Anda di halaman 1dari 24

BAB II

2.1 Definisi

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti

serangan nafas pendek. Serangan asma didefinisikan sebagai episode peningkatan yang

progresif (perburukan) dari gejala-gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan

atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut.4,5

2.2 Etiologi

Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi

asma dibuat berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan

yang berkaitan dengan episode akut. Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma,

dua kategori timbal balik dapat dipisahkan : 4

1. Asma ekstrinsik imunologik

Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-

anak, umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik.

Kebanyakan penderita adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari

semua bentuk alergi dan mungkin asma bronkial.5,6

2. Asma intrinsik imunologik

Universitas Lambung Mangkurat


Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk lebih sering

kambuh dan berat. Seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga

mengenai penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and

flare yang positif terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa

udara, peningkatan kadar IgE dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi

yang meliputi inhalasi antigen spesifik. 5

2.3 Epidemiologi

Pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-

7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Selain karena jumlahnya yang banyak,

pasien asma anak dapat terdiri dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai

permasalahan masing-masing dengan implikasi khusus pada penatalaksanaannya.2

Prevalensi asma di Indonesia tahun 2002, dilaporkan oleh Kartasasmita di

Bandung dari 2678 anak, kelompok usia 6-7 tahun 3,0%, dan dari 2836 anak

kelompok usia 13-14 tahun 5,2%. Rahajoe di Jakarta melaporkan kelompok usia 13-

14 tahun sebanyak 1296 orang didapati prevalensi 6,7%.1,3

Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat bukan hanya di

negara maju namun juga di negara yang sedang berkembang.2 Peningkatan tersebut

diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan

Universitas Lambung Mangkurat


terutama polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar

antara 2-30%.4

2.4 Patogeness

Reaksi inflamasi

Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai

bronkokonstriksi akibat proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran

napas. Karena itu pemberian anti-inflamasi memegang peranan penting pada

pengobatan dan kontrol asma. Terlihat bahwa setelah pemberian inhalasi

kortikosteroid akan terjadi penurunan bermakna sel inflamasi dan pertanda

permukaan sel pada sediaan bilas dan biopsi bronkoalveolar. Pemberian

bronkodilator saja tidak dapat mengatasi reaksi inflamasi dengan baik. Pada tingkat

sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta rangsang infeksi maka sel

mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor kemotaktik yang menimbulkan

migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul terjadi pelepasan berbagai

mediator serta ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh sel yang saling

bekerjasama tersebut yang akan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada orkestrasi

proses inflamasi ini sangat besar pengaruh sel Th2 sebagai regulator penghasil sitokin

yang dapat memacu pertumbuhan dan maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat

jaringan akan tampak kerusakan epitel serta sebukan sel inflamasi sampai submukosa

Universitas Lambung Mangkurat


bronkus, dan mungkin terjadi rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertrofi

otot polos.5,6

Gambar.2.1 Proses reaksi inflamasi pada asma

Reaksi inflamasi asma terbagi menjadi 2 yaitu :

1. Inflamasi akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain

virus, iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.7

 Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik

Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15

menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi

degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator

Universitas Lambung Mangkurat


seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien,

prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos,

sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara

spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat

dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya.

Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat

sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat

mencegah reaksi ini.7

 Reaksi fase lambat dan lama

Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan

pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis

reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil

4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan

reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga

mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi

otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat

oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.7

2. Inflamasi kronik

Universitas Lambung Mangkurat


Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan

dengan inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi,

seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos

bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel

mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan

kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli.

Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel

mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil

dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa

bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat.7,8

Sensatisisasi

Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola

hubungan antara proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan

penyakit alergi yang dikenal sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit

alergi). Secara klinis allergic march terlihat berawal sebagai alergi saluran cerna

(diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi kulit (dermatitis atopi)

dan kemudian alergi saluran napas (asma bronkial, rinitis alergi). Suatu penelitian

memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia kurang dari 3

tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma,

dermatitis atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan

Universitas Lambung Mangkurat


kelompok anak dengan mengi yang tidak menetap. Laporan tersebut juga menyatakan

bahwa anak mengi yang akan berkembang menjadi asma terbukti mempunyai

kemampuan untuk membentuk respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi

berbagai stimuli. Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa

kehidupan, secara bertahap mulai dari rangsang alergen makanan dan infeksi virus,

sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan mempengaruhi modul

respons imun yang akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2. Kecenderungan

aktivitas Th2 akan menurunkan produk IL-2 dan IFN-γ oleh Th2. Terbukti bahwa

anak dengan respons IFN-γ rendah pada masa awal kehidupannya akan lebih

tersensitisasi oleh aeroalergen dan menderita asma pada usia 6 tahun dibandingkan

dengan anak dengan respon IFN-γ normal.6

Gambar. 2.2 Proses sentisisasi pada asma

2.5 Proses terjadinya asma persisten pada anak


9

Universitas Lambung Mangkurat


AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang

secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang

menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang

baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang

rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang

rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada

asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi

yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme

sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling.

Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari

diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan

penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan

fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar

mukus. Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan

remodeling. Infiltrasi selsel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga

komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks

interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot

polos, kelenjar mukus.9

Perubahan struktur yang terjadi :

10

Universitas Lambung Mangkurat


• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas

• Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

• Penebalan membran reticular basal

• Pembuluh darah meningkat

• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

• Perubahan struktur parenkim

• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gambar 2.3. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

Injuri sel epitel menghasilkan penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat

fibroproliferasi dan profibrogenic growth factors terutama TGF-β dan familinya

(fibroblast growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, plateletderived growth

factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai mediator

tersebut, TGF-β adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi

fibroblas menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial,

11

Universitas Lambung Mangkurat


sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel

endotel. TGF-β dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel

dan diteruskan ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim

tersebut dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan napas mendatangkan

pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah

lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkan remodeling jalan napas

pada asma. Berdasrkan pemikiran tersebut, inflamasi dan remodeling yang terjadi

pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan injuri, kelemahan

penyembuhan luka atau keduanya. Terjadinya remodeling pada asma serta tidak

cukupnya sitokin proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan

binatang yang menunjukkan peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada

patogenesis asma Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui

mekanisme Th-2. Akan tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2

(sitokin Il-13, Il-4) yang dianggap berperan penting dalam remodeling adalah

berinteraksi dengan sel epitel mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin

proinflamasi tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi

interaksinya dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat

menjelaskan terjadinya airway remodeling pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu

postulat bahwa kerusak sel epitel dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama

dalam menimbulkan gangguan fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi

12

Universitas Lambung Mangkurat


miofibroblas dan induksi respons inflamasi dan remodeling sebagai karakteristik

asma kronik.9

Gambar 2.4. Interaksi Th-2 dan EMTU pada patogenesis asma

2.6 Faktor-faktor risiko asma anak

Adapun faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu:

1. Asap Rokok

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma meningkat

pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif.7

2. Tungau Debu Rumah

Asma pada anak juga dapat disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya

tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas sehingga merangsang

terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I.7


13

Universitas Lambung Mangkurat


3. Jenis Kelamin

Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan

perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia

dan mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-

laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan

pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke

rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi

pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden

ini.8

4. Binatang Piaraan

Binatang peliharaan yang berbulu dapat menjadi sumber alergen inhalan.

Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di

bagian muka dan ekskresi.7

5. Jenis Makanan

Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut

adalah kacang, ikan laut dan telor. Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai

salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai

pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma.7

6. Perubahan Cuaca

Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya

kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat

14

Universitas Lambung Mangkurat


asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi

partikel alergenik.7

7. Riwayat Penyakit Keluarga

Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak.

Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan

orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah.7

2.7 Klasifikasi

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola

keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi

pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma

semakin tinggi tingkat pengobatan. 10

Tabel. 2.1 klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

Derajat Gejala Gejala Faal paru


asma malam
Intermitten  Bulanan ≤ 2x/bulan  APE ≥ 80%
o Gejala < 1x/minggu  VEP1 ≥ 80%
o Tanpa gejala diluar nilai prediksi
serangan APE ≥ 80% nilai
o Serangan singkat terbaik
 Variabilitas APE
< 20%

Persisten  Mingguan > 2x/bulan  APE > 80%


ringan  Gejala > 1x/minggu tetapi  VEP1 ≥ 80%
< 1x/hari nilai prediksi
 Serangan dpt mengganggu APE ≥ 80% nilai
15

Universitas Lambung Mangkurat


aktivitas dan tidur terbaik
 Variabilitas APE
20-30%

Persisten  Harian >  APE 60-80%


sedang  Gejala setiap hari 1x/minggu  VEP1 60-80%
 Serangan mengganggu nilai prediksi
aktivitas dan tidur APE 60-80%
 membutuhkan nilai terbaik
bronkodilator setiap hari  Variabilitas APE
> 30%

Persisten  Kontinua Sering  APE ≤ 60%


berat  Gejala terus menerus  VEp1 ≤ 60%
 Sering kambuh nilai prediksi ≤
 Aktivitas fisik terbatas 60% nilai
terbaik
 Variabilitas APE
> 30%

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang

telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran

klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam

pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. 10

2.2 Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian

Gejala dan faal paru dalam pengobatan Tahap I Tahap 2 Tahap 3


intermiten persisten persisten
sedang sedang
 Tahap I : intermitten Intermiten Persisten Persisten
 Gejala < 1x/minggu ringan sedang
 Serangan singkat

16

Universitas Lambung Mangkurat


 Gejala malam < 2x/bulan
 Faal paru normal di luar serangan

 Tahap II : persisten ringan Persisten Persisten Persisten


 Gejala > 1x/minggu, tetapi < ringan sedang berat
1x/hari, gejala malam > 2x/bulan,
tetapi < 1x/minggu
 Faal paru normal diluar serangan

 Tahap III : persisten sedang Persisten Persisten Persisten


 Gejala setiap hari, serangan sedang berat berat
mempengaruhi aktivitas dan tidur
 Gejala malam > 1x/minggu
 60% < VEP1 < 80% nilai prediksi
 60% < APE < 80% nilai terbaik

 Tahap IV : persisten berat Persisten Persisten Persisten


 Gejala terus menerus, serangan berat berat berat
sering, gejala malam sering
 VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau
 APE ≤ 60% nilai terbaik

2.8 Diagnosis

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh

dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan

beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga

penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala

yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada

dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk

menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal

17

Universitas Lambung Mangkurat


paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai

diagnostik. 10

 Riwayat penyakit atau gejala : 10

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.

3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.

4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.

5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

 Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit

1. Riwayat keluarga (atopi).

2. Riwayat alergi/atopi.

3. Penyakit lain yang memberatkan.

4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.

Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau

bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup

banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari

ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis

18

Universitas Lambung Mangkurat


bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru

(provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma. 10

Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat

batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat

mungkin merupakan bentuk asma. 10

 Pemeriksaan fisik

o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan

sedang tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.

o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk

paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi

memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal,

epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks

emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter

anteroposterior toraks bertambah.

o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian

bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.

o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara

napas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat

lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara

lender bila sekresi bronkus banyak.

19

Universitas Lambung Mangkurat


o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi

paksa. Mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang

sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,

hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.

o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila

hubungannya dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri

merupakan penyakit yang dapat menghambat perkembangan anak.

Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat

berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali

kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari

perbaikan pertumbuhannya.

 Uji faal paru

Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran

faal paru digunakan untuk menilai : 10

1. Derajat obstruksi bronkus

2. Menilai hasil provokasi bronkus

3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.

Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC,

FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap

20

Universitas Lambung Mangkurat


kunjungan. “peak flow meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan

spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC),

aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai

normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun

PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya

terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi

kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut

umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus

dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya

hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :

1. Histamin

2. Metakolin

3. Beban lari

4. Udara dingin

5. Uap air

6. Alergen

Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hipereaktivitas positif bila

PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi

bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan

21

Universitas Lambung Mangkurat


setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif

dan uji provokasi tidak perlu dilakukan.10

 Foto rontgen toraks

Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan.

Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus

paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol.

 Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin

Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang

diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral

Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis

polimormonuklear.10

 Uji kulit alergi dan imunologi

1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit

atau pengukuran IgE spesifik serum.

2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya

dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang

banyak didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat

untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun
22

Universitas Lambung Mangkurat


negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan

dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk

menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji

provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi

dapat ditekan dengan pemberian antihistamin

3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan

penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit

tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit

pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak

mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.10

23

Universitas Lambung Mangkurat


2.9 Tatalaksana

 Asma di rumah sakit

24

Universitas Lambung Mangkurat


 Di rumah

2.10 Pencegahan

Pencegahan Asma

Dalam praktik kedokteran keluarga yang lebih mengutamakan upaya preventif

dan promotif dalam manajemen penyakit kronik seperti asma salah satunya, maka

upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi 2 hal yaitu:11

a. Mencegah Sensititasi

Langkah – langkah dalam mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi

alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau

25

Universitas Lambung Mangkurat


pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Hingga kini tidak ada

bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma selain menghindari

pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir. Adapun hipotesis higiene

untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi

sel T regulator masih merupakan hipotesis.11

b. Mencegah Eksaserbasi

Allergen indoor dan outdoor merupakan salah satu faktor yang dapat

menimbulkan eksaserbasi asma. Contoh alergen indoor seperti tungau debu rumah,

hewan berbulu, kecoa, dan jamur. Sedangkan alergen outdoor seperti polen, jamur,

infeksi virus, polutan dan obat. Dokter keluarga dapat memberikan edukasi kepada

orang tua pasien maupun pengasuh agar dapat mengurangi pajanan penderita asma

anak dengan beberapa faktor seperti menghindarkan anak dari asap rokok, lingkungan

rumah dan sekolah yang bebas alergen, makanan, aditif, obat yang menimbulkan

gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya

penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari

alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan

indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor

lainnya.11

26

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai