PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
1. Insiden12
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu
5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang
berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan
untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.
2. Peningkatan angka kematian di Negara berkembang
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian
maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya
layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.
2.1.3 Etiologi
2
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan hemorrhage postpartum,
faktor-faktor yang menyebabkan hemorrhage postpartum adalah atonia uteri, perlukaan
jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan pembekuan darah. 10,11,12
1. Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan
mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di
control oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar
pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia
uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena
atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat
timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan
mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan
terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan
yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma Sheehan “ sebagai akibat nekrosis pada
hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi bagian tersebut dengan gejala :
astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan
kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut
pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan
fungsi laktasi. Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :12
Manipulasi uterus yang berlebihan,
General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),
Uterus yang teregang berlebihan :
o Kehamilan kembar
o Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram )
o polyhydramnion
Kehamilan lewat waktu,
Portus lama
3
Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
Anestesi yang dalam
Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ),
Plasenta previa,
Solutio plasenta,
2. Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya.
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum lepas
dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan. Jika
plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi apabila terlepas
sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi
untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva )
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus
desidva sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum ( plasenta akreta –
perkreta ).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan
kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ). Sisa plasenta yang
tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa
retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah
persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri
kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan curettage.
4
3. Trauma
Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir :
a. Ruptur uterus
b. Inversi uterus
c. Perlukaan jalan lahir
d. Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan
antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan
persalinan dengan induksi oxytosin. Repture uterus sering terjadi akibat jaringan
parut section secarea sebelumnya. Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina,
atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan
pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep,
walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh
darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan
akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama
beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan
perdarahan yang berlebihan jika mengenai artery atau vena yang besar, jika episitomi
luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan
antara persalinan dan perbaikan episitomi.
Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi uterus
baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika laserasi
cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi
terbaik.
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus
uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba
dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi :
5
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang
tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar
vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada
korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta
yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan
fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah
persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas
servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat
dengan angka kematian tinggi ( 15 – 70 % ). Reposisi secepat mungkin memberi
harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.
6
2.1.4 Faktor Resiko
2.1.5 Diagnosis 10
7
terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok.
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan
darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok. Pada
perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi
jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah
plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan
sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan
obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila
kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta
atau laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa
perdarahan postpartum :
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan rahim
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test dan lain-
lain.
8
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang
disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja
dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan
antenatal care yang baik. Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-
ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.
Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan
darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di bank darah.
Pemasangan cateter intravena dengan lobang yang besar untuk persiapan apabila
diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung
dilakukan transfusi. Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan
postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan.
Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular atau
maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Massae
yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah
lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan
mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan
memicu terjadinya perdarahan postpartum.
Kala tiga dan Kala empat
Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study
memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang
mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan
insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada
pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk
memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti mengurangi volume
darah yang hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%.
9
Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit setelah
bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru dapat
menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai
mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina,
uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak keluar
dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali
pusat secra hati-hati. Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau
tidak. Untuk “ manual plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya
manual plasenta. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada
alasan untuk menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan manual plasenta
harus dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak
yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir.
Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di
eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta.
Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan lahir
yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka
trauma ataupun episiotomy segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang
mengeras dan berkontraksi dengan baik.
Terapi pembedahan
o Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah
tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan
mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri
ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi
benarbenar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena hanya
akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase apabila
perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan
ataupun rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica.
o Ligasi arteri
Ligasi uteri uterine
12
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal dari
uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus. Tidak ada
gangguan aliran menstruasi dan kesuburan.
Ligasi arteri ovarii
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan
Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari semua traktus genetalia
dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis. Apabila tidak
berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah histerektomi.
2.2.1 Definisi 6
2.2.2 Etiologi 6
13
1. Kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang mengalir
keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, perdarahan post partum dan
kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan
darah yang besar.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan
protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
b. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik
berasal dari penurunan volume darah intravaskular, yang menyebabkan penurunan
cardiac output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia
mendorong perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal
ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik.
2.2.3 Patofisiologi 12
14
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh
baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru
dan di hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos dan
menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab
pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
meningkatan Antidiuretik Hormone (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari
glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah
(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang
dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan
reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan
lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis
sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi.
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi
perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan
darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung
akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
15
a. Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit
penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan
langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata
dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti
pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
b. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan,
sebaiknya dinilai pada semua pasien.
c. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi
lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera
akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
d. Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri.
e. Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
f. Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada
pembuluh darah.
g. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke
punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut,
nyeri punggung, atau nyeri panggul.
h. Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan
tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-
inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya)
adalah sangat penting.
Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien
dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat
kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear,
sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal
kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan
informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor
risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah
dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri.
16
Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk
meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna
untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.
17
2.3. Atonia Uteri
2.3.1. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir
2.3.2. INSIDENSI
Perdarahan post partum dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi 24 jam
pertama setelah bayi lahir, 68-73 % dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-
88% dalam dua minggu setelah bayi lahir.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum
dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
peripartum.
2.3.3. PENYEBAB
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan
faktor predisposisi seperti :
18
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, anak
terlalu besar atau paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya
plasenta belum terlepas dari dinding uterus.
7. Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis).
8. Riwayat atonia sebelumnya
9.Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu dalam.
Selain faktor – faktor di atas, faktor lain yang juga dapat menyebabkan
terjadinya atonia uteri adalah :
a. Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum
adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium
sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
b. Persalinan buatan (Sectio Cesaria, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan janin dengan segera sehingga pada pasca persalinan
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
c. Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan,
ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan
otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
d. Persalinan yang cepat
19
Persalinan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan janin sehingga pada pasca persalinan menjadi lelah dan
lemah untuk berkontraksi.
e. Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda
asing menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya
perdarahan.
f. Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi
dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk
berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan
magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
g. Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus
berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi
lelah.
h. Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere
diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang
mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
i. Salah pimpinan kala III
Yaitu kalau rahim di pijat-pijat untuk mempercepat lahirnya plasenta.
Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari
uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang
tidak tepat wakunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi
dan menahan plasenta.
20
2.3.4. DIAGNOSIS
- Bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif,
banyak dan bergumpal
- Dari palpasi didapatkan fundus uteri setinggi pusat atau lebih dengan
kontraksi yang lembek
- Plasenta lengkap
- Inspekulo : untuk melihat robekan pada servik atau vagina, dan varises
yang pecah
2.3.6. PATOFOSIOLOGI
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-
serat miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi karena
myometrium tidak dapat berkontraksi. Atonia uteri merupakan penyebab
tersering perdarahan postpartum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua
perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri. 12
21
ATONIA
Multiparitas UTERI Kadar Hb
Partus lama
Nilai fungsi
Regangan uterus
Solusio plasenta pembekuan
Masase uterus dan kompresi bimanual
Oksitosi 10 IU IM dan infus 20 IU dalam 500 ml NS/RL 40 tetes-
guyur
Infus untuk restorasi cairan dan jalur obat esensial
Mekanisme penghentian perdarahan otot uterus
Identifikasi sumber
Perdarahan perdarahan lainnya:
terus Laserasi jalan lahir
berlangsung Hematoma
parametrial
Ruptura uteri
Uterus tidak Inversio uteri
Sisa fragmen placenta
berkontraksi Koagulopati
2.3.6. PENATALAKSANAAN
Kompresi bimanual
Kompresi aorta abdominalis
Tidak berhasil
Tempon uterus
Rujuk
Ligasi ateri uterina dan ovarika
Terkontrol Perdarahan
Transfusi Masih
berlangsung
RAWAT LANJUT dan 22 Transfusi
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior
hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat
seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor
oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekuensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps
bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping
pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek
samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
4. Kompresi bimanual eksterna dan interna
Kompresi bimanual eksterna
Letakan satu tangan di atas fundus uteri dan satu tangan dalam keadaan
terkepal letakan pada bagian korpus uteri kemudian rapatkan kedua tangan
24
untuk menekan pembuluh darah di dinding uterus dengan jalan menjepit
uterus diantara kedua tangan tersebut
25
vagina untuk memberi jalan salin keluar. Penggunaan uterine packing saat
ini tidak disukai dan masih kontroversial.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga
memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim
harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan
antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang
selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah
masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau
kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
6. Operatif
a. Ligasi arteri uterina
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan
angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina
yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim.
Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan
melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium
keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat
melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai
cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan
2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas
tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada
vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi
ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen
bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika
26
perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian.
b. Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang,
untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum
lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter
ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio
iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan
dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas
berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi
denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan
sesudah ligasi.Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang
dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter
harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
a. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative
untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
b. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan
jika terjadi perdarahan pospartum masif yang jmembutuhkan tindakan
operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih
banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
2.3.7. PENCEGAHAN
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan
penanganan kala tiga secara aktif, yaitu
a. Menyuntikan Oksitosin
- Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
27
- Menyuntikan Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian
luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih
dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai
pembuluh darah.
b. Peregangan Tali Pusat Terkendali
- Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari
vulva atau menggulung tali pusat
- Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus,
sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem
atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva
- Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan
kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke
arah dorso-kranial
c. Mengeluarkan plasenta
- Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat
bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta
ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali
pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan
lahir hingga plasenta tampak pada vulva.
- Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir,
pindahkan kembali klem hingga berjarak ± 5-10 dari vulva. Bila
plasenta belum lepas setelah 15 menit Suntikan ulang 10 IU
Oksitosin i.m
- Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh
- Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta
manual
d. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta
dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan
28
selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput
ketuban.
e. Masase Uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri
dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian
palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras)
f. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan
- Kelengkapan plasenta dan ketuban
- Kontraksi uterus
- Perlukaan jalan lahir
2.3.8. KOMPLIKASI
- Infeksi
- sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior
sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah
hipotensi, anemia, turunnya berat badana sampai menimbulkn
kakeksia, penurunana fungsi seksual dengan atrifi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dan
hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.
- Kematian
29
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Pendarahan setelah melahirkan spontan.
Pasien datang ke PONEK RSUD Palembang Bari diantar oleh bidan dengan
keluhan mengalami pendarahan setelah melahirkan spontan ± 3 jam yang lalu. anak
ke 3 dengan berat 3100 gr dan Panjang 49 cm dengan diagnosis hemoragik post
partum ec susp sisa Plasenta. Menurut Bidan yang mengantar, pendarahan dialami
pasien terus menerus setelah melahirkan. kelahiran plasenta ± 15 menit setelah
kelahiran bayi. Saat plasenta lahir keadaan plasenta utuh tetapi pendarahan
30
pervaginam aktif terus menerus dan kontraksi uterus yang kurang adekuat. Jumlah
pendarahan cukup banyak sehingga pasien harus berganti sarung sebanyak 5x. Os
dirujuk ke RSUD Palembang Bari. Saat tiba di RS. Bari kondisi pasien cukup lemah
dengan wajah pucat. Pada tangan kanan terpasang IVFD RL. Saat kehamilan pasien
sering ANC dengan bidan setempat.
Riwayat Mensturasi:
Menarche : ±15 tahun
Siklus : 28 hari
Lamanya : 5—6 hari
Riwayat Persalinan:
Tahun JK BBL PBL
1. 2 Perempuan 3000gr - Spontan
pervaginam
2. Perempuan 3500gr - Spontan
pervaginam
3. 2 Laki-laki 3100gr - Spontan
pervaginam
31
Riwayat Penyakit Keluarga
Asma : (-)
Penyakit jantung : (-)
Diabetes militus : (-)
Penyakit paru-paru : (-)
Hipertensi : (-)
Alergi obat dan makanan : (-)
Epilepsy : (-)
Status obstetri
Pemeriksaan luar :
32
- TFU : Sepusat
Pemeriksaan dalam :
- Vagina /vulva : tidak ada kelainan
- OUE : terbuka. Pendarahan tidak aktif
- Dilakukan eksplorasi didapat stool sel. Jaringan tidak ada.
- Golongan darah: O
- Rhesus :+
- Clotting time : 10”
- Bleeding time :2”
33
pendarahan dialami pasien terus menerus setelah melahirkan.
kelahiran plasenta ± 5 menit setelah kelahiran bayi. Saat plasenta lahir
keadaan plasenta utuh tetapi pendarahan pervaginam aktif terus
menerus dan kontraksi uterus yang kurang adekuat.
Pemeriksaan fisik: KU : Tampak sakit sedang. Kesadaran: Delirium
pada pemeriksaan vital sign TD: 120/70 mmHg Nadi: 122 x/menit.
Suhu badan 36,20C.
Pemeriksaan fisik spesifik. Konjungtiva anemis +, acral dingin +.
Pemeriksaan obstetric : PL: TFU Sepusat. PD: Vulva dan Vagina
tidak ada kelainan. OUE Terbuka. Pendarahan Aktif (-). Dilakukan
Eksplorasi Uterus didapatkan Stool Cell (+) jaringan (-)
Pemeriksaan Laboratorium: Hb: 6,2 gr/dl
34
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien rujukan datang bersama bidan dalam keadaan delirium, pucat, keluar
banyak darah dari vagina. Pasien rujukan datang dengan diagnosis P 3 A0 post partus
spontan dengan pendarahan susp sisa plasenta. Menurut Bidan yang mengantar,
pendarahan dialami pasien terus menerus setelah melahirkan. kelahiran plasenta ± 5
menit setelah kelahiran bayi. Saat plasenta lahir keadaan plasenta utuh tetapi
pendarahan pervaginam aktif terus menerus dan kontraksi uterus yang kurang
adekuat. Jumlah pendarahan cukup banyak sehingga pasien harus berganti sarung
sebanyak 5x
Pemeriksaan obstetric : PL: TFU Sepusat. PD: Vulva dan Vagina tidak ada
kelainan. OUE Terbuka. Pendarahan Aktif (-). Dilakukan Eksplorasi Uterus
didapatkan Stool Cell (+) jaringan (-). Berdasarkan pemeriksaan obstetric vulva dan
vagina tidak ada kelainan sehingga HPP ec perlukaaan jalan lahir bisa disingkirkan.
Pendarahan aktif (-) sehingga kompresi bimanual atau tamponade tidak perlu
dilakukan. Pada pemeriksaan eksploarsi uteru tidak ditemukan sisa plasenta sehingga
HPP ec sisa plasenta dapat disingkirkan.
35
Pemeriksaan Laboratorium: Hb: 6,2 gr/dl dan leukosit 21.800/ui
Tatalaksana pada pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum pasien dari keadaaan
anemia berat dengan cara melakukan transfusi darah dan observasi keadaan umum
dan vital sign.
36
BAB V
KESIMPULAN
Pada laporan ini di dapatkan kasus Ny SM/34 th/ P3A0/ datang diantar bidan
dengan diagnosis HHP ec susp sisa plasenta. Kedaan umum pasien tampak sakit
sedang dengan tingkat kesadaran delirium. Vital sign TD: 120/70 mmHg Nadi: 122
x/menit. Suhu badan 36,20C, konjungtiva anemis +, acral dingin +. Berdasarkan
pemeriksaan fisik dan vital sign tesebut pasien memang tampak lemah, nadi cepat
dan acral dingin tetapi tekanan darah pasien dalam batas normal. Pasien sudah bias
dikategorikan mengalami syok hipovolemik ringan.
Pemeriksaan obstetric : PL: TFU Sepusat. PD: Vulva dan Vagina tidak ada
kelainan. OUE Terbuka. Pendarahan Aktif (-). Dilakukan Eksplorasi Uterus
didapatkan Stool Cell (+) jaringan (-) Pendarahan aktif (-).Pemeriksaan
Laboratorium: Hb: 6,2 gr/dl dan leukosit 21.800/ui
Tatalaksana pada pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum pasien dari
keadaaan anemia berat dengan cara melakukan transfusi darah dan observasi keadaan
umum dan vital sign.
37
DAFTAR PUSTAKA
38