Notaris
adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan
dipelihara oleh Notaris. Protokol Notaris sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1
angka 13 UU No. 30 Tahun 2004 adalah arsip negara. Pentingnya Akta Notaris sebagai
Akta Otentik dan Protokol Notaris digambarkan dalam bagian Penjelasan Umum UU
No. 30 Tahun 2004 dengan kata-kata sebagai berikut: Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang antuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu
tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan,
tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak
dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan
dasar pikiran bahwa Notaris adalah penyimpan dan pemelihara Protokol Notaris sebagai
arsip negara, maka diadakan ketentuan khusus dalam pemanggilan Notaris berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang disimpannya. Perlakuan khusus
dalam pemanggilan Notaris pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945, sebab Notaris tetap mempunyai kedudukan dalam hukum yang sama
dengan setiap warga negara lainnya, perlakuan khusus dalam pemanggilan Notaris
hanyalah soal prosedur pemanggilan semata-mata. MPD sebagai pengawas Notaris akan
menilai terlebih dahulu sebab pemanggilan tersebut berkaitan dengan Akta Notaris dan
Protokol Notaris yang merupakan arsip negara.
13
KUHAP dapat dibedakan atas dua macam menurut sifatnya, yang oleh M. Yahya
Harahap disebut penggeledahan biasa dan penggeledahan dalam keadaan mendesak.10
Penggeledahan biasa diatur dalam Pasal 33 KUHAP. Dalam Pasal 33 ayat (1)
KUHAP ditentukan bahwa dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat
penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang
diperlukan. Penggeledahan dalam keadaan mendesak diatur dalam pasal 34 KUHAP.
Dalam Pasal 34 ayat (1) KUHAP, ditentukan bahwa dalam keadaan yang sangat perlu
dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penggeledahan di
tempat-tempat tertentu yang disebutkan pada huruf a, b, c, dan d. Selanjutnya
menurut Pasal 34 ayat (2) KUHAP dalam hal penyidik melakukan penggeledahan
seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik wajib segera melaporkan kepada ketua
pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Dalam pasal-pasal KUHAP ini, istilah “surat izin” digunakan untuk izin ketua
pengadilan negeri sebelum dilakukannya penggeledahan; sedangkan istilah
“persetujuan” digunakan dalam penggeledahan rumah telah dilakukan terlebih dahulu
nanti kemudian dimintakan persetujuan dari ketua pengadilan negeri setempat.
Perbedaan penggunaan antara istilah “surat izin” dan istilah “persetujuan” dalam
KUHAP, menimbulkan pertanyaan apakah istilah ”persetujuan” dalam Pasal 66 ayat
(1) UU No. 30 Tahun 2004 dapat ditafsirkan sebagai sama artinya dengan istilah
“persetujuan” dalam Pasal 34 ayat (2) KUHAP. Jika ditafsirkan seperti ini berarti
Notaris dapat dipanggil untuk hadir dalam pemeriksaan terlebih dahulu, dan nanti
sesudah itu barulah dimintakan persetujuan MPD. Dalam pemanggilan Notaris,
seharusnya diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Pengawas Daerah
barulah berdasarkan pertujuan ini dilakukan pemanggilan kepada Notaris. Alasan :
1. Kata-kata ” penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis
Pengawas Daerah berwenang …”, menunjukkan bahwa wewenang Penyidik,
Penuntut Umum, atau Hakim itu berdasarkan pada persetujuan Majelis Pengawas
Daerah. Dengan demikian seharusnya sudah ada terlebih dahulu persetujuan dari
10
M. Yahya Harahap, 1981. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I. Pustaka Kartini, Jakarta,
h. 270, 275.
14
MPD barulah dengan dasar persetujuan MPD ini, para penegak hukum memiliki
wewenang untuk melakukan pemanggilan terhadap Notaris.
2. Dalam beberapa Undang-Undang yang lain juga digunakan istilah “persetujuan”
yaitu persetujuan dari pejabat tertentu sebelum dilakukannya pemanggilan
(tindakan penyidikan). Sebelumnya telah dikemukakan dua contoh, yaitu dalam
Pasal 49 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan dalam Pasal 53 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004. Dalam dua Undang-Undang tersebut tampak bahwa
penggunaan istilah “persetujuan” merupakan persetujuan yang harus ada terlebih
dahulu sebelum dilakukannya tindakan penyisikan.
3. Syarat dan tata cara pemanggilan Notaris menurut Peraturan Menteri Hukum dan
HAM No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 menunjukkan bahwa harus ada
persetujuan MPD terlebih dahulu sebelum dilakukannya pemanggilan Notaris.
Dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum dan HAM ini ditentukan bahwa:
a. Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses
peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa
dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas
Daerah.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya
disampaikan kepada Notaris.
c. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan
pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa.11
Menurut Pasal 14, MPD memberikan persetujuan pemanggilan Notaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) apabila:
a. Ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/ atau suratsurat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan
Notaris, atau;
b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam
peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
11
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan
Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris
15
Persetujuan MPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan setelah
mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan (Pasal 16). MPD tidak
memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk
pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa apabila tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 (Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum
dan HAM No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM menunjukkan bahwa diperlukan adanya terlebih dahulu
persetujuan MPD untuk dilakukannya pemanggilan terhadap Notaris.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pengertian istilah “persetujuan” dalam
Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris seharusnya diartikan sebagai adanya persetujuan
MPD terlebih dahulu sebelum melakukan pemanggilan terhadap Notaris. Istilah
“persetujuan” dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, di satu pihak
berbeda/tidak sama dengan pengertian istilah “persetujuan” dalam Pasal 34 ayat (2)
KUHAP, di lain pihak memiliki pengertian yang sama dengan istilah “persetujuan”
dalam Pasal 49 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 53 ayat (1) UU
No. 32 Tahun 2004 yaitu harus ada terlebih persetujuan sebelum dilakukan pemanggilan.
16