1. Pendahuluan
Muskuloskeletal adalah sistem organ yang paling luas di tubuh
manusia. Ada banyak bentuk cedera yang mungkin terjadi pada sistem organ
ini. Salah satu bentuk cedera pada sistem muskuloskeletal adalah fraktur.
Fraktur adalah perubahan bentuk tulang dimana terbentuk inkontinuitas pada
bagian tulang yang seharusnya menyambung.
2. Pembahasan
Sebagian besar manajemen farmakologi yang dilakukan pada pasien
fraktur bertujuan untuk meredakan nyeri yang dialami oleh pasien. Nyeri pada
fraktur disebabkan oleh perdarahan, pembengkakan, pergerakan abnormal
pada jaringan lunak di sekitarnya, dan pelepasan mediator-mediator inflamasi.
Nyeri yang dialami oleh pasien fraktur biasanya merupakan nyeri yang sangat
hebat, sehingga analgesik opioid, seperti morfin menjadi sebuah pilihan
terakhir jika analgesik lainnya tidak berhasil mengurangi nyeri. Obat anti-
inflamasi non steroid tidak dianjurkan untuk digunakan karena sifatnya yang
menghambat COX-1 dan COX-2 akan menghambat proses penyembuhan.1,2
a. Ketorolak
Ketorolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik
yang kuat dan efek antiinflamasi sedang. Ketorolak bekerja secara selektif
menghambat COX-1. Absorpsi ketorolak berlangsung cepat, baik itu melalui
oral, maupun intramuskular. Ketorolak dapat dipakai sebagai pengganti
morfin dan penggunaannya dengan analgesik opioid dapat mengurangi
kebutuhan opioid sebesar 20-50%. Dosis intramuskular ketorolak sebesar 30-
60 mg, secara intravena sebesar 15-30 mg, dan secara oral sebesar 5-30 mg.
Ketorolak bersifat toksik pada beberapa organ, seperti hati, lambung, dan
ginjal jika digunakan dalam jangka waktu lebih dari 5 hari.3,4,5
b. Morfin
Farmakodinamik
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor µ. Morfin menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan pada reseptor opioid pada SSP dan medula
spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Reseptor opioid
terdapat pada saraf yang mentransmisi nyeri di medula spinalis dan aferen
primer yang merelai nyeri. Reseptor opioid membentuk g-protein coupled
receptor. Morfin yang ditangkap reseptor aferen primer akan mengurangi
pelepasan neurotransmitter yang selanjutnya akan menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis. Selain itu, morfin juga
menghasilkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak. Analgesi
pada penggunaan morfin dapat timbul sebelum pasien tidur dan kadang tanpa
disertai tidur. Pemberian morfin dalam dosis kecil (5-10 mg) akan
menyebabkan euforia pada pasien yang sedang nyeri. Namun, pemberian
morfin dengan dosis 15-20 mg, pasien akan tertidur cepat dan nyenyak. Efek
analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai hilangnya
fungsi sensorik lain. Yang terjadi adalah perubahan reaksi terjadap stimulus
nyeri, jadi stimulus nyeri tetap ada namun reaksinya berbeda.3,4,5
Farmakokinetik
Pada umumnya, morfin diberikan secara oral maupun parenteral dengan
efek analgetik yang ditimbulkan pemberian oral jauh lebih rendah daripada
pemberian parenteral. Kemudian, morfin akan mengalami konyugasi dengan
asam glukoronat di hati. Ekskresi morfin terutama dilakukan oleh ginjal dan
sebagian kecil morfin bebas terdapat di tinja dan keringat.3,4,5
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan nyeri hebat
yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering
digunakan untuk nyeri yang menyertai
1) infark miokard
2) neoplasma
3) kolik renal atau kolik empedu
4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau koroner
5) perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan, dan
6) trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pascabedah
c. Metadon
Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg
morfin. Metadon dapat diberikan secara oral dan parenteral. Setelah masuk ke
darah, biotransformasi metadon terutama akan berlangsung di hati. Setelah itu,
sebagian besar metadon akan diekskresikan melalui utin dan tinja.
Metadon diberikan untuk meredakan jenis nyeri yang dapat
dipengaruhi morfin. Pada dosis yang ekuianalgetik, metadon sedikit lebih kuat
daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian
parenteral dan 30-60 menit setelah pemberian oral. Metadon biasanya
digunakan sebagai pengganti morfin untuk mencegah timbulnya gejala putus.
Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat yang
ditimbulkan oleh morfin, tetapi berlangsung lebih lama. Dosis pemberian
metadon secara oral adalah 2,5-15 mg dan 2,5-10 mg untuk pemberian secara
parenteral.
Selain sebagai penghilang rasa nyeri yang ada, manajemen
farmakologi pada fraktur juga bersifat profilaksis. Hal ini dilakukannya
khususnya pada fraktur terbuka dan fraktur yang akan segera dilakukan fiksasi
interna. Umumnya, diberikan antibiotik cephalosporin generasi 1 dengan dosis
1 gram pada fraktur yang akan segera difiksasi interna. Untuk fraktur terbuka,
antibiotik yang diberikan disesuaikan besar luka yang terbentuk. Jika lukanya
bersih dan luasnya kurang dari 1 cm, cephalosporin generasi pertama dengan
dosis 1 gram sudah cukup. Jika lukanya lebih luas, harus ditambahkan
pemberian antibiotik khusus gram negatif. Jika lukanya tampak agak kotor,
pemberian 1,5 mg gentamicin juga harus dilakukan dan jika lukanya tampak
sangat kotor harus dilakukan pemberian penicillin untuk mencegah infeksi
clostridium.
Pengaruh Nutrisi terhadap Penyembuhan Fraktur
B. FARMAKOLOGI DISLOKASI
Dislokasi sendi atau luksasio adalah tergesernya permukaan tulang yang
membentuk persendian terhadap tulang lain. (Sjamsuhidajat,2011. Buku Ajar
lImu Bedah, edisi 3,Halaman 1046)
Kesimpulan:
PENATALAKSANAAN
Medis
Analsik yang berfungsi untuk mengatasi nyeri otot, sendi, sakit kepala, nyeri
pinggang. Efek samping dari obat ini adalah agranulositosis. Dosis: sesudah
makan, dewasa: sehari 3×1 kapsul, anak: sehari 3×1/2 kapsul.
Bimastan yang berfungsi untuk menghilangkan nyeri ringan atau sedang, kondisi
akut atau kronik termasuk nyeri persendian, nyeri otot, nyeri setelah melahirkan.
Efek samping dari obat ini adalah mual, muntah, agranulositosis, aeukopenia.
Dosis: dewasa; dosis awal 500mg lalu 250mg tiap 6 jam.
Pembedahan
Operasi ortopedi
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah.
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam.
Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang
berpenyakit.
RICE
R : Rest (istirahat)
1. Pengertian
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sprain adalah cedera
struktural ligamen akibat tenaga yang di berikan ke sendi abnormal, yang juga
merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen
2. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
1) Imobilisasi
1. Penggunaan gips
2. Elastis
2) Farmakologi
1. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri.
Berikut contoh obat analgetik :
2. Aspirin:
Kandungan : Asetosal 500mg ; Indikasi : nyeri otot ; Dosis dewasa
1tablet atau 3tablet perhari,anak > 5tahun setengah sampai
1tablet,maksimum 1 ½ sampai 3tablet perhari.
3. Bimastan
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet ;
Indikasi : nyeri persendian, nyeri otot ; Kontra indikasi : hipersensitif,
tungkak lambung, asma, dan ginjal ; efeksamping : mual muntah,
agranulositosis, aeukopenia ; Dosis: dewasa awal 500mg lalu 250mg
tiap 6jam.
4. Analsik
Kandungan : Metampiron 500mg, Diazepam 2mg ; Indikasi : nyeri otot
dan sendi ; Kontra indikasi : hipersensitif ; Efek samping :
agranulositosis ; Dosis : sesudah makan (dewasa 3xsehari 1 kaplet, anak
3xsehari 1/2kaplet).
b. Penatalaksanaan keperawatan
Referensi
1. Weinstein SL, Buckwalter JA. Turek’s Orthopaedics Principles and Their
Application. 6thed. Iowa: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 88-93
2. Brown SE. How To Speed Fracture Healing [Internet]. [cited 2012 Dec 6].
Available from: http://www.sygdoms.com/pdf/fracture/8.pdf
3. Bhati NS. Hip Fracture Medication [Internet]. [updated 2012 Sep 10; cited
2012 Dec 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/87043-
medication#showall
4. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi
Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. In: Gan S, editor.
Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007.
5. Furst DE, Ulrich RW.Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs, Disease-
Modifying Antirheumatic Drugs, Nonopioid Analgesics, & Drugs Used in
Gout. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed.
Boston: McGraw-Hill; 2007
6. Smeler,suzanne.C.2001.buku ajar keperawatan medikal bedah brunner dan
suddarth.edisi 8.jakarta:EGC.
7. Wilkilson,judith M.2011.Buku saku diagnosis keperawatan:Diagnosis
Nanda,intervensi NIC,kriteria hasilNOC.jakarta:EGC