Anda di halaman 1dari 27

PENYAKIT DAN KECELAKAAN AKIBAT KERJA

DIRUANG

Mata Kuliah Keselamatan Pasien


Dosen Pembimbing : Ns. Susana Widiyaningsih, S.Kep, MNs
Oleh Kelompok
1. Susdanarto 22020118183004

2. Muchamad Yachub 2202011818302

3. Bayu Rizki F 22020118183010

4. Arif Wijaya 22020118183024

5. Unggul Wasis W 220201181830027

6. Anita Susanti 22020118183023

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1

1.1 Latar Belakang......................................................................................1

1.2 Tujuan...................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI.......................................................................3

2.1. Pengertian Penyakit Akibat Kerja..........................................................3

2.2. Penyebab Penyakit Akibat Kerja...........................................................3

2.3. Macam-Macam Penyakit Akibat Kerja..................................................3

2.3.1. Penyakit Saluran Pernafasan.........................................................4

2.3.2. Penyakit Kulit................................................................................4

2.3.3. Kerusakan Pendengaran...............................................................4

2.3.4. Gejala pada Punggung dan Sendi.................................................4

2.3.5. Kanker..........................................................................................5

2.3.6. Coronary Artery............................................................................5

2.3.7. Penyakit Liver...............................................................................5

2.3.8. Masalah Neuropsikiatrik...............................................................5

2.3.9. Penyakit yang Tidak Diketahui Sebabnya......................................5

2.4. Faktor- Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja....................................6

2.4.1. Faktor Fisik...................................................................................6

2.4.2. Faktor Kimia..................................................................................6

2.4.3. Faktor Biologi................................................................................7

2.4.4. Faktor Ergonomi/Fisiologi.............................................................8

2.4.5. Faktor Psikologi.............................................................................9

2.5. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja..........................................................10

2.5.1. Menentukan diagnosis klinis......................................................10

ii
2.5.2. Menentukan pajanan.................................................................10

2.5.3. Menentukan apakah pajanan memang dapat menyebabkan penyakit


tersebut 11

2.5.4. Menentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk
dapat mengakibatkan penyakit tersebut....................................................11

2.5.5. Menentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat


mempengaruhi...........................................................................................11

2.5.6. Mencari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab


penyakit 11

2.5.7. Membuat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh


pekerjaannya..............................................................................................12

2.6. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja......................................................12

2.6.1. Pencegahan Pimer – Healt Promotio..........................................13

2.6.2. Pencegahan Skunder – Specifict Protectio..................................13

2.6.3. Pencegahan Tersier.....................................................................13

2.6.4. Pemeriksaan sebelum penempatan...........................................14

2.6.5. Pemeriksaan kesehatan berkala.................................................14

BAB III ANALISIS SITUASI............................................................16

3.1 Resiko Munculnya Kanker...................................................................16

3.2 Resiko Dermatitis................................................................................16

3.3 Resiko HIV/AIDS dan Hepatitis............................................................17

3.4 Risiko LBP...........................................................................................17

BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................19

BAB V PENUTUP...................................................................................25

A. Kesimpulan.............................................................................................25

B. Saran......................................................................................................25

REFERENSI.............................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pekerja mempunyai risiko terhadap masalah kesehatan yang disebabkan oleh


proses kerja, lingkungan kerja serta perilaku kesehatan pekerja. Pekerja tidak
hanya berisiko menderita penyakit menular dan tidak menular tetapi pekerja juga
dapat menderita penyakit akibat kerja dan/atau penyakit terkait kerja. Penyakit
akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan
kerja termasuk penyakit akibat hubungan kerja. Berdasarkan data International
Labour Organization (ILO) tahun 2015 diketahui bahwa setiap tahun ditemukan
2,34 juta orang meninggal terkait pekerjaan baik penyakit maupun kecelakaan dan
sekitar 2,02 juta kasus meninggal terkait penyakit akibat kerja.

Penyakit Akibat Kerja (PAK) di kalangan petugas kesehatan dan non


kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Rumah sakit juga merupakan
tempat bagi para pekerja dari berbagai profesi kesehatan yang rentang terkena
penyakit akibat kecelakaan kerja. Penyakit akibat kerja dapat menyerang semua
petugas kesehatan dan non kesehatan di rumah sakit akibat pajanan berbagai
bahan berbahaya biologi, kimia, dan fisik didalam lingkungan rumah sakit
sendiri. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran
petugas dan kualitas serta keterampilan petugas yang kurang memadai. Banyak
petugas yang meremehkan resiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia.

Kamar operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit, tempat untuk
melakukan tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut, yang membutuhkan
alat-alat pengaman. Petugas di kamar operasi mempunyai resiko yang sangat
besar terjadinya kecelakaan yang akan menimbulkan penyakit akibat kerja. Oleh
karena itu, petugas kamar operasi haruslah memiliki keahlian khusus dan
pengetahuan tentang penyakit akibat kerja (PAK) dikamar operasi. Tujuan
memahami penyakit akibat kerja ini adalah untuk memperoleh informasi dan

iv
pengetahuan agar lebih mengerti tentang penyakit akibat kerja dan dapat
mengurangi korban yang terpapar penyakit akibat kerja guna meningkatkan
derajat kesehatan dan produktif kerja kerja.

1.2 Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasisiwa diharapkan mampu mengetahui penyakit dan kecelakaan


kerja di ruang operasi

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mengetahui factor resiko bahaya yang ada di ruang operasi


b. Mahasiswa mampu mengetahui penyakit akibat kerja diruang operasi
c. Mahasiswa mengetahui pengendalian penyakit akibat kerja di ruang
operasi
d. Mahasiswa mengetahui penanganan penyakit akibat kerja diruang
operasi

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian Penyakit Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan
demikian, penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artifisual atau

v
man made disease. Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat lain
yang menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan
kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan ataupun
diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan dengan
pekerjaan.( Hebbie Ilma Adzim, 2013)

2.2. Penyebab Penyakit Akibat Kerja


Tedapat beberapa penyebab PAK yang umum terjadi di tempat
kerja, berikut beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan penyebab dari
penyakit yang ada di tempat kerja.
a. Golongan fisik: bising, radiasi, suhu ekstrim, tekanan udara,
vibrasi, penerangan
b. Golongan kimiawi: semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap,
gas, larutan, kabut
c. Golongan biologik: bakteri, virus, jamur, dll
d. Golongan fisiologik/ergonomik: desain tempat kerja, beban kerja.
e. Golongan psikososial: stres psikis, monotomi kerja, tuntutan
pekerjan

2.3. Macam-Macam Penyakit Akibat Kerja


Adapun beberapa penyakit akibat kerja, antara lain: Pencemaran
udara oleh partikel dapat disebabkan karena peristiwa alamiah maupun
ulah manusia, yaitu lewat kegiatan industri dan teknologi. Partikel yang
mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada macam
dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada.
2.3.1. Penyakit Saluran Pernafasan
PAK pada saluran pernafasan dapat bersifat akut maupun kronis.
Akut misalnya asma akibat kerja. Sering didiagnosis sebagai
tracheobronchitis akut atau karena virus kronis, misal: asbestosis. Seperti
gejala Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau edema paru
akut. Penyakit ini disebabkan oleh bahan kimia seperti nitrogen oksida.
2.3.2. Penyakit Kulit
Pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak mengancam
kehidupan, dan kadang sembuh sendiri. Dermatitis kontak yang
dilaporkan, 90% merupakan penyakit kulit yang berhubungan dengan

vi
pekerjaan. Penting riwayat pekerjaan dalam mengidentifikasi iritan yang
merupakan penyebab, membuat peka, atau karena faktor lain.
2.3.3. Kerusakan Pendengaran
Banyak kasus gangguan pendengaran menunjukan akibat pajanan
kebisingan yang lama, ada beberapa kasus bukan karena pekerjaan.
Riwayat pekerjaan secara detail sebaiknya didapatkan dari setiap orang
dengan gangguan pendengaran. Dibuat rekomendasi tentang pencegahan
terjadinya hilang pendengaran.
2.3.4. Gejala pada Punggung dan Sendi
Tidak ada tes atau prosedur yang dapat membedakan penyakit pada
punggung yang berhubungan dengan pekerjaan daripada yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Penentuan kemungkinan bergantung pada
riwayat pekerjaan. Artritis dan tenosynovitis disebabkan oleh gerakan
berulang yang tidak wajar.

2.3.5. Kanker
Adanya presentase yang signifikan menunjukan kasus Kanker yang
disebabkan oleh pajanan di tempat kerja. Bukti bahwa bahan di tempat
kerja (karsinogen) sering kali didapat dari laporan klinis individu dari pada
studi epidemiologi. Pada Kanker pajanan untuk terjadinya karsinogen
mulai > 20 tahun sebelum diagnosis.
2.3.6. Coronary Artery
Penyakit ini disebabkan oleh karena stres atau Carbon Monoksida
dan bahan kimia lain di tempat kerja.
2.3.7. Penyakit Liver
Sering didiagnosis sebagai penyakit liver oleh karena hepatitis
virus atau sirosis karena alkohol. Penting riwayat tentang pekerjaan, serta
bahan toksik yang ada.
2.3.8. Masalah Neuropsikiatrik
Masalah neuropsikiatrik yang berhubungan dengan tempat kerja
sering diabaikan. Neuropatiperifer, sering dikaitkan dengan diabet,
pemakaian alkohol, atau tidak diketahui penyebabnya. Depresi SSP oleh
karena penyalahgunaan zat-zat atau masalah psikiatri. Kelakuan yang tidak

vii
baik mungkin merupakan gejala awal dari stres yang berhubungan dengan
pekerjaan. Lebih dari 100 bahan kimia (a.I solven) dapat menyebabkan
depresi SSP. Beberapa neurotoksin (termasuk arsen, timah, merkuri,
methyl, butyl ketone) dapat menyebabkan neuropati perifer. Selain itu,
Carbon disulfide dapat menyebabkan gejala seperti psikosis.
2.3.9. Penyakit yang Tidak Diketahui Sebabnya
Alergi dan gangguan kecemasan mungkin berhubungan dengan
bahan kimia atau lingkungan sick building syndrome. Multiple Chemical
Sensitivities (MCS), misal: parfum, derivate petroleum, rokok.

2.4. Faktor- Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja


2.4.1. Faktor Fisik
a. Suara tinggi atau bising dapat menyebabkan ketulian
b. Temperature atau suhu tinggi dapat menyebabkan Hyperpireksi,
Miliaria, Heat Cramp, Heat Exhaustion, dan Heat Stroke
c. Radiasi sinar elektromagnetik infra merah dapat menyebabkan
katarak
d. Ultraviolet dapat menyebabkan konjungtivitis
e. Radio aktif/alfa/beta/gama/X dapat menyebabkan gangguan
terhadap sel tubuh manusia
f. Tekanan udara tinggi menyebabkan Coison Disease
g. Getaran menyebabkan Reynaud’s Desiase, ganguan
metabolisme,
h. Polineurutis
2.4.2. Faktor Kimia
Asal: bahan baku, bahan tambahan, hasil sementara, hasil
samping(produk), sisa produksi atau bahan buangan. Bentuk: zat padat,
cair, gas, uap maupun partikel Cara masuk tubuh dapat melalui saluran
pernafasan, saluran pencerrnaan kulit dan mukosa. Masuknya dapat secara
akut dan sevara kronis. Efek terhadap tubuh: iritasi, alergi, korosif,
asphyxia, keracunan sistematik, kanker, kerusakan kelainan janin.
Terjadi pada petugas/ pekerja yang sering kali kontak dengan
bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika. Demikian pula dengan
solvent yang banyak digunakan dalam komponen antiseptik, desinfektan
dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan cepat atau

viii
lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan. Gangguan
kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang
pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya
sedikit saja oleh karena alergi (keton). Bahan toksik (trichloroethane,
tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat
menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif
(asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible
pada daerah yang terpapar.
Pencegahan :

1) Material safety data sheet (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang ada
untuk diketahui oleh seluruh petugas laboratorium.
2) Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk mencegah
tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol.
3) Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan,
celemek, jas laboratorium) dengan benar.
4) Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara mata
dan lensa.
5) Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.
2.4.3. Faktor Biologi
a. Viral Desiases: rabies, hepatitis

b. Fungal Desiases: Anthrax, Leptospirosis, Brucellosis, TBC, Tetanus

c. Parasitic Desiases: Ancylostomiasis, Schistosomiasis

Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi


berkembang biaknya strain kuman yang resisten, terutama kuman-kuman
pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang bersumber dari pasien,
benda-benda yang terkontaminasi, dan udara. Virus yang menyebar
melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hepatitis B)
dapat menginfeksi pekerja sebagai akibat kecelakaan kecil dipekerjaan,
misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus.
Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan
cukup tinggi. Secara teoritis kemungkinan kontaminasi pekerja LAK

ix
sangat besar, sebagai contoh dokter di Rumah Sakit mempunyai risiko
terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada dokter yang praktek
pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan menangani limbah yang
infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar kuman patogen
maupun debu beracun mempunyai peluang terkena infeksi.
Pencegahan :

1) Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang


kebersihan, epidemilogi, dan desinfeksi.
2) Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan pekerja untuk
memastikan dalam keadaan sehat badan, punya cukup kekebalan
alami untuk bekrja dengan bahan infeksius, dan dilakukan
imunisasi.
3) Melakukan pekerjaan laboratorium dengan praktek yang benar
(Good Laboratory Practice).
4) Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang
benar.
5) Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan
infeksius, dan spesimen secara benar.
6) Pengelolaan limbah infeksius dengan benar.
7) Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai.
8) Kebersihan diri dari petugas.
2.4.4. Faktor Ergonomi/Fisiologi
Faktor ini sebagai akibat dari cara kerja, posisi kerja, alat kerja,
lingkungan kerja yang salah, dan kontruksi yang salah. Efek terhadap
tubuh: kelelahan fisik, nyeri otot, deformirtas tulang, perubahan bentuk,
dislokasi, dan kecelakaan.
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi, dan seni berupaya
menyerasikan alat, cara, proses, dan lingkungan kerja terhadap
kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia untuk terwujudnya kondisi
dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan tercapai efisiensi
yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan

x
kuratif, secara populer kedua pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit
the Job to the Man and to fit the Man to the Job
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan
pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga
operator peralatan, hal ini disebabkan peralatan yang digunakan pada
umumnya barang impor yang disainnya tidak sesuai dengan ukuran
pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat
menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan
dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis
(stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja
(low back pain)
2.4.5. Faktor Psikologi
Faktor ini sebagai akibat organisasi kerja (tipe
kepemimpinan, hubungan kerja komunikasi, keamanan), tipe kerja
(monoton, berulang-ulang, kerja berlebihan, kerja kurang, kerja shift, dan
terpencil). Manifestasinya berupa stress. Beberapa contoh faktor
psikososial yang dapat menyebabkan stress antara lain:
1) Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut
hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di laboratorium kesehatan di
tuntut untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai
dengan kewibawaan dan keramahan-tamahan
2) Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
3) Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau
sesama teman kerja.
4) Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor formal
ataupun informal

2.5. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu
perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi

xi
yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut
dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:
2.5.1. Menentukan diagnosis klinis
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu dengan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya
dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik
ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut
berhubungan dengan pekerjaan atau tidak.
2.5.2. Menentukan pajanan
Pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini Pengetahuan
mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial
untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk
ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara
cermat dan teliti, yang mencakup:
1) Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
penderita secara kronologis
2) Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan
3) Bahan yang diproduksi
4) Materi (bahan baku) yang digunakan
5) Jumlah pajanannya
6) Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
7) Pola waktu terjadinya gejala
8) Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami
gejala serupa)
9) Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label, dan sebagainya)
2.5.3. Menentukan apakah pajanan memang dapat menyebabkan penyakit
tersebut
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang
mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit
yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar
ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan

xii
diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang
mendukung,
2.5.4. Menentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk
dapat mengakibatkan penyakit tersebut.
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan
pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja
menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan
kepustakaan yang ada untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat
kerja.
2.5.5. Menentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat
mempengaruhi
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat
pekerjaan yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya
penggunaan APD? Riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga
risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan
(riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih
sensitif terhadap pajanan yang dialami.
2.5.6. Mencari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab
penyakit
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit?
Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat
merupakan penyebab penyakit? Meskipun demikian, adanya penyebab lain
tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat
kerja.
2.5.7. Membuat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh
pekerjaannya
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu
keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar
ilmiah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan
merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan
hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Suatu
pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila

xiii
tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien
tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan
dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada pada
waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi
pekerjaannya/pajanannya memperberat/mempercepat timbulnya penyakit.
Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis
Penyakit Akibat Kerja diperlukan pengetahuan yang spesifik, tersedianya
berbagai informasi yang didapat baik dari pemeriksaan klinis pasien,
pemeriksaan lingkungan di tempat kerja (bila memungkinkan), dan data
epidemiologis.

2.6. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


Berikut ini beberapa tips dalam mencegah penyakit kerja, diantaranya:

a. Memakai alat pelindung diri secara benar dan teratur


b. Mengenali resiko pekerjaan dan cegah supayah tidak terjadi lebih
lanjut
c. Segara akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka yang
berkelanjutan
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh
seperti berikut ini:

2.6.1. Pencegahan Pimer – Healt Promotio


a. Perilaku kesehatan
b. Faktor bahaya di tempat kerja
c. Perilaku kerja yang baik
d. Olahraga
e. Gizi
2.6.2. Pencegahan Skunder – Specifict Protectio
a. Pengendalian melalui perundang-undangan
b. Pengendalian administratif/organisasi: rotasi/pembatas jam kerja
c. Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, alat pelindung diri (APD)
d. Pengendalian jalur kesehatan imunisasi
2.6.3. Pencegahan Tersier
a. Pemeriksaan kesehatan pra-kerja
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
c. Pemeriksaan lingkungan secara berkala
d. Surveilans

xiv
e. Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
f. Pengendalian segera ditempat kerja
Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya yang
wajib dilakukan adalah deteksi dini, sehingga pengobatan bisa dilakukan
secepat mungkin. Dengan demikian, penyakit bisa pulih tanpa
menimbulkan kecacatan. Sekurang-kurangnya, tidak menimbulkan
kecacatan lebih lanjut. Pada banyak kasus, penyakit akibat kerja bersifat
berat dan mengakibatkan cacat.
Ada dua faktor yang membuat penyakit mudah dicegah.
a. Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur, dan
dikontrol.
b. Populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat
diawasi secara teratur serta dilakukan pengobatan.
Disamping itu perubahan awal seringkali bisa pulih dengan penanganan
yang tepat. Karena itulah deteksi dini penyakit akibat kerja sangat penting.
Sekurang-kurangnya ada tiga hal menurut WHO yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam deteksi dini yaitu:
a. Perubahan biokimiawi dan morfologis yang dapat di ukur melalui
analisis laboraturium. Misalnya hambatan aktifitas kolinesterase
pada paparan terhadap pestisida organofosfat, penurunan kadar
hemoglobin (HB), sitologi sputum yang abnormal, dan sebagainya.
b. Perubahan kondisi fisik dan sistem tubuh yang dapat dinilai
melalui pemeriksaan fisik laboraturium. Misalnya
elektrokardiogram, uji kapasitas kerja fisik, uji saraf, dan
sebagainya.
c. Perubahan kesehatan umum yang dapat dinilai dari riwayat
medis.Misalnya rasa kantuk dan iritasi mukosa setelah paparan
terhadap pelarut-pelarut organik.
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat
ditempuh yaitu pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ini
meliputi:
2.6.4. Pemeriksaan sebelum penempatan
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum seorang dipekerjakan atau
ditempatkan pada pos pekerjaan tertentu dengan ancaman terhadap
kesehatan yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik yang ditunjang dengan
pemeriksaan lain seperti darah, urine, radiologis, serta organ tertentu,

xv
seperti mata dan telinga, merupakan data dasar yang sangat berguna
apabila terjadi gangguan kesehatan tenaga kerja setelah sekian lama
bekerja.
2.6.5. Pemeriksaan kesehatan berkala
Pemeriksaan kesehatan berkala sebenarnya dilaksanakan dengan
selang waktu teratur setelah pemeriksaan awal sebelum penempatan. Pada
medical check-up rutin tidak selalu diperlukan pemeriksaan medis
lengkap, terutama bila tidak ada indikasi yang jelas. Pemeriksaan ini juga
harus difokuskan pada organ dan sistem tubuh yang memungkinkan
terpengaruh bahan-bahan berbahaya di tempat kerja, sebagai contoh,
audiometri adalah uji yang sangat penting bagi tenaga kerja yang bekerja
pada lingkungan kerja yang bising. Sedang pemerikaan radiologis dada
(foto thorax) penting untuk mendeteksi tenaga kerja yang berisiko
menderita pneumokonosis, karena lingkungan kerja tercemar debu.

xvi
BAB III
ANALISIS SITUASI

Petugas kamar operasi memiliki resiko kerja yang cukup tinggi, benda tajam
yang digunakan sebagai bagian penting dari ruang operasi memungkinkan
timbulnya resiko kecelakaan kerja. Selain itu petugas kamar operasi juga berada
dalam jarak yang dekat dengan pasien yang mungkin memiliki penyakit menular.
Resiko seperti tertusuk jarum, percikan darah ke wajah, atau kontak darah ke
kulit merupakan hal yang sering terjadi saat proses pembedahan. Oleh rarena itu
petugas kamar operasi memiliki resiko tinggi timbulnya penyakit akibat kerja.
Apabila dilihat dari lingkungan Ruang Operasi, potensial bahaya yang dapat
beresiko memunculkan penyakit akibat kerja sebagai beriku:
3.1 Resiko Munculnya Kanker
Pada umumnya efek paparan radiasi terhadap kesehatan dapat
dikelompokan menjadi dua kategori yaitu:
Efek deterministik (reaksi jaringan yang berbahaya) yaitu sebagian
besar sel jaringan mengalami kematian atau fungsi sel rusak karena dosis
radiasi yang tinggi.
Efek stokastik, yaitu kanker atau efek keturunan berupa
pengembangan kanker pada individu yang terpapar karena sel somatik atau
penyakit keturunan pada keturunan individu yang terpapar karena mutasi
sel produktif. (Proteksi, Kawasan and Serpong, no date)
Penggunaan alat radiologi diruang operasi merupakan alat
penunjang yang digunakan untuk membantu proses pembedahan. Sinar x
yang dihasilkan alat radiologi dapat menyebarkan radiasi yang bisa
menyebabkan ionisasi sel. Dalam jangka panjang paparan radiasi ini bisa
memicu munculnya kanker pada petugas kamar operasi.

xvii
3.2 Resiko Dermatitis
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi inflamasi
nonimunologis pada kulit akibat kontak dengan bahan kimia atau bahan
fisik eksogen.
Dermatitis kontak alergi merupakan peradangan kulit yang didasari
oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat, bersifat akut ataupun kronikakibat
bahan kontaktan eksogen yang besifat alergen. (Seri et al., 2013)
Penggunaan sabun, deterjen atau desinfektan oleh petugas kamar
operasi dapat memicu timbulnya dermatitis kontak iritan, hal ini terjadi
akibat kontak langsung lapisan luar kulit dengan zat tertentu yang bersifat
mengiritasi.
Dermatitis kontak alergi juga bisa timbul pada petugas kamar
operasi. Hal ini melihat penggunaan sarung tangan yang cukup lama saat
proses pembedahan diruang operasi. Sehingga hal ini memicu resiko
timbulnya dermatitis.

3.3 Resiko HIV/AIDS dan Hepatitis


Laporan study tentang Neeldlestick injury pada petugas kesehatan
telah dilakukan oleh berbagai belahan dunia. Centre for Disease Control
(CDC) setiap tahun terjadi 385.000 kejadian lika tertusuk akibat benda
tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan dirumah sakit di
amerika. Pekerja kehetan beresiko terpapar darah dan cairan tubuh yang
terinfeksi yang dapat menimbulkan infeksi HBV (Hepatitis B Virus), HCV
(Hepatitis C Virus), dan HIV. (Haskas, 2013)
Kejadian tertusuk jarum diruang operasi masih cukup tinggi,
Paparan terhadap darah, cairan tubuh atau spesimen jaringan diruang
operasi memungkinkan timbulnya penularan penyakit dari pasien kepada
petugas kamar operasi. Untuk itu resiko seperti tertular penyakit
HIV/AIDS dan Hepatitis dari pasien kepada petugas kamar operasi juga
sangat tinggi.

3.4 Risiko LBP

xviii
Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) dapat terjadi
akibat strees fisik yang berlebihan pada sumsum tulang belakang yang
normal.(Indriasari et al., 2017)
Untuk itu LBP juga menjadi penyakit yang beresiko menyerang
petugas kamar operasi. Posisi yang salah atau tidak ergonomis dalam
proses pembedahan sering menimbulkan ketidaknyamanan. Kesalahan
postur seperti kepala menunduk kedepan, bahu melengkung kedepan,
perut menonjol kedepan dan lordosis lumbal berlebihan dapat
mengakibatkan ketegangan otot.

xix
BAB IV
PEMBAHASAN

Meningkatnya gangguan kronik pada sistem musculoskeletal, terutama


Low Back Pain (LBP )turut meningkatkan kesadaran akan pentingnya penyakit
ini karena mempengaruhi Quality Of Life, kesehatan mental dan fisik, terutama
jika dihubungkan dengan kondisi lingkungan kerja (Moscato et al., 2010). Pekerja
di bidang kesehatan memiliki resiko tinggi untuk mengalami LBP selama bekerja
shift di rumah sakit. Diantara kategori kelompok pekerja yang memiliki resiko
tinggi mengalami kelainan patologis ini adalah pekerja di bidang kesehatan dan
perawat.

Sebuah studi yang dilaksanakan di Rome, Italia tentang Musculoskletal


injuries among operating room nurses: results from multicentre survey in Rome,
Italy(2010) melalui pengisian kuesioner oleh 185 perawat dimana 60.5% terdiri
dari perawat laki-laki menunjukkan hasil bahwa kejadian LBP akut dilaporkan
oleh 32 perawat dan 83 perawat menyatakan adanya gangguan pelaksanaan
aktivitas karena LBP(Hinmikaiye and Bamishaiye, 2012). Selain aktifitas fisik,
LBP juga dapat di asosiasikan dengan beberapa factor lain di lingkungan kerja.
Factor-faktor tersebut antara lain stress psikososial, lamanya bekerja, kondisi
organisasi, perpindahan ruang kerja, kerja lembur, tekanan psikologis, dan
ketidakpuasan.(Moscato et al., 2010). Berbagai studi melaporkan adanya
hubungan antara kelainan musculoskeletal, occupational injury, disabilitas dengan
factor resiko kerja. Factor resiko kerja yang dapat mengakibatkan Low Back Pain
bagi perawat Ruang Operasi antara lain:

a. Kegiatan fisik
Kegiatan fisik dapat berupa mengangkat pasien secara manual dan
mengubah posisi tubuh pasien selama kegiatan operasi, dalam hal ini
berat badan pasien merupakan salah satu factor yang dapat
mengakibatkan cidera. Kegiatan lain yang mempengaruhi terjadinya

xx
LBP adalah mendorong, menarik stretcher, bed, atau peralatan lain,
memindahkan pasien dari stretcher ke meja operasi. Perawat kadang
harus memegangi ekstremitas selama persiapan prosedur dalam jangka
waktu yang lama dan berdiri di tempat sama dengan postur yang tidak
tepat.
b. Postur yang tidak tepat
Membungkuk diperkirakan sebagai sumber utama yang menyebabkan
kelainan LBP ini. Studi mengenai Biomekanik dan factor psikososial
sehubungan dengan LBP juga menunjukkan tingginya pengaruh
aktivitas perawat dalam menentukan tingkatan disabilitas. (Moscato et
al., 2010) Melakukan pekerjaan dengan postur yang tidak tepat dalam
jangka pendek dapat memunculkan rasa tidak nyaman, kelelahan, dan
nyeri. Sedangkan degenerasi seluruh bagian lumbal, terutama lumbal
bawah juga berhubungan dengan penanganan beban seperti sering
mengangkat, mendorong dan menarik (traksi).
c. Perlengkapan operasi
Mengangkat dan memindahkan peralatan yang berat dapat
mengakibatkan cidera ketika perawat ruang operasi mengangkat beban
melebihi kemampuan dan kapasitasnya untuk mengangkat dengan
aman dan memberikan tumpuan beban yang berat pada tulang
belakang. Satu set instrumen operasi seringkali terdiri dari beberapa
instrument stainless-steel yang berat dan harus dipindahkan dari satu
tempat ke tempat lain yang memiliki perbedaan tinggi.
d. Lokasi
Factor yang berkontribusi dalam cidera karena mengangkat suatu
benda adalah pada ketinggian berapa benda yang akan diangkat itu
berada dan ukuran benda tersebut.
e. Ergonomic
Perawat ruang operasi terkadang mengangkat beban berat kemudian
langsung berputar ke samping ketika berpindah dari satu tempat dan
tempat lain. Dalam usaha menghemat waktu, perawat seringkali secara
langsung mengangkat instrument yang tersimpan di tempat dengan
ketinggian di atas bahu dibanding menggunakan tangga.

xxi
f. Resiko lain diluar lingkungan kerja yang turut mendukung munculnya
LBP berhubungan dengan gaya hidup yaitu usia, merokok, lebih
banyak duduk, obesitas dan stress.

Menurut The Occupational Safety and Health administration (OSHA), ada


beberapa elemen untuk mencegah cedera tulang belakang

a. Menggunakan roda atau alat bantu untuk memindahkan peralatan berat


b. Menggunakan alat bantu mekanik untuk mengangkat pasien
c. Tenaga kerja yang cukup untuk menghindari beban kerja yang berlebihan
d. Melakukan pelatihan bagi staf baru dan lama yang ditujukan untuk
menghindari cidera tulang belakang
e. Supervisi pegawai baru
f. Evaluasi pegawai mengenai lama waktu bekerja untuk mengidentifikasi
gejala awal kelainan tulang belakang

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko cidera pada perawat

a. Menggunakan alat bantu angkat antara lain: Gait belt, walkers, Rails,
‘Hoyer’ Lifts, Sliding Boards, Draw/Lift sheets
b. Menggunakan peralatan dengan tepat.
Terdapat pilihan peralatan yang dapat digunakan untuk membantu
kegiatan handling pasien. Sebagai contoh adalah penggunaan bed otomatis
untuk mengubah posisi pasien, kursi yang dapat disesuaikan tingginya dan
penggunaan kursi roda elektrik
c. Gunakan bed yang sesuai
Ketinggian bed menentukan berapa berapa banyak usaha yang di butuhkan
perawat untuk membungkuk dan meraih sisi lain
d. Penempatan peralatan sesuai urutan yang baik
g. Melaksanakan intervensi ergonomic
Melakukan pekerjaan dengan prinsip ergonomic sedikit rumit, namun
dapat menjadi kegiatan pencegahan yang permanen. Pelatihan diadakan
untuk perawat agar dapat menerapkan postur yang baik selama bekerja dan
meminimalkan twisting, bending, dan mengangkat barang dari lantai.
Pelatihan mengangkat benda dengan aman dan cara penggunaan alat
dengan benar juga dapat dilaksanakan. Prinsip ergonomis juga dapat
diterapkan dalam hal disain ruangan.
h. Managemen jadwal kerja

xxii
Dengan mengatur jadwal kerja melalui analisa beban kerja, perawat
mendapatkan jadwal kerja yang sesuai sehingga tidak mendapat beban
kerja yang berlebihan. Hal ini termasuk pengaturan volume operasi yang
harus ditangani oleh perawat dalam satu shift dengan memperhatikan
kerumitan dan waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing tindakan.
i. Sediakan staff yang mencukupi
j. Kegiatan fisik
Olah raga rutin dapat menjadi sarana untuk menurunkan resiko kejadian
Low Back Pain. Rumah sakit dapat membuat kebijakan mengenai program
aktifitas fisik bagi petugas ruang operasi untuk mencegah LBP. Selain itu
perawat ruang operasi dapat membuat jadwal mandiri untuk berolahraga
minimal 2 kali dalam seminggu untuk mengurangi resiko cidera dan
mencegah terjadinya Low Back pain.

Terdapat dua macam penanganan Low Back Pain yaitu secara Invasive dan Non
Invasive
1. Penanganan secara Invasive
Penanganan secara invasive dilakukan melalui pembedahan. Penanganan
melalui pembedahan ini dilaksanakan apabila pasien telah mengalami
nyeri hebat, kehilangan bowel control atau bladder control, atau
mengalami kelemahan yang progresif pada tungkai.
2. Penanganan Non Invasive
Penanganan secara Non Invasive bertujuan untuk:
 Mengurangi nyeri dan spasme
 Mengkondisikan tulang belakang
 Mengurangi keluhan akibat masalah-masalah yang menyertai

Beberapa terapi yang dapat dilakukan antara lain dengan:


1. Pemberian obat-obatan
Jenis obat-obatan yang diberikan antara lain berupa analgetik untuk
mengurangi nyeri, NSAID’s, muscle relaxan, steroid oral, obat-
obat antidepressant, anticonvulsant
2. Terapi fisik pasif (modalitas)
Terapi berikut ini berfokus pada pengurangan nyeri punggung bawah
untuk mengurangi nyeri akut, jenis terapi yang dapat dilakukan antara lain:
a. Kompres hangat/dingin

xxiii
Kompres hangat/dingin ini dapat digunakan secara bergantian,
umumnya kompres hangat/dingin ini dilakukan selama 10-20 menit
setiap 2 jam
b. Ionthoporesis
Ionthoporesis merupakan terapi pemberian steroid dipermukaan kulit
kemudian dialiri listrik sehingga steroid akan berpindah ke bawah
kulit
 Unit TENS
 Ultrasound
 William flexion exercise
 Chiropractic/osteophatic
 Back Braces yang terdiri dari Rigid Braces (TLSO) dan Corset
Braces
 Selective Nerve Root Block
c. Latihan
Program latihan pasien mencakup
 Peregangan hamstring
Peregangan hamstring dilakukan dengan melakukan peregangan
hamstring selama 30-45 detik selama satu sampai dua kali sehari.
Tekanan pada otot harus merata dan tidak boleh disertai dengan
pemijatan karena dapat menyebabkan spasme.
Teknik peregangan otot hamstring yang paling mudah dilakukan
adalah dengan cara berbaring pada lantai dan menarik tungkai
kearah dada, kemudian meluruskannya dengan bantuan handuk
kecil yang dikaitkan pada tumit, dilakukan bergantian kanan dan
kiri. Pilihan lain adalah dengan berbaring di lantai dengan posisi
bokong menenpel pada dinding, kaki di naikkan ke dinding dan
berusaha meluruskan sendi lutut.
Seiring dengan memanjangnya otot hamstring maka akan
mengurangi beban daerah pinggang.
 Penguatan otot (latihan stabilisasi dinamik lumbal)
Penguatan dapat dilakukan melalui dua hal yaitu Latihan Mc
Kenzie dan latihan stabilisasi lumbal dinamis
 Aerobic low impact
Latihan aerobic sebaiknya dilakukan secara rutin. Latihan aerobic
30-40 menit dapat mendorong pelepasan endorphin yang
berakibat pengurangan nyeri. Jenis latihan aerobic low impact

xxiv
antara lain: berjalan kaki (berjalan kaki 3 mil per minggu),
bersepeda statis dan terapi air.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Rumah sakit tidak lagi menjadi tempat aman bagi tenaga kerjanya, karena
banyak berkumpulbahan berbahaya biologi,kimia, dan fisika yang setiap saat
dapat terpajan kepada tenaga kesehatan. Sebelum timbul penyakit akibat kerja
diperlukan upaya berupa program K3RS. Sebagai suatu sistem program yang
dibuat bagi pekerja maupun pengusaha, kesehatan dan keselamatan kerja atau
K3 diharapkan dapat menjadi upaya preventif terhadap timbulnya kecelakaan
kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja. Pelaksanaan
K3 diawali dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif
bila terjadi hal demikian. Tujuan dari dibuatnya sistem ini adalah untuk

xxv
mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit
akibat hubungan kerja.

Peran tenaga kesehatan dalam menangani korban kecelakaan kerja adalah


menjadi melalui pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan
kesehatan pekerja yang meliputi pemeriksaan awal, pemeriksaan berkala dan
pemeriksaan khusus. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan sakit pada
tempat kerja dapat dilakukan dengan penyuluhan tentang kesehatan dan
keselamatan kerja.

B. Saran

Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan


karena sakit dan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost
benefit) suatu perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan keselamatan
kerja harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi
seluruh masyarakat.

REFERENSI

Adzim, HI. (2013). Penyakit Akibat Kerja.


http://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.com/2013/10/penyakit- akibat-
kerja-pak. html . 11.24. 7.39

Barry S. Levy, David H. Wegman. Occupational Health : Recognizing and


Preventing Work Related Disease. Edisi ke-3,2006

Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2008). Pedoman Tata Laksana Penyakit


Akibat Kerja bagi Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan

Endroyo, B. dan Tugino (2007). Analisa Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan


Kerja Konstruksi. Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan.Nomor 2 vol 21-31
Haskas, Y. (2013) ‘PERAWAT DI IRD RSUP DR . WAHIDIN
SUDIROHUSODO MAKASSAR’, 3, pp. 65–69.

xxvi
Hinmikaiye, C. D. and Bamishaiye, E. I. (2012) ‘The Incidence of Low Back Pain
among Theatre Nurses : A Case Study of University of Ilorin and Obafemi
Awolowo University Teaching Hospital’, 2(3), pp. 23–28. doi:
10.5923/j.nursing.20120203.02.
Indriasari, J. et al. (2017) ‘Naskah publikasi hubungan beban kerja perawat ruang
operasi dengan kejadian low back pain pada perawat ruang operasi di rsud kota
yogyakarta’.
Moscato, U. et al. (2010) ‘Musculoskeletal injuries among operating room
nurses : results from a multicenter survey in Rome , Italy To cite this version :
HAL Id : hal-00521156’.
Proteksi, K., Kawasan, R. and Serpong, N. (no date) ‘Pedoman Keselamatan dan
Proteksi Radiasi Kawasan Nuklir Serpong’.
Seri, K. et al. (2013) ‘Dermatitis Kontak Okupasional pada Tangan Perawat
Bangsal Rumah Sakit : DERMATITIS KONTAK OKUPASIONAL PADA
TANGAN PERAWAT BANGSAL RUMAH SAKIT : KASUS SERI’, (January).

Silalahi, B. dan Silalahi, R. (1995). Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan


Kerja. Pustaka Binaman Pressindo

xxvii

Anda mungkin juga menyukai