Anda di halaman 1dari 16

DISUSUN OLEH :

ALMANORA (160300035 )
WIDYA ASTRI CAROLINA .T (160300025)

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM MUHAMMADIYAH


KISARAN ASAHAN
2017 /2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT,yang telah memberikan

rahmat serta karunia-nya kepada saya sehingga berhasil menyelesaikan makalah

hukum Tata Negara Lanjutan dengan judul “Kedudukan dan Kewenangan

Mahkama Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ” ini

dengan baik.

Makalah ini kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak serta referensi dari berbagai buku yang berkaitan dengan judul

makalah ini sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah hukum pidana

kami ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat,tata bahasanya maupun hal pendukung

lainnya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan

kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah Hukum Tata Negara

ini dengan lebih baik.

Kisaran, 15 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................... iii

B. Rumusan Masalah ................................................. iv

BAB II PEMBAHASAN

A. konsep dasar pembentukan mahkamah Konstitusi… 1

B. kedudukan dan wewenang Mahkama Kontitusi……. 3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................... 10

B. Saran .......................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 13


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri di luar dan sederajat

dengan Mahkamah Agung merupakan hal yang relatif baru dsi Indonesia.

Pengembangan budaya hukum masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan

kepada Tuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum telah mendapat

pengakuan dan jaminan dari Negara Indonesia melalui Perubahan Ketiga Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 1 yang

menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum

yang melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945. Artinya, Negara

Republik Indonesia meletakkan hukum pada kedudukan yang tertinggi sekaligus

sebagai prinsip dasar yang mengatur penyelenggaraan kehidupan masyarakat

berbangsa dan bernegara.

Menurut ketentuan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 Sehubungan

dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang

menangani perkara-perkara ketatanegaraan tertentu, berarti sistem kekuasaan yang

terdapat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan.

Mahkamah Konstitusi memiliki peranan yang strategis terhadap perimbangan

kekuasaan (checks and balances) antarlembaga Negara dalam sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu sebagai penjaga atau pengawal

kontitusi.
Hal ini secara tegas dinyatakan pada Penjelasan Umum Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa keberadaan

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara

tertentu di bidang ketatanegaraan adalah dalam rangka menjaga konstitusi dan

untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga Negara, serta merupakan

koreksi terhadap Pengalaman kehidupan ketata negaraan di masa lalu

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ?

2. Bagaimana Kedudukan dan Wewenang Mahkamah konstitusi Republik

Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK)

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan

diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang

dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001

sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal

7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9

Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan

pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Ketentuan umum mengenai Mahkamah Konstitusi ini dalam UUD 1945

dicantumkan dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal

24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan ayat (6) sebagai hasil perubahan ketiga UUD

1945 pada tahun 2001. Kemudian ditambah Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945

hasil perubahan keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Berdasarkan Aturan

Peralihan inilah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia benar-benar dibentuk

sebelum tanggal 17 Agustus 2003. Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut

ketentuan mengenai mahkamah ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13

Agustus 2003 menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (LN-RI Tahun 2003 No. 98, dan TLN-RI No. 4316), dan Keputusan

Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang pertama kali

dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003


dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003. Dengan telah terbentuk dan

berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19 Agustus 2003, maka

mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan yang tersendiri

dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan Peralihan

Pasal III UUD 1945 ditentukan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi dibentuk

selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala

kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Artinya, sejak disahkannya

naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 sampai

dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk

melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan

untuk sementara waktu dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku

Mahkamah Konstitusi Sementara.

B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Dalam konteks ketatanegaraan, kedudukan MK oleh UUD 1945

dirumuskan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah

Agung. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada

dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan

oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dengan konsepsi demikian, kekuasaan

kehakiman di Indonesia menurut arnandemen UUD 1945 menganut sistem

bifurkasi (bifurcation system) dimana kekuasaan kehakiman terbagi ke dalam


dua cabang yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada

MA dan cabang peradilan konstitusi (constitusional court) yang mempunyai

wewenang untuk melakukan contitusional review atas produk perundang-

undangan yang dijalankan oleh MK. Secara fungsional MA dan MK sama-

sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam yuridiksi

dan kompetensinya. Sistem bifurkasi ini, selain berlaku di Indonesia juga

berlaku di beberapa Negara di Eropa seperti Jerman, Perancis dan Rusia.

Salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengawal (to guard

konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara

maupun warga negara. Selain itu juga Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir

akhir konstitusi. Bahkan di berbagai Negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi

pelindung (protector) konstitusi. Sejak diinkorporasi- kannya hak-hak asasi

manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi

dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar

adanya.IUS Kajianukum dan Keadilan

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut 1: “…salah satu substansi

penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang

berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka

menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan

kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi

1
Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Bagian
Umum
sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan Negara yang stabil, dan

juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa

lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi”.

Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C

ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan

konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban

konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal

10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:.

1. Menguji undang-undang terhadap Undang- undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

3. Memutus pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan

kewajiban yang sekaligus kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C

ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun

2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa

Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau
perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil

Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

A). Pengujian Undang-undang terhadap UUD1945

Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24

Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 602 .Undang-undang adalah

produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik

para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung

kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki

hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah

bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji

apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,

mekanisme yang disepakati adalah judicial review3. Jika undang-undang atau

bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka

produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK

menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum

yang keluar dari koridor konstitusi.

b). Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara

Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan

pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan

2
Pasal 50 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
3
Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang
diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan
peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya
dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut
judicial preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan
Konstitusi) di Prancis. Judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-
undangan yang tersusun hierarkis.
yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin

terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya

menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling

mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam

melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya

perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi

wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur

dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.

c). Pembubaran Partai Politik

Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak

pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada

pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat

dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat

demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas,

tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 16

sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

telah mengatur kewenangan ini.

d). Perselisihan Hasil Pemilu

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta

Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1).

Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada

putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan
presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu

di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai

dengan Pasal 79.

e). Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden.

Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada

dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis,

ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip

supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila

terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam

UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-

prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang

menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan.

Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.

Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam

pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses

pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah

seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-

kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.4

4
Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
Putusan Final dan Mengikat

Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat

(1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak ada

peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana

putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan

Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum

tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk

dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan

ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK.5

Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang

bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian

adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya

tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu

tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan

sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang

dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan

keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang

dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan

menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU,

sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan

5
Lihat Pasal 10 dan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan MK

tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait

dengan ketentuan yang diputus oleh MK.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang mandiri

di bidang yudisial berimplikasi terhadap Mahkamah Agung, jika sebelumnya

kedudukan Mahkamah Agung adalah Badan Peradilan tertinggi yang membawahi

seluruh Pengadilan di Negara Republik Indonesia, kini ada satu badan peradilan

yang tidak berada di bawah, bahkan kedudukannya sejajar dengan Mahkamah

Agung yaitu Mahkamah Konstitusi bahkan, Mahkamah Konstitusi melalui

kewenangan konstitusionalnya untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang,

dapat menunda pelaksanaan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji

Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya di bawah Undang-Undang

terhadap Undang-Undang.

B. Saran

Perlu ada upaya pembenahan terhadap wewenang MK, dengan melakukan

upaya perubahan terhadap konstitusi, khsusunya mengenai pasal kewenangan MK

dalam menguji peraturan perundang-undangan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

6. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran

kekuasaan Indonesia, MKRI dan PSHTN FH UII, Jakarta, 2005

7. http://id.wikipedia.org/wiki/KedudukanMK.html

Anda mungkin juga menyukai