Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pabrik merupakan rangkaian beberapa unit proses atau operasi yang
terhubungkan secara sistematik dan rasional. Selama beroperasi, kadang-kadang
pabrik mengalami gangguan yang dapat menurunkan kinerja pabrik, bahkan bisa
mengakibatkan pabrik berhenti beroperasi. Pengoperasian pabrik memerlukan
pengawasan atau pemantauan yang terus menerus dan intervensi dari luar, agar
tujuan operasi pabrik tercapai. Tujuan tersebut dapat terlaksana melalui suatu
rangkaian peralatan (alat ukur, pengendali, dan komputer) dan intervensi manusia
(manajer pabrik, process engineer, operator pabrik) yang secara bersama
membentuk sistem pengendalian (control system) (Stephanopoulos, 1984).
Secara umum tujuan pemasangan sistem pengendali pada pabrik
(Stephanopoulos, 1984) adalah sebagai berikut:
1. Menjaga keamanan dan keselamatan kerja
Keamanan dalam operasi suatu pabrik kimia merupakan kebutuhan primer
untuk orang-orang yang bekerja di pabrik dan untuk kelangsungan perusahaan.
Untuk menjaga terjaminnya keamanan, berbagai kondisi operasi pabrik seperti
tekanan operasi, suhu, konsentrasi bahan kimia, dan lain sebagainya harus dijaga
tetap pada batas-batas tertentu yang diizinkan.
2. Memenuhi spesifikasi produk yang diinginkan
Pabrik harus menghasilkan produk dengan jumlah tertentu (sesuai
kapasitas desain) dan dengan kualitas tertentu sesuai spesifikasi. Untuk itu
dibutuhkan suatu sistem pengendali untuk menjaga tingkat produksi dan kualitas
produk yang diinginkan.
3. Menjaga peralatan proses dapat berfungsi sesuai yang diinginkan dalam
desain
Peralatan-peralatan yang digunakan dalam operasi proses produksi
memiliki kendala-kendala operasional tertentu yang harus dipenuhi. Pada pompa
harus dipertahankan NPSH, pada kolom distilasi harus dijaga agar tidak meluap,
suhu dan tekanan pada reaktor harus dijaga agar tetap beroperasi aman dan

1
konversi menjadi produk optimal, isi tangki tidak boleh meluap ataupun kering,
serta masih banyak kendala-kendala lain yang harus diperhatikan.
4. Menjaga agar operasi pabrik tetap ekonomis
Operasi pabrik bertujuan menghasilkan produk dari bahan baku yang
memberi keuntungan yang maksimum, sehingga pabrik harus dijalankan pada
kondisi yang menyebabkan biaya operasi menjadi minimum dan laba yang
diperoleh menjadi maksimum.
5. Memenuhi persyaratan lingkungan
Operasi pabrik harus memenuhi berbagai peraturan lingkungan yang
memberikan syarat-syarat tertentu bagi berbagai buangan pabrik kimia.

1.2 Tujuan Percobaan


1. Memahami sistem kerja pengendalian proses.
2. Mengoperasikan sistem pengendalian proses dengan menggunakan
metode-metode yang telah dikenal dalam literatur.
3. Menganalisis pengaruh perubahan parameter-parameter pengandali dan
berbagai gangguan (disturbance) terhadap kinerja sistem kendali.
4. Bekerja secara tim dan professional.

1.3 Landasan Teori


1.3.1 Sistem Pengendalian
Sistem pengendali diterapkan untuk memenuhi 3 kelompok kebutuhan
(Stephanopoulos, 1984), yaitu:
1. Menekan pengaruh gangguan eksternal.
2. Memastikan kestabilan suatu proses.
3. Optimasi kinerja suatu proses.
Variabel yang terlibat dalam proses operasi pabrik dibagi menjadi dua,
yaitu variabel masukan (input) dan variabel keluaran (output). Variabel input
adalah variabel yang menandai efek lingkungan pada proses kimia yang dituju.
Variabel ini juga diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu manipulated
(adjustable) variable, jika harga variabel tersebut dapat diatur dengan bebas oleh
operator atau mekanisme pengendalian dan disturbance variable, jika harga tidak

2
dapat diatur oleh operator atau sistem pengendali, tetapi merupakan gangguan
(Stephanopoulos, 1984).
Sedangkan variabel output adalah variabel yang menandakan efek proses
kimia terhadap lingkungan yang diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu
measured output variables, jika variabel dapat diketahui dengan pengukuran
langsung dan unmeasured output variables, jika variabel tidak dapat diketahui
dengan pengukuran langsung (Stephanopoulos, 1984).

Gambar 1.1 Variabel Input dan Output Disekeliling Proses Kimia


(Stephanopoulos, 1984)

1.3.2 Desain Elemen Pengendali Proses


Desain elemen pengendalian harus sesuai dengan kebutuhan pengendalian
yang diinginkan dan bekerja delam pengendalian proses pabrik. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu diperhatikan langkah-langkah dalam mendesain sistem
pengendalian Dalam usaha merancang suatu sistem pengendali yang dapat
memenuhi kebutuhan suatu proses kimia terdapat beberapa unsur penting dan
pertimbangan-pertimbangan dasar yang harus diperhatikan. Unsur-unsur tersebut
(Stephanopoulos, 1984) adalah:
1. Pendefinisian/penetapan tujuan dan sasaran pengendalian (control
objective definition).
2. Penentuan variabel yang harus diukur (measurement selection).
3. Penentuan variabel yang akan dimanipulasi (manipulated variables
selection).
4. Pemilihan konfigurasi pengendalian (control configuration selection).

3
5. Perancangan sistem pengendali (controller design).

1.3.3 Pendefinisian Tujuan Pengendalian


Dalam mendefinisikan tujuan pengendalian perlu diperhatikan beberapa
hal penting yang merupakan pronsip dasar peerapan pengendalian proses pada
pabrik. Prinsip utama penerapan pengendalian proses pada pabrik adalah untuk
memastikan kinerja suatu proses kimia, memastikan kestabilan suatu proses
kimia, dan menekan gangguan eksternal. Prinsip dasar ini harus tercakup dalam
pendefinisian tujuan pengendalian baik satu atau kombinasi dari ketiga hal
tersebut (Stephanopoulos, 1984).
Pada awal perancangan, sasaran pengendalian (control objectives)
didefinisikan secara kualitatif, selanjutnya tujuan ini dikuantifikasi dalam bentuk
variabel output. Sebagai contoh untuk sistem reaktor CSTR salah satu pemakaian
pengendali dilakukan dengan tujuan pengendalian (control objectives). Secara
kualitatif, pengendalian proses menjamin kestabilan suhu di dalam reaktor
(diasumsikan sama dengan suhu keluaran reaktor) pada keadaan steady state yang
tidak stabil. Secara kuantitatif pengendalian proses menjaga agar suhu (variabel
output) tidak berfluktuasi lebih dari 5% harga nominalnya (Stephanopoulos,
1984).

1.3.4 Pemilihan Variabel yang Harus Diukur


Beberapa pengukuran variabel harus dilakukan agar kinerja operasi pabrik
dapat dimonitor. Terdapat beberapa jenis pengukuran variabel yang dapat
diterapkan untuk pengendalian proses (Stephanopoulos, 1984), yaitu sebagai
berikut.
1. Primary Measurement
Bila memungkinkan sebaiknya pada pengendalian proses harga variabel
yang menjadi objektif pengendalian harus diukur/dimonitor. Cara pengukuran
variabel proses yang menjadi control objective pengendalian secara langsung
disebut primary measurement. Sebagai contoh pada sistem mixer tangki
berpengaduk, control objective adalah mempertahankan T dan h cairan dalam
tangki pada harga T = Tsp (sp = set point) dan h=hsp. Karena itu, usaha pertama
yang harus dilakukan adalah memasang alat pengukur untuk dapat mengamati

4
nilai T dan h cairan dalam tangki secara langsung, yaitu dengan menggunakan
termokopel untuk pengukuran T dan differential pressure cell untuk mengukur h.

2. Secondary Measurement
Pada kasus-kasus tertentu, variabel yang merupakan control objective
tidak dapat diukur secara langsung (unmeasured output). Pada kasus-kasus
dengan control objective yang tidak dapat diukur langsung tersebut, harus diukur
variabel lain yang tergolong measured variable dan dapat dikorelasikan melalui
suatu hubungan matematis tertentu dengan unmeasured output yang ingin
dikendalikan.

3. Pengukuran External Disturbance


Pengukuran disturbance sebelum variabel tersebut masuk ke dalam proses
dapat sangat menguntungkan, karena hasil pengukuran tersebut dapat memberikan
informasi mengenai kelakuan proses yang akan terjadi. Informasi tersebut dapat
digunakan untuk menentukan aksi pengendalian yang harus diambil apabila
menggunakan sistem pengendalian feedforward.

1.3.5 Pemilihan Variabel yang Dimanipulasi


Dalam proses kimia, umumnya terdapat beberapa variabel input yang
dapat diatur dengan bebas. Untuk memilih variabel mana yang akan dimanipulasi,
harus dipertimbangkan efek dari tindakan yang diambil terhadap kualitas
pengendalian. Sebagai contoh pengendalian ketingguan cairan dalam reaktor,
tangki, ataupun kolom distilasi dapat dilakukan dengan mengatur laju alir masuk
dan laju alir keluar cairan.

1.3.6 Pemilihan Konfigurasi Pengendalian


Konfigurasi pengendalian merupakan suatu struktur informasi yang
digunakan untuk mnghubungkan variabel pengukuran terhadap variabel yang
akan dimanipulasi. Sebagai contoh pengendalian suhu dan ketinggian cairan pada
reaktor, kolom distilasi, mixer, dan alat lainnya memiliki beberapa alternatif
konfigurasi sistem pengendali. Perbadaan-perbedaan yang dapat diamati pada
sistem pengendali suhu dan sistem pengendali ketinggian cairan terjadi karena
beberapa hal. Pertama, terdapat perbedaan variabel yang diukur, tetapi hasil

5
pengukuran digunakan untuk memanipulasi variabel yang sama. Kedua, variabel
yang diukur sama, tetapi hasil pengukuran tersebut digunakan untuk
memanipulasi variabel yang berbeda.
Ada tiga tipe konfigurasi pengendalian (Stephanopoulos, 1984), antara
lain:
1. Feedback Control Configuration
Konfigurasi ini mengukur secara langsung variabel yang dikendalikan
untuk mengatur harga variabel yang dimanipulasi. Tujuan pengendalian ini adalah
mempertahankan variabel yang dikendalikan pada level yang diinginkan (set
point). Sebagian instrumentasi pada proses pembuatan formaldehida dan hidrogen
peroksida berbahan baku metanol dengan reaksi enzimatik ini menggunakan
konfigurasi pengendalian feedback, mulai dari pengendalian suhu, pengendalian
ketinggian, pengendalian perbedaan tekanan, dan pengendalian tekanan.

Gambar 1.2 Struktur Umum Konfigurasi Feedback Control (Stephanopaoulos,


1984)

2. Feedforward Control Configuration


Konfigurasi sistem pengendali feedforward memanfaatkan pengukuran
langsung pada disturbance untuk mengatur harga variabel yang akan
dimanipulasi. Tujuan pengendalian adalah mempertahankan variabel output yang
dipengendalian pada nilai yang diharapkan.

6
Gambar 1.3 Stuktur Umum Konfigurasi Feedforward Control (Stephanopaoulos,
1984)
3. Inferential Control Configuration
Konfigurasi inferential control menggunakan secondary measurement
karena variabel yang dipengendalian tidak dapat diukur untuk menentukan nilai
variabel manipulasi. Tujuan pengendalian adalah menjaga controlled variable
yang tidak dapat diukur pada level yang diinginkan. Penggunaan estimator pada
nilai measured output, bersama dengan neraca massa dan energi yang
mempengaruhi proses, untuk menghitung secara matematis nilai unmeasured
controlled variables. Estimasi ini digunakan untuk mengatur nilai variabel
manipulasi.

Gambar 1.4 Struktur umum konfigurasi Inferential Control (Stephanopaoulos,


1984)

7
1.3.7 Elemen-Elemen Sistem Pengendali Proses
Dalam analisa sistem pengendalian selalu dimulai dengan menampilkan
diagram kotak sistem. Didalam diagram kotak sistem pengendalian otomatis, akan
selalu ada komponen-komponen pokok seperti elemen proses, elemen pengukuran
(sensing element dan transmitter), elemen controller (control unit), dan final
control element (atau control valve) (Baskoro, 2014). Diagram kotak sistem
pengendalian otomatis adalah sebagai berikut.

Gambar 1.5 Diagram Kotak Sistem Pengendalian Otomatis (Baskoro, 2014)


Beberapa keterangan mengenai elemen-elemen sistem pengendalian proses
otomatis dari diagram kotak pada gambar 1.5 (Baskoro, 2014) adalah sebagai
berikut.
1. Proses (Process)
Merupakan tatanan peralatan yang mempunyai suatu fungsi tertentu. Input
proses dapat bermacam- macam, yang pasti merupakan besaran yang dimanipulasi
oleh final control element atau control valve agar variabel yang dimaksud sama
dengan set point. Input proses ini juga disebut variabel yang dimanipulasi.

2. Variabel yang dimanipulasi


Merupakan input dari suatu proses yang dapat dimanipulasi atau diubah-
ubah besarnya agar process variable atau variabel yang dikendalikan besarnya
sama dengan set point.

3. Gangguan
Merupakan besaran lain, selain variabel yang dimanipulasi, yang dapat
menyebabkan berubahnya variabel yang dikendalikan. Besaran ini biasa disebut
load.

8
4. Elemen Pengukur
Merupakan bagian paling ujung suatu sistem pengukuran (measuring
system). Contoh elemen pengukur yang banyak dipakai misalnya termocouple
atau oriface plate. Bagian ini juga biasa disebut sensor atau primary element.

5. Transmitter
Merupakan alat yang berfungsi untuk membaca sinyal sensing element,
dan mengubahnya menjadi sinyal yang dapat dimengerti oleh pengendali.

6. Transducer
Merupakan unit pengalih sinyal. Kata transmitter, seringkali dirancukan
dengan kata transduser. Keduanya memang mempunyai fungsi yang serupa,
walaupun tidak sama benar. Transducer lebih bersifat umum, sedangkan
transmitter lebih khusus pada pemakaian dalam sistem pengukuran.

7. Measured Variabel
Measured variable adalah sinyal yang keluar dari transmitter. Besaran ini
merupakan cerminan besarnya sinyal sistem pengukuran.

8. Set Point
Merupakan besar process variable yang dikehendaki. Sebuah kendali akan
selalu berusaha menyamakan variabel yang dikendalikan dengan set point.

9. Error
Merupakan selisih antara set point dikurangi variabel yang dimaksud.
Error bisa negatif, bisa juga positif. Sebaliknya, bila set point lebih kecil dari
variabel yang dimaksud, error menjadi negatif.

10. Pengendali
Merupakan elemen yang mengerjakan tiga dari empat tahap langkah
pengendalian yang membandingkan set point dengan measurement variable,
menghitung berapa banyak koreksi yang perlu dilakukan, dan mengeluarkan
sinyal koreksi sesuai dengan hasil perhitungan tadi. Pengendali sepenuhnya
menggantikan peran manual dalam mengendalikan sebuah proses.

9
11. Unit Pengendali
Merupakan bagian dari pengendali yang menghitung besarnya koreksi
yang diperlukan. Input control unit adalah error, dan keluarannya adalah sinyal
yang keluar dari pengendali (manipulated variable). Unit pengendali memiliki
fungsi transfer yang tergantung pada jenis pengendali. Output unit pengendali
adalah hasil penyelesaian matematik fungsi transfer dengan memasukkan nilai
error sebagai input.

12. Final control element


Final control element adalah bagian akhir dari instrumentasi sistem
pengendalian. Bagian ini berfungsi untuk mengubah measurement variable
dengan cara memanipulasi besarnya manipulated variable, berdasarkan perintah
controller.

1.3.8 Pengelompokan Sistem Pengendalian


Menurut Fahrina (2013)istem pengendalian dapat di kelompokkan menjadi
tiga bagian, yaitu:
1. Sistem Pengendalian Manual dan Otomatis
Sistem pengendalian digolongkan kedalam dua kategori umum yaitu:
sistem manual dan otomatis. Perbedaan ini ditentukan oleh tindakan pengontrolan,
dimana besaran ini bertanggungjawab menggerakkan sistem untuk menghasilkan
outputnya. Pengendalian secara manual adalah pengendalian yang dilakukan oleh
manusia yang bertindak sebagai operator sedangkan pengontrolan secara otomatis
adalah pengendalian yang dilakukan oleh mesin atau peralatan yang bekerja
secara otomatis dan operasinya dibawah pengwasan manusia. Pengendalian secara
manual banyak ditemukan dalam kehidupan sehari hari seperti penyetelan radio
dan televisi sedangkan secara otomatis didalam proses industri, pengendalian
pesawat dan pembangkit tenaga listrik.

2. Sistem Pengendalian Loop Terbuka dan Loop Tertutup


Sistem loop terbuka (open loop) adalah sistem pengendalian yang
keluarannya tidak berpengaruh pada aksi pengendalian. Jadi pada sistem
pengendalian loop terbuka, keluaran tidak diukur atau diumpan balikkan untuk

10
dibandingkan dengan masukan. Gambar 1.6 menunjukkan hubungan masukan
keluaran untuk sistem loop terbuka.

Gambar 1.6 Sistem Pengendalian Loop Terbuka (Fahrina, 2012)


Ada dua keistimewaan dalam sistem loop terbuka ini adalah:
a. Ketelitian dari sistem loop terbuka tergantung pada kalibrasinya.
b. Sistem ini lebih stabil.
Sistem pengendalian loop tertutup adalah sistem pengendalian yang sinyal
keluarannya mempunyai pengaruh langsung pada aksi pengendalian. Jadi sistem
pengendalian tertutup adalah sistem pengendalian berumpan balik (feedback
control). Sistem pengendalian loop tertutup menggunakan aksi umpan balik untuk
memperkecil kesalahan sistem.

Gambar 1.7 Sistem Pengendalian Loop Tertutup (Fahrina, 2012)


Adapun keistimewaan dalam sistem pengendalian loop tertutup adalah:
a. Meningkatkan ketelitian dengan kemampuan untuk menghasilkan kembali
masukannya.
b. Mengurangi akibat – akibat ketidaklinearan.
c. Memperbesar band width (jangkauan frekuensi).

3. Sistem Pengendalian Bertingkat (Cascade Control System)


Sistem pengendalian bertingkat adalah sistem pengendalian yang memiliki
dua besaran pengukuran yang berada dalam satu pengendalian loop. Tujuan dari
sistem pengendalian bertingkat ini adalah untuk mendapatkan hasil pengaturan
yang tepat dengan mengurangi efek penundaan waktu yang terjadi. Hal ini
dilakukan dengan jalan menggunakan out put dari pengendali pertama (primary

11
controller), sebagai besaran untuk mengatur set point bagi pengendali kedua
(secondary controller).

Gambar 1.8 Sistem Pengendalian Bertingkat (Fahrina, 2012)

Perubahan perubahan dalam keadaan beroperasi membutuhkan pengaturan


pada panas yang menjadi input, jika diperlukan untuk mendeteksi suatu perubahan
yang cepat sebuah suhue kontrol dipasangkan pada titik yang paling optimum dari
tower. Output dari suhu controller digunakan digunakan untuk mengatur set point
dari steam flow controller. Jadi kecepatan aliran uap berubah dengan perubahan
suhu dari tower. Jadi dalam hal ini suhu kontrol merupakan primary controller
dan steam flow merupakan secondary controller.

1.3.9 Pengendalian pada Industri


Pengendalian otomatis pada industri dapat diklasifikasikan sesuai dengan
aksi pengendalian dan faktor keamanannya. Aksi pengendalian tersebut sangat
dipengaruhi oleh karakteristik proses seperti kepekaan, akurasi, respon, dan
stabilitasnya bila terjadi perubahan beban. Adapun beberapa cara pengendalian
industri (Fahrina, 2012) yaitu sebagai berikut.
1. Proportional Control (P Control)
Dalam aksi pengontrolan proporsional, alat pengoreksi akhir memiliki
suatu daerah posisi yang kontinu.Posisi tepatnya sebanding dengan besarnya
kesalahan, dengan kata lain, output dari controller sebanding dengan inputnya.
Pengendali ini memiliki output untuk aktuasi (actuating output) yang proporsional
terhadap error:
( ) ( )

12
dengan:
m(t) = sinyal aktuasi
ε(t) = error
Kc = proportional gain dari pengendali
ms = sinyal bias (sinyal aktuasi ketika error e(t) = 0)
Efek dari pengendalian proporsional adalah menghilangkan osilasi yang
timbul di sekitar set point bila proportional band-nya diset (tuning)pada nilai atau
keadaan yang tepat. Efek lain dari pengendalian ini adalah adanya offset pada
hasil pengendaliannya. Offset ini terjadi akibat harga setpoint tidak dapat dicapai
sesudah suatu perubahan beban terjadi. Besarnya offset ini tergantung pada harga
proportional band-nya. Semakin besar harga proportional band, maka akan
semakin besar offset. Sebaliknya, semakin kecil harga proportional band, maka
semakin besar kemungkinan osilasi terjadi (peredaman osilasi kecil).

2. Proportional Integral Control (PI Control)


Dalam aksi pengendalian proporsional plus integral, posisi alat pengoreksi
akhir (control valve) ditentukan oleh dua hal, yaitu besarnya sinyal kesalahan
yang merupakan bagian proporsional dan integral waktu dari sinyal kesalahan,
artinya besarnya kesalahan dikalikan dengan waktu dimana kesalahan tersebut
terjadi, ini adalah bagian integral. Pengendalian tipe ini juga dikenal sebagai
Pengendali proportional-plus-reset. Hubungan antara sinyal aktuasi dengan error
adalah sebagai berikut:

( ) ( ) ∫ ( )

Dengan adalah konstanta integral time atau reset time dalam satuan menit.
Karakteristik penting pada controller jenis ini adalah konstanta waktu
integral.Konstanta ini merupakan parameter yang dapat diatur dan kadang-kadang
mengacusebagai minutes per repeat.
Jenis PI controller ini dalam aplikasinya pada industri dapat menangani
hampir setiap situasi pengendalian proses. Perubahan beban yang besar dan
variasi yang besar pada setpoint dapat dipengendalian dengan baik tanpa osilasi

13
yang berkepanjangan, tanpa offsetpermanen dan cepat ke keadaan seharusnya
setelah gangguan terjadi.

3. Proportional Integral Derivative Control (PID Control)


Dalam aksi pengendalian proportional plus integral plus derivative (PID),
posisi alat pengoreksi akhir (control valve) ditentukan oleh dua hal. Pertama,
besarnya sinyal kesalahan, ini adalah bagian proporsional. Integral waktu dari
sinyal kesalahan, artinya besarnya kesalahan dikalikan dengan waktu dimana
kesalahan tersebut terjadi, ini adalah bagian integral. Kedua, laju perubahan
kesalahan terhadap waktu. Perubahan kesalahan yang cepat menyebabkan suatu
aksi korektif yang lebih besar dari perubahan kesalahan yang merupakan bagian
derivative.
Pengendali jenis ini dikenal juga sebagai Pengendali proportional-plus-
reset-plus-rate. Output dari Pengendali ini dinyatakan sebagai berikut.

( ) ( ) ∫ ( )

dengan adalah konstanta derivative time dalam satuan menit. Karakteristik


tambahan dengan adanya derivative control dikenal sebagai rate time (konstanta

waktu derivative). Dengan adanya bagian derivative , Pengendali PID

mengantisipasi apa yang akanterjadi pada error pada masa sesaat yang akan
datang dan kemudian melakukan aksi pengendalian yang sebanding dengan
kecepatan perubahan error saat ini. Berdasarkansifat ini, aksi pengendalian
derivatif kadang-kadang mengacu sebagai anticipatory control. Walaupun
demikian, aksi pengendalian derivatif memiliki beberapa kelemahan, seperti
berikut ini :
a. Untuk respon dengan error konstan dan tidak nol, Pengendali ini

tidakmemberikan aksi pengendalian karena

b. Untuk respon yang bergejolak, dengan error yang hampir nol, Pengendali
inidapat memperoleh nilai derivatif yang besar, yang menghasilkan aksi
control yang besar, meskipun seharusnya tidak perlu.
Fungsi transfer untuk Pengendali PID adalah sebagai berikut:

14
( ) ( )

Efek dari PID controller ini adalah bila pada proses kesalahannya sangat
besar, maka controller PI akan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai
set point-nya, tetapi untuk controller PID akan mempercepat proses pencapaian
set point tersebut. Rate time akan berpengaruh terhadap respon controller, rate
time yang terlalu besar mempercepat laju pencapaian set point tetapi akan
menyebabkan terjadinya osilasi di sekitar set point

15
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN

Percobaan pengendalian level terdiri atas tiga percobaan yang dapat


dilakukan secara seri atau berurut, yaitu proses start-up, regulatory, dan servo.
Sebelum memulai percobaan, prosedur start-up peralatandijalankan.
1. Atur MCB unit compressor utama pada posisi ON.
2. Buka katup udara 50%, dari compressor ke unit Control Trainer.
3. Hubungkan kabel power ke sumber arus listrik.
4. Naikkan saklar MCB pada Main Power. Tunggu beberapa saat (5 menit)
hingga putaran kipas pada unit pengendali konstan.
5. Naikkan MCB DC Power.
6. Naikkan MCB instrument power, tunggu beberapa saat hingga tampilan
UMC800 menampilkan loop trend dari proses yang sedangberlangsung.
7. Pastikan katup V3 dan V4 dalam posisi tertutup penuh, kemudian buka katup
V4 (putaran 180°).
8. Naikkan MCB pump, pompa akanmengalirkan air dari tangki umpan ke
tangki proses. Perhatikan, apakah alat-alat ukur sudah bekerja semestinya.

2.1 Kasus Start-up


2.1.1 Tujuan Percobaan Secara Khusus
1. Mengoperasikan suatu proses start-up yang dilengkapi sistem pengendali
pada berbagai parameter pengendali
2. Mempelajari dan menganalisis dinamika proses start-up yang dilengkapi
sistem pengendali

2.1.2 Bahan yang Digunakan


Bahan yang dibutuhkan adalah air dan udara. Air yang digunakan pada
percobaan harus air yang bersih, bebas dari pengotor seperti logam berat maupun
pengotor organik. Periksa air umpan, jika kotor maka harus segera diganti. Udara
dipasok dari udara sekitar menggunakan unit kompresor utama yang selanjutnya
didistribusikan ke alat percobaan melalui pipa besi dan selang bertekanan.

16
2.1.3 Alat yang Digunakan
Percobaan menggunakan level dilakukan menggunakan Control Trainer
H-ICS-8189. Skema alat percobaan dapat dilihat pada gambar2.1.Peralatan lain
yang dibutuhkan adalah, penghitung waktu (stopwatch) dan alat tulis untuk
mencatat perubahan-perubahan variabel proses yang terjadi saat melakukan
percobaan.

Gambar 2.1 Peralatan Pengendalian Proses

Gambar 2.2 Skema Peralatan Percobaan Pengendalian Level (Stephanopoulos,


1984)

17
Control Trainer H-ICS-8189 dilengkapi dengan Universal Modular
Controller UMC800 yang digunakan untuk berinteraksi dengan user. Operator
interface UMC800 dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Operator Interface UMC-800 (Stephanopoulos, 1984)


Tombol (Button) pada interface UMC800 telah diprogram untuk
keperluan tertentu. Daftar interface penting UMC800 diantaranyaadalah:
1. Button 1 : tampilan Flow dan Level berikut harga dari PV,SPdan OUT.
2. Button 2 : tampilan trend dari Flow, Pressure dan Level secara periodik.
3. Button 3 : tampilan Overview besaranharga Flow, Pressure dan Level.
4. Button 4 : menampilkan Flow, Pressure, dan Level, beserta harga masing-
masing variable.
5. Button 5 : tampilan Main Menu yang terdiri atas: Recipes, SP Programs,
Loops, Alarms/events/diags,variables,unit setup dan disc utilities.
6. Home : fungsinya sama seperti button 5.
7. Panah : untuk berpindah dari tampilan flow ke level maupun sebaliknya.
8. Input set point: tombol untuk memasukkan harga set point yang baru. Dapat
berfungsi jika tampilan flow atau level pada keadaan aktif.
9. Enter

18
2.1.4 Prosedur
Prosedur percobaan untuk kasus start-up proses adalah:
1. Jika di dalam tangki proses masih terdapat air, maka buka penuh katup V3
dan tunggu hingga air dalam tangki proses kosong.
2. Atur V3 pada posisi tertutup penuh dan V4 terbuka (putaran 180°).
3. Masukkan harga parameter pengendalian berupa set-point, Gain,Reset dan
Rate (akan diberikan di lembar penugasan). Pengaturan Gain,Reset danRate
dapat diakses melalui Home→loops→Level→Tune→Constant. Sedangkan
untuk pengukuranlevel dapat diakses melaluibutton 1→pindahkedisplaylevel
menggunakan panah kekanan→tekan tombol input set
point→masukkanharga set point→botton 1.
4. Naikkan saklar MCB pump, kemudian lakukan pengambilan data sesaat
setelah air mengisi tangki proses.

2.1.5 Perhitungan/Analisis
Data hasilpercobaan berupa PV (Process Variable) yaitu level dicatat
setiap 2 detik selama 5 menit.

2.2 Kasus Regulatory


2.2.1 Tujuan Percobaan
Mempelajari dinamika proses jika diberikan gangguan dari lingkungan.
Gangguan dapat diberikan melalui 3 cara, yaitu step,pulse, dan impulse.

2.2.2 Prosedur Percobaan


Percobaan untuk kasus regulatorydilakukan untuk mempelajari kelakuan
dinamika pengendalian level dengan memberikan gangguan dari luar sistem.
Gangguan yang diberikan yaitu berupa perubahan laju alir keluaran tangki proses,
yang dapat dilakukan dengan merubah bukaan katup V4 (putaran 180°- putaran
90°).Sesaat setelah diberikan gangguan berupa step, pulse, maupun impulse
dengan cara merubah katup V4, selanjutnya lakukan proses pengambilan data.

2.2.3 Perhitungan/Analisis
Perhitungan pengaruh dari berbagai gangguan terhadap respon sistem
kendali. Pengambilan data dilakukan setiap 2 detik selama 5 menit.

19
2.3 Kasus Servo
2.3.1 Tujuan Percobaan
1. Mengaplikasikan kasus servo pada proses yang dilengkapi system pengendali
dengan berbagai parameter pengendali.
2. Mempelajari dan menganalisis kasus servo pada proses yang dilengkapi
system pengendali.

2.3.2 Prosedur Percobaan


Percobaan untuk kasus servo merupakan lanjutan dari kasus start-updan
regulatory. Percobaan ini dilakukan dengan memasukkan harga set point yang
baru, yaitu 300. Kemudian mengamati perubahan tinggi air dan mencatat
perubahan variabel proses sesaatsetelahharga set point yang barudimasukkan.
Cara memasukkan harga set point yang baru dapat dilakukan melalui
langkah sebagai berikut:
1. Tekan button 1 untuk menampilkan Flow dan Level.
2. Gunakan tombol panah kekanan untuk berpindah ketampilan level, sehingga
tampilan level berada pada posisi aktif.
3. Gunakan tombol input set point untuk memasukkan harga set point yang
baru, selanjutnya gunakan panah ke kiri, bawah dan atas untuk membantu
memasukkan harga set point yang baru.
4. Tekan tombol Enter, sesaat setelah itu lakukan proses pengambilan data.

2.3.3 Perhitungan/Analisis
Perhitungan pengaruh dari berbagai gangguan terhadap respon sistem
kendali. Pengambilan data dilakukan setiap 2 detik selama 5 menit.

20
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kasus Start Up


Pada proses start up waktu dimulai pada saat air masuk ke tangki. Pada
percobaan ini nilai set point yang diberikan adalah 200 mm. Sistem pengendalian
yang dilakukan adalah sistem pengendalian Proportional (P), Proportional
Integral (PI), Proportional Integral Derivatif. Hasil dari percobaan adalah sebagai
berikut. Hasil percobaan didapatkan nilai parameter performance yang terdiri atas
rise time, response time, Offset, Overshoot, Decay ratio, dan Period of oscillation.
1. Rise time adalah waktu pada saat respon pertama kali akan mencapai nilai
set point nya (ultimate value).
2. Response time adalah waktu saat respon menjadi berkurang +5 % dari nilai
set pointnya.
3. Offset adalah kesalahan atau error yang permanen, yang didapatkan
dengan selisih antara data tertinggi pertama dengan nilai set point.
4. Overshoot adalah ukuran seberapa banyak respon melewati nilai set point
yang merupakan rasio antara offset dan set point.
3.1.1 Sistem Pengendali Proportional
Pada gambar 3.1 dapat dilihat bahwa nilai level dimulai dari nilai yang
rendah dan naik hingga set point yang ditentukan, yaitu 200 mm. Pada sistem
pengendali proportional nilai rise time gain 10 tercapai pada detik ke 52, gain 30
tercapai pada detik ke 48. Pada saat tersebut pengendalian proses start up sistem
pengendali proportional telah dilakukan yang kemudian berosilasi hingga waktu
percobaan berakhir.
Berdasarkan hasil percobaan, diketahui bahwa besarnya osilasi pada kasus
start up dengan gain 30 ternyata lebih stabil dari pada gain 10, yaitu pada level
208,70 mm setelah mencapai rise point dibandingkan 211,85 mm untuk gain 10.
Hal ini dapat dibuktikan dengan osilasi nilai Gain 30 yang lebih kecil dari nilai
Gain 10. Naiknya nilai gain controller akan mengurangi osilasi karena
mengurangi konstanta waktu loop-tertutup, walaupun pada grafik tidak terlalu
terlihat perbedaan antar-gain. Besarnya osilasi yang terjadi pada gain 10 rata-rata

21
sebesar 11,85 mm sedangkan pada gain 30 rata-rata sebesar 8,70 mm yang berarti
bahwa gain 30 lebih stabil dalam mengendalikan proses.

250

200

150
Level (mm)

Gain 10
100
Gain 30
Set Point
50

0
0 50 100 150 200 250 300

-50
Waktu (s)

Gambar 3.1 Respon Pengendali P Terhadap Level pada Kasus Start up dengan
Berbagai Gain
3.1.2 Sistem Pengendali Proportional Integral
Pengendali dengan mode Proportional Integral akan mengatasi offset yang
terjadi pada mode Proportional. Pada gambar 3.2, rise time PI dengan gain 30,
reset 0,1 adalah 56 detik sedangkan untuk PI dengan gain 30, reset 0,3 adalah 50
detik. Tinggi rata-rata level pada gain 30 setelah mencapai rise point yaitu 212,13
mm. Gain 30 ternyata lebih tidak responsif terhadap perubahan level air
dibandingkan dengan gain 10 yang memiliki rata-rata level sebesar 209,01 mm.
Besarnya osilasi yang terjadi pada gain 30, reset 0,1 adalah sebesar 9,01 mm dan
osilasi yang terjadi pada gain 30, reset 0,3 rata-rata sebesar 12,13 mm. System
pengendalian proses pada gain 30, reset 0,1 ternyata lebih stabil dibandingkan
dengan pengendalian pada gain 30, reset 0,3.

22
250

200

150
Level (mm)

Reset 0,1
100
Reset 0,3
Set Point
50

0
0 50 100 150 200 250 300 350

-50
Waktu (s)

Gambar 3.2 Respon Pengendali PI Terhadap Level Pada Kasus Start up dengan
Berbagai Reset
3.1.3 Sistem Pengendali Proportional Integral Derivatif
Gambar 3.3 menunjukkan pada gain 30, reset 0.3, rate 0,1 rise time-nya
adalah 66 detik. Pada gain 30, reset 0.3, rate 1,0 rise time-nya adalah 46 detik.
Pengendali mode PID dengan gain 30, reset 0.3, rate 1,0 rise time ternyata lebih
responsive terhadap perubahan level dan menjaga level pada rata-rata 225,19 mm,
sedangkan pada gain 30, reset 0.3, rate 0,1 rise time mengontrol level pada rata-
rata 226,64 mm. Secara umum, konfigurasi pengendali ini paling tidak responsif
dibandingkan dengan konfigurasi jenis proportional dan proportional integral.
Responsibilitas ini dapat terlihat dari rata-rata level yang dijaga pada proportional
intergral derivative yang bernilai lebih besar. Besarnya osilasi pada gain 30, reset
0.3, rate 0,1 rata-rata bernilai 26,64 mm dan pada gain 30, reset 0.3, rate 1,0
sebesar 25,19 mm. Besarnya osilasi yang terjadi pada sistem pengendali PID
menyatakan bahwa sistem pengendalian yang terjadi sangatlah buruk karena
nilainya jauh diatas 5%.

23
250

200

150
Level (mm)

Rate 0,1
100
Rate 1,0
Set Point
50

0
0 50 100 150 200 250 300 350

-50
Waktu (s)

Gambar 3.3 Respon Pengendali PID Terhadap Level Pada Kasus Start up
dengan Berbagai Rate

3.2 Kasus Regulatory


Kasus regulatory ini dilakukan dengan cara memberikan gangguan secara
step dan pulse dari luar sistem. Gangguan yang diberikan yaitu berupa perubahan
laju alir keluaran tangki proses dengan cara merubah bukaan V4. Untuk step,
bukaan valve 90o dirubah menjadi 180o. Pada kasus servo sistem pengendalian
yang dilakukan adalah sistem pengendalian Proportional (P), Proportional
Integral (PI), Proportional Integral Derivatif. Hasil dari percobaan adalah sebagai
berikut.

3.2.1 Sistem Pengendali Proportional


Pada gambar 3.4 saat gain 10 sinyal output yang dihasilkan lebih lambat
mencapai setpoint dibandingkan pada saat gain 30. Gangguan pulse yang
diberikan menyebabkan respon yang selalu berosilasi setiap waktu. Besarnya
osilasi pada gain 10 rata-rata 206,14 mm, sedangkan pada gain 30 rata-rata
sebesar 204,72 mm. Terbukti bahwa pada gain yang lebih tinggi cenderung lebih
responsive terhadap pengendalian level air pada tangki proses. Besarnya osilasi

24
pada saat gain 30 rata-rata sebesar 4,72 mm dan pada saat gain 10 sebesar 6,14
mm yang artinya pengendalian pada saat gain 30 lebih stabil dalam menjaga level
air pada proses.

225

220

215
Level (mm)

210
Gain 10
205
Gain 30
200 Set Point

195

190
0 50 100 150 200 250 300
Waktu (s)

Gambar 3.4 Respon Pengendali P terhadap Level pada Kasus Regulatory Berupa
Gangguan Pulse dengan Berbagai Gain

3.2.2 Sistem Pengendali Proportional Integral


Penambahan fungsi aksi integral pada pengendali proposional bertujuan
untuk menghilangkan offset. Pada pengendali proposional-integral sistem
pengendali cenderung mudah berosilasi, dari gambar 3.5 dapat dilihat bahwa
perbedaan reset (τi) pada proposional integral (PI-controller) kasus regulatory
menunjukkan respon yang berbeda. Gangguan step yang diberikan menyebabkan
respon yang selalu berosilasi setiap waktu. Level air rata-rata pada konfigurasi
pengendalian dengan gain 30, reset 0,1 adalah 204,77 mm, sedangkan pada
konfigurasi pengendalian dengan gain 30, resert 0,3 memiliki rata-rata level
sebesar 206,44 mm. Nilai rata-rata level pada konfigurasi pengendalian dengan
gain 30, resert 0,3 ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan konfigurasi
pengendalian dengan gain 30, reset 0,1. Artinya, pada kasus regulatory ini
konfigurasi pengendalian dengan gain 30, reset 0,1 lebih responsif dibandingkan
dengan konfigurasi pengendalian dengan gain 30, resert 0,3. Namun osilasi yang

25
terjadi pada gain 30, reset 0,1 lebih stabil dibandingkan dengan pada gain 30, reset
0,3 yaitu berturut-turut sebesar 9,01 mm dan 12.13 mm.

240

230

220
Level (mm)

210 Reset 0,1


Reset 0,3
200
Set Point
190

180
0 50 100 150 200 250 300 350
Waktu (s)

Gambar 3.5 Respon Pengendali PI Terhadap Level pada Kasus Regulatory


Berupa Gangguan Step dengan Berbagai Reset

3.2.3 Sistem Pengendali Proportional Integral Derivatif


Gambar 3.6 menunjukkan bahwa perbedaan rate (τd) pada proposional
integral derivatif controller kasus regulatory menunjukkan respon yang berbeda.
Gangguan step yang diberikan menyebabkan respon yang selalu berosilasi setiap
waktu. Pada konfigurasi pengendalian gain 30, reset 0.3, rate 0,1 sinyal output
yang dihasilkan lebih berosilasi dibandingkan pada saat gain 30, reset 0.3, rate
1,0. Rata-rata level air pada konfigurasi pengendalian dengan gain 30, reset 0.3,
rate 0,1 adalah 210,64 mm dan pada konfigurasi pengendalian dengan gain 30,
reset 0.3, rate 1,0 rata-rata sebesar 205,08 mm. Nilai ini membuktikan bahwa
pada konfigurasi pengendalian dengan gain 30, reset 0.3, rate 1,0 lebih responsif
dibandingkan dengan konfigurasi pengendalian gain 30, reset 0.3, rate 0,1 yang
nilai rata-ratanya lebih besar. Konfigurasi pengendalian dengan gain 30, reset 0.3,
rate 1,0 juga lebih stabil menjaga level air karena berosilasi 5,08 mm
dibandingkan konfigurasi pengendalian dengan gain 30, reset 0.3, rate 0,1 yang
berosilasi sebesar 10,64 mm dari set point.

26
240

230

220

210
Level (mm)

200
Rate 0,1
190 Rate 1,0
Set Point
180

170

160

150
0 50 100 150 200 250 300 350
Waktu (s)

Gambar 3.6 Respon Pengendali PID Terhadap Level Pada Kasus Regulatory
Berupa Gangguan Step dengan Berbagai Rate

3.3 Kasus Servo


Pada servo dilakukan perubahan terhadap setpoint sehingga dinamika
perubahan level dari setpoint pertama yaitu 200 mm ke setpoint kedua yaitu 300
mm dapat diamati.Pada kasus servo sistem pengendalian yang dilakukan adalah
sistem pengendalian Proportional (P), Proportional Integral (PI), Proportional
Integral Derivatif.

3.3.1 Sistem Pengendali Proportional


Pada Gambar 3.7 terlihat kenaikan level dari 200 mm ke 300 mm, setelah
naik dari setpoint pertama maka osilasi akan terjadi di sekitar setpoint kedua.
Pengendali mode P memiliki sifat lembam, yaitu selalu mempertahankan variabel
proses pada nilai terukur (berbeda dari setpoint) sehingga kurva akan terus
berosilasi di sekitar setpoint. Waktu yang diperlukan oleh Pengendali dengan gain
10 untuk mencapai set point kedua adalah 234 detik, sedangkan Pengendali mode
P dengan gain 30 memerlukan waktu untuk mencapai set point baru selama 158
detik. Besarnya osilasi rata-rata yang terjadi pada Pengendali mode P dengan gain

27
10 adalah sebesar 4,55 mm sedangkan mode P dengan gain 30 sebesar 6,48 mm.
Nilai osilasi tersebut menyatakan bahwa meskipun Pengendali mode P dengan
gain 30 lebih responsif terhadap perubahan atau gangguan, namun tidak dapat
mempertahan keadaan tetapnya dibandingkan dengan Pengendali mode P dengan
gain 10.

330
310
290
270
Level (mm)

250
Gain 10
230
Gain 30
210
Set Point
190
170
150
0 50 100 150 200 250 300 350
Waktu (s)

Gambar 3.7 Respon Pengendali P Terhadap Level Pada Kasus Servo dengan
Berbagai Gain
3.3.2 Sistem Pengendali Proportional Integral
Penambahan fungsi aksi integral pada pengendali proportional bertujuan
untuk menghilangkan offset. Pada pengendali proportional integral sistem
pengendali cenderung mudah berosilasi. Dari gambar 3.8 dapat dilihat bahwa
perbedaan reset (τi) pada proportional integral kasus servo menunjukkan respon
yang berbeda.Perubahan yang terjadi yaitu respon controller untuk mencapai
setpoint yang mengalami perubahan. Pada gain 30, reset 0,1 respon untuk berubah
ke set point yang baru (300 mm) lebih cepat yaitu 216 detik dibandingkan pada
saat gain 30, reset 0,3 yaitu selama 240 detik. Pengendali mode PI dengan gain
30, reset 0,1 ternyata lebih responsif terhadap perubahan keadaan dan gangguan
step yang diberikan dibandingkan dengan gain 30, reset 0,3 yang lebih lama
memberikan respon. Osilasi Pengendali mode PI dengan gain 30, reset 0,1 rata-
rata sebesar 7,22 mm sedangkan dengan mode PI dengan gain 30, reset 0,3 yang
rata-rata sebesar 5,88 mm. Meskipun Pengendali mode PI dengan gain 30, reset

28
0,3 lebih lama memberikan respon terhadap gangguan step yang diberikan, namun
lebih stabil dalam mengontrol level saat telah mencapai set point yang baru.

330

310

290

270
Level (mm)

250
Reset 0,1
230 Reset 0,3

210 Set Point

190

170

150
0 50 100 150 200 250 300 350
Waktu (s)

Gambar 3.8 Respon Pengendali PI Terhadap Level pada Kasus Servo dengan
Berbagai Reset

3.3.3 Sistem Pengendali Proportional Integral Derivatif


Gambar 3.9 menunjukkan bahwa perbedaan rate (τd) pada proportional
integral derivatif controller kasus servo menunjukkan respon yang berbeda.
Perubahan yang terjadi yaitu respon controller untuk mencapai set point yang
mengalami perubahan. Pada gain 30, reset 0,3, rate 1,0 respon untuk berubah ke
set point yang baru yaitu 300 mm lebih cepat yaitu pada 16 detik setelah set point
diubah dibandingkan pada saat gain 30, reset 0,3, rate 0,1 yang membutuhkan
waktu selama 44 detik untuk mencapai set point yang baru. Besarnya osilasi yang
terjadi setetlah mencapai set point yang baru pada Pengendali dengan gain 30,
reset 0,3, rate 0,1 adalah 8,99 mm sedangkan Pengendali dengan gain 30, reset
0,3, rate 1,0 berosilasi rata-rata 19,28 mm dari set point-nya. Meskipun
Pengendali dengan gain 30, reset 0.3, rate 1,0 lebih cepat untuk mencapai set

29
point yang baru, namun tidak dapat mengontrol level pada set point dengan baik
dibandingkan dengan Pengendali dengan gain 30, reset 0,3, rate 0,1.

350

330

310

290

270
Level (mm)

250 Rate 0,1

230 Rate 1,0


Set Point
210

190

170

150
0 50 100 150 200 250 300 350
Waktu (s)

Gambar 3.9 Respon Pengendali PID Terhadap Level Pada Kasus Servo dengan
Berbagai Rate
3.4 Sistem Pengendalian Proses pada Kasus Start Up, Regulatory, dan
Servo
3.4.1 Sistem Pengendali Proportional dengan Gain 10
Dari Gambar 3.10 dapat dilihat bahwa start up dengan gain 10 terlihat
konstan pada set point 200. Setelah mencapai rise point pada kasus Start Up pada
waktu 52 detik, proses berosilasi pada loop yang cukup tinggi selama 12 detik
kemudian berosilasi dengan loop yang rendah sampai diberikan gangguan berupa
step pada putaran 180o. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai rise time pada set
point baru 300 untuk kasus servo cukup lama yaitu pada waktu 834 detik. Pada
pengendalian sistem dengan metode proportional dengan gain 10 kurang responsif
terhadap perubahan level. Kurangnya respon sistem penengendalian ini terlihat
dari lamanya waktu yang diperlukan untuk menstabilkan proses dari level 200 mm
hingga ke level 300 mm.
Rata-rata tinggi level pada kasus start up, regulatory dan servo masing-
masing 211,85 mm, 206,14 mm dan 304,55 mm dengan rata-rata osilasi pada

30
masing-masing kasus adalah 11,85 mm, 6,14 mm dan 4,55 mm. Sedangkan
besarnya rata-rata tinggi cairan pada level 200 mm yang dimulai sejak tercapainya
set point 200 mm hingga sesaat sebelum set point diubah menjadi 300 mm yaitu
209,00 mm dengan osilasi 8,99 mm. Rata-rata osilasi pada set point 200 mm
tersebut menunjukkan bahwa pengendalian yang dilakukan terhadap proses telah
berjalan cukup baik karena osilasi tidak lebih dari 10 mm.

350

300

250
Start Up
200
Level (mm)

Regulatory
150
Servo
100 Set Point

50

0
0 200 400 600 800 1000
-50
Waktu (s)

Gambar 3.10 Pengendali Proportional dengan Gain 10

3.4.2 SistemPengendali Proportional dengan Gain 30


Pengendalian proses menggunakan proportional controller dengan gain 30
seperti gambar 3.11 memberikan pengaruh pengendalian yang lebih baik
dibandingan dengan proportional controller dengan gain 10. Pada kasus
pengendalian ini, rise time lebih cepat dan juga berosilasi lebih stabil. Setelah
diberikan disturbance berupa step dari bukaan valve 90o menjadi 180o, sistem
pengendalian lebih cepat merespon. Waktu yang perlukan untuk mencapai set
point yang baru pada kasus servo juga lebih cepat dibandingkan dengan
proportional controller dengan gain 10, yaitu pada waktu 756 detik.
Besarnya rata-rata level air pada pengendalian proportional dengan gain 30
pada kasus start up, regulatory, dan servo masing-masing 208,70 mm, 204,72 mm,
dan 306,48 mm dengan besar osilasi rata-rata pada masing-masing kasus yaitu
8,70 mm, 4,72 mm dan 6,48 mm. Sepanjang tercapainya set point 200 mm hingga

31
diubahnya set point menjadi 300 mm, rata-rata tinggi level air pada proses yaitu
206,71 mm dengan besar osilasi 6,71 mm. Secara umum, pengendalian
proportional dengan gain 30 lebih baik dalam melakukan pengendalian terhadap
proses dibandingkan dengan sistem pengendalian proportional dengan gain 10.
Terbukti dengan besarnya osilasi pada set point 200 mm yang lebih kecil
dibandingkan dengan pengendalian proportional dengan gain 10 yang sebesar
8,99 mm.

350

300

250

200
Level (mm)

150
Kasus Start Up
100
Kasus Regulatory
50
Kasus Servo
0
0 200 400 600 800 Set Point
1000
-50
Waktu (s)

Gambar 3.11 Pengendali Proportional dengan Gain 30

3.4.3 Sistem Pengendali Proportional Integral dengan Gain 30, Reset 0,1
Pada pengendali dengan system Proportional dengan gain 30 dan reset 0,1
seperti gambar 3.12 seperti terlihat bahwa osilasi terlihat tidak konstan
dibandingkan dengan system tanpa menggunakan reset. Waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai set point 200 mm yaitu 56 detik, sedangkan untuk mencapai rise
time pada set point 300 mm yaitu pada detik ke 816 detik setelah dimulainya
proses atau 216 detik setelah set point diubah ke 300 mm. berdasarkan lamanya
waktu yang diperlukan untuk mencapai set point yang baru tersebut, sistem
pengendalian proportional integral dengan gain 30 dan reset 0,1 kurang responsif
terhadap perubahan.

32
Rata-rata level air pada kasus start up, regulatory dan servo masing-masing
sebesar 209,01 mm, 204,77 mm, dan 307,22 mm dengan osilasi pada masing-
masing kasus sebesar 9,01 mm, 4,77 mm dan 7,22 mm. Sedangkan besarnya level
pada set point 200 mm adalah sebesar 206,89 mm dengan osilasi 6,89 mm. Pada
konfigurasi pengendalian proportional integral dengan gain 30 dan reset 0,1 secara
umum cukup responsif. Namun, pada kasus start up berosilasi hingga mendekati
10 mm yang berarti kurang baik dalam mengendalikan proses.

350

300

250

200 Kasus Start Up


Level (mm)

Kasus Regulatory
150
Kasus Servo
100 Set Point

50

0
0 200 400 600 800 1000
-50
Waktu (s)

Gambar 3.12 Pengendali Proportional dengan Gain 30, Reset 0,1

3.4.4 Sistem Pengendali Proportional Integral dengan Gain 30, Reset 0,3
Pada pengendali dengan system proportional dengan gain 30 dan reset 0,3
dapat dilihat pada gambag 3.13 bahwa osilasi terlihat tidak konstan dibandingkan
dengan system tanpa menggunakan reset. Waktu yang dibutuhkan juga lebih lama
untuk mencapai rise time dan stabil pada set point 300 mm dibandingkan dengan
tanpa reset dan reset 0,1, yaitu pada 236 detik setelah set point diubah.
Besarnya rata-rata level air pada pengendalian proportional integral
dengan gain 30 dan reset 0,3 pada kasus start up, regulatory, dan servo masing-
masing 212,13 mm, 206,44 mm, dan 305,88 mm dengan besar osilasi rata-rata
pada masing-masing kasus yaitu 12,13 mm, 6,44 mm dan 5,88 mm. Sedangkan
besarnya level pada set point 200 mm adalah sebesar 209,28 mm dengan osilasi

33
9,28 mm. Secara umum, sistem pengendalian pada konfigurai pengendalian
proportional integral dengan gain 30 dan reset 0,3 lebih tidak responsif
dibandingkan dengan konfigurai pengendalian proportional integral dengan gain
30 dan reset 0,1. Pengendalian proses pada kasus start up merupakan kejadian
pengendalian yang cukup buruk pada percobaan ini.

350

300

250

200 Kasus Start Up


Level (mm)

Kasus Regulatory
150
Kasus Servo
100 Set Point

50

0
0 200 400 600 800 1000
-50
Waktu (s)

Gambar 3.13 Pengendali Proportional Integral dengan Gain 30, Reset 0,3

3.4.5 Sistem Pengendali Proportional Integral Derivative dengan Gain 30,


Reset 0,3, Rate 0,1
Berdasarkan gambar 3.14, dapat dilihat bahwa osilasi yang terjadi untuk
setiap kasus sangat tidak stabil dan tidak berada pada set point. Tetapi pada sistem
pengendalian proprtioal integral derivative dengan gain 30, reset 0,3 dan rate 0,1
waktu yang dibutuhkan sistem lebih cepat untuk mencapai set point 300 mm.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai set point 200 mm yaitu 66 detik,
sedangkan untuk mencapai rise time pada set point 300 mm yaitu pada detik ke
644 detik setelah dimulainya proses atau 44 detik setelah set point diubah ke 300
mm.
Rata-rata level air pada kasus start up, regulatory dan servo masing-
masing sebesar 226,64 mm, 210,64 mm, dan 308,99 mm dengan osilasi pada
masing-masing kasus sebesar 26,64 mm, 10,64 mm dan 8,99 mm. Sedangkan
besarnya level pada set point 200 mm adalah sebesar 218,64 mm dengan osilasi

34
18,64 mm. Berdasarkan besarnya osilasi yang terjadi pada konfigurasi
proportional integral derivative dengan gain 30, reset 0,3 dan rate 0,1 cukup buruk
karena osilasi yang terjadi pada kasus start up lebih besar dari 25 mm. Namun,
sistem pengendalian pada saat set point diubah dari level 200 mm menjadi level
300 mm cukup cepat memberikan respon untuk mencapai set point yang baru.

350

300

250

200 Set Point


Level (mm)

Kasus Start Up
150
Kasus Regulatory
100 Kasus Servo

50

0
0 200 400 600 800 1000
-50
Waktu (s)

Gambar 3.14 Pengendali Proportional Integral Derivative dengan Gain 30, Reset
0,3, Rate 0,1

3.4.6 SistemPengendali Proportional Integral Derivative dengan Gain 30,


Reset 0,3, Rate 1,0
Gambar 3.15 dapat dilihat bahwa sistem sangat tidak stabil dan tidak
berada pada set point pada saat start up dan lebih stabil pada kasus regulatory.
Respon system semakin cepat dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai rise
point pada set poin 300 paling cepat dibandingkan dengan tanpa rate dan rate 0,1.
Lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai set point 200 mm adalah 46
detik, sedangkan untuk mencapai set point 300 mm adalah 16 detik setelah set
point diubah. Respon terhadap perubahan set point level yang baru pada
konfigurasi pengendalian proses proportional derivative integral dengan gain 30,
reset 0,3 dan rate 1,0 paling cepat dibandingkan dengan konfigurasi pengendalian
yang lain.

35
Besarnya rata-rata level pada kasus start up, regulatory dan servo masing-
masing 225,19 mm, 205,08 mm, dan 319,28 mm dengan osilasi pada masing-
masing kasus sebesar 25,19 mm, 5,08 mm dan 19,28 mm. Pada set point 200 mm
sejak mulai tercapainya rise point hingga sesaat sebelum set point diubah menjadi
300 mm, level air proses sebesar 215,14 mm dengan osilasi 15,13 mm.
Berdasarkan osilasi yang terjadi, sistem pengendalian proportional derivative
integral dengan gain 30, reset 0,3 dan rate 1,0 tidak cukup baik dalam
mengendalikan proses karena osilasi yang terjadi lebih besar dari 25 mm.

400

350

300

250
Set Point
Level (mm)

200
Kasus Start Up

150 Kasus Regulatory


Kasus Servo
100

50

0
0 200 400 600 800 1000
-50
Waktu (s)

Gambar 3.15 Pengendali Proportional dengan Gain 30, Reset 0,3, Rate 1

36
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.


1. Bukaan valve berbanding lurus dengan laju aliran keluar. Semakin besar
bukaan valve maka semakin besar pula laju aliran keluar. Semakin kecil
bukaan valve maka semakin kecil pula laju aliran keluar.
2. Perlakuan servo dan disturbance mengakibatkan nilai level berfluktuasi
dari nilai set point yang telah ditentukan hingga akhirnya stabil pada set
point.
3. Nilai gain, integral time dan derivative time berbanding lurus dengan
kualitas system pengendali. Semakin besar nilai gain, integral time, dan
derivative time maka semakin bagus sistem pengendalinya juga
sebaliknya.
4. Sistem pengendali proportional integral derivative paling baik dalam
pengendalian proses dari pada sistem pengendali proportional dan
proportional integral.

37
DAFTAR PUSTAKA

Baskoro, H. 2014. Perancangan dan Uji Alat Pengendali Tekanan Menggunakan


Proses Kontinyu Berbasis ATMEL AT89S51 dengan Pemrograman Visual
Basic 6.0. Laporan Tugas Akhir. Program Studi Diploma Iii Teknik Kimia
Program Diploma Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang

Fahrina, U. 2012. Studi Sistem Pengendalian Kadar Oksigen di dalam Air pada
Thermal Deaerator di Pabrik Kelapa Sawit Murini Sam Sam-I. Skripsi.
Departemen Fisika Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Stephanopoulos, G. 1984. Chemical Process Control: An Introduction to Theory


and PracticeInternational Edition. New York: Prentice Hall.

38

Anda mungkin juga menyukai