Anda di halaman 1dari 10

Gunung Yang Masih Aktif Di Indonesia

1. Gunung Agung

Gunung Agung adalah gunung tertinggi di pulau Bali dengan ketinggian 3.031 mdpl. Gunung
ini terletak di kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Pura Besakih, yang
merupakan salah satu Pura terpenting di Bali, terletak di lereng gunung ini.

Gunung Agung adalah gunung berapi tipe stratovolcano, gunung ini memiliki kawah yang sangat
besar dan sangat dalam yang kadang-kadang mengeluarkan asap dan uap air. Dari Pura Besakih
gunung ini tampak dengan kerucut runcing sempurna, tetapi sebenarnya puncak gunung ini
memanjang dan berakhir pada kawah yang melingkar dan lebar.

Dari puncak gunung Agung kita dapat melihat puncak Gunung Rinjani yang berada di pulau
Lombok di sebelah timur, meskipun kedua gunung tertutup awan karena kedua puncak gunung
tersebut berada di atas awan, kepulauan Nusa Penida di sebelah selatan beserta pantai-pantainya,
termasuk pantai Sanur serta gunung dan danau Batur di sebelah barat laut.

Gunung Agung terakhir meletus pada Februari 1963 hingga Januari 1964.[4] Pada tanggal 18
Februari 1963, penduduk lokal mendengar suara letusan keras dan melihat asap tebal keluar
secara vertikal dari puncak Gunung Agung. Letusan ini mengeluarkan abu panas dan gas setinggi
hampir 20.000 meter. Material ini sampai mengurangi sinar matahari dan membuat suhu udara di
lapisan stratosfer turun 6 °C (10.8 °F). Pada tahun 1963-1966, rata-rata suhu di bumi bagian
utara sampai turun 0.4 °C. Abu Belerang dari erupsi gunung ini beterbangan keseluruh dunia dan
jejaknya sampai terlihat sebagai sulfur acid di dalam lapisan es di Greenland.[5]

Pada 24 Februari 1963, lahar mulai mengalir turun dari bagian utara gunung. Lahar terus
mengalir selama 20 hari dan mencapai kejauhan hingga 7 km. Pada 17 Maret 1963, Gunung
Agung meletus dengan Indeks Letusan sebesar VEI 5 (setara letusan Gunung Vesuvius) dan
kembali meletus pada tanggal 17 Mei 1963. Jumlah kematian yang disebabkan seluruh proses
letusan Gunung Agung mencapai 1.148 orang dengan 296 orang luka-luka.[6]

Pada bulan September 2017, peningkatan aktivitas gemuruh dan seismik di sekitar gunung berapi
menaikkan status normal menjadi waspada dan sekitar 122.500 orang dievakuasi dari rumah
mereka di sekitar gunung berapi.[7] Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendeklarasikan
zona eksklusi sepanjang 12 kilometer di sekitar gunung berapi tersebut pada tanggal 24
September.[8]

Pada tanggal 18 September 2017, status Gunung Agung dinaikkan dari Waspada menjadi Siaga.
Evakuasi berkumpul di balai olahraga dan bangunan masyarakat lainnya di sekitar Klungkung,
Karangasem, Buleleng dan daerah lainnya.[9] Stasiun pemantau tersebut berlokasi di Tembuku,
Rendang, Kabupaten Karangasem, dimana intensitas dan frekuensi tremor dipantau untuk tanda-
tanda letusan yang akan terjadi.[10]

Pada tanggal 22 September 2017, status Gunung Agung dinaikkan dari Siaga menjadi Awas.
Daerah tersebut mengalami 844 gempa vulkanik pada tanggal 25 September, dan 300 sampai
400 gempa bumi pada tengah hari pada tanggal 26 September. Ahli seismologi telah khawatir
dengan kekuatan dan frekuensi insiden karena telah mengambil lebih sedikit gunung berapi
serupa untuk meletus.[11]

Pada akhir Oktober 2017, status diturunkan dari Awas menjadi Siaga. Aktivitas gunung berapi
tersebut menurun secara signifikan, yang menyebabkan turunnya status darurat tertinggi pada
tanggal 29 Oktober.

Ada letusan freatik kecil yang dilaporkan pada tanggal 21 November 2017, pukul 17.05 WITA
dengan kolom abu vulkanik mencapai 3842 meter (12605 ft) di atas permukaan laut.[12] Ribuan
orang segera melarikan diri dari wilayah tersebut,[13] dan lebih dari 29.000 pengungsi sementara
dilaporkan tinggal di lebih dari 270 lokasi di dekatnya.[14]

Sebuah erupsi magmatik dimulai pada hari Sabtu, 25 November 2017.[15] Letusan dahsyat yang
dihasilkan dilaporkan meningkat sekitar 1,5-4 km di atas kawah puncak, melayang ke arah
selatan dan membersihkan daerah sekitar dengan lapisan gelap abu tipis, yang menyebabkan
beberapa maskapai penerbangan membatalkan penerbangan menuju Australia dan Selandia Baru.
Tingkat bahaya resmi tetap di 3, dengan penduduk disarankan untuk tinggal 7,5 km jauhnya dari
kawah. Sejauh ini letusannya tampak moderat, dengan kemungkinan letusan lebih intensif dalam
waktu dekat. Cahaya jingga kemudian diamati di sekitar kawah di malam hari, menunjukkan
bahwa magma segar memang telah sampai ke permukaan. Pada tanggal 26 November 2017,
pukul 23:37 WITA, sebuah letusan kedua terjadi. Ini adalah letusan kedua yang meletus dalam
waktu kurang dari seminggu. [15]

anggal 10 Maret 2018, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG)
menurunkan status Gunung Agung, Karangasem, dari level IV (Awas) menjadi level III (Siaga).
Perubahan status ini diumumkan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Ignasius Jonan.[16]

Tanggal 11 April 2018 pukul 09.04 Wita, Gunung Agung kembali menyemburkan abu vulkanik
setinggi 500 meter. Kolom asap dan abu berwarna kelabu terlihat condong ke arah barat daya.[17]

Tanggal 28 Juni 2018 pukul 10.30 WITA, Gunung Agung mengeluarkan asap hingga Jumat dini
hari yang menyebabkan hujan abu di bagian barat hingga barat daya dan menyebabkan Bandar
Udara Internasional Ngurah Rai, Bandar Udara Banyuwangi dan Bandar Udara Jember resmi
ditutup sejak Jumat pukul 03.00 WITA hingga 19.00 WITA menyusul hembusan Gunung Agung
yang terus menerus mengeluarkan asap dan abu vulkanik.[18]

Tanggal 2 Juli 2018 pukul 21.04 WITA, Gunung Agung kembali meletus. Kali ini dengan
melontarkan lahar dengan radius 2 km. Erupsi terjadi secara strombolian dengan suara dentuman.
Istilah tipe strombolian diambil dari kata Stromboli, nama gunung api di pulau Stromboli Italia
yang terletak di Laut Thyrene, Mediterania. Ciri-ciri erupsi strombolian yakni adanya erupsi-
erupsi kecil dari gas dan fragmen-fragmen atau serpihan magma. Dalam laporan PVMBG
Kementerian ESDM, erupsi Gunung Agung terjadi pada Senin (2/7/2018) dan Selasa (3/7/2018)
pukul 04.13 Wita. Tinggi kolom abu pada letusan malam tadi teramati ±2.000 m di atas puncak
(±5.142 m di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal
condong ke arah barat.[19][20] Status Gunung Agung saat ini tetap berada di level 3 atau siaga
dengan radius bahaya 4 kilometer dari kawah.

Gambar Gunung Agung

2. Gunung Sinabung

Gunung Sinabung (bahasa Karo: Deleng Sinabung) adalah gunung api di Dataran Tinggi Karo,
Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Sinabung bersama Gunung Sibayak di dekatnya
adalah dua gunung berapi aktif di Sumatera Utara dan menjadi puncak tertinggi ke 2 di provinsi
itu. Ketinggian gunung ini adalah 2.451 meter.

Gunung ini tidak pernah tercatat meletus sejak tahun 1600,[2] tetapi mendadak aktif kembali
dengan meletus pada tahun 2010. Letusan terakhir gunung ini terjadi sejak 19 Febuari 2018 dan
berlangsung hingga kini.

Pada 27 Agustus 2010, gunung ini mengeluarkan asap dan abu vulkanis.[3] Pada tanggal 29
Agustus 2010 dini hari sekitar pukul 00.15 WIB (28 Agustus 2010, 17.15 UTC), gunung
Sinabung mengeluarkan lava.[4][5][6] Status gunung ini dinaikkan menjadi Awas.[3] Dua belas ribu
warga disekitarnya dievakuasi dan ditampung di 8 lokasi.[7][8] Abu Gunung Sinabung cenderung
meluncur dari arah barat daya menuju timur laut.[9] Sebagian Kota Medan juga terselimuti abu
dari Gunung Sinabung.[9]

Bandar Udara Polonia di Kota Medan dilaporkan tidak mengalami gangguan perjalanan udara.[10]
Satu orang dilaporkan meninggal dunia karena gangguan pernapasan ketika mengungsi dari
rumahnya.[1

Pada tanggal 3 September, terjadi 2 letusan. Letusan pertama terjadi sekitar pukul 04.45 WIB
sedangkan letusan kedua terjadi sekitar pukul 18.00 WIB. Letusan pertama menyemburkan debu
vuklkanis setinggi 3 kilometer.[12] Letuasn kedua terjadi bersamaan dengan gempa bumi vulkanis
yang dapat terasa hingga 25 kilometer di sekitar gunung ini.[13]
Pada tanggal 7 September, Gunung Sinabung kembali metelus. Ini merupakan letusan terbesar
sejak gunung ini menjadi aktif pada tanggal 29 Agustus 2010. Suara letusan ini terdengar sampai
jarak 8 kilometer. Debu vulkanis ini tersembur hingga 5.000 meter di udara

Pada tahun 2013, Gunung Sinabung meletus kembali, sampai 18 September 2013, telah terjadi 4
kali letusan. Letusan pertama terjadi ada tanggal 15 September 2013 dini hari, kemudian terjadi
kembali pada sore harinya. Pada 17 September 2013, terjadi 2 letusan pada siang dan sore
hari.[15] Letusan ini melepaskan awan panas dan abu vulkanik.[16][17][16] Tidak ada tanda-tanda
sebelumnya akan peningkatan aktivitas sehingga tidak ada peringatan dini sebelumnya. Hujan
abu mencapai kawasan Sibolangit dan Berastagi. Tidak ada korban jiwa dilaporkan, tetapi ribuan
warga pemukiman sekitar terpaksa mengungsi ke kawasan aman.

Akibat peristiwa ini, status Gunung Sinabung dinaikkan ke level 3 menjadi Siaga. Setelah
aktivitas cukup tinggi selama beberapa hari, pada tanggal 29 September 2013 status diturunkan
menjadi level 2, Waspada. Namun demikian, aktivitas tidak berhenti dan kondisinya fluktuatif.

Memasuki bulan November, terjadi peningkatan aktivitas dengan letusan-letusan yang semakin
menguat, sehingga pada tanggal 3 November 2013 pukul 03.00 status dinaikkan kembali menjadi
Siaga.[18] Pengungsian penduduk di desa-desa sekitar berjarak 5 km dilakukan.

Letusan-letusan terjadi berkali-kali setelah itu, disertai luncuran awan panas sampai 1,5 km. Pada
tanggal 20 November 2013 terjadi enam kali letusan sejak dini hari. Erupsi (letusan) terjadi lagi
empat kali pada tanggal 23 November 2013 semenjak sore, dilanjutkan pada hari berikutnya,
sebanyak lima kali.[18] Terbentuk kolom abu setinggi 8000 m di atas puncak gunung. Akibat
rangkaian letusan ini, Kota Medan yang berjarak 80 km di sebelah timur terkena hujan abu
vulkanik.[19] Pada tanggal 24 November 2013 pukul 10.00 status Gunung Sinabung dinaikkan ke
level tertinggi, level 4 (Awas).[18] Penduduk dari 21 desa dan 2 dusun harus diungsikan.

Status level 4 (Awas) ini terus bertahan hingga memasuki tahun 2014. Guguran lava pijar dan
semburan awan panas masih terus terjadi sampai 3 Januari 2014.[20] Mulai tanggal 4 Januari 2014
terjadi rentetan kegempaan, letusan, dan luncuran awan panas terus-menerus sampai hari
berikutnya. Hal ini memaksa tambahan warga untuk mengungsi, hingga melebihi 20 ribu
orang.[21]

Setelah kondisi ini bertahan terus, pada minggu terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung
mulai stabil dan direncanakan pengungsi yang berasal dari luar radius bahaya (5 km) dapat
dipulangkan.[22] Namun demikian, sehari kemudian 14 orang ditemukan tewas dan 3 orang luka-
luka terkena luncuran awan panas ketika sedang mendatangi Desa Suka Meriah, Kecamatan
Payung[23] yang berada dalam zona bahaya

Pada tanggal 21 Mei 2016 pukul 16:48 WIB, Gunung Sinabung kembali meletus dengan
mengeluarkan awan panas. Awan panas ini menyelimuti Desa Gamber, Kecamatan Simpang
Empat, Kabupaten Karo. Akibatnya 7 orang meninggal dunia, dan 2 lainnya mengalami luka
bakar. Para korban diketahui tengah berada di zona merah di kawasan Desa Gamber yang
beradius 4 Km dari Gunung Sinabung[24]. Sampai dengan 22 Mei 2016, telah terjadi 4 kali
letusan. Menurut petugas pos gunung Sinabung, luncuran awan panas akibat erupsi pertama kali
terjadi sekira pukul 14.30 WIB.[

Pada tanggal 19 Februari 2018 pukul 08:53 WIB, Gunung Sinabung kembali meletus dengan
mengeluarkan abu dan awan panas yang menyelimuti bangunan di sekitarnya. Dengan selamat
tidak ada korban jiwa atau luka parah.[26]

6 April 2018 pukul 17:30 WIB , terjadinya gempa pada Gunung Sinabung dengan memuntahkan
awan panas di area gunung . warga selamat, tak ada korban jiwa dan luka parah.

Gambar Gunung Sinabung

3. Gunung Gamalama

Gunung Gamalama adalah sebuah gunung stratovolcano kerucut yang merupakan keseluruhan
Pulau Ternate, Kepulauan Maluku, Indonesia. Pulau ini ada di pesisir barat Pulau Halmahera
yang ada di bagian utara Kepulauan Maluku. Selama berabad-abad, Ternate adalah pusat benteng
Portugis dan VOC Belanda untuk perdagangan rempah-rempah, yang telah mencatat aktivitas
volkanik Gamalama.

Gunung Gamalama mempunyai ketinggian 1.715 meter di atas permukaan laut. Gunung
Gamalama ditutupi Hutan Montane pada ketinggian 1.200 - 1.500 m dan Hutan Ericaceous pada
ketinggian di atas 1.500 m.

Nama Gunung Gamalama diambil dari kata Kie Gam Lamo ("negeri yang besar").[2] Gamalama
sudah lebih dari 60 kali meletus sejak letusannya pertama kali tercatat pada tahun 1538. Erupsi
yang menimbulkan korban jiwa setidaknya sudah empat kali terjadi, dengan korban terbanyak
jatuh pada tahun 1775. Kala itu, erupsi Gunung Gamalama melenyapkan Desa Soela Takomi
bersama 141 penduduknya. Pasca letusan, di lokasi desa yang berjarak 18 kilometer dari pusat
Kota Ternate itu muncul dua danau, yaitu Danau Tolire Jaha dan Tolire Kecil.

Erupsi terakhir dari gunung Gamalama terjadi pada tahun 2003. Letusan tersebut tidak besar dan
tidak menimbulkan korban jiwa, namun selama lebih dari satu pekan, letusan tersebut
menyemburkan abu vulkanik yang menutupi langit Ternate. Bandar Udara Sultan Babullah yang
merupakan bandar udara utama dan pintu masuk ke Maluku Utara harus ditutup dan sebagian
masyarakat mengungsi ke Pulau Tidore yang jaraknya terdekat dari Ternate.

Setelah letusan tahun 2003, Gamalama tidak menunjukkan gejala aktif. Namun mulai sejak tahun
2009, Gamalama kembali menunjukkan aktivitas sehingga status "Waspada" diberlakukan pada
gunung tersebut karena aktivitas gunung yang meningkat. Status "Waspada" merupakan level
ketiga dalam kewaspadaan gunung berapi aktif. Pada hari Senin, 5 Desember 2011 terjadi
semburan abu vulkanik dari Gunung Gamalama pada pukul 00.08 yang menunjukkan bahwa
Gunung Gamalama masih aktif. Gunung Gamalama meletus dan mendorong ribuan warga
mengungsi karena semburan abu dan partikel debu setinggi 2.000 meter ke udara yang
memuntahkannya ke sebuah kota dekat gunung tersebut.[3] Hal ini menyebabkan status
kewaspadaan Gamalama naik menjadi level ketiga, "Siaga".

Pada hari Minggu, 16 September 2012, gunung ini kembali meletus, dari waspada level 2
menjadi siaga level 3 (Kompas, 17 September 2012).

Gambar Gunung Gamalama

4. Gunung Batur
Gunung Batur merupakan sebuah gunung berapi aktif di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali,
Indonesia.

erletak di barat laut Gunung Agung, gunung memiliki kaldera berukuran 13,8 x 10 km dan
merupakan salah satu yang terbesar di dunia (van Bemmelen, 1949). Pematang kaldera tingginya
berkisar antara 1267 m - 2152 m (puncak G. Abang). Di dalam kaldera I terbentuk kaldera II
yang berbentuk melingkar dengan garis tengah lebih kurang 7 km. Dasar kaldera II terletak
antara 120 – 300 m lebih rendah dari Undak Kintamani (dasar Kaldera I). Di dalam kaldera
tersebut terdapat danau yang berbentuk bulan sabit yang menempati bagian tenggara yang
panjangnya sekitar 7,5 km, lebar maksimum 2,5 km, kelilingnya sekitar 22 km dan luasnya
sekitar 16 km2 yang yang dinamakan Danau Batur. Kaldera Gunung Batur diperkirakan
terbentuk akibat dua letusan besar, 29.300 dan 20.150 tahun yang lalu [1].

Gunung Batur terdiri dari tiga kerucut gunung api dengan masing-masing kawahnya, Batur I,
Batur II dan Batur III. Gunung Batur telah berkali-kali meletus. Kegiatan letusan G. Batur yang
tercatat dalam sejarah dimulai sejak tahun 1804 dan letusan terakhir terjadi tahun 2000. Sejak
tahun 1804 hingga 2005, Gunung Batur telah meletus sebanyak 26 kali[2] dan paling dahsyat
terjadi tanggal 2 Agustus dan berakhir 21 September 1926. Pura ini masih terkenal sebagai pura
yang paling indah di Bali. Pura ini dipersembahkan untuk menghormati "Dewi Danu" yakni dewi
penguasa air, seperti halnya pura yang terdapat di Danau Bratan juga dipersembahkan untuk
memuja "Dewi Danu".

Gambar Gunung Batur

5. Gunung Merapi

Gunung Merapi (ketinggian puncak 2.930 mdpl, per 2010) (Hanacaraka: gunung merapi)
adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif
di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten
Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi
tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi sejak tahun 2004.

Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi setiap dua
sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548,
gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali.[butuh rujukan] Kota Magelang dan Kota Yogyakarta
adalah kota besar terdekat, berjarak kurang dari 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih
terdapat permukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari
puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas
gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes).[1]

Nama "Merapi" berasal dari penyingkatan "meru" (= gunung) dan "api", sehingga nama
"merapi" sebenarnya sudah berarti "gunung api".

Gunung ini adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan
dari Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, dan Gunung Merapi. Gunung ini terbentuk karena
aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia
menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak
yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik yang tinggi. Puncak ini
tumbuh di sisi barat daya puncak Batulawang yang lebih tua.[2]

i bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali,
ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah Jawa Tengah dan DI
Yogyakarta sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah dikeluarkan oleh
kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-
tempat yang telah disediakan.

Pada tanggal 15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada 4 Juni, dilaporkan bahwa
aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas. Kepala BPPTK Daerah Istimewa
Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan bahwa sekitar 2-4 Juni volume lava di kubah Merapi
sudah mencapai 4 juta meter kubik - artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah
Merapi sehingga tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kubah Merapi.

Tanggal 1 Juni, Hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang lebat, tiga
hari belakangan ini terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Muntilan
sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi, paling merasakan hujan abu ini.[10]

Tanggal 8 Juni, Gunung Merapi pada pukul 09.03 WIB meletus dengan semburan awan panas
yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung Merapi panik dan berusaha melarikan
diri ke tempat aman. Hari ini tercatat dua letusan Merapi, letusan kedua terjadi sekitar pukul
09.40 WIB. Semburan awan panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu Kali Gendol (lereng
selatan) dan menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara Kaliadem di wilayah Kabupaten
Sleman.[11]

Peningkatan status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20 September 2010
direkomendasi oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK)
Yogyakarta. Setelah sekitar satu bulan, pada tanggal 21 Oktober status berubah menjadi "siaga"
sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena
aktivitas yang semakin meningkat, ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan
gempa vulkanik, sejak pukul 06.00 WIB tangggal 25 Oktober BPPTK Yogyakarta
merekomendasi peningkatan status Gunung Merapi menjadi "awas" dan semua penghuni
wilayah dalam radius 10 km dari puncak harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.

Erupsi pertama terjadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober. Sedikitnya terjadi hingga
tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan
disertai keluarnya awan panas yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan
Cangkringan, Sleman.[12] dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang
yang tewas karena gangguan pernapasan.

Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober, Gunung
Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas
pada pukul 19.54 WIB.[13] Selanjutnya mulai teramati titik api diam di puncak pada tanggal 1
November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.

Namun, berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi pembentukan kubah lava baru,
malah yang terjadi adalah peningkatan aktivitas semburan lava dan awan panas sejak 3
November. Erupsi eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November
2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke berbagai arah di
kaki Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga siang hari terjadi letusan yang tidak henti-
hentinya hingga malam hari dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010.
Menjelang tengah malam, radius bahaya untuk semua tempat diperbesar menjadi 20 km dari
puncak. Rangkaian letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak
sekitar 27 km dari puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km).
Hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan hujan abu vulkanik
pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya, debu vulkanik diketahui
telah mencapai Tasikmalaya, Bandung,[14] dan Bogor.[15]

Bahaya sekunder berupa aliran lahar dingin juga mengancam kawasan lebih rendah setelah pada
tanggal 4 November terjadi hujan deras di sekitar puncak Merapi. Pada tanggal 5 November Kali
Code di kawasan Kota Yogyakarta dinyatakan berstatus "awas" (red alert).[16][butuh rujukan]

Letusan kuat 5 November diikuti oleh aktivitas tinggi selama sekitar seminggu, sebelum
kemudian terjadi sedikit penurunan aktivitas, namun status keamanan tetap "Awas". Pada tanggal
15 November 2010 batas radius bahaya untuk Kabupaten Magelang dikurangi menjadi 15 km
dan untuk dua kabupaten Jawa Tengah lainnya menjadi 10 km. Hanya bagi Kab. Sleman yang
masih tetap diberlakukan radius bahaya 20 km.[17]

ktivitas vulkanik kembali ditunjukan gunung ini pada Jumat, 11 Mei 2018, pukul 07.30 WIB.
Meski berstatus normal, Gunung Merapi mengeluarkan suara gemuruh disertai asap
membumbung tinggi[18]. Letusan yang memunculkan asap setinggi hingga 5.500 meter ke udara
tersebut diketahui merupakan letusan freatik. Saat terjadi letusan, sebagian pendaki masih berada
di areal Pasar Bubrah. Tak ada laporan pendaki yang meninggal dunia maupun luka-luka.
Kawasan Pasar Bubrah adalah tempat para pendaki Merapi biasa menginap dan memasang
tenda. Hujan abu tipis jatuh di wilayah lereng barat.

Aktifitas Merapi terus meningkat hingga pada tanggal 21 Mei 2018, pukul 23.00 WIB status
Merapi dinaikkan dari normal aktif menjadi waspada[19]. Pada Kamis, 24 Mei 2018 Merapi
kembali erupsi dengan memuntahkan asap setinggi 6.000 meter. Hujan abu mengguyur wilayah
barat gunung yaitu Kabupaten Magelang bahkan sampi ke Kabupaten Kebumen yang berjarak
lebih dari 40 kilometer[20].

Gunung Merapi kembali meletus Jumat, 1 Juni 2018 pada pukul 08.20 WIB dengan durasi 2
menit. Menurut BPPTKG, kolom letusan gunung Merapi sekitar 6.000 meter dari puncak, atau
sekitar 8.968 meter di atas permukaan laut arah barat laut dan teramati dari Pos Pengamatan
Jrakah. Letusan tersebut menyebabkan hujan abu di Pos Pengamatan Gunung Merapi Jrakah dan
Selo. Bahkan laporan hujan abu hingga ke Salatiga dan Kabupaten Semarang[21]. Masyarakat
diimbau tetap tenang dan waspada atas hujan abu dan selalu mengenakan alat pelindung diri
(APD), seperti kacamata, jaket, dan masker saat berada di luar rumah.[

Gambar : Gunung Merapi

Anda mungkin juga menyukai