Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

FRAKTUR TIBIA DEXTRA 1/3 MEDIAL DIAFISIS KOMPLIT


TRANSVERSA TERTUTUP NONKOMPLIKATA

Oleh :
Anggela Trivenna Yordani 11.2017.093
dibimbing oleh : dr A.B. Mulyanto, Sp,OT, MARS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSPAD GATOT SOEBROTO
PERIODE 21 MEI 2018 – 5 AGUSTUS 2018
1
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasiten
Nama : Tn. A
TTL / Umur : 08 Januari 1981 / 37 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Cililitan Besar Kramat Jati
Agama : Kristen
Suku : Jawa

2. Status Pasien
ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Juni 2018 – 16.30 WIB

 Keluhan Utama
Nyeri pada kaki kanan akibat kecelakaan lalu lintas 10 jam SMRS.

 Riwayat Penyakit Sekarang


10 jam SMRS, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan nyeri
pada kaki kanan nya. Pasien awalnya dibawa ke RS Mitra Kemayoran untuk
mendapatkan penanganan awal dan akhirnya dirujuk ke RSPAD GS dengan diagnosis
fraktur tertutup tibia dextra. Pasien datang dengan kondisi sudah terpasang bidai pada
kaki kanannya. Pasien mengeluh kaki kanannya terasa nyeri terutama bila kaki nya
digerakkan. Pasien mengatakan terjatuh dari motor setelah ditabrak mobil dari
belakang, pasien jatuh terpental ke arah kanan. Pada daerah kaki kanan terdapat luka
lecet, deformitas (-), edema (+), nyeri tekan (+), pergerakan kaki kanan sangat
terbatas akibat nyeri. Saat kecelakaan helm pasien masih terpasang dengan baik, tidak
ada riwayat kepala terbentur. Tidak ada mual dan muntah, pusing ataupun riwayat
pingsan sesaat setelah kecelakaan.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Tidak ada riwayat penyakit jantung,
hipertensi, diabetes melitus ataupun asma. Pasien tidak sedang dalam masa
pengobatan apa pun. Tidak ada riwayat alergi.

 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada.

2
PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey:
 Airway + Cervical control : Jalan nafas bebas, tidak ada cedera servikal
 Breathing + Ventilation : RR 20x/menit, pergerakan dinding dada simetris
kanan-kiri saat statis & dinamis
 Circulation : TD 121/70 mmHg, HR 84x/min, CRT < 2”
 Disability : GCS 15 (E4 M6 V5), kaki kanan nyeri saat digerakkan

Secondary Survey:
Riwayat:
 A (Allergy) : Tidak ada
 M (Medications currently used) : Tidak ada
 P (Past illness) :Tidak ada
 L (Last meal) : ± 6 jam yang lalu
 E (Event) : Kecelakaan lalu lintas

STATUS GENERALIS
1) Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam
2) Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-
3) Hidung : Sekret (-) Perdarahan (-) Septum deviasi (-)
4) Mulut : Sianosis (-) Bibir kering (-)
5) Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan Kelenjar Tiroid
6) Thorax
(a) Pulmo :
Inspeksi = Bentuk Normal, gerakan dada simetris kanan-kiri baik statis maupun
dinamis.
Palpasi = Vokal fremitus +/+ di seluruh lapang paru
Perkusi = Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi = Vesikuler +/+, Ronki -/-,Wheezing-/-

(b) Cor
Inspeksi = Iktus kordis (-) terlihat
Palpasi = Iktus kordis (+) teraba
Auskultasi = BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-)
Perkusi = Batas kanan jantung : Linea sternalis kanan ICSIV
Batas atas jantung : Linea sternalis kiri ICS II
Batas pinggang jantung : Linea parasternalis ICS III
Batas kiri jantung : Linea midclav kiri ICS IV

3
(c) Abdomen
Inspeksi = Datar, tidak tampak bekas luka operasi/jejas akibat KLL
Perkusi = Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi = BU (+) normal
Palpasi = Nyeri Tekan (-), defans muscular (-)

7) Genitalia = Tidak dilakukan


8) Extremitas = Edema (-/-/+/-) Deformitas (-/-/-/-) Sianosis (-/-/-/-)
Terpasang bidai pada kaki kanan

STATUS LOKALIS
Regio Cruris Dextra
Look : Luka lecet (+), Edema (+), Deformitas (-) di 1/3 medial kruris dextra
Feel : Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), CRT < 2 detik
a.Tibialis posterior Dextra Sinistra (+) pulsasi
a.Dorsalis pedis Dextra Sinistra (+) pulsasi
Move : Pergerakan sendi panggul (+)
Pergerakan sendi lutut (-) karena nyeri
Pergerakan sendi pergelangan kaki (-) karena nyeri
Pergerakan jari-jari kaki (+)

PEMERIKSAAN KHUSUS LAIN

 Pemeriksaan Laboratorium Klinik


Darah Lengkap
Hb : 13,9 g/dL (N: 13-19g/dL)
Ht : 41 % (35-45%)
Eritrosit : 4,9 juta/uL (4,3-6,0juta/uL)
Leukosit : 13040/uL (4800-10800/uL)
Trombosit : 390ribu/uL (150rb-400rb/uL)

Ureum : 24 mg/dL (20-50mg/dL)


Kreatinin : 1,0 mg/dL (0,5-1,5 mg/dL)
GDS : 111 mg/dL (70-140 mg/dL)
Natrium : 138 mmol/L (135-147 mmol/L)
Kalium : 4,3 mmol/L (3,5-5,0 mmol/L)
Klorida : 105 mmol/L (95-105 mmol/L)

PT : 10,9 detik (9,3-11,8 detik)


APTT : 34,7 detik (31- 47 detik)

4
 X Foto Cruris Dextra AP Lateral

- Tampak soft tissue swelling pada daerah 1/3 medial cruris dextra
- Tidak tampak reaksi periosteal
- Tampak diskontinuitas tulang pada 1/3 medial diafisis tibia komplit dengan garis
fraktur transversal
- Tak tampak kelainan pada os fibula
- Tak tampak kelainan pada celah sendi dan permukaan sendi femorotibial dan
talocrucal

Kesan :
Sesuai gambaran fraktur tibia dextra 1/3 medial diafisis komplit tranversa

RESUME
Seorang laki-laki berumur 31 tahun datang dengan keluhan nyeri pada kaki kanannya
akibat kecelakaan lalu lintas 10 jam SMRS. Pasien terjatuh dari motor setelah ditabrak mobil
dari belakang, pasien jatuh terpental ke arah kanan. Pada daerah kaki kanan terdapat luka
lecet, deformitas (-), edema (+), nyeri tekan (+), pergerakan kaki kanan sangat terbatas akibat
nyeri. Saat kecelakaan helm pasien masih terpasang dengan baik, tidak ada riwayat kepala
terbentur. Tidak ada mual dan muntah, pusing ataupun riwayat pingsan sesaat setelah
kecelakaan.
Pada primary survey tidak didapatkan adanya kegawatdaruratan pada airway,
breathing dan circulation. Pada pemeriksaan fisik status lokalis didapatkan regio cruris dextra
luka lecet (+), edema (+), nyeri tekan (+), pada perabaan arteri tibialis posterior dan arteri
dorsalis pedis (+) teraba pulsasi, pergerakan kaki kanan sangat terbatas akibat nyeri. Pada
pemeriksaan foto cruris dextra tampak fraktur komplit dengan garis fraktur tranversa pada
tibia dextra 1/3 medial diafisis.

5
DIAGNOSIS
Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial Diafisis Komplit Transversa Tertutup Nonkomplikata

TATALAKSANA
Terapi :
Non medikamentosa:
- Imobilisasi : Back Slap
- Rujuk Sp Orthopedi untuk tindakan ORIF
Medikamentosa :
- Inj Ketorolac 30 mg
- Inj Ranitidin 50 mg
- Pronalges 100 mg suppositoria

PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : dubia ad Bonam
2. Quo ad Fungsionam : dubia ad Bonam
3. Quo ad Sanationam : dubia ad Bonam

6
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Regio Kruris Dextra

Tungkai bawah terdiri atas 3 kompartemen yaitu kompartemen anterior, kompartemen


lateral dan kompartemen posterior.

Gambar 1. Potongan melintang tungkai bawah

a. Kompartemen Anterior

Terdapat 4 otot utama dari kompartemen anterior :


 Musculus Tibialis anterior
 Musculus Extensor digitorum longus
 Musculus Extensor hallucis longus
 Musculus Fibularis (peroneus tertius)

Kompartemen ini berfungsi sebagai dorsoflexor atau ekstensor sendi pergelangan kaki
dan jari-jari kaki. Arteri tibialis anterior memperdarahi struktur-struktur dalam kompartemen
ini. Arteri tibialis anterior dan nervus peroneal masuk ke dalam otot dan normalnya
terlindungi dari cedera. Cabang arteri terminal arteri poplitea lebih kecil, arteri ini akan
berakhir di sendi pergelangan kaki, pertengahan antara kedua maleolus dengan beralih
menjadi arteria dorsalis pedis.1

7
b. Kompartemen Lateral
Kompartmen lateral terdiri dari 2 otot, Perineous Brevis dan Perineous Longus yang
berfungsi untuk plantar fleksor dan evertor dari kaki. Otot tersebut berinsersio dari bagian
proksimal dan tengah dari fibulla maka fibula akan terlindungi dari trauma langsung. Nervus
peroneal berjalan di antara musculus peroneal dan extensor digitorum longus. 1

c. Kompartemen Posterior
- Superficial posterior compartment
Musculus triceps surae yang terdiri atas musculus gastrocnemius yang mempunyai dua
caput dan musculus soleus dibawahnya. M. Triceps surae merupakan fleksor terkuat
bagi kaki. Musculus plantaris yang tidak terlalu berperan. Kompartmen ini penting
untuk plantar flexi.
- Deep posterior compartment
Kelompok otot pada kompartmen ini adalah M. Tibialis posterior yang merupakan
fleksor yang kuat, M. Fleksor digitorum longus dan M. Fleksor hallucis longus untuk
memfleksi sendi-sendi phalanx. M. Popliteus memiliki peran khusus yaitu untuk
menstabilkan articulatio genus. Pada kompartemen ini ada 2 arteri besar yang melewati,
yaitu arteri peroneal dan arteri tibialis posterior.1

Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region cruris. Ini
merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini terbentang ke proksimal
untuk membentuk articulation genu dan ke distal terlihat semakin mengecil.2

Gambar 2. Anatomi Os Tibia dan Fibula


Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi menyangga
berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris dan caput fibulae, di bawah

8
dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung
bawah yang lebih kecil. Pada ujung atas terdapat condyli lateralis dan medialis yang bersendi
dengan condyli lateralis dan medialis femoris, dan dipisahkan oleh menisci lateralis dan
medialis. Pada permukaan atas facies articulares condylorum tibiae terbagi atas area
intercondylus anterior dan posterior; di antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylus.
Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis yang
kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis terdapat
insertio m.semimembranosus. Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya,
dan mempunyai tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial, serta facies
medialis diantaranya terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk tulang
kering. Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang
merupakan tempat lekat ligamentum patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan
melanjutkan diri sebagai malleolus medialis. Margo lateral atau margo interosseus
memberikan tempat perlekatan untuk membrane interossea. Facies posterior dan corpus tibiae
menunjukkan linea oblique, yang disebut linea musculi solei, untuk tempatnya m.soleus.
Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat permukaan
sendi berbentuk pelana untuk os.talus, ujung bawah memanjang ke bawah dan medial untuk
membentuk malleolus medialis. Facies lateralis dari malleolus medialis bersendi dengan talus.
Pada facies lateral ujung bawah tibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi
dengan fibula.1,2

2. Fraktur
2.1.Definisi Fraktur

Trauma adalah kata lain untuk cedera yang dapat mencederai fisik maupun psikis.
Trauma yang mencederai fisik dapat menimbulkan kerusakan pada sistem musculoskeletal
berupa vulnus, perdarahan, memar, regangan atau robek parsial pada jaringan lunak, gangguan
pembuluh darah, gangguan saraf dan diskontuinitas tulang,.3
Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Kebanyakan fraktur diakibatkan oleh trauma, namun beberapa fraktur sekunder dapat terjadi
akibat proses penyakit seperti osteoporosis atau keganasan yang menyebabkan fraktur yang
patologis. Bila trauma terjadi pada atau dekat persendian, mungkin terdapat fraktur pada tulang
disertai dislokasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. Dislokasi adalah keadaan tulang yang
membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis. Kebanyakan fraktur terjadi karena
kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan.3

9
2.2 Jenis Fraktur

1. Terbuka / Tertutup
Salah satu klasifikasi fraktur berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah
yang patah, yaitu :4
 Fraktur Tertutup
Apabila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
 Fraktur Terbuka
Apabila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, baik fragmen
tulang yang menonjol keluar (from within) ataupun benda asing dari luar masuk ke dalam
luka (from without) yang memungkinkan masuk dan bertumbuhnya kuman pada luka.
Menurut Gustillo, fraktur terbuka dapat dibagi menjadi:
- Grade I : luka < 1cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk,
fraktur sederhana, transversal, oblik atau kominutif ringan, kontaminasi
minimal
- Grade II : luka > 1cm, kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap/ avulsi, fraktur
kominutif sedang, kontaminasi sedang
- Grade III : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler. Dapat dibagi menjadi:
A: Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/ flap/ avulsi; atau fraktur segmental/ sangat kominutif yang
disebabkan trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya luka
B: Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
terkontaminasi masif
C: Luka pada pembuluh darah arteri/ saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat jaringan lunak

2. Fraktur Komplit/ Inkomplit


Fraktur Komplit : apabila garis fraktur melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang
Fraktur inkomplit :apabila garis fraktur tidak melalui seluruh penampang tulang

3. Menurut garis frakturnya :


Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang akibat trauma
angulasi atau langsung
Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang akibat trauma angulasi
Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral akibat trauma
rotasi

10
Fraktur Kompresi : fraktur akibat trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
area permukaan lain
Fraktur Avulsi : fraktur yang diakibatkan suatu tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang

4. Menurut Jumlah garis fraktur


- Fraktur kominutif : garis fraktur lebih dari satu dan saling berhubungan
- Fraktur segmental : garis fraktur lebih dari satu tetapi tidak saling berhubungan
- Fraktur multipel : garis fraktur lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya
5. Bergeser / tidak bergeser
- Fraktur undisplaced: garis fraktur komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser
- Fraktur displaced: terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur3,4

3. Fraktur Diafisis Tibia

Fraktur batang tibia yang biasanya disebut patah tulang kruris merupakan fraktur yang
sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya. Penyebab tersering dari fraktur
tibia adalah cedera langsung. Periosteum yang melapisi tibia bersifat tipis terutama pada daerah
depan yang hanya dilapisi kulit, sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen
frakturnya bergeser. Karena berada langsung dibawah kulit sering ditemukan juga fraktur
terbuka.
Fraktur tibia diklasifikasikan berdasarkan lokasi frakturnya, yaitu pada bagian proksimal
(kondiler), diafisis atau distal tibia. Seperti fraktur pada umumnya, fraktur pada diafisis bisa di
klasifikasikan dengan berbagai cara, secara tradisional pada dokter bedah biasanya membagi
berdasarkan jenis fraktur, terbuka atau fraktur tertutup dan berdasarkan lokasi, bagian atas,
tengah atau 1/3 bawah dari tulang. 5

3.1 Epidemiologi

Tendensi untuk terjadinya fraktur tibia terdapat pada pasien-pasien usia lanjut yang
terjatuh, dan pada populasi ini sering ditemukan fraktur terbuka dengan fraktur kominutif. Pada
pasien-pasien usia muda, mekanisme trauma yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan
bermotor. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah
45 tahun dan sering juga berhubungan dengan olahraga ataupun pekerjaan. Sedangkan pada usia
lanjut prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.
Di Amerika Serikat, insidens tahunan fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11 per
100.000 orang, dengan 40% terjadi di ekstremitas bawah. Fraktur ekstremitas bawah yang paling
umum terjadi pada diafisis tibia.5

11
3.2 Patofisiologi

Fraktur diafisis tibia biasanya terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan
menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan
menimbulkan fraktur tipe spiral yang biasa dapat terjadi pada olahragawan seperti pemain sepak
bola. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada daerah tibia
sering bersifat terbuka. Penyebab utama tersering yang menyebabkan fraktur pada bagian batang
dari tibia yaitu jatuh, cedera olahraga, trauma langsung, kecelakaan lalu lintas dan tembakan
senjata. Cedera berat pada tulang dan jaringan lunak biasanya akibat dari cedera langsung yang
terfokus pada satu area dengan energi yang besar, misalnya tergilas oleh mesin industri atau
akibat pukulan dengan menggunakan kayu atau tongkat baseball.
Pada saat terjadi fraktur, akan terjadi kerusakan korteks, pembuluh darah, sumsum tulang
dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan
sekitar. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah
periosteum dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Lalu terjadilah respon inflammasi
akibat sirkulasi jaringan nekrotik dengan ditandai vasodilatasi dari plasma dan leukosit.
Tentunya hal tersebut merupakan salah satu upaya tubuh untuk melakukan proses penyembuhan
dalam memperbaiki cidera, dimana tahap tersebut menunjukkan tahap awal penyembuhan
tulang. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler,
lalu menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan
masuk ke interstitial. Hal tersebut menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan
menekan ujung syaraf nyeri, sehingga terjadilah nyeri tekan.
Selain itu saat terjadi perdarahan, bekuan darah akan terbentuk pada daerah tersebut.
Bekuan akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang
primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi chondroblast dan osteoblast. Chondroblast akan
mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi kalsium.Terbentuk lapisan tebal (callus) di sekitar
lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen
satunya, dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut
dengan terbentuknya trabekula dan osteoblast yang melekat pada tulang dan meluas
menyeberangi lokasi fraktur. Penyatuan tulang provisional ini akan menjalani transformasi
metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami
remodeling untuk mengambil bentuk tulang yang utuh seperti bentuk osteoblast tulang baru dan
osteoclast akan menyingkirkan bagian yang rusak dan tulang sementara.6

3.3 Manifestasi Klinis

Ditemukan gejala fraktur berupa pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan deformitas.
Sindroma kompartemen bisa muncul di awal cedera maupun kemudian. Sehingga perlu
pemeriksaan serial dan perhatian pada ekstremitas yang mengalami cidera. Sindroma
kompartemen terdiri dari pain, pallor, paralysis, paresthesia, pulselessness.3

12
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan mengambil sampel darah/urin/dahak/cairan
tubuh pasien lainnya. Pada kasus fraktur umumnya pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah hematologi rutin/lengkap yang biasanya disertai dengan pemeriksaan kimia darah yang
berguna untuk melihat ada tidaknya kelainan darah, kelainan sel darah, kondisi keseimbangan
elektrolit dalam tubuh serta ada tidaknya infeksi yang terjadi di dalam tubuh seseorang. Selain
itu dapat juga dilakukan pemeriksaan analisa gas darah untuk melihat kadar perubahan gas darah
yang berkaitan dengan fungsi respirasi, metabolik dan ginjal serta pemeriksaan PT dan APTT
yang bermanfaat untuk melihat fungsi koagulasi guna persiapan pasien sebelum dilakukan
operasi sebagai tindak lanjut kasus fraktur.4

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi biasanya menjadi modal utama dalam menegakkan diagnosis
fraktur. Pemeriksaan radiologik juga diperlukan untuk mengetahui derajat remuknya fraktur
kominutif dan mengetahui letak persis patahannya. Bila secara klinis ada atau diduga ada fraktur,
maka harus dibuat 2 foto tulang yang bersangkutan. Sebaiknya dibuat foto antero-posterior (AP)
dan lateral. Perlu diingat bahwa bila hanya 1 proyeksi yang dibuat, ada kemungkinan fraktur
tidak dapat dilihat. Pada fraktur ekstremitas, daerah yang difoto harus cukup luas dengan
mencakup setidaknya satu persendian. Namun, pemeriksaan radiologis tulang yang berada di
antara dua sendi sebaiknya mencakup keseluruhan panjang tulang mulai dari persendian
proksimal hingga persendian distal tulang tersebut.3,4

3.5 Tatalaksana

Pada kasus cedera muskuloskeletal, tatalaksana awal tetap berpegang pada prinsip ATLS
(Advanced Trauma Life Support) yang terdiri dari primary survey dan secondary survey. Pada
primary survey akan dinilai airway – cervical control, breathing - ventilation, circulation,
disabilty dan exposure nya. Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Secondary survey baru dilakukan setelah
primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan ABC-nya pasien dipastikan membaik. Pada
secondary survey ini mencakup history taking dan physical exam yang mencakup pemeriksaan
dari kepala sampai ujung kaki (head to toe). Pada anamnesis, perlu diingat mengenai riwayat
AMPLE yaitu riwayat Alergi, Medikasi, Penyakit penyerta, Last meal dan Event (lingkungan
yang berhubungan dengan kejadian).7

Kemudian pada kasus fraktur/dislokasi tatalaksana selanjutnya adalah dengan rekognisi


(mengenali), mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi/reduksi),
mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (retaining) dan rehabilitasi.
Namun prinsip utamanya adalah ”do no harm”. Pasien dengan kondisi fraktur biasanya akan
merasakan nyeri tergantung dari jenis frakturnya dan dengan pergerakan yang minimal saja

13
biasanya akan menambah rasa sakit pada pasien. Oleh sebab itu pertolongan pertama yang bisa
dilakukan adalah dengan imobilisasi. Hal ini dapat meminimalkan rasa sakit yang dialami pasien,
memudahkan dalam transportasi pasien dan mencegah kerusakan jaringan yang lebih parah.
Selain itu pemberian analgetik juga dapat dijadikan pilihan sebagai tatalaksana untuk
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien. Pemilihan tatalaksana lebih lanjut yang tepat juga
sangat penting untuk pasien, contohnya seperti apakah pasien membutuhkan tindakan reposisi
segera atau tidak, membutuhkan anestesi lokal atau tidak, dan lain sebagainya. Jangan sampai
tindakan yang dilakukan tidak memberi dampak baik dan hanya akan menambah penderitaan
pasien. Mengingat tujuan utama penanganan fraktur adalah untuk mengusahakan terjadinya
penyatuan tulang dan mengembalikan fungsi secara optimal. Berikut adalah 6 prinsip umum
dalam penatalaksanaan fraktur :

1. Do no harm
2. Base treatment on an accurate diagnosis and prognosis
3. Select treatment with specific aims
4. Cooporate with the laws of nature
5. Be realistic and practical in your treatment
6. Select treatment for yout patient as an individual8

Kemudian pada tahap rekognisi (mengenali) dilakukan pemeriksaan look, feel, move
untuk menilai ada/tidaknya luka, deformitas, edema, merasakan ada/tidaknya nyeri tekan,
krepitasi dan menilai pulsasi dari pembuluh darah yang berhubungan dengan lokasi fraktur.
Selain itu untuk menilai kemampuan dan keterbatasan dari pergerakannya. Reduksi/reposisi yang
dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan remodeling. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen
fraktur pada posisi anatomik normalnya. Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup,
traksi, dan reduksi terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip
yang mendasarinya tetap sama.3,8
- Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan “Manipulasi dan Traksi manual”. Sebelum reduksi dan imobilisasi, pasien
harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai ketentuan dan bila
diperlukan diberi anestesia. Ektremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan
sambil dilakukan pemasangan gips atau bidai. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi
dan menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Pemeriksaan sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang
benar.
- Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

14
- Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pen,
kawat, sekrup, plate, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahan
kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Pemeriksaan sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah
dalam kesejajaran yang benar.

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Sasarannya adalah mempertahankan
reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan. Metode untuk mempertahankan imobilisasi
adalah dengan alat-alat “eksternal” seperti bebat, brace, cast, fiksator eksterna, traksi, balutan
dan alat-alat “internal” seperti plate, screw, dan lain-lain. Pada kasus fraktur tibia, long leg cast
biasanya menjadi pilihan sebagai alat imobilisasi dan dipakai selama kurang lebih 6 minggu.
Selain itu rehabilitasi juga merupakan hal penting sebagai tahap akhir pengobatan. Tujuan
dari rehabilitasi adalah mengembalikan aktifitas fungsional organ terkait semaksimal mungkin.
Pasien yang diindikasikan untuk dilakukan tindakan operatif biasanya akan dirawat inap 2-3 hari
post operasi untuk manajemen nyerinya lalu dilanjutkan dengan latihan fisik dirumah dengan
prinsip isometrik dan isotonus. Latihan dilakukan secara bertahap sampai mampu berjalan
sendiri tanpa alat bantu. Untuk evaluasi keadaan fraktur dilakukan dengan pemeriksaan radiologi
berupa foto rontgen untuk mengetahui apakah alignmentnya adekuat, Evaluasi ini dilakukan
sekitar 6-8 minggu post tindakan. Selain itu bila pada pasien dengan pemasangan gips atau cast,
juga dievaluasi apakah ada tanda-tanda pemasangan cast yang terlalu ketat atau terlalu longgar.
Karena pemasangan cast yang terlalu ketat dapat mengakibatkan rasa nyeri, kekakuan sendi,
bahkan kompartemen sindrom.
Pada kasus tertentu, fraktur yang sulit direposisi secara tertutup dan mudah mengalami
redislokasi, diindikasikan untuk dilakukannya ORIF (Open Reduction Internal Fixation). ORIF
adalah tindakan reduksi terbuka dimana dilakukan insisi pada daerah yang mengalami fraktur
kemudian direposisi untuk mendapatkan posisi yang normal dan setelah direduksi, fragmen-
fragmen tulang dipertahanakan dengan alat berupa plat and screw. Kegunaan dari ORIF adalah
untuk mengurangi rasa sakit dan membantu tulang untuk sembuh dengan benar, mencegah
cedera lebih lanjut dan tentu untuk mengembalikan fungsi normal tulang.8
Indikasi pemasangan interna fiksasi:8
o Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi
o Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan misalnya fraktur radius dan ulna disertai
malposisi yang hebat atau fraktur yang tidak stabil
o Fraktur yang tidak stabil dan dapat bergeser lagi setelah reduksi
o Fraktur yang mengakibatkan tulang tidak berbaris dengan benar
o Bila terdapat interposisi jaringan diantara kedua fragmen
o Fraktur Terbuka
o Fraktur Patologis

15
o Fraktur Multiple
o Fraktur pada pasien yang sulit dalam perawatan (paraplegi, cedera multiple dan pada
pasien usia tua)
Sebagian besar komplikasi pemakaian internal fiksasi terjadi karena teknik pemasangan
yang tidak sesuai. Komplikasi pemasangan internal fiksasi dapat berupa infeksi, non union dan
implant failure.8

3.6 Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan
fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik. Komplikasi fraktur dibagi menjadi komplikasi
segera, komplikasi dini dan komplikasi lambat.3 Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada
kasus fraktur tibia adalah cedera pembuluh darah, cedera saraf terutama n. peroneus,
pembengkakan yang menetap, delayed union dan kekakuan sendi pergelangan kaki. Delayed
union atau non union dapat terjadi karena fibula yang menghalangi kompresi yang cukup pada
sumbu tibia, pada keadaan ini biasanya dianjurkan untuk pemasangan fiksasi interna.8

- Perdarahan dan Syok


Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. Sumber
perdarahan tersembunyi adalah fraktur pelvis, fraktur extremitas dan fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan dimana kehilangan darah banyak yang terjadi sebelum pasien
sampai di rumah sakit.8
- Trauma Arteri
Pembuluh darah kecil dapat robek pada saat terjadi fraktur, tetapi hal ini jarang
terjadi pada pembuluh darah besar. Walaupun begitu komplikasi akibat trauma dapat
mengakibatkan sekuele berupa oklusi arteri yang persisten. Arteri besar mudah rusak oleh
trauma yang disertai fraktur dan dislokasi. Gejala oklusi arteri yang total pada anggota
gerak berupa kulit yang pucat pada bagian distal, dingin, hilangnya denyut arteri dan
bintik-bintik serta warna hitam pada kulit yang menunjukkan adanya gangren.8
- Sindrom kompartemen
Sindroma kompartemen terjadi bila ada peningkatan tekanan interstisial di ruang
osteofasial yang menimbulkan iskemia dan berikutnya nekrosis. Iskemia dapat terjadi
karena peningkatan tekanan intrakompartemen yang akan mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan
fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia. Selain itu juga dapat disebabkan
karena penyusutan isi kompartemen akibat tekanan dari luar misalnya dari balutan yang
menekan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan bawah, kaki, tangan,
regio glutea dan paha.8

16
Tahap akhir dari kerusakan neuromuscular ini disebut Volkman’s ischemic
contracture , yang terjadi akibat oklusi persisten arteri yang letaknya lebih dalam selama 6
jam atau lebih menyebabkan iskemia dan akhirnya nekrosis pada otot dan saraf. Otot yang
nekrosis digantikan oleh jaringan parut fibrosa yang menyebabkan pemendekan otot
(kontraktur). Gejala dan tanda-tanda dari sindrom kompartemen adalah adanya nyeri yang
bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot
bersangkutan, parestesia, menurunnya sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang
melewati kompartemen tersebut disertai hilangnya pulsasi. Penanganannya adalah dengan
dibuka semua balutan yang menekan, gips dan bidai. Bila tidak terdapat perbaikan, perlu
dilakukan fasciotomi.3,8
- Osteomielitis
Dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau dari tindakan operasi pada fraktur
tertutup karena pemasangan implan atau fiksasi eksterna. Keadaan ini dapat menimbulkan
osteomielitis kronik, delayed union atau bahkan non union.8
- Kekakuan Sendi
Kekakuan sendi yang persisten merupakan suatu komplikasi yang menghambat
fungsi normal anggota gerak. Kekakuan sendi terjadi akibat anggota gerak yang cukup
lama tidak digerakkan.8
- Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal.
Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang
menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot
yang tidak digerakkan sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke
jaringan otot.8
- Delayed union
Penyembuhan fraktur yang lebih lama dari yang seharusnya, yaitu bila fraktur tidak
sembuh setelah 3-5 bulan.8
- Malunion
Istilah malunion menunjukkan bahwa penyatuan telah terjadi pada waktunya, tetapi
dalam posisi yang jelek yaitu fraktur menyatu dalam posisi yang abnormal yang
menunjukkan adanya deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan dan pemanjangan).8
- Non union
Kegagalan fraktur untuk menyatu setelah melebih suatu periode waktu tertentu
kurang lebih 6-8 bulan.8

17
4. Proses Penyembuhan Fraktur

Fase Hematoma (1-3 hari)

Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk hematoma di
sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan
darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi
medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi
jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya.9

Fase Proliferasi (3 hari-2 minggu)

Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi
sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna dan pada daerah endosteum
membentuk kalus interna. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru
yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut.9

Fase Pembentukan Kalus (minggu-bulan)

Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik. Pada kondisi
yang tepat sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago/tulang rawan. Tempat
osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-
garam kalsium pembentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut moven bone yang
akan membentuk kalus primer.

Fase Konsolidasi (3-6 bulan)


Dengan aktifitas osteoklas dan osteoblas yang terus menerus, tulang yang immature
(woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat
sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast
yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan
perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang
normal.

18
Fase Remodelling (6 bulan-tahun)

Pada fase ini perlahan-lahan terjadi resorpso secara osteoklastik dan terjadi osteoblastik
pada tulang, dan kalus eksterna yang secara perlahan-lahan akan menghilang. Kalus intermediet
berubah menjadi tulang yang kompak dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan
untuk membentuk sumsum. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya,
terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi. Pada
fase akhir ini, dimulai dari 6 bulan sampai beberapa tahun dari kejadian fraktur.9,10

19
PEMBAHASAN

Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur
batang tibia yang biasanya disebut patah tulang kruris merupakan fraktur yang sering terjadi
dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya. Penyebab tersering dari fraktur tibia adalah
cedera langsung. Periosteum yang melapisi tibia bersifat tipis terutama pada daerah depan yang
hanya dilapisi kulit, sehingga tulang ini mudah patah.
Pada kasus Tn A, dari anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan keluhan nyeri
pada kaki kanan nya setelah kecelakaan lalu lintas 10 jam SMRS. Pasien jatuh dari motor setelah
ditabrak mobil dari belakang dan jatuh terpental ke arah kanan. Kaki kanan nya terasa nyeri dan
sulit digerakkan. Tidak ada mual, muntah, pingsan maupun riwayat kepala terbentur. Pada
pemeriksaan fisik, tidak didapatkan adanya kegawatdaruratan pada airway, breathing dan
circulation. Pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran compos metis. Tanda-tanda vital
dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokasi regio kruris dextra tampak adanya luka
lecet, edema (+), nyeri tekan (+), sensibilitas (+), pada perabaan arteri tibialis posterior dan arteri
dorsalis pedis (+) teraba pulsasi, CRT < 2 detik, untuk pergerakkan sendi panggul (+),
pergerakkan sendi lutut dan pergerakkan pergelangan kaki sangat terbatas akibat nyeri,
pergerakkan jari-jari kaki (+) walau terbatas.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ini dicurigai adanya fraktur pada regio kruris
dextra ataupun trauma muskuloskeletal lainnya di regio tersebut. Dari mekanisme trauma yang
terjadi kemungkinannya adalah trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal
atau oblik pendek. Oleh sebab itu untuk memastikan apakah pasien mengalami fraktur atau tidak,
dan untuk mengetahui letak frakturnya diperlukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen
regio kruris dextra. Dari hasil foto rontgen didapatkan adanya diskontinuitas pada os Tibia dextra
1/3 medial diafisis komplit dengan garis fraktur transversal, kontak kurang lebih 95%, tidak
tampak adanya angulasi, tidak tampak adanya pemendekan berupa cum contractionum, maupun
cum distractionum. Dengan demikian pasien Tn A di diagnosis dengan Fraktur Tibia Dextra 1/3
Medial Diafisis Komplit Transversa Tertutup Nonkomplikata.
Sesuai dengan teori sebelumnya, pada setiap kasus cedera muskuloskeletal tatalaksana
awal selalu berpegang pada prinsip ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang terdiri dari
primary survey (Airway-Cervical control, Breathing-Ventilation, Circulation, Disability) dan
secondary survey (Head to toe examination). Setelah dipastikan tidak ada kegawatdaruratan pada
primary survey, maka tatalaksana selanjutnya adalah mempertimbangkan terapi konservatif yang
dapat diberikan, setelah itu dipertimbangkan untuk penatalaksanaan secara operatif. Pada pasien
dilakukan 3R (rekognisi, retensi, rehabilitasi), pada rekognisi dilakukan pemeriksaan look, feel,
move untuk menilai dan mengenali kondisi pasien. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa
pasien mengalami Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial Diafisis Komplit Transversa Tertutup
Nonkomplikata. Dari hasil rontgen kruris dextra diketahui kontak fraktur sekitar 95% dengan
alignment baik, tidak tampak adanya angulasi, pemendekan maupun rotasi, oleh sebab itu tidak
dilakukan reduksi tertutup pada kasus ini. Tahap selanjutnya adalah retensi, dimana pada pasien

20
dilakukan pemasangan back slap untuk imobilisasi sementara. Selain dengan imobilisasi,
manajemen nyeri pasien juga diatasi dengan pemberian analgetik. Pasien direncanakan untuk
menjalani terapi secara operatif berupa ORIF (Open Reduction Internal Fixation) oleh dokter
bedah spesialis orthopedic dengan pertimbangan prognosis yang jauh lebih baik. Setelah
dilakukan ORIF pasien menjalani rehabilitasi untuk mengembalikan aktifitas fungsional organ
terkait semaksimal mungkin. Pasien dirawat jalan dan diedukasikan untuk melakukan latihan
fisik di rumah dengan prinsip isometrik yang dilanjutkan dengan isotonus. Latihan dilakukan
secara bertahap sampai pasien mampu berjalan sendiri tanpa alat bantu. Proses penyembuhan
fraktur memerlukan waktu yang cukup lama dan berbeda-beda pada setiap orang, oleh sebab itu
penting untuk mengedukasi pasien agar pasien mengerti dan tetap taat menjalani tahap
rehabilitasinya.Untuk evaluasi keadaan fraktur dilakukan monitoring dengan pemeriksaan foto
rontgen sekitar 6-8minggu setelah tindakan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen F, Waschke J. Sobotta; Anatomi Umum dan Sistem Muskuloskeletal. Edisi 23.
Jakarta: EGC; 2014. Hal. 258-313.

2. Moore, Keith L. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002.


3. Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2017.
4. Tanto C, dkk. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jakarta.: Media Aesculapius; 2014. Hal.
241-3.
5. Brian K Konowalchu. Tibial shaft fracture. 2012.
Akseshttp://emedicine.medscape.com/article/1249984-overview#a0103

6. Berquist, Thomas H. Musculoskeletal imaging companion. Edisi 2. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 222-3.
7. IKABI. ATLS: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Edisi 8. America: American
College of Surgeons; 2008.
8. Rasjad C. Ilmu bedah ortopedi. Ujung Pandang: Bintang Lamumpatue; 1998.
9. Thomas, Mark A. Terapi dan rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC; 2016.

22

Anda mungkin juga menyukai