Anda di halaman 1dari 44

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 5
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6
2.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit .................................................................................. 6
2.2 Imunisasi ..................................................................................................................... 15
BAB III : PENUTUP .................................................................................................... 41
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 41
3.2 Saran............................................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 42
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu target dalam Millenium
Development Goals (MDGs) pada tujuan 4 dan 5 yang telah berakhir sampai tahun
2015, kemudian dikembangkan menjadi Sustainable Development Goals (SDGs)
dengan target pencapaian sampai tahun 2030, tepatnya pada tujuan 3 dari 17 tujuan
SDG’s yaitu kesehatan yang baik; menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong
kesejahteraan bagi semua orang di segala usia (Kemenkes, 2015). Program
kesehatan ibu dan anak menjadi sangat penting karena ibu dan anak merupakan
unsur penting pembangunan, hal ini mengandung pengertian bahwa dari seorang
ibu akan dilahirkan calon-calon penerus bangsa, yaitu seorang anak. Untuk
mendapatkan calon penerus bangsa yang akan dapat memberikan manfaat bagi
bangsa maka harus diupayakan kondisi ibu dan anak yang sehat (Prasetyawati,
2012). Sebagai usaha menjaga bayi yang sehat maka terdapat berbagai macam
program-progam kesehatan yang digalahkan,salah satunya adalah imunisasi.
Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan pada bayi
dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga dengan imunisasi diharapkan bayi
dan anak tetap tumbuh dalam keadaan sehat. Kementerian Kesehatan melaksanaan
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan
kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi untuk penyakit-penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) pada anak yang tercakup dalam PPI adalah
satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio,
dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang
dari tiga bulan, imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya
diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPT-HB pada bayi
umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu, dan imunisasi
campak paling dini umur sembilan bulan. Anak disebut sudah mendapatkan
imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali BCG,
tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak, (Riskesdas,
2010).
1
Pada tingkat Association South East Asean Nation (ASEAN) tahun 2012,
di Indonesia mempunyai angka kematian bayi 32/1.000 kelahiran hidup yaitu
hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi di Malaysia, 2 kali
dibandingkan dengan Thailand dan 1,3 kali dibandingkan dengan Philipina. Sekitar
57% kematian bayi tersebut terjadi pada bayi berumur dibawah satu bulan dan
paling utama disebabkan oleh campak, selain itu adalah gangguan perinatal, infeksi
saluran pernapasan akut, diare, malaria dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), 40%
disebabkan oleh hipotermi, asfiksia karena prematuritas, trauma persalinan dan
tetanus neonatrium (Senatia, 2008).
Imunisasi merupakan suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi
dan anak dengan cara memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat
anti untuk mencegah penyakit tertentu. Adapun tujuan imunisasi adalah
merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibody spesifik sehingga
dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I) (Delan Astrianzah dan Margawati, 2011). Imunisasi bertujuan
untuk memberikan kekebalan terhadap tubuh anak. Caranya adalah dengan
memberikan vaksin. Vaksin berasal dari bibit penyakit tertentu yang dapat
menimbulkan penyakit yang terlebih dahulu dilemahkan. Sehingga tidak berbahaya
lagi bagi kelangsungan hidup manusia (Riyadi, 2012).
Cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) di Indonesia tahun 2016 belum
mencapai target. Pemerintah menargetkan cakupan IDL sebesar 91,5%, namun
hingga akhir tahun hanya 82,1% yang berhasil tercapai. Angka tersebut setara
3.589.226 bayi yang lahir sepanjang 2016. Capaian 2016 berbeda dengan 2015
yang berhasil melebihi target. Cakupan IDL mencapai 80%, yang lebih besar dari
target sebesar 75%, Angka tersebut setara 4.139.903 bayi yang lahir setahun
kemarin (Widiyani, 2016).
Anak jika tidak diberikan imunisasi maka akan beresiko terkena penyakit-
penyakit tertentu yang bisa menyebabkan kematian pada anak. Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ada beberapa penyakit utama yang
menjadi penyebab kematian bayi dan balita. Pada kelompok bayi (0-11 bulan), dua
penyakit terbanyak sebagai penyebab kematian bayi adalah penyakit diare sebesar
31,4% dan pneumonia 24%, sedangkan untuk balita, kematian akibat diare sebesar

2
25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah Dengue (DBD) 6,8% dan campak
5,8%.
Menurut (WHO) World Health Organization 2012, angka kematian balita di
dunia masih cukup tinggi. Setiap tahunnya 6,6 juta anak usia di bawah lima tahun
meninggal, 18.000 meninggal dunia hampir setiap harinya. Sebagian besar
kematian tersebut berada di negara berkembang, lebih dari setengahnya
dikarenakan infeksi saluran pernapasan akut (pneumonia), diare, campak, malaria,
dan HIV/AIDS. Selain itu malnutrisi (54%) mendasari dari semua kematian anak.
Secara global, pada tahun 2020 penyakit ini akan berkonstribusi penyebab utama
kematian anak di dunia. Meskipun kemajuan program dalam mengatasi masalah
penyakit tersebut, angka kesakitan dan kematian anak masih tetap tinggi, berbagai
cara inovatif untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan pada anak mulai dari
masa kehamilan terus dikembangkan. Salah satu upaya dalam menurunkan angka
kematian balita antara lain melalui peningkatan keterampilan tenaga kesehatan
terutama bidan dan perawat di puskesmas dan kader kesehatan di masyarakat.
Peningkatan keterampilan tersebut dilaksanakan melalui pendekatan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Metode MTBS telah dikembangkan di Indonesia
sejak tahun 1997 melalui kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI, WHO,
UNICEF dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Survei Sarana Kesehatan
(Riset Fasilitas Kesehatan/ Risfaskes 2011) yang dilakukan oleh National Institute
of Health Research dan Pengembangan, Kementerian Kesehatan, melaporkan
bahwa 80% dari puskesmas di Indonesia telah mengadopsi MTBS, meskipun
pelaksanaannya bervariasi di seluruh provinsi.
Pada tahun 1997 IMCI mulai dikembangkan di Indonesia dengan nama
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yaitu berupa suatu program yang bersifat
menyeluruh dalam menangani balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan
dasar. Di Indonesia, MTBS masih menjadi sesuatu yang baru bagi tenaga-tenaga
kesehatan terutama yang berada di pelayanan kesehatan dasar. Oleh karena itu akan
terus dikembangkan sehingga dapat menjadi standar dalam menangani balita sakit
di pelayanan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian bayi dan balita.
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) menangani balita sakit menggunakan
suatu algoritme, program ini dapat mengklasifikasi penyakit-penyakit yang diderita

3
secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang diderita oleh balita sakit, melakukan
rujukan secara cepat apabila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan
memberikan imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita
juga diberikan konseling mengenai tata cara memberikan obat kepada balitanya di
rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan kepada
balita tersebut dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera kembali
untuk mendapat pelayanan tindak lanjut, sehingga MTBS merupakan paket
komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif.
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of
Childhood Illness (IMCI) merupakan suatu pendekatan yang terintegrasi atau
terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus pada kesehatan anak usia 0-59
bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program
kesehatan tetapi suatu pendekatan atau cara penatalaksanaan balita sakit. Konsep
pendekatan MTBS yang pertama kali diperkenalkan oleh organisasi kesehatan
dunia WHO (World Health Organizations) merupakan suatu bentuk strategi upaya
pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian, kesakitan
dan kecacatan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang. Bank Dunia,
1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective
mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut
(ISPA), diare, campak malaria, kurang gizi, dan penyakit yang sering merupakan
kombinasi dari keadaan tersebut. Kematian balita merupakan salah satu indikator
penting yang menunjukkan derajat kesehatan masyarakat. Secara global, kematian
balita mengalami penurunan sebesar 53% sejak tahun 1990 ke 2015, namun masih
ada sekitar 7,6 juta balita yang meninggal tiap tahunnya. Indonesia memiliki
kemajuan yang lebih pesat dalam penurunan kematian balita yaitu sebesar 59%,
namun, penurunan kematian balita di Indonesia masih sangat lambat sejak satu
dekade terakhir.
Tujuan utama dari strategi MTBS adalah meningkatkan derajat kesehatan
serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak mengurangi angka
kematian, frekuensi, tingkat keparahan penyakit dan kecacatan, dan memberikan
konstribusi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat,
2008). Kegiatan MTBS memiliki tiga komponen khas yang menguntungkan, yaitu

4
meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit,
memperbaiki sistem kesehatan, dan memperbaiki praktik dalam rumah tangga dan
masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pengobatan pada kasus
balita sakit (WHO, 2012). Melihat betapa pentingnya melakukan imunisasi dimana
imunisasi itu sendiri merupakan salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit,
maka menjadi hal yang penting untuk mengetahui dan memahami terkait imunisasi
serta apabila balita sudah sakit salah satu cara yaitu dengan staregi MTBS.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana asuhan keperawatan pada anak yang mendapatkan imunisasi dan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ?
1.2.2 Bagaimana cara pemberian imunisasi

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada anak yang mendapatkan imunisasi dan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami konsep imunisasi dan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS)
2. Mahasiswa mampu mendemonstrasikan cara pemberian imunisasi

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit

Menurut WHO-UNICEP (2003), manajemen terpadu balita sehat (MTBS)


sebagai strategi yang penting untuk memperbaiki kersehatan anak.
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan suatu pendekatan
keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat
jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya kuratif terhadap penyakit
pneumonia, diare, campak, malaria, DHF, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya
promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan
konseling pemberian makan (Depkes,2006).

2.1.1 Sejarah Terbentuknya MTBS

Strategi MTBS mulai diperkenalkan di Indonesia oleh WHO pada tahun


1996. Pada tahun 1997 Depkes RI bekerjasama dengan WHO dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) melakukan adaptasi modul MTBS WHO. Modul tersebut
digunakan dalam pelatihan pada bulan November 1997 dengan pelatih dari
SEARO. Sejak itu penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap
dan up-date modul MTBS dilakukan secara berkala sesuai perkembangan
program kesehatan di Depkes dan ilmu kesehatan anak melalui IDAI.
Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi,
namun belum seluruh Puskesmas mampu menerapkan karena berbagai sebab:
belum adanya tenaga kesehatan di Puskesmasnya yang sudah terlatih
MTBS, sudah ada tenaga kesehatan terlatih tetapi sarana dan prasarana belum
siap, belum adanya komitmen dari Pimpinan Puskesmas, dll. Menurut data
laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan provinsi seluruh Indonesia
melalui Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak tahun 2010, jumlah
Puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%.
Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah
melaksanakan (melakukan pendekatan memakai MTBS) pada minimal 60% dari
jumlah kunjungan balita sakit di Puskesmas tersebut.
6
2.1.2 Tujuan MTBS

 Agar balita mendapatkan pelayanan yang menyeluruh baik itu dirumah


maupun pada pelayanan kesehatan.
 Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti puskesmas

2.1.3 Indikator MTBS

 Keterampilan petugas dalam melakukan pengkajian


 Adanya dukungan manajemen
 Indikator tingkat kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan

2.1.4 Manfaat MTBS

 Menurunkan angka kematian balita


 Memperbaiki status gizi
 Meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan
 Memperbaiki kinerja tenaga kesehatan
 Memperbaiki kualitas pelayanan dengan biaya lebih murah

7
2.1.5 Alur Pelayanan Kesehatan dan Tatalaksana MTBS

Loket Pendaftaran Pasien MTBS

(Usia 2bln-5bln)

Poli tatalaksana MTBS

 Perawat dan
Bidan
 Petugas Gizi

 Anamnesa
Rujukan Internal  Pemeriksaan
 Diagnosa
 Poli Umum Rujukan RSUD
 Terapi/Tindakan
 Poli Gigi &mulut (sesuai Buku
 Poli Gizi Bagan MTBS)
 Kesling
 Laboratorium

Apotek
Kasir

Pasien Pulang

8
Pada manajemen terpadu balita sakit (MTBS) model pengelolaannya meliputi:

1. Penilaian adanya tanda dan gejala


2. Membuat klasifikasi
3. Menentukan tindakan dan mengobati
4. Memberikan konseling
5. Memberikan pelayanan tingkat lanjut pada tinjaun ulang

2.1.6 Proses Manajemen Kasus


Tujuan pelayanan kesehatan anak adalah untuk menfasilitasi kesehatan
yang optimal dan kesejahteraan bagi anak dan keluarganya. Hal ini berhubungan
dengan aktifitas yang saling berkaitan antara masalah surveilans dan
manajemen, masalah pencegahan/preventif, promosi kesehatan dan koordinasi
pelayanan pada anak dengan kebutuhan khusus.
Perhatian tradisional yang berfokus pada diagnosis dan manajemen saat
ini telah berkembang dengan skrining penyakit dan mendeteksi tanda-tanda dini
yang asimtomatik di populasi. Para petugas kesehatan telah mengakui manfaat
dari program upaya preventif/pencegahan. Contohnya adalah program
imunisasi pada kegiatan rutin, juga program deteksi dini dan pemberdayaan
masyarakat dalam pelayanan kesehatan dasar. Penekanan yang terbaru adalah
berkaitan dengan konsep promosi kesehatan yang mengutamakan kesehatan
yang optimal dan kesejahteraan anak daripada hanya penanganan saat ada
masalah
Proses manajeman kasus disajikan dalam satu bagan yang memperlihatkan
urutan langkah-langkah dan penjelasan cara pelaksanaannya. Bagan tersebut
menjelasakan langkah-langkah berikut ini:
a. Menilai dan membuat klasifikasi anak sakit umur 2 bulan – 5 tahun.
Menilai anak sakit, berarti melakukan penilaian dengan cara anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Sedangkan membuat klasifikasi dimaksudkan membuat
sebuah keputusan mengenai kemungkinan penyakit atau masalah serta tingkat
keparahannya. Klasifikasi merupakan suatu katagori untuk menentukan
tindakan, bukan sebagai diagnosis spesifik penyakit.
b. Menentukan tindakan dan memberi pengobatan

9
Adalah merupakan penentuan tindakan dan member pengobatan di fasilitas
kesehatan yang sesuai dengan setiap klasifikasi, memberi obat untuk diminum
di rumah dan juga mengajari ibu tentang cara memberikan obat serta tindakan
lain yang harus dilakukan di rumah.
b. Memberi konseling bagi ibu
Konseling berarti mengajari atau menasehati ibu yang mencakup
mengajukan pertanyaan, mendengarkan jawaban ibu, memuji, memberikan
nasehat yang relevan, membantu memecahkan masalah dan mengecek
pemahaman ibu. Juga termasuk menilai cara pemberian makan anak, memberi
anjuran pemberian makan yang baik untuk anak serta kapan harus membawa
anaknya kembali ke fasilitas kesehatan.
c. Memberi pelayanan tindak lanjut
Adalah menentukan tindakan dan pengobatan pada saat anak datang untuk
kunjungan ulang.
d. Manajemen terpadu bayi muda umur 1 hari – 2 bulan
Meliputi menilai dan membuat klasifikasi, menentukan tindakan dan
memberi pengobatan, konseling dan tindak lanjut pada bayi umur 1 hari sampai
2 bulan baik sehat maupun sakit. Pada prinsipnya, proses manajemen kasus pada
bayi muda umur 1 hari – 2 bulan tidak berbeda dengan anak sakit umur 2 bulan
– 5 tahun.
2.1.7 Klasifikasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
2.1.7.1 Umur 1 hari- 2 bulan
1) Penilaian Tanda dan Gejala
Pada penilaian tanda dan gejala yang pertama kali dilakukan pada balita
umur 1 hari sampai 2 bulan adalah:

a) Pertama menilai adanya kejang


b) Kedua, adanya tanda atau gejala gangguan nafas seperti adanya henti nafas
lebih dari 20 detik
c) Ketiga, adanya tanda dan gejala hipotermia seperti penurunan suhu tubuh
d) Keempat, adanya tanda atau gejala kemungkinan infeksi bakteri seperti
mengantuk atau letargi atau tidak sadar
e) Kelima, adanya tanda atau gejala ikterus
10
f) Keenam, adanya tanda atau gejala gangguan saluran cerna seperti muntah
segera setelah minum
g) Ketujuh, adanya tanda atau gejala diare
h) Kedelapan, adanya tanda atau gejala kemungkinan berat badan rendah dan
masalah pemberian ASI
2) Penentuan Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan
a) Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan ini digunakan untuk
menentukan sejauh mana tingkat kegawatan dari keadaan bayi yang
didapat dari masing-masing tanda dan gejala, adalah sebagai berikut:
b) Klasifikasi kejang. Apabila ditemukan tanda tremor yang disertai adanya
penurunan kesadaran, terjadi gerakan yang tidak terkendali pada mulut,
mata atau anggota gerak lain, mulut mencucu dan sebagainya.
c) Klasifikasi gangguan nafas. Apabila ditemukan adanya henti nafas
(apnea) lebih dari 20 detik, nafas cepat ≥ 60 kali per menit, nafas lambat
≤ 30 kali per menit, tampak sianosis, adanya tarikan dada sangat kuat.
d) Klasifikasi hipotermia. Sedang: Apabila ditemukan suhu tubuh pada
bayi sekitar 36-36,4 C serta kaki atau tangan teraba dingin yang dapat
disertai adanya gerakan pada bayi yang kurang normal. Hipotermia
berat: apabila suhu tubuh kurang dari 36 derajat celcius.
e) Klasifikasi kemungkinan infeksi bakteri. Pertama infeksi bakteri
sistemik apabila ditemukan anak selalu mengantuk/letargis atau tidak
sadar, kejang, terdapat gangguan nafas. Kedua infeksi lokal berat bila
ditemukan nanah pada daerah mata keluar dari telinga, tali pusar atau
umbilicus terjadi kemerahan. Ketiga infeksi bakteri lokal bila ditemukan
adanya nanah yang keluar dari mata akan tetapi jumlahnya masih sedikit,
bau busuk, terjadi kerusakan kulit yang sedikit, tali pusat atau umbilicus
tampak kemerahan.
f) Klasifikasi ikterus. Pada ikterus patologi bila ditemukan adanya kuning
pada hari kedua setelah lahir. Pada ikterus fisiologis dapat terjadi bila
terjadi kuning pada umur 3 hari sampai 14 hari.

11
g) Klasifikasi gangguan cerna. Dijumpai bila tanda sebagai berikut;
muntah segera setelah minum, atau berulang, berwarna hijau, gelisah,
rewel dan perut bayi kembung.
h) Klasifikasi diare. Diare dehidrasi berat, jika terdapat tanda seperti
letargis atau mengantuk atau tidak sadar, mata cekung serta turgor jelek.
Diare dehidrasi sedang jika ditemukan tanda seperti gelisah atau rewel,
mata cekuung serta turgor kulit jelek. Diare tanpa dehidrasi bila hanya
ada salah satu tanda dehidrasi berat atau ringan.
i) Klasifikasi BB rendah atau masalah pemberian ASI. Jika ditemukan
tanda seperti bayi sangat kecil, BB kurang dari 200 gram umur kurang
28 hari, tidak bisa minum ASI, tidak melekat sama sekali, tidak mampu
menghisap ASI.
2.1.7.2 Umur 2 bulan- 5 tahun
1) Penilaian tanda dan gejala
Pada penilaian tanda dan gejala pada bayi umur 2 bulan sampai dengan 5
tahun ini yang dinilai adalaha da tidaknya tanda bahaya umum (tidak bisa
minum atau menetek, muntah, kejang, letargis atau tidak sadar) dan
keluhan seperti batuk atau kesukaran bernafas, adanya diare, demam,
masalah telinga, malnutrisi, anemia dan lain-lain.
a) Penilaian pertama, kleuhan batuk atau sukar bernafas, tanda bahaya
umum, tarikan dinding dada ke dalam, stridor, nafas cepat.
b) Penilaian kedua, keluhan dan tanda adanya diare, seperti letargis, mata
cekung, tidak bisa minum atau malas makan, turgor jelek, gelisah, rewel,
haus atau banyak minu.
c) Penilaian ketiga, tanda demam, disertai dengan adanya tanda bahaya
umum, kaku kuduk dan adanya infeksi lokal.
d) Penilaian keempat, tanda masalah telinga seperti nyeri pada telinga,
adanya pembengkakkan.
e) Penilaian kelima, tanda status gizi seperti badan kelihatan bertambah
kurus, bengkak pada kedua kaki, telapak tangan pucat dan sebagainya.

2) Penentuan klasifikasi tingkat kegawatan

12
a) Klasifikasi pneumonia. Berat, jika adanya tanda bahaya umum, tarikan
dinding dada ke dalam, adanya stridor. Pneumonia jika ditemukan
tanda frekuensi nafas yang sangat cepat. Batuk bukan pneumonia, bila
tidak ada pneumonia dan hanya keluhan batuk.
b) Klasifikasi dehidrasi. Berat, bila ada tanda dan gejala seperti letargis,
mata cekung, turgor jelek seklai. Ringan atau sedang dengan tanda
gelisah, rewel, mata cekung, haus, turgor jelek. Diare tanpa dehidrasi,
bila tidak cukup tanda adanya dehidrasi.
c) Klasifikasi diare persisten. Jika ditemukan diare sudah lebih dari 14
hari dengan dikelompokkan menjadi dua kategori persisten berat, jika
adanya tanda dehidrasi dan diare persisten bila tidak ditemukan tanda
dehidrasi.
d) Klasifikasi disentri. Bila diare disertai dengan darah dalam tinja atau
diarenya bercampur dengan darah.
e) Klasifikasi resiko malaria. Bila ditemukan bahaya umum dan disertai
dengan kaku kuduk.
f) Klasifikasi campak. Campak dengan komplikasi berat, jika ditemukan
adanya tanda bahaya umum, terjadi kekeruhan pada kornea mata,
adanya luka di daerah mulut. Campak dengan komplikasi pada mata
atau mulut bila ditemukan tanda mata bernanah serta luka dimulut dan
ketiga klasifikasi campak bila hanya tanda khas campak.
g) Klasifikasi demam berdarah dengue. Bila terjaid demam yang kurang
dari 7 hari.
h) Klasifikasi status gizi. Gizi buruk dan atau anemia berat, bila BB sangat
kurus, adanya bengkak pada kedua kaki serta pada telapak tangan
ditemukan kepucatan. Klasifikasi dibawah garis merah dan atau anemia
bila ditemukan tanda telapak tangan agak pucat, BB menurut umur di
bawah garis merah dan ketiga, tidak bawah garis merah dan tidak
anemia bila tidak ada tanda di atas.

2.1.8 MTBS dengan Anak Diare

1. Pemeriksaan palpasi dan insfeksi

13
a. Lihat keadaan umum anak:
Apakah anak :
1) Letargis atau tidak sadar?
2) Gelisah atau rewel/mudah marah?
b. Lihat apakah matanya cekung
c. Beri anak minum,apakah anak:
1) Tidak bisa minum atau malas minum?
2) Ataukah haus minum dengan lahap
d. Cubit perut untuk mengetahui turgor apakah kembali sangat lambat(lebih
dari 2 detik) atau lambat.
2. Diare dengan dehidrasi ringan
a. Tanda-tandanya:
1) Letargis atau tidak sadar
2) Mata cekung
3) Tidak bisa minum atau malas minum
4) Cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat
b. Cara mengatasi dirumah:
1) Beri cairan dan makanan yang sesuai
2) Jika tidak ada perubahan segera rujuk ke Rumah Sakit dan salama
dalam perjalanan ibu di minta terus memberikan larutan oralit sedikit
demi sedikit
3) Anjurkan ibu tetap memberikan ASI
4) Berikan penjelasan kepada ibu kapan harus kembali
5) Kunjungan ulang selama 5 hari jika tidak ada perbaikkan
3. Identifikasi tindakan MTBS
Yaitu pengambilan keputusan oleh petugas dalam menangani diare, tindakan
MTBS mencakup 3 rencana terapi:
2.1 Terapi A
Terapi dirumah untuk mencegah dehidrasi, caiean yang biasa diberikan
oralit (cairan gula-garam), sayuran dan sup yang mengandung garam
2.2 Terapi B
Dehidrasi sedang dengan pemberian cairan rehidrasi oral

14
2.3 Terapi C
Dehidrasi berat dengan pemberian cairan infus RL

2.2 Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten yaitu usaha memberikan
kekebalan bayi dan anak dengan memasukan vaksin ke dalam tubuh agar membuat zat
anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan vaksin adalah bahan yang
dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh
melalui suntikan seperti vaksin BCG, DPT, Campak, dan melalui mulut seperti vaksin
polio. Tujuan diberikan imunisasi yaitu di harapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit tertentu (Marimbi, 2010).

Di Negara Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah dan
ada juga yang hanya di anjurkan, imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah
diwajibkan oleh WHO ditambah dengan hepatitis B. Imunisasi yang hanya dianjurkan
oleh pemerintah dapat digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa atau
penyakit endemik, atau untuk kepentingan tertentu (bepergian) seperti jamaah haji seperti
imunisasi meningitis (Kemenkes RI, 2014).
Pemberian imunisasi pada anak yang mempunyai tujuan agar tubuh kebal terhadap
penyakit tertentu, kekebalan tubuh juga dapat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya terdapat tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, potensi
antigen yang disuntikan dan waktu antara pemberian imunisasi. Mengingat efektif dan
tidaknya imunisasi tersebut akan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya sehingga
kekebalan tubuh dapat diharapkan pada diri anak (Alimul, 2008).

15
2.2.1 Jenis-Jenis Immunisasi

Jenis-jenis imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi wajib dan pilihan.

1. Imunisasi Wajib
Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah
untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang
bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi
wajib terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus.
2. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara
terus-menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan
imunisasi lanjutan.

a. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)

16
Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk kekebalan aktif
terhadap tuberkolosis. Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung
Mycrobacterium bovis hidup yang dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin), strain
paris. Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan pemberian imunisasi
BCG pada umur 0-11 bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada bayi umur 2
atau 3 bulan. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru
lahir sampai usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi
berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian
imunisasi ini “berhasil,” maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan
timbul benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi
perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas.Biasanya setelah
suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam (Theophilus, 2000).

 Cara pemberian dan dosis :


 Dosis pemberian 0,05 ml, sebanyak satu kalii
 Disuntikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertio musculus
deltoideus), dengan menggunakan ADS 0,05 ml.
 Efek samping :
2–6 minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas suntikan timbul bisul
kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2–
4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut
dengan diameter 2–10 mm.

 Penanganan efek samping :


 Apabila ulkus mengeluarkan cairan perlu dikompres dengan cairan antiseptik.
 Apabila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar anjurkan
orangtua membawa bayi ke ke tenaga kesehatan
 Usia Pemberian:
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan
tes Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi sudah
kemasukan kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan
bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering
bertandang ke rumah, segera setelah lahir si kecil diimunisasi BCG

17
 Tanda Keberhasilan:
Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6
minggu.Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh
sendiri dan meninggalkan luka parut.
Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja dikarenakan cara
penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian
khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di
paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit
paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam
kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah endemis TB,
infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat vaksinasi
alamiah.
 Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau
menunjukkan Mantoux positif.
b. Imunisasi DPT-HB-HIB

Suatu vaksin yang digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus,


pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b secara
simultan. Difteri disebabkan bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat
menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Penyakit ini mudah menular melalui
batuk atau bersin. Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi bakteri pada saluran udara
yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang
melengking.Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti peneumonia,
kejang dan kerusakan otak. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan
kekakuan pada rahang serta kejang. Vaksin ini diberikan 5 kali pada usia 2,4,6,18,
bulan dan 5 tahun.
 Cara pemberian dan dosis :
 Disuntikan secara intramuskular pada anterolateral paha atas.
 Satu dosis anak yaitu 0,5 ml.

18
 Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia 18 bulan,
dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi
TT
 Efek samping :
 Efek ringan seperti pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan,
demam.
 Efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih 4 jam, kesadaran
menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock.
 Penanganan efek Samping:
 Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau sari
buah).
 Jika demam, kenakan pakaian yang tipis.
 Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
 Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6
kali dalam 24 jam).
 Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
 Jika reaksi memberat dan menetap bawa bayi ke dokter.
 Indikasi/Kontra:
Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu penyakit
seperti epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat
karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh menerima
vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang menyebabkan panas.
c. Imunisasi POLIO

Imunisasi polio memberikan kekebalan terhadap penyakit polio. Penyakit ini


disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran orang yang terinfeksi. Anak yang
terkena polio dapat menjadi lumpuh layu.Vaksin polio ada dua jenis, yakni :
a. Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)
Di Indonesia, meskipun sudah tersedia tetapi Vaksin Polio Inactivated atau
Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) belum banyak digunakan. IPV dihasilkan
dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup

19
dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio
walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah. Vaksin yang
dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO
ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid.

 Cara pemberian dan dosis :


 Disuntikkan secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis
pemberian 0,5 ml.
 Dari usia 2 bulan, 3 suntikan berturut-turut 0,5 ml harus diberikan pada
interval satu atau dua bulan.
 IPV dapat diberikan setelah usia bayi 6, 10, dan 14, sesuai dengan
rekomendasi dari WHO.
 Bagi orang dewasa yang belum diimunisasi diberikan 2 suntikan berturut-
turut dengan interval satu atau dua bulan.
Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan
mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV. Demikian pula bila ada
seorang kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi
dianjurkan untuk menggunakan IPV.
 Efek samping:
Reaksi lokal pada tempat penyuntikan: nyeri, kemerahan, indurasi, dan
bengkak bisa terjadi dalam waktu 48 jam setelah penyuntikan dan bisa bertahan
selama satu atau dua hari.
 Penanganan efek samping:
 Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI).
 Jika demam, kenakan pakaian yang tipis.
 Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin
 Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6
kali dalam 24 jam)
 Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

 Kontra Indikasi :
 Sedang menderita demam, penyakit akut atau penyakit kronis progresif.

20
 Hipersensitif pada saat pemberian vaksin ini sebelumnya.
 Penyakit demam akibat infeksi akut: tunggu sampai sembuh.
 Alergi terhadap streptomycin.

b. Oral Polio Vaccine (OPV)


Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui mulut.
Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. Komposisi vaksin
tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup
tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan
ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes
mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih
dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di
usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding
luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar
yang akan masuk. Pemberian Air susu ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak bioleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan
dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya
akanmemberikan perlindungan jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi
baru lahir, 2,4,6,18, bulan, dan 5 tahun.
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak
mendadak lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5
hari. Terdapat 2 jenis vaksin yang yang beredar, dan di Indonesia yang umum
diberikan adalah vaksin sabin (kuman yang dilemahkan). Cara pemberiannya
melalui mulut. Dibeberapa Negara dikenal pula Tetravaccine, yaitu kombinasi
DPT dan polio. Imunisasi dasar diberika sejak anak baru lahir atau berumur
beberapa hari atau selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu. Pemberian vaksin
polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT.
Imunisasi ulang diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT, pmberian
imunisasi polio dapat menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit
poliomyelitis.

21
Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5-6 tahun)
dan saat meninggalkan sekolah dasar (12 thun). Cara memberikan imunisasi polio
adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung ke dalam
mulut anak.Imunisasi ini jangan diberika pada anak yang sedang diare berat, efek
samping yng terjai sangat minimal dapat berupa kejang.
Vaksin dari virus polio (tipe 1,2,dan 3) Virus polio terdiri atas tiga strain,
yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig), dan strain 3 (leon) yang dilemahkan,
dibuat dalam biakkan sel-vero : asam amino, antibiotic, calf serum dalam
magnesium clorida, dan fenol merah.Vaksin yang berbentuk cairan dengan
kemasan 1 cc atau 2 cc dalam flacon, pipet. Pemberian secara oral sebanyak 2
tetes (0,1 ml) dengan diberikan 4 kali, interval 4 minggu.

 Cara pemberian :
Secara oral (melalui mulut), dosis (2 tetes) sebanyak 4 kali (dosis) pemberian,
dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
 Usia Pemberian:
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18
bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan
vaksin DTP.
 Efek Samping:
Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio oral. Setelah mendapat vaksin
polio oral bayi boleh makan minum seperti biasa. Apabila muntah dalam 30 menit
segera diberi dosis ulang.
 Penanganan efek samping:
Orangtua tidak perlu melakukan tindakan apa pun.
 Tingkat Kekebalan:
Dapat mencekal hingga 90%.
 Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di
atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang
menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan
mekanisme kekebalan terganggu.
d. Imunisasi Campak

22
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
campak pada anak karena penyakit ini sangat menular. Kandungan vaksin ini adalah
virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu
kali.Waktu pemberian imunisasi campak pada umur 9 – 11 bulan. Cara pemberian
imunisasi campak melalui subkutan kemudian efek sampingnya adalah dapat terjadi
ruam pada tempat suntikan dan panas.

 Cara pemberian dan dosis :


0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas atau anterolateral paha, pada
usia 9–11 bulan.
 Kontra indikasi :
Individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga
menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma. Selain itu pemberian
imunisasi campak adalah anak yang sakit parah, menderita TBC tanpa pengobatan,
defisiensi gizi, penyakit gangguan kekebalan, riwayat kejang demam, panas lebih dari
38ºC (Markum, 2002).
 Usia & Jumlah Pemberian:
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan,
pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah
menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita.
Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12
bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella).
 Efek Samping:
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari
yang dapat terjadi 8–12 hari setelah vaksinasi. Pada beberapa anak, bisa
menyebabkan demam dan diare, namun kasusnya sangat kecil.
 Penanganan efek samping :
 Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau sari
buah).
 Jika demam kenakan pakaian yang tipis.
 Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.

23
 Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6
kali dalam 24 jam).
 Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
 Jika reaksi tersebut berat dan menetap bawa bayi ke dokter.
e. Imunisasi Hepatitis B

Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit


hepatitis yang kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair, bersifat non-infecious,
berasal dari HBsAg. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis 3 kali, waktu pemberian
hepatitis B pada umur 0-11 bulan. Cara pemberian imunisasi hepatitis ini adalah intra
muskular.
Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit
Hepatitis B. vaksin terbuat dari bagian virus bepatitis B yang dinamakan HbsAg, yang
dapat menimbulkan kekebalan tetapi tidak menimbulkan penyakit (Markum, 2002).

 Cara pemberian dan dosis :


 Dosis 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID, secara intramuskuler, sebaiknya pada
anterolateral paha (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot bagian
luar). Penyuntikan di bokong tak dianjurkan karena bisa mengurangi
efektivitas vaksin.
 Pemberian sebanyak 3 dosis.
 Dosis pertama usia 0–7 hari, dosis berikutnya interval minimum 4 minggu (1
bulan).
 Efek samping :
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar
tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2
hari.
 Tanda Keberhasilan:
Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan
pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar
hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya
tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tetapi kalau

24
angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol
berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
 Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%.Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95%
bayi mengalami respons imun yang cukup.
 Indikasi Kontra:
 Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.
 Vaksin berisi HBsAg murni
 Diberikn sedini mungkin setelah lahir
 Suntikan secara intramuscular di daerah deltoid, dosis 0,5 ml.
 Penyimpanan vaksin pada suhu 2-8ºC
 Bayi lahir dari ibu HBsAg (+) diberikan immunoglobulin hepatitis B 12 jam
setelah lahir + hepatitis B
3. Imunisasi Lanjutan

Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan


tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi
lanjutan diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun (Batita), anak usia sekolah
dasar, dan wanita usia subur.

1. Imunisasi DT
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid
tetanus dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat.
 Indikasi :
Pemberian kekebalan simultan terhadap difteri dan tetanus pada anak-anak.
 Cara pemberian dan dosis :
Secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml. Dianjurkan untuk
anak usia di bawah 8 tahun.
 Kontra indikasi :
Hipersensitif terhadap komponen dari vaksin.
 Efek samping :
Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat
sementara, dan kadang-kadang gejala demam.

25
 Penanganan efek samping :
 Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum anak lebih banyak.
 Jika demam, kenakan pakaian yang tipis
 Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin
 Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6 kali
dalam 24 jam)
 Anak boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

2. Imunisasi Td
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid
tetanus dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat.
 Indikasi :
Imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada individu mulai usia 7 tahun.
 Cara pemberian dan dosis :
Disuntikkan secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5
ml.
 Kontra indikasi :
Individu yang menderita reaksi berat terhadap dosis sebelumnya..
 Efek samping :
Pada uji klinis dilaporkan terdapat kasus nyeri pada lokasi penyuntikan (20–30%)
serta demam (4,7%).

3. Imunisasi TT
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu dalam vial gelas,
mengandung toksoid tetanus murni, terabsorpsi ke dalam aluminium fosfat.
 Indikasi :
Perlindungan terhadap tetanus neonatorum pada wanita usia subur.
 Cara pemberian dan dosis :
Secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml.
 Kontra indikasi :
 Gejala-gejala berat karena dosis TT sebelumnnya.
 Hipersensitif terhadap komponen vaksin.

26
 Demam atau infeksi akut.
 Efek samping :
Jarang terjadi dan bersifat ringan seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan
yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam.
 Penganan efek samping :
 Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
 Anjurkan ibu minum lebih banyak.

4. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang paling
berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu
tertentu. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah Backlog
fighting, Crash program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub-PIN, Catch up
Campaign campak dan Imunisasi dalam Penanganan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI).

5. Imunisasi Khusus

Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk


melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi
tertentu antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umrah, persiapan
perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu dan kondisi kejadian luar
biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain terdiri atas Imunisasi Meningitis
Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan Imunisasi Anti-Rabies.

6. Imunisasi Pilihan
Merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular
tertentu. Jenis imunisasi pilihan diantarannya Hib, Pneumokokus (PCV),
Influenza, MMR, Tifoid, varisela, Hepatitis A.

27
2.2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi

Umur vaksin Keterangan


Saat Hepatitis B-1 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan
lahir pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam
waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan
vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan
ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg
positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi
berumur 7 hari.
Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di
RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk
menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain)
1 bulan Hepatitis B-2 Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1
bulan.
0-2 BCG BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada
bulan umur > 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu
dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2 bulan DTP-1 DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan
DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1
(PRP-T)
Hib-1 Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1
dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.
Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1
4 bulan DTP-2 DTP-2 (DTwp atau DTap) dapat diberikan secara terpisah atau
dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T).
Hib-2 Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2
Polio-2 Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2
6 bulan DTP-3 DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3
(PRP-T).
Hib-3 Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak
perlu diberikan

28
Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3
Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun
optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
9 bulan Campak-1 Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan
program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah
mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu
diberikan.
15-18 MMR Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi
bulan campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.
Hib-4 Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
18 DTP-4 DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.
bulan Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.
2 tahun Hepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua
kali dengan interval 6-12 bulan.
2-3 Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2
tahun tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3
tahun.
5 tahun DTP-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)
Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.
6 MMR Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang belum
tahun. mendapatkan MMR-1.
10 dT/TT Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk
tahun mendapatkan imunitas selama 25 tahun.
Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.

2.2.3 Kejadian Ikutan Pasca Imuniasi (KIPI)

Kejadian Ikutan Pasca Imuniasi (KIPI) merupakan semua kejadian sakit dan
kematian yang terjadi dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Pencegahan yag
dapat dilakukan yaitu:

a. Memperhatikan indikasi kontra

29
b. Orangtua diajarkan menangani reaksi vaksin yang ringan & dianjurkan segera
kembali apabila ada reaksi yg mencemaskan
c. Mengenal dan dapat mengatasi reaksi anafilaksis
d. Sesuaikan dengan reaksi ringan/berat yg terjadi atau harus dirujuk ke RS dg
fasilitas lengkap
e. Mencegah KIPI akibat program error:
1) Gunakan alat suntik disposibel
2) Gunakan pelarut vaksin yang sudah disediakan oleh produsen vaksin
3) Vaksin yg sudah dilarutkan harus segera dibuang
4) Dalam lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin
5) Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama

2.2.4 Tanggung Jawab Perawat Dalam Program Imunisasi

Sebelum melakukan imunisasi, dianjurkan mengikuti tatacara sebagai berikut:

a. Memberitahukan secara rinci tentang resiko vaksinasi dan resiko apabila


tidak imunisasi
b. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang diharapkan.
c. Baca dengan teliti informasi dengan produk (vaksin) yang akan diberikan
jangan lupa mengenai persetujuan yang telah diberikan pada orangtua.
d. Melakukan tanya jawab dengan orangtua atau pengasuhnya sebelum
melakukan imunisasi.
e. Tinjau kembali apakah indikasi kontra terhadap vaksin yang akan
diberikan.
f. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
g. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
h. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda
perubahan; periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa,
misalnya perubahan warna menunjukkan adanya kerusakan.

30
i. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up
vaccination)
j. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian di bawah mengenai
pemilihan jarum suntik, lokasi suntikan dan posisi penerimaan vaksin.

31
2.2.5 Patofisiologi Imunisasi

Antigen

Masuk ke dalam tubuh

Sistem imun non spesifik

(kulit, membran mukosa, sel fagosit, komplemen, lisozim, interferon)

Dx. Nyeri
Sistem imun spesifik Inflamasi Nyeri

Dx. Gg Termoregulasi
Demam

Sel T (intrasel) Sel B (ekstrasel)

Kelenjar getah bening

Sel T sitotoksik Sel T memori Sel T helper

migrasi ke tempat infeksi Organ limfoid Membantu sel B dan antigen


dalam hal mencocokkan
fagositosis berperan saat ada
antigen yang sama
eliminasi antigen
Transformasi, poliferasi, sel B memori
dan diferensiasi
terpajan antigen
sel plasma
antibodi yang lebih
antibodi (imunoglobulin) banyak

menetralkan antigen

32
33
2.2.6 Asuhan Keperawatan Imunisasi
1. Pengkajian

1. Identitas Klien

Nama :
Tanggal lahir :
Umur :
Agama :
Suku :
Diagnosa Medis :
Tanggal dikaji :
No. Medrek :
Nama Ibu :
Pekerjaan Ibu :
Pendidikan Ibu :

2. Keluhan Utama/Alasan datang ke Puskesmas


Tanyakan alasan utama klien membawa anaknya ke pelayanan kesehatan,
misalnya untuk diberikan imunisasi.
3. Riwayat kesehatan sekarang :
Tanyakan imunisasi apa yang akan diberikan dan keadaan anaknya sekarang, jika
anak memiliki keluhan tanyakan keluhan apa yang dialami, seberapa parah
keluhan yang dirasakan, area keluhan, sejak kapan muncul keluhan, apakah terus
menerus dirasakan atau hilang timbul.
4. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
a. Prenatal : riwayat pemeriksaan kehamilan, masalah kesehatan yang pernah
dialami selama kehamilan, kondisi kesehatan ibu saat hamil dan obat yang
dikonsumsi saat hamil, apakah ibu pernah mengkonsumsi obat
immunosuppresif saat hamil.

b. Natal :Tanyakan tindakan saat persalinan, tempat bersalin, obat-obatan yang


diberikan pada ibu dan bayi saat melahirkan, apakah anak lahir prematur atau
matur.

34
c. Post Natal :Tanyakan kondisi anak setelah lahir, apgar score, berat badan
lahir, panjang badan lahir dan apakah terdapat kelainan kongenital.

5. Riwayat Masa Lalu


Tanyakan apakah sebelumnya anak pernah mengalami masalah
kesehatan,memiliki alergi, memiliki penyakit yang berkaitan dengan penurunan
sistem imun seperti leukemia, HIV/AIDS dan kanker, imunisasi apa saja yang
pernah didapatkan, pada usia berapa dan reaksi setelah mendapatkan imunisasi

6. Riwayat Keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang dialami oleh keluarga, apakah keluarga
memiliki penyakit keturunan yang terkait dengan penurunan imunitas seperti
HIV/AIDS

7. Riwayat pengobatan
Apakah anak sedang mengkonsumsi obat-obatan steroid seperti prednison, atau
sedang menjalani radioterapi dan kemoterapi.

8. Riwayat sosial
Tanyakan siapa yang mengasuh anak, struktur keluarga, lingkungan sekitar
tempat tinggal.

9. Kebutuhan dasar
Nutrisi Tanyakan nutrisi yang diberikan ASI/PASI,
kekuatan menghisap (jika masih diberikan ASI),
frekuensi pemberian nutrisi, kebiasaan makan, BB
saat ini
Eliminasi Pola defekasi : frekuensi, apakah ada kesulitan,
karakteristik feses
Pola berkemih : frekuensi berkemih atau
mengganti popok, kekuatan keluarnya urin, bau
dan warna urin.
Tidur dan Lama tidur, apakah tidur nyenyak, apakah ada
istirahat perubahan pola tidur (nokturia

35
Aktivitas Aktivitas sehari-hari yang dilakukan seperti
permainan yang dilakukan, tempat bermain,
tingkat aktivitas anak, kemampuan mandiri anak,
personal hygiene

8. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum :
TTV : HR, RR, S
Antropometri : PB, BB, LK
Kepala : bentuk, lesi, rambut, kebersihan
Mata : konjungtiva, sklera
Hidung :pernapasan cuping hidung, sekret
Mulut : mukosa bibir, warna, kelembaban, bentuk, sianosis
Telinga : bentuk, serumen, kebersihan
Leher : pembesaran KGB
Dada : inspeksi pengembangan dada kanan = kiri, penggunaan otot nafas
tambahan, auskultasi bunyi nafas, ronchi, auskultasi bunyi jantung S1,S2,
murmur, gallop
Abdomen : bising usus , perkusi perut timpani, pembesaran hati, pembesaran
limfa
Genitalia : hipospadia
Tangan : turgor , CRT, jumlah jari, pergerakan
Kaki : turgor, jumlah jari, pergerakan

10. Riwayat Imunisasi


Imunisasi apa saja yang telah diberikan, waktu pemberian imunisasi, reaksi saat
imunisasi
11. Pemeriksaan perkembangan
12. Pemeriksaan penunjang
2. Analisa Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS: . Antigen Nyeri akut

36
DO: terlihat kesakitan,
merah Masuk ke dalam tubuh

Sistem imun non spesifik

Inflamasi

Peregangan ujung saraf

Nyeri
DS: menggigil Antigen Hipertermi
DO: suhu meningkat
Masuk ke dalam tubuh

Pelepasan mediator kimia

Inflamasi

Peningkatan suhu

Demam

3. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa Pra Imunisasi
Kecemasan berhubungan dengan ketidaktahuan manfaat imunisasi
b. Diagnosa Pasca Imunisasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dari kerusakan jaringan ditandai
dengan anak menangis.
2. Hipertermi berhubungan dengan sistem inflamasi tubuh ditandai dengan
suhu anak meningkat.

37
4. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri akut Setelah 1. Kaji skala 1. Mengkaji nyeri
berhubungan dilakukan nyeri anak dapat menentukan
dengan inflamasi tindakan 2. Libatkan ibu terapi yang efektif
dari kerusakan keperawatan klien selama 2. Keberadaan ibu
jaringan ditandai nyeri dapat prosedur akan membuat
dengan anak berkurang tindakan klien merasa
menangis. dengan kriteria 3. Lakukan aman dan nyaman
klien tidak lagi manajemen 3. Tekhnik distraksi
menangis, klien nyeri melalui nyeri dengan
kembali distraksi menggunakan
tersenyum dan dengan mainan mainan dapat
tidak rewel 4. Berikan rasa mengurangi nyeri
aman dan pada klien
nyaman pada 4. Rasa aman dan
bayi seperti nyaman dapat
memberikan membuat anak
sentuhan, menjadi lebih
menggendong rileks sehingga
bayi nyeri dapat
berkurang

2. Hipertermi Setelah 1. Monitor suhu 1. Reaksi dari


berhubungan dilakukan setelah imunisasi adalah
dengan sistem tindakan diberikan peningkatan suhu
inflamasi tubuh keperawatan imunisasi tubuh,
ditandai dengan suhu tubuh klien 2. Monitor warna monitoring
tetap atau dan suhu kulit dilakukan agar

38
suhu anak kembali dalam 3. Kolaborasi kenaikan suhu
meningkat. batas normal pemberian tubuh cepat
dengan kriteria antipiretik terdeteksi dan
suhu tubuh tidal 4. Beritahu ibu cepat ditangani
lebih dari 37,5 C, untuk 2. Monitor warna
TTV normal, memastikan dan suhu kulit
suhu rabaan dan intake cairan dapat menjadi
kulit normal, dan nutrisi cara untuk
tidak ada tanda- adekuat mendeteksi
tanda menggigil 5. Berikan kenaikan suhu
kompres tubuh
hangat di aksila 3. Obat anti piretik
atau lipatan dapat
paha. menurunkan
demam
4. Peningkatan
suhu tubuh dapat
berpengaruh
pada
keseimbangan
cairan dan
metabolisme
tubuh.
5. Kompres hangat
dapat meredakan
demam.
5. Evaluasi Keperawatan

S (Subjektif) = Ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif


setelah diberikan implementasi keperawatan
O (Objektif) = Respon objektif klien setelah dilakukan implementasi yang dapat
diidentifikasi melalui pengamatan

39
A (Analisis) = Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif
klien dibandingkan dengan kriteria dan standar yang telah dilakukan
P (Perencanaan) = Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis

1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dari kerusakan jaringan ditandai


dengan anak menangis.

S = Ibu klien mengatakan anaknya sudah tidak menangis


O = Anak tidak menangis dan tidak rewel juga terlihat sudah dapat tersenyum
kembali
A = Masalah teratasi
P = Pertahankan keberhasilan intervensi

2. Hipertermi berhubungan dengan sistem inflamasi tubuh ditandai dengan suhu


anak meningkat.

S = Ibu klien mengatakan anaknya tidak demam


O = warna dan suhu kulit normal, suhu tubuh dalam batas normal
A = Masalah teratasi
P = Pertahankan keberhasilan intervensi

40
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam rangka mensukseskan target dari SDGs pada tahun 2030 berupa
kesehatan yang baik, menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong
kesejahteraan segala usia. Maka program kesehatn ibu dan anak menjadi penting.
MTBS mencakup berbagai upaya yang berkaitan erat dengan penyembuhan
penyakit pada bayi berupa pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga,
malnutrisi, serta upaya peningkatan pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit
seperti imunisasi, pemberian vit K, Vit A dan konseling pemberian ASI atau
makan. Penerapan MTB yang baik dapat mengoptimalisasikan layanan kesehatan
bagi ibu maupun anak.

3.2 Saran

Pelaksanaan MTBS dalam hal kelengkapan imunisasi dasar bada balita


harus dilakukan dengan baik sehingga imunisasi dasar pada balita terlaksana
sesuai jadwal. MTBS dapat digunakan sebagai standee pelayanan bayi danbalita
sakit saskit sekaligus sebagai pedoman bagi tenaga keperawata,sehingga
dibutuhkan peran dari kader dan juga komunitas yang ada. Memberikan konseling
dan membantu terlaksananya imunisasi sesuai jadwal sehingga pelaksanaan
MTBS akan lebih terpantau dan merata.

41
DAFTAR PUSTAKA

Delan Astrianzah.,D dan Margawati.,A. (2011). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan


Ibu,Status Tingkat Sosial Ekonomi dengan Status Imunisasi Dasar Lengkap Pada
Balita.(online). http://eprints.undip.ac.id/32936/1/Delan.pdf (diakses 20
Desember 2012).
Departemen Kesehatan RI. (2006). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS). Jakarta: Depkes RI.
Hardianti, dkk. (2015). Buku Ajar Imunisasi. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Hidayat, Alimul A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Menteri Kesehatan.

Kemenkes RI, (2015), Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Jakarta,
Indonesia.

Kowass IN, Ismanto AY, Lolong J, (2017), Hubungan penerapan manajemen terpadu
balita sakit (MTBS): Status imunisasi dengan kelengkapan imunisasi dasar pada
bayi (usia 2-12 bulan) di puskesmas Bahu, e-Kp vol 5 No 1.

Maimunah, M. (2017). HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DENGAN


PELAKSANAAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DI DESA KARANG
SARI HUTA 3 KECAMATAN GUNUNG MALIGAS KABUPATEN
SIMALUNGUN. JURNAL KELUARGA SEHAT SEJAHTERA, 15(29).

Marimbi, Hanung. (2010). Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada
Balita. Nuha Medika : Yogyakarta
Prasetyawati, A. (2012). Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Dalam Millenium Development
Goals (MDGs). Nuha Medika. Yogyakarta.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2010). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
2010. 15 November 2013. http://www.litbang.depkes.go.id/sites/do
Riyadi. (2012). Imunisasi Bayi Dan Balita.jakarta: TIM
Sari, Y. R. (2017). Tantangan Implementasi Mtbs Di Puskesmas: Literature
Review. Prosiding Snapp: Kesehatan (Kedokteran, Kebidanan, Keperawatan,
Farmasi, Psikologi), 3(1), 172-178.
Sekartini. (2011). Kesehatan Dan Tumbuh Kembang Anak. jakarta: TIM

42
UNICEF. (2005). Laporan UNICEF Tentang Himbauan Untuk Menyelamatkan Anak-
Anak Melalui Imunisasi. Retrieved from https://www.unicef.org/INDONESIA/
ID/3175.HTML.
WHO. (2003) Component of IMCI, Toward Better Child Health And Development,

WHO, (2011), Caring For Newborns and Children in the Community: A training course
for community health workers; Caring For the sick Child in community,
Switzerland.

Widiyani, R. (2016). Target Imunisasi Dasar Belum Tercapai. PADANG.

43

Anda mungkin juga menyukai