Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini

termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang no.6 tahun 1962

tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah

menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1

Sejauh ini imunopatogenesis demam tifoid belum sepenuhnya dipahami

sehingga kadang kala penatalaksanaanya belum optimal. Hal tersebut antara lain

karena beberapa akibat antara lain kerentanan individu, luasnya manifestasi klinis,

lambatnya menegakkan diagnosis, terapi yang kurang adekuat, malnutrisi serta

akibat timbulnya multidrug resisten (MDR) strain Salmonella typhi yang

mempengaruhi derajat beratnya penyakit, timbulnya komplikasi bahkan

mendorong kearah kematian.2

Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan

global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai

13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa

per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari

Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar kasus

(80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal,

Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu

wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi pada

kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus).3

1
Surveilens Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 2010 merupakan permasalahan kesehatan penting dibanyak

negara berkembang secara global, diperkirakan 17 juta orang mengidap penyakit

ini tiap tahunnya. Di Indonesia diperkirakan insiden demam tifoid adalah 300-

810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian2%. Kemudian

Case Fatality Rate(CFR) demam tifoid pada tahun 2010 sebesar 1,02% dari seluruh

kematian di Indonesia.4

Surveilans Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2009, tahun 2007 tercatat

jumlah penderita demam tifoid sebanyak 16.552 dengan kematian sebanyak 5 orang

(CFR=0,03 %) dengan sebaran kasus tertinggi di Kab.Gowa, Kab.Enrekang, dan

Kota Makassar. Penyakit typhus berdasarkan Riskesdas tahun 2007 secara nasional

di Sulawesi Selatan, penyakit typhus tersebar di semua umur dan cenderung lebih

tinggi pada umur dewasa. Prevalensi klinis banyak ditemukan pada kelompok umur

sekolah yaitu 1,9%, terendah pada bayi yaitu 0,8%.5

Dari data program tahun 2008 penyakit typhus tercatat jumlah penderita

sebanyak 20.088 dengan kematian sebanyak 3 orang, masing-masing Kab. Gowa

(1 orang) dan Barru (2 orang) atau CFR= 0,01 %. Insiden Rate (IR=0.28%) yaitu

tertinggi di Kab.Gowa yaitu 2.391 kasus dan terendah di Kab. Luwu yaitu 94 kasus,

tertinggi pada umur 15-44 tahun sebanyak 15.212 kasus.5

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan

penelitian terhadap karakteristik penderita demam tifoid, di mana sampel

penelitiannya adalah penderita demam tifoid di instalasi rawat inap rumah sakit

Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012.

2
1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah

penelitian tentang bagaimana karakteristik penderita demam tifoid di instalasi rawat

inap rumah sakit Ibnu Sina Makassar.

1.3.Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik penderita demam tifoid yang

dirawat inap di rumah sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi penderita demam tifoid menurut usia,

b. Mengetahui distribusi penderita demam tifoid menurut jenis kelamin,

c. Mengetahui distribusi penderita demam tifoid menurut gejala subjektif,

d. Mengetahui distribusi penderita demam tifoid menurut gejala objektif,

e. Mengetahui perbedaan lama rawatan penderita demam tifoid tanpa komplikasi

dan dengan komplikasi, dan

f. Mengetahui perbedaan keadaan penderita demam tifoid sewaktu pulang.

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan masukan bagi

pemerintah kota Makassar khususnya bagian kesehatan dalam menentukan arah

kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi masalah penularan demam tifoid di

masa mendatang.

3
2. Manfaat bagi Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

karakteristik demam tifoid dan menjadi bahan bacaan untuk para peneliti

selanjutnya.

3. Manfaat bagi Peneliti

Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka menambah wawasan

pengetahuan serta pengembangan diri, khususnya dalam bidang penelitian.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum tentang Demam Tifoid

1.Definisi

Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut

yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih

dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan

kesadaran.6

2. Insidensi

Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan

global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai

13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa

per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari

Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar kasus

(80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal,

Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Di Indonesia penderita demam

tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di

mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim

panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapipaling sering pada

anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan

perbandingan 2-3 : 1.6,7,8

Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tetapi bersifat endemis dan

banyak dijumpai di kota – kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insiden tifoid

5
pada pria dengan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa

muda. Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar Indonesia

menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata – rata

500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai

akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.9

Di negara yang telah maju, tifoid masih ada terutama sehubungan dengan

kegiatan wisata ke negara – negara yang sedang berkembang. Secara umum insiden

tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun. Pada anak –

anak biasanya di atas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun dan manifestasi klinik

ringan.9

3. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi merupakan basil gram negatif,

bersifat aerobik, bergerak dengan rambut getar dan bersifat tidak berspora. Bakteri

ini mempunyai 3 macam antigen.2

Keterangan antigen:2

a. Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar yang mempunyai komponen

protein, lipopolisakarida (LPS) dan lipid. Sering disebut endotoksin.

b. Antigen H (flagella), terdapat pada flagella, fimbriae dan pili dari bakteri,

berstruktur kimia protein.

c. Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding bakteri untuk

melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein.

6
4. Gambaran Klinis

Gejala klinis yang sering terjadi merupakan dampak dari sitokin proinflomatori

serta berbagai mediator kimia, maka muncul panas yang berkepanjangan lebih dari

1 minggu, tipe panas stepladder yang mencapai 39-40 , kemudian panasnya

berlangsung persiten, kontinu atau tipe remitten. Bersamaan dengan munculnya

gejala panas sering disertai dengan keluhan saluran cerna seperti mual muntah,

nyeri abdominal, diare, dan konstipasi. Bakteremia kedua terjadi setelah beberapa

hari timbul gejala, lalu diperburuk dengan timbulnya panas dingin atau anoreksia.

Gejala ini disebut dengan demam tifoid akut dan antibodi spesifik yang terbentuk

adalah antibodi IgM yang bertahan yang selanjutnya digantikan dengan antibody

IgG. Pada kondisi ini dapat terjadi sepsis dan syok septik yang menyebabkan

kematian jika tidak diobati (15%), kekambuhan (10%), terjadi pada penderita yang

tidak mendapatkan pengobatan adekuat, menjadi karier pada 1-4%.2

Gejala yang tidak spesifik seperti malaise, menggigil, sakit kepala, mialgia,

dan batuk yang muncul pada awal perjalanan penyakit. Apatis dan delirium terjadi

pada 10-45%, bradikardia relatif, lidah kotor, bercak ros yang muncul pada awal

penyakit namun lebih sering ditemukan pada orang kulit putih . Hepatomegali lebih

sering daripada splenomegali biasanya muncul pada akhir minggu pertama atau

awal minggu kedua. Pada pemeriksaan abdomen di dapatkan rasa nyeri lokal,

maupun difus, terkadang juga disertai dengan penurunan bising usus.2

Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala demam dan gejala-gejala

lain setelah pemberian obat, tidak ada komplikasi, dan tidak terdapat relaps pada

pemeriksaan tindak lanjut. Pernyataan sembuh ini diberikan oleh dokter kepada

7
pasien yang dirawat inap berdasarkan perbaikan klinis, kemudian pasien diizinkan

untuk pulang.10,11

Membaik dari demam tifoid adalah hilangnya sebagian gejala setelah

pemberian obat. Pernyataan membaik ini diberikan oleh dokter kepada pasien yang

dirawat inap berdasarkan perbaikan klinis, kemudian pasien diizinkan untuk pulang

dan berobat jalan atau permintaan pasien untuk pulang sendiri disebabkan biaya

pengobatan yang mahal.10,11

Belum sembuh dari demam tifoid adalah belum hilangnya gejala demam dan

gejala-gejala lain setelah pemberian obat, ada atau tidak ada komplikasi, dan

terdapat relaps pada pemeriksaan tindak lanjut. Pernyataan belum sembuh ini

diberikan oleh dokter kepada pasien yang dirawat inap berdasarkan belum adanya

perbaikan klinis, kemudian pasien diizinkan untuk pulang atas permintaan sendiri

disebabkan biaya pengobatan yang mahal.10,11

8
Tabel 2.1 keluhan dan gejala demam tifoid

Keluhan dan gejala Demam tifoid


Periode Penyakit Keluhan Gejala Patologi
Minggu Pertama Panas berlangsung Gangguan Bakteremia
insidious, tipe saluran cerna
panas stepladder,
menggigil, nyeri
kepala
Mingu Kedua Rash, nyeri Rose spots, Vaskulitis,
abdomen, diare, splenomegali, hiperplasia pada
konstipasi hepatomegali peyer patches,
nodul tifoid pada
limpa dan hati
Minggu Ketiga Komplikasi : Melena, ileus Ulserasi pada
perdarahan saluran peyer patches,
cerna, perforasi, peritonitis
syok
Minggu keempat Keluhan menurun, Tampak sakit Carrier kronik
dst relaps, penurun berat
berat badan
Dikutip dari kepustakaan 2

5. Patogenesis

Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi atau Salmonella para typhi.

Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar dengan

feses manusia. Setelah melewati lambung bakteri mencapai usus halus dan invasi

ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat predileksi untuk

berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenteric bakteri masuk aliran darah

sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel – sel retikuloendothelial dari hati dan

limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini

bakteri dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia II) melalui duktus torasikus dan

mencapai organ – organ tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu.9

9
Bakteri Salmonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks

lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis demam tifoid.

Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan di mana bakteri

Salmonella berkembang biak. Di samping itu merupakan stimulator yang kuat

untuk memproduksi sitokin oleh sel – sel makrofag dan sel lekosit di jaringan yang

meradang. Sitokin ini merupakan mediator – mediator untuk timbulnya demam dan

gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena basil Salmonella bersifat intraseluler

maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang – kadang pada

jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal – fokal infeksi.9

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di ileum bagian

distal di mana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plek peyer

terjadi hiperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan ulserasi pada

minggu ke 3, akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan

dan perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena

infiltrasi sel – sel limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal.

Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa

dan kelenjar mesenterika. Kelainan – kelainan patologis yang sama juga dapat

ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung, dan

selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses –

abses pada banyak organ, sehingga ditemukan bronchitis, arthritis septik,

pielonefritis, meningitis, dan lain – lain. Kandung empedu merupakan tempat yang

disenangi basil Salmonella. Bila penyembuhan tidak sempurna, basil tetap tahan di

kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal.9

10
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga

menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat – tempat yang menyimpan basil ini

memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).9

Gambar 2.1 patofisiologi demam tifoid


dikutip dari kepustakaan 1
6. Langkah – Langkah Penegakan Diagnosis

Diagnosis tifoid dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis

atau jasmani, pemeriksaan bakteriologi atau pemeriksaan laboratorium. Diagnosis

demam tifoid dapat dibuat dari anamnesis berupa demam, gangguan

gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran. Pada

pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian

tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi

abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna

merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot. Untuk

memastikan diagnosis demam tifoid maka perlu dilakukan pemeriksaan sebagai

berikut :1,6,8,12

11
a. Pemeriksaan laboratorium

1) Pemeriksaan Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan

leukopenia, dapat pula terjadi leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat

terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan

anemia ringan dan trombositopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat

meningkat.1

2) Uji widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi.

Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen bakteri Salmonella

typhidengan antibodi yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji

widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratrium.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

penderita tersangka demam tifoid yaitu: Aglutinin O (dari tubuh bakteri), Aglutinin

H(flagel bakteri), Aglutinin Vi (simpai bakteri).1

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi bakteri ini. Hasil dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut:13

a) Titer “O” yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan adanya

infeksi aktif,

b) Titer “H” yang tinggi (1:160 atau lebih ) menunjukka bahwa penderita pernah

divaksinasi atau pernah terkena infeksi, dan

c) Titer “Vi” yang tinggi terdapat pada carrier.

12
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat pada minggu keempat , dan tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti

dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh, agglutinin O masih tetap di

jumpai setelah 4 – 6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9 –

12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan

penyakit.13

Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:13

a) Pengobatan dini dengan antibiotik,

b) Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,

c) Waktu pengambilan darah,

d) Daerah endemik atau non endemik,

e) Riwayat vaksinasi,

f) Reaksi anamnestik,

peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam

tifoid masa lalu atau vaksinasi, dan

g) Faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,

akibat aglutinasi silang, dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense

antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglitinin yang bermakna

diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan

saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai

laboratorium setempat.14

13
3) Uji Typhidot

Uji tyhphidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein

membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari

setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG

terhadap antigen s.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.1

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,6% dan

efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk

yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan

oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifitas uji ini hampir sama dengan

uji tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.1

Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) terinveksi secara berlebihan

sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga

pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut

dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi

masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG

pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M,

memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum

pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap

uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas

mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan

kultur.1

14
4) Uji Tubex®

Uji tubex® merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa

menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9

pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang

terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi

yang terkonjugasi pada partikel magnetiklatex. Hasil positif uji tubex ini

menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik

menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.1

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat

merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang

mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap

antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan

lebih dini, yaitu pada hari ke 4 – 5 untuk infeksi primer dan hari 3 – 2 untuk infeksi

sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak

dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk

mendeteksi infeksi lampau.1

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi:

1)Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas,

2)Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen

S.typhi O9, 3)Reagen B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang

mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi

monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakuakan prosedur pemeriksaan

ini, satu tetes serum (25 µL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25

15
µL) reagen A. setelah itu reagen B (50 µL) ditambahkan kedalam tabung. Hal

tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian

diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan di putar selama 2 menit

dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan

campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan

warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.

Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada

tabel berikut:1

Tabel 2.2Interpretasi hasil uji tubex

Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Dikutip dari kepustakaan 1
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak

mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Jika

diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen

magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa

serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya terlihat warna

merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis.

Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan

berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada megnet rak

dan memberikan warna biru pada larutan.1

16
5) Uji IgM dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.typhi pada

spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung

antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen

deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna,

cairan membasahi strip sebelum di inkubasi dengan reagen dan serum pasien,

tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada

suhu 4– 25º C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan di mulai

dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3

jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan

dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan

membandingkannya dengan reference stri. Garis kontrol harus terwarna dengan

baik.1

House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji

ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan

sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini

mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun

akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya

gejala.1

6) Kultur darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa

hal sebagai berikut:1

17
a) Telah mendapat terapi antibiotik.

Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik,

pertumbuhan bakteri dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif,

b) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah).

Bila darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang

diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan kedalam media cair

empedu (oxgall) untuk pertumbuhan bakteri,

c) Riwayat vaksinisasi.

Vaksinisasi di masa yang lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.

Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat

negatif, dan

d) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin

meningkat.

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid dapat terbagi atas dua bagian

yaitu komplikasi pada usus halus (intestinal) dan komplikasi di luar usus halus

(ekstra – intesitinal).1

Komplikasi intestinal terdiri dari:`1

a. Perdarahan usus

bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.

Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri

perut dengan tanda – tanda renjatan.

18
b. Perforasi usus

timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian

distal ileum. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang

hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke

seluruh perut dan disertai dengan tanda – tanda ileus. Tanda – tanda lainnya adalah

nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.

c. Peritonitis

biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan

gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang dan

nyeri pada tekanan.

Komplikasi ekstraintestinal terdiri dari:1

a. Komplikasi kardiovaskuler

Kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah

Anemia hemolitik, trombositopenia, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru

Pneumonia, bronchitis empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu

Hepatitis dan kolesistitis.

e. Komplikasi ginjal

Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang

Osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

19
g. Komplikasi neuropsikiatrik

Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillain barre,

psikosis, dan sindrom katatonia.

Terdapat perbedaan lama rawatan rata-rata penderita demam tifoid berdasarkan

komplikasi dimana penderita dengan komplikasi lebih lama dirawat dari pada

penderita tanpa komplikasi. Tidak ada perbedaan komplikasi penderita demam

tifoid berdasarkan keadaan sewaktu pulang.15,16

8. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu:1

a. Istirahat dan perawatan

Dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah

baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,

BAK dan BAB akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam

perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang

dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia

ortostatik serta hegiene perorangan.1

Mobilisasi pada pasien tifoid adalah sebagai berikut:1

1) Hari 1  duduk 2 x 15 menit

2) Hari 2  duduk 2 x 30 menit

3) Hari 3  jalan

4) Hari 4  pulang

20
b. Diet dan terapi penunjang

Dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara

optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan

penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan

umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan menjadi

lama. Di masa lampau penderita tifoid diberi diet bubur saring, kemudian

ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet

tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

tersebut ditujukan untuk menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.1

c. Pemberian Antibiotik

Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran bakteri. Obat – obat

anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati tifoid antara lain adalah

sebagai berikut:1

1) Kloramfenikol

Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk

memgobati demam tifoid dengan dosis yang diberikan adalah 4x500mg secara per

oral atau IV. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.

2) Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas dari tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan

kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologinya lebih rendah, dosis

tiamfenikol adalah 4x500mg.

21
3) Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang

dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80

mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu.

4) Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan

dengan kloramfenikol dosis yang dianjurkan adalah 50-150mg/kgBB digunakan

selama 2 minggu.

5) Sefalosporin generasi ketiga

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk

demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gr dalam

dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari diberikan selama 3

– 5 hari.

Selain memberikan terapi dengan antibiotik kita juga perlu memperhatikan

tuntutan tubuh lainnya yaitu:1

1) Kondisi hipermetabolik selama infeksi

Dengan pemenuhan nutrisi yang adekuat, tinggi kalori dan protein serta

memperhatikan keseimbangan elektrolit.

2) Pemberian Suplemen

Suplemen yang mengandung beta karoten, vitamin C, E serta trace elemen (misal

Zn) guna mendongkrak kinerja seperoksidase dismutase (SOD), katalase, dan

gluthatione ( GSH ) di sitosol dan meredam peran TNF sehingga dapat menghadang

laju proses kematian sel patologis dipercepat akibat dampak negatif dari ROS. ROS

22
dapat mencetuskan timbulnya krisis scavenger enzyme akibat defisit berbagai

komponen mikronutrien seperti Fe,Zn, selenium, vitamin C, vitamin B6, vitamin E

atau ketidakseimbangan beberapa zat makanan, seperti asam amino esensial dapat

pula menyebabkan rusaknya komponen sistem kekebalan tubuh.

9. Pencegahan

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena

akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat

demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara,

mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisatawan mancanegara karena

telah hilangnya predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka tidak

takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.1

Tindakan preventif sebagai upaya penularan dan peledakan kasus luar biasa

(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi bakteri Salmonella

typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu (host) serta lingkungan.1

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid

yaitu:1

a. Identifikasi dan eredikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid

maupun kasus karier tifoid,

b. pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun karier,

dan

c. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.

Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan akut.

Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap bakteri S.typhi ini cukup sulit dan

23
memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala

nasional. Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun

pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran

aktif lebih diutamakan pada populasi –populasi tertentu seperti pengelola sarana

makanan – minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik

serta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan –

pelayanan masyarakat yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola

sarana umum lainnya.1

Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun

karier dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan

sekita orang yang telah diketahui mengidap bakteri S. typhi.1

Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi

pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun

hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non endemis,

tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan

jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko yaitu golongan

imunokompromais maupun golongan rentan.1

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:1

a. Daerah non endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemik

1) Sanitasi air dan kebersihan lingkungan,

2) Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan – minuman,

3) Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier.

24
b. Bila ada kejadian epidemik tifoid

1) Pencarian dan eliminasi sumber penularan,

2) Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus, dan

3) Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.

c. Daerah endemik

1) Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi

standar prosedur kesehatan, dan

2) Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,

menjauhi makanan segar.

25
2.2.Kerangka Teori

26
2.3.Bagan Kerangka Konsep

27
2.4.Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Usia

Umur penderita demam tifoid sesuai dengan yang tertulis pada kartu status.

Untuk analisis statistik, kategori umur yang digunakan adalah:

a. 5-14 tahun

b. 15-24 tahun

c. 25-44 tahun

d. 45-64 tahun

1. Jenis Kelamin

Ciri khas tertentu yang dimiliki penderita demam tifoid sesuai dengan yang

tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas:

a. Laki – laki

b. perempuan

2. Gejala Subjektif

Keadaan penderita demam tifoid saat masuk ke rumah sakit yang merupakan

manifestasi dari infeksi Salmonella typhi sesuai dengan yang tertulis di kartu status,

yaitu:

a. Demam g. Konstipasi

b. Sakit kepala h. Diare

c. Sakit perut i. Lidah kotor

d. Anoreksia j. Badan lesu

e. Mual k. Nyeri ulu hati

f. Muntah

28
3. Gejala Objektif

Gejala yang tampak pada penderita demam tifoid berdasarkan hasil pemeriksaan

dokter dan laboratorium yang dikategorikan menjadi:

a. Hasil pemeriksaan hematologi: leukopeni, leukositosis, anemia,

trombositopenia, LED meningkat.

b. Hasil pemeriksaan serologi: uji widal (+), uji widal (-)

Hasil dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut:13

1) Titer “O” yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan

adanya infeksi aktif,

2) Titer “H” yang tinggi (1:160 atau lebih ) menunjukka bahwa penderita

pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.

4. Jenis Komplikasi

Adanya penyakit lainnya yang bersifat memperberat penyakit demam tifoid

sesuai dengan yang tertulis di kartu status yang dikategorikan menjadi:

a. Komplikasi intestinal

b. Komplikasi ekstraintestinal

5. Lama Rawatan

Lamanya penderita menjalani perawatan di rumah sakit, dihitung sejak tanggal

mulai dirawat dengan tanggal keluar seperti tercatat di kartu status yang dapat

dikategorikan:

a. <7hari

b. > 7hari

29
6. Keadaan sewaktu Pulang

Keadaan penderita demam tifoid sesuai dengan yang tercatat di kartu status yang

dapat dikategorikan:

a. sembuh d. Meninggal < 48 jam

b. Membaik e. Meninggal > 48 jam

c. Belum sembuh

Sembuh dari demam tifoid adalah hilangnya gejala demam dan gejala-gejala lain

setelah pemberian obat, tidak ada komplikasi, dan tidak terdapat relaps pada

pemeriksaan tindak lanjut. Pernyataan sembuh ini diberikan oleh dokter kepada

pasien yang dirawat inap berdasarkan perbaikan klinis, kemudian pasien diizinkan

untuk pulang.10,11

Membaik dari demam tifoid adalah hilangnya sebagian gejala setelah pemberian

obat. Pernyataan membaik ini diberikan oleh dokter kepada pasien yang dirawat

inap berdasarkan perbaikan klinis, kemudian pasien diizinkan untuk pulang dan

berobat jalan atau permintaan pasien untuk pulang sendiri disebabkan biaya

pengobatan yang mahal.10,11

Belum sembuh dari demam tifoid adalah belum hilangnya gejala demam dan

gejala-gejala lain setelah pemberian obat, ada atau tidak ada komplikasi, dan

terdapat relaps pada pemeriksaan tindak lanjut. Pernyataan belum sembuh ini

diberikan oleh dokter kepada pasien yang dirawat inap berdasarkan belum adanya

perbaikan klinis, kemudian pasien diizinkan untuk pulang atas permintaan sendiri

disebabkan biaya pengobatan yang mahal.10,11

30
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang dimaksudkan

untuk menggambarkan atau memaparkan karakteristik penderita demam tifoid

berdasarkan data sekunder yang tercatat dalam rekam medis.

3.2.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di rumah sakit Ibnu Sina Makassar. Pemilihan lokasi

ini atas dasar pertimbangan bahwa di RS Ibnu Sina Makassar tersedia data penderita

demam tifoid yang dibutuhkan.

3.3.Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita demam tifoid di instalasi

rawat inap RS Ibnu Sina Makassar periode Januari-Desember 2012.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah bagian penderita demam tifoid di instalasi

rawat inap RS Ibnu Sina Makassar sejak tanggal 1 Januari – 31 Desember 2012

yang mempunyai data lengkap.

Penetapan sampel pada penelitian ini menggunakan jenis metode random simple

sampling. Untuk mengetahui ukuran sampel representatif yang didapat berdasarkan

rumus sederhana sebagai berikut:


𝑁
n=N𝑑2 +1

31
dimana:

N : besarnya populasi

n : besarnya sampel

d : tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan 10%

dengan rumus tersebut dapat dihitung ukuran sampel dari populasi 189

dengan mengambil tingkat kepercayaan (d) = 10%, sebagai berikut:


𝑁
n=N𝑑2 +1

189
n=(189)(0.102 )+1

189
n=2.89

=65,39

=65,39 + 10% = 72 sampel

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan memakai data sekunder yang diperoleh

dari rekam medis penderita demam tifoid di instalasi rawat inap RS Ibnu Sina

Makassar periode Januari – Desember 2012 kemudian dilakukan pencatatan sesuai

dengan variabel yang diperlukan.

3.5. Kriteria Seleksi

Data rekam medik pasien dengan diagnosis demam tifoid di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar.

1. Kriteria inklusi

Karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti. Kriteria

inklusi dalam penelitian ini yaitu:

a. Penderita yang mengalami rawat inap

32
b. Data rekam medik yang memiliki data identitas diri yang lengkap

2. Kriteria eksklusi

Karakteristik sampel yang tidak dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu:

a. Penderita yang mengalami rawat jalan

b. Data rekam medik yang memiliki data identitas diri yang tidak lengkap

3.6. Pengolahan dan Teknik Analisis Data

Data yang dikumpulkan dari rekam medis diolah dengan menggunakan metode

komputerisasi dan disajikan dalam bentuk tabel secara deskriptif dan

dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian.

33
BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 4.1. Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar


Dikutip dari kepustakaan 17
4.1. Profil Rumah Sakit Ibnu Sina

Rumah Sakit Ibnu Sina adalah Rumah Sakit Swasta milik Yayasan Badan

Wakaf UMI. Sebelumnya bernama Rumah Sakit “45” milik Yayasan Andi Sose

yang didirikan berdasarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi

Selatan No. 6783/DK-IJSK/TV.1/X188, tanggal 5 oktober 1988 dan pada hari

Senin tanggal 16 Juni 2003 telah dilakukan penyerahan kepemilikan dari Yayasan

Andi Sose kepada Yayasan Badan Wakaf UMI, yang ditandatangan oleh ketua

Yayasan Andi Sose yaitu Dr. H. Andi Sose dan ketua Yayasan badan Wakaf UMI

bapak Prof. Dr. Abdurrahman A. Basalamah SE., M.Si. Berdasarkan atas hak

kepemilikan tersebut, maka Rumah Sakit “Ibnu Sina” kemudian direnovasi dan

dioperasionalkan.17

Berdasarkan surat permohonan dan Ketua Yayasan badan Wakaf UMI, Kepala

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan menerbitkan surat Izin

penyelenggaraan Rumah Sakit No. 6703A/DK-IV/PTS-TKJ2/IX/2003, tanggal 23

September 2003, tentang pemberian Izin Uji Coba penyelenggaraan Rumah Sakit

34
“Ibnu Sina” yang terletak dijalan Letnan Jendral Urip Sumoharjo Km.5 No.264

Makassar.17

Berhubung karena Surat Izin Uji Coba penyelenggaraan Rumah sakit dan dinas

Kesehatan propinsi Sulawesi Selatan hanya berlaku 1 tahun, maka berdasarkan

surat pemohonan YBW UMI, menteri kesehatan RI menerbitkan Surat Izin

penyelenggaraan Rumah Sakit, tanggal 26 September 2006.17

Nomor YM.02.04.3.5.4187 tentang pemberian izin penyelenggaraan kepada

YBW UMI No.43 tanggal akte notaris 7 november 1994 dengan alamat jalan

Kakatua no. 27 Makassar untuk menyelenggarakan Rumah sakit “Ibnu Sina”

dengan alamat jalan Urip Sumoharjo Km.5 Makassar, berlaku selama 5 tahun,

terhitung tanggal 26 september 2005 s/d 26 September 2010.17

4.2. Visi dan misi Rumah sakit

1. Visi

“Menjadi Rumah Sakit Pendidikan dengan pelayanan Kesehatan yang

Islami ekselen dan terkemuka di Indonesia.”17

2. Misi17

1. Melaksanakan dan mengembangkan pelayanan kesehatan unggul yang

menjunjung tinggi moral dan etika ( Misi Pelayanan Kesehatan ),

2. Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan kedokteran dan professional

kesehatan lainnya (Misi pendidikan),

3. Melangsungkan pelayanan dakwah dan bimbingan spiritual kepada penderita

dan pengelolaan Rumah Sakit ( Misi dakawah ),

35
4. Mengupayakan perolehan finansial dari berbagai kegiatan Rumah Sakit ( Misi

Finansial ), dan

5. Meningkatkan kesejahteraan pegawai ( Misi kesejahteraan ).

3. Nilai17

1. Amanah ( jujur, berdedikasi dan bertanggung jawab ),

2. Professional ( kompetensi dab etika ), dan

3. Akhlaqul qarimah ( menjaga silaturrahmi, saling menghargai dan kepedulian

yang tinggi )

4.3 Sarana dan Prasarana Rumah Sakit

1. Gedung

RS. Ibnu Sina mempunyai luas tanah 18.008 m dengan luas gedung 12.025m

yang terdiri atas :17

a. Gedung UGD, ICU, ICCU, kamar operasi ( 2 lantai )

b. Gedung perawatan dan administrasi ( 5 lantai )

c. Gedung poliklinik Umum, Poliklinik Spesialis dan Klinik Spesialis Konsultan (

2 lantai)

2. Ketenagaan17

a. Tenaga Tetap : 263 orang

b. Tenaga Magang : 8 orang

c. Harian lepas 68 orang

3. Sarana Kesehatan17

a. Fasilitas

1) Instalasi Rawat darurat

36
2) Instalasi rawat Intensif

3) Instalasi radiologi

4) Instalasi Laboratorium

5) Instalasi Farmasi

6) Instalasi gizi

7) Instalasi rehabilitasi Medik

8) Instalasi pemulasaran jenazah

9) Instalasi pemelthraraan sarana Rumah Sakit

b. Rawat jalan

Instalasi rawat jalan adalah unit pelayanan yang menyediakan fasilitas dan

menyelenggarakan kegiatan pelayanan rawat jalan dan terdiri dari poliklinik umum,

dan beberapa poliklinik spesialis dalam berbagai bidang disiplin ilmu kedokteran

klinis.

1) Poliklinik Penyakit Dalam

Pelayanan pada polilinik penyakit dalam meliputi pelayanan rujukan penyakit

dalam dan poliklinik umum, gawat darurat maupun rujukan dan Luar rumah Sakit

Ibnu Sina. Termasuk penyakit Kardiologi, penyakit paru – paru dan lain – lain.

2) Poliklinik Bedah

Poliklinik bedah memberikan pelayanan berbagai bedah meliputi bedah umum,

bedah digestif, bedah tumor, bedah saraf, bedah orthopedi, bedah urologi, dan

bedah plastik.

3) Poliklinik Penyakit Anak

37
4) Poliklinik kebidanan dan penyakit kandungan

5) Poliklinik kebidanan dan penyakit kandungan memberikan pelayanan pada ibu

hamil, keluarga berencana dan penyakit kandungan lainnya.

6) Poliklinik Penyakit saraf

7) Poliklinik Penyakit THT

8) Poliklinik Penyakit mata

9) Poliklinik Penyakit kulit dan Kelamin serta Pelayanan kosmetik

10) Poliklinik Penyakit Gigi dan Mulut

11) Poliklinik Konsultasi gizi

12) Poliklinik umum

c. Rawat Inap

1) Ruang Perawatan Nifas

2) Ruang perawatan bayi

3) Ruang Perawatan Umum

38
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 3-9 Februari 2013 di Rumah Sakit Ibnu Sina

Makassar. Data yang diambil merupakan pasien demam tifoid yang dirawat inap di

Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012.

Karakteristik yang diteliti meliputi usia, jenis kelamin, gejala subjektif,

gejala objektif, lama rawatan tanpa komplikasi dan dengan komplikasi, dan

keadaan pasien sewaktu pulang.

Penetapan sampel pada penelitian ini menggunakan jenis metode random


𝑁
simple sampling. Dengan rumus n= N𝑑2 +1 dapat dihitung ukuran sampel dari

populasi 189 dengan mengambil tingkat kepercayaan (d) = 10% yaitu 72 sampel.

Data tersebut penulis olah dengan menggunakan Microsoft Excel dan SPSS,

dan hasilnya penulis sajikan dalam bentuk tabel dengan menyertakan pembahasan

dari masing – masing tabel.

Tabel 5.1. Karakteristik penderita demam tifoid di instalasi rawat inap


Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember
2012 menurut usia

Kategori usia Frekuensi Persentase (%)


(tahun)
5 – 14 12 16,7
15 – 24 31 43,1
25 – 44 19 26,4
45 – 54 10 13 9
Total 72 100
Sumber: Rekam medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar

39
Dari tabel di atas, memperlihatkan bahwa terdapat penderita demam tifoid

tertinggi pada kategori usia 15 – 24 tahun sebanyak 31 orang (43,1%) dan terendah

pada kategori usia 45 – 54 tahun sebanyak 10 orang (13,9%). Sedangkan pada umur

25 – 44 tahun terdapat 19 orang (26,4%) dan pada kategori umur 5 – 14 tahun

terdapat 12 orang (16,7%).

Tabel 5.2. Karakteristik penderita demam tifoid di instalasi rawat inap


Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember
2012 menurut jenis kelamin

Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)


Laki – laki 42 58,3
Perempuan 30 41,7
Total 72 100
Sumber: Rekam medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar

Dari tabel di atas, memperlihatkan bahwa penderita demam tifoid tertinggi

pada jenis kelamin laki – laki yaitu sebanyak 42 kasus (58,3%) dibandingkan

dengan perempuan yang jumlahnya 30 kasus (41,7%).

40
Tabel 5.3. Karakteristik penderita demam tifoid di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember
2012 menurut gejala subjektif
Gejala subjektif Frekuensi Persentase (%)
Demam 72 100
Sakit kepala
Sakit kepala 22 30,6
Tidak sakit kepala 50 69,4
Sakit perut
Sakit perut 9 12,5
Tidak sakit perut 63 87,5
Anoreksia
Anoreksia 3 4,2
Tidak anoreksia 69 95,8
Mual
Mual 40 55,6
Tidak mual 32 44,4
Muntah
Muntah 21 29,2
Tidak muntah 51 70,8
Konstipasi
Konstipasi 4 5,6
Tidak konstipasi 68 94,4
Diare
Diare 11 15,3
Tidak diare 61 84,7
Lidah kotor
Lidah kotor 2 2,8
Tidak lidah kotor 70 97,2
Nyeri ulu hati
Nyeri ulu hati 15 20,8
Tidak nyeri ulu hati 57 79,2
Total 72 100
Sumber: Rekam medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar

Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa semua penderita demam tifoid di

Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2013 yang

mengalami gejala subjektif berupa demam (100%). Gejala subjektif terendah yaitu

lidah kotor sebanyak 2 orang (2,8%) dan anoreksia sebanyak 3 orang (4,2%).

Selebihnya masuk rumah sakit dengan gejala objektif mual sebanyak 40 orang

(55,6%), sakit kepala sebanyak 22 orang (30,6%), muntah sebanyak 21 orang

(29,2%), nyeri ulu hati sebanyak 15 orang (20,8%), diare sebanyak 11 orang

41
(15,3%), sakit perut sebanyak 9 orang (12,5%), dan konstipasi sebanyak 4 orang

(5,6%).

Tabel 5.4. Karakteristik penderita demam tifoid di instalasi rawat inap


Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember
2012 menurut gejala objektif

Gejala objektif Frekuensi Persentase (%)


Widal
Widal (+) 67 93,1
Widal (-) 5 6,9
Anemia
Anemia 1 1,4
Tidak anemia 71 98,6
Kadar leukosit
Leukosit normal 58 80,6
Leukopenia 5 6,9
Leukositosis 9 12,5
Trombositopenia
Trombositopenia 9 12,5
Tidak trombositopenia 63 87,5
Laju Endap darah (LED)
Meningkat 15 20,8
Tidak meningkat 57 79,2
Total 72 100
Sumber: Rekam medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar

Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa penderita demam tifoid yang dirawat

inap di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar yang memiliki gejala obektif terbanyak

yaitu uji widal sebanyak 67 kasus (93,1%), LED meningkat sebanyak 15 orang

(20,8%), trombositopenia dan leukositosis 9 kasus (12,5%), leukopenia 5 kasus

(6,9%), dan anemia 1 kasus (1,4%).

42
Tabel 5.5. Karakteristik penderita demam tifoid di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember
2012 menurut lama rawatan penderita tanpa komplikasi dan
dengan komplikasi
Komplikasi < 7 hari > 7 hari
n % n % total
Dengan komplikasi 5 71,4 2 28,6 7
Tanpa komplikasi 59 90,8 6 9,2 65
Total 64 8 72
Sumber: Rekam medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar

Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa penderita demam tifoid yang dirawat

inap < 7hari di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar tanpa komplikasi sebanyak 59

orang (90,8%) lebih banyak daripada dengan komplikasi sebanyak 5 orang (71,4%).

Sedangkan penderita demam tifoid yang dirawat inap > 7hari di Rumah Sakit Ibnu

Sina Makassar tanpa komplikasi sebanyak 6 orang (9,2%) lebih banyak dirawat

dibandingkan penderita dengan komplikasi sebanyak 2 orang (28,6%).

Tabel 5.6. Karakteristik penderita demam tifoid di instalasi rawat inap


Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember
2012 menurut keadaan penderita sewaktu pulang

Keadaan pulang Frekuensi Persentase (%)


Sembuh 1 1,4
membaik 56 77,8
Belum sembuh 15 20,8
Total 72 100
Sumber: Rekam medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar

Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa penderita demam tifoid yang dirawat

inap di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 dengan

keadaan pulang terbanyak yaitu membaik sebanyak 56 orang (77,8%), belum

sembuh sebanyak 15 orang (20,8%), dan sembuh hanya 1 orang (1,4%).

43
5.2. Pembahasan

Variabel yang diteliti dari penelitian yang dilaksanakan di Instalasi Rekam

Medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar ini berdasarkan usia, jenis kelamin, gejala

subjektif, gejala objektif, perbedaan lama rawatan dengan komplikasi dan tanpa

komplikasi, serta keadaan penderita sewaktu pulang.

5.2.1. Karakteristik penderita demam tifoid di Instalasi rawat inap Rumah

Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 menurut usia

Pada tabel 5.1. memperlihatkan bahwa penderita demam tifoid tertinggi

pada kategori usia 15 – 24 tahun sebanyak 43,1% dan terendah pada kategori usia

45 – 54 tahun sebanyak 13,9%. Sedangkan pada umur 25 – 44 tahun terdapat 26,4%

dan pada kategori umur 5 – 14 tahun terdapat 16,7% .Kategori usia 15 – 24 tahun

dan 25 – 44 tahun merupakan usia sekolah dan bekerja, di mana pada kelompok

usia tersebut sering melakukan aktivitas di luar rumah, seperti mengkonsumsi

makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh Salmonella typhi.15

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Siska Ishaliani

di Rumah Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi Sumatera Utara (2010) dari 231

penderita demam tifoid 47,2% adalah kelompok umur 12 – 30 tahun.15

5.2.2. Karakteristik penderita demam tifoid di Instalasi rawat inap Rumah

Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 menurut jenis

kelamin

Pada tabel 5.2. memperlihatkan bahwa penderita demam tifoid tertinggi

pada jenis kelamin laki – laki yaitu sebanyak 58,3% dibandingkan dengan

perempuan yang jumlahnya 41,7%. Hal ini dapat dikaitkan bahwa laki – laki lebih

44
sering melakukan aktivitas di luar rumah yang memungkinkan laki – laki berisiko

lebih besar terinfeksi Salmonella typhi dibandingkan dengan perempuan, misalnya

mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi Salmonella typhi.

Selain itu, perempuan lebih memperhatikan higiene daripada laki – laki.15

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Siska Ishaliani

di Rumah Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi Sumatera Utara (2010) dari 231

penderita demam tifoid 61% laki – laki.15

5.2.3. Karakteristik penderita demam tifoid di Instalasi rawat inap Rumah

Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 menurut gejala

subjektif

Pada tabel 5.3. menunjukkan bahwa semua penderita demam tifoid di

Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2013 yang

mengalami gejala subjektif berupa demam (100%). Gejala subjektif terendah yaitu

lidah kotor sebanyak 2,8% dan anoreksia sebanyak 4,2%. Selebihnya masuk rumah

sakit dengan gejala objektif mual sebanyak 55,6%, sakit kepala sebanyak 30,6%,

muntah sebanyak 21 orang 29,2%, nyeri ulu hati sebanyak 20,8%, diare sebanyak

15,3%, sakit perut sebanyak 12,5%, dan konstipasi sebanyak 5,6%.

Gejala demam merupakan gejala utama demam tifoid yang terjadi karena

Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen

oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas

gejala klinik penderita demam tifoid adalah demam, sedangkan spesifisitas gejala

klinis penderita demam tifoid adalah lidah kotor. Akan tetapi gejala demam juga

bisa ditemukan pada penyakit infeksi lain.15

45
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Siska Ishaliani

di Rumah Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi Sumatera Utara (2010)) dari 231

penderita demam tifoid semua mengalami gejala demam 100% dan gejala paling

sedikit yaitu lidah kotor sebanyak 2,2%.15

5.2.4. Karakteristik penderita demam tifoid di Instalasi rawat inap Rumah

Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 menurut gejala

objektif

Pada tabel 5.4. menunjukkan bahwa penderita demam tifoid yang dirawat

inap di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar yang memiliki gejala objektif terbanyak

yaitu uji widal sebanyak 93,1%, LED meningkat sebanyak 20,8%, trombositopenia

dan leukositosis 12,5%, leukopenia 6,9%, dan anemia 1,4%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rani N. F.

Nainggolan di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Sumatera

Utara(2010) bahwa gejala objektif terbanyak yaitu uji widal (+) sebanyak 53,7%.16

Sampai saat ini uji widal merupakan reaksi serologi yang digunakan untuk

membantu diagnosis demam tifoid. Uji widal mempunyai kelemahan baik

sensitivitas dan spesifitasnya yang rendah maupun interpretasinya yang sulit

dilakukan. Namun, uji widal (+) akan memperkuat dugaan pada penderita demam

tifoid. Sedangkan uji widal (-) pada penderita tifoid dapat terjadi karena faktor –

faktor yang berhubungan dengan penderita seperti pengambilan serum terlalu dini,

pengobatan antibiotik sebelumnya, adanya gangguan imunologi, serta antigen yang

bervariasi.16

46
Pemeriksaan darah tepi pada penderita demam tifoid dapat ditemukan

leukopenia, trombositopenia, anemia, LED meningkat. Pada hasil pemeriksaan

darah tepi adanya leukopenia menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.1,16

5.2.5. Karakteristik penderita demam tifoid di Instalasi rawat inap Rumah

Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 menurutlama

rawatan penderita tanpa komplikasi dan dengan komplikasi

Pada tabel 5.5. menunjukkan bahwa penderita demam tifoid yang dirawat

inap < 7hari di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar tanpa komplikasi sebanyak 90,8%

lebih banyak daripada dengan komplikasi sebanyak 71,4%. Sedangkan penderita

demam tifoid yang dirawat inap > 7hari di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar tanpa

komplikasi sebanyak 9,2% lebih banyak dirawat dibandingkan penderita dengan

komplikasi sebanyak 28,6%. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang bermakna

antara lama rawatan penderita demam tifoid berdasarkan status komplikasi.

Sebagai informasi tambahan, selain komplikasi juga terdapat diagnosis

sekunder pada penderita demam tifoid yang di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Ibnu Sina Makassar yaitu epigastric pain syndrome, bronchitis, pneumonia,

bronchopneumonia, TB paru antreatment, dan Hepatitis B.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rani N. F.

Nainggolan di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar (2010)

bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan penderita demam

tifoid berdasarkan status komplikasi.15

47
5.2.6. Karakteristik penderita demam tifoid di Instalasi rawat inap Rumah

Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 menurut keadaan

penderita sewaktu pulang

Pada tabel 5.6. menunjukkan bahwa penderita demam tifoid yang dirawat

inap di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari – Desember 2012 dengan

keadaan pulang terbanyak yaitu membaik sebanyak 77,8%, belum sembuh

sebanyak 20,8%, dan sembuh 1,4%.

Penderita demam tifoid yang dinyatakan baru sembuh masih

mengekspresikan Salmonella typhi dalam waktu 3 bulan ataupun lebih dari 1 tahun,

karena itu penderita demam tifoid yang dinyatakan sembuh harus tetap melakukan

pemeriksaan bakteriologis sebulan sekali untuk mengetahui keberadaan Salmonella

typhi dalam tubuh.16

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rani N. F.

Nainggolan di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar (2010)

bahwa keadaan penderita sewaktu pulang terbanyak yaitu dalam keadaan membaik

dan memilih berobat jalan sebanyak 48,3%.16

48
BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian mengenai karakteristik penderita demam tifoid

di instalasi rawat inap Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar periode Januari –

Desember 2012, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Distribusi penderita demam tifoid menurut usia yaitu usia 15 – 24 tahun.

2. Distribusi penderita demam tifoid menurut jenis kelamin yaitu laki – laki.

3. Distribusi penderita demam tifoid menurut gejala subjektif yaitu gejala demam.

4. Distribusi penderita demam tifoid menurut gejala objektif yaitu uji widal.

5. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan penderita demam

tifoid berdasarkan status komplikasi.

6. Keadaan penderita demam tifoid sewaktu pulang yaitu dalam keadaan membaik.

6.2. Saran

1. Kepada bagian rekam medik Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar untuk lebih

melengkapi pencatatan rekam medik terkhusus yang berkaitan dengan penderita

demam tifoid yaitu hasil pemeriksaan hematologi, hasil pemeriksaan serologi,

gejala subjektif, dan status komplikasi.

2. Kepada pemerintah dan petugas medis diharapkan memberikan pendidikan

kesehatan khususnya tentang higiene perorangan dan sanitasi lingkungan pada

masyarakat

3. Untuk peneliti selanjutnya, kiranya mencari variabel – variabel lain sehingga hal

– hal yang berhubungan dengan demam tifoid dapat terbuka secara keseluruhan.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudoyo. et. al. , editor. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III,

Jakarta: Internal Publishing. Hal. 2797-2805.

2. Nasronudin, editor.2011. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini &

Mendatang. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 187-198.

3. Dimas Satya Hendarta. 2009. Demam Tifoid. (online), (http://medicine.

uii.ac.id/index.php/Artikel/Demam-Tifoid.html, diakses 2013 Mei 21).

4. Soepardi Jane. 2011. Demam tifoid. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun

2011.(online),(http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEH

ATAN _INDONESIA_TAHUN_2011.pdf, diakses 2013 Mei 21).

5. Sudarianto. et. al. 2011. Morbiditas Penyakit Menular Typhus. Profil

Kesehatan Sulawesi Selatan 2009. (online), (http://www.depkes.go.id/

downloads/profil_kesehatanprov_kab/profil_kesehatan_sulawesi_selatan_200

9.pdf, diakses 2013 Mei 21).

6. Brusch JL. 2012. Typhoid Fever.(online), (http://emedicine.medscape.com/

article/231135-overview, diakses 2013 Mei 21).

7. Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, editor. 2005. Salmonellosis. Herrison’s

Principles of Internal Medicine (16 th ed), Hal. 897-900.

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia, editor. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri

tropis (2nd ed). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. 2006.

Jakarta: Menteri Kesehatan Indonesia.

50
10. Widodo Darmowandowo. 2006. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak,

Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. (online). (http://old.pediatrik.

com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=

&html=07110-fkxu277.htm, diakses 2014 Februari 13)

11. Lili Musnelina. 2005. Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Demam Tifoid

Anak Menggunakan Kloramfenikol dan Seftriakson Di Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta Tahun 2001 – 2002 . (online) (http://journal.ui.ac.id/health/

article/viewFile/319/315, diakses 2014 Februari 13)

12. Chambers H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current

Medical Diagnosis and Treatment (45th ed), 1425-1426.

13. E.jawetz, Jl.meknick, editor. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Buku 1. Jakarta:

EGC.

14. Sloane ethel, editor.2005. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Hal. 283-289.

15. Siska Ishaliani Hasibuan. 2010. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat

Inap Di Rumah Sakit Sri Pamela PTPN 3 Tebing Tinggi Tahun 2004-

2008.(online), (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14687?mode=

full, diakses 2013 Mei 22).

16. Rani N. F. Nainggolan. 2010. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat

Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun 2008.

(online),(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14663/1/10E00215

pdf, diakses 2014 Februari 9)

51
17. Universitas Muslim Indonesia. 2013. Rumah Sakit Ibnu Sina. (online),

(http://www.umi.ac.id/sarana-kampus-universitas-muslim-indonesia/rumah-

sakit-ibnu-sina/, diakses 2014 Februari 11)

52

Anda mungkin juga menyukai