2
25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah Dengue (DBD) 6,8% dan campak
5,8%.
Menurut (WHO) World Health Organization 2012, angka kematian balita di
dunia masih cukup tinggi. Setiap tahunnya 6,6 juta anak usia di bawah lima tahun
meninggal, 18.000 meninggal dunia hampir setiap harinya. Sebagian besar
kematian tersebut berada di negara berkembang, lebih dari setengahnya
dikarenakan infeksi saluran pernapasan akut (pneumonia), diare, campak, malaria,
dan HIV/AIDS. Selain itu malnutrisi (54%) mendasari dari semua kematian anak.
Secara global, pada tahun 2020 penyakit ini akan berkonstribusi penyebab utama
kematian anak di dunia. Meskipun kemajuan program dalam mengatasi masalah
penyakit tersebut, angka kesakitan dan kematian anak masih tetap tinggi, berbagai
cara inovatif untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan pada anak mulai dari
masa kehamilan terus dikembangkan. Salah satu upaya dalam menurunkan angka
kematian balita antara lain melalui peningkatan keterampilan tenaga kesehatan
terutama bidan dan perawat di puskesmas dan kader kesehatan di masyarakat.
Peningkatan keterampilan tersebut dilaksanakan melalui pendekatan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Metode MTBS telah dikembangkan di Indonesia
sejak tahun 1997 melalui kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI, WHO,
UNICEF dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Survei Sarana Kesehatan
(Riset Fasilitas Kesehatan/ Risfaskes 2011) yang dilakukan oleh National Institute
of Health Research dan Pengembangan, Kementerian Kesehatan, melaporkan
bahwa 80% dari puskesmas di Indonesia telah mengadopsi MTBS, meskipun
pelaksanaannya bervariasi di seluruh provinsi.
Pada tahun 1997 IMCI mulai dikembangkan di Indonesia dengan nama
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yaitu berupa suatu program yang bersifat
menyeluruh dalam menangani balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan
dasar. Di Indonesia, MTBS masih menjadi sesuatu yang baru bagi tenaga-tenaga
kesehatan terutama yang berada di pelayanan kesehatan dasar. Oleh karena itu akan
terus dikembangkan sehingga dapat menjadi standar dalam menangani balita sakit
di pelayanan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian bayi dan balita.
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) menangani balita sakit menggunakan
suatu algoritme, program ini dapat mengklasifikasi penyakit-penyakit yang diderita
3
secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang diderita oleh balita sakit, melakukan
rujukan secara cepat apabila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan
memberikan imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita
juga diberikan konseling mengenai tata cara memberikan obat kepada balitanya di
rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan kepada
balita tersebut dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera kembali
untuk mendapat pelayanan tindak lanjut, sehingga MTBS merupakan paket
komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif.
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of
Childhood Illness (IMCI) merupakan suatu pendekatan yang terintegrasi atau
terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus pada kesehatan anak usia 0-59
bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program
kesehatan tetapi suatu pendekatan atau cara penatalaksanaan balita sakit. Konsep
pendekatan MTBS yang pertama kali diperkenalkan oleh organisasi kesehatan
dunia WHO (World Health Organizations) merupakan suatu bentuk strategi upaya
pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian, kesakitan
dan kecacatan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang. Bank Dunia,
1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective
mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut
(ISPA), diare, campak malaria, kurang gizi, dan penyakit yang sering merupakan
kombinasi dari keadaan tersebut. Kematian balita merupakan salah satu indikator
penting yang menunjukkan derajat kesehatan masyarakat. Secara global, kematian
balita mengalami penurunan sebesar 53% sejak tahun 1990 ke 2015, namun masih
ada sekitar 7,6 juta balita yang meninggal tiap tahunnya. Indonesia memiliki
kemajuan yang lebih pesat dalam penurunan kematian balita yaitu sebesar 59%,
namun, penurunan kematian balita di Indonesia masih sangat lambat sejak satu
dekade terakhir.
Tujuan utama dari strategi MTBS adalah meningkatkan derajat kesehatan
serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak mengurangi angka
kematian, frekuensi, tingkat keparahan penyakit dan kecacatan, dan memberikan
konstribusi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat,
2008). Kegiatan MTBS memiliki tiga komponen khas yang menguntungkan, yaitu
4
meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit,
memperbaiki sistem kesehatan, dan memperbaiki praktik dalam rumah tangga dan
masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pengobatan pada kasus
balita sakit (WHO, 2012). Melihat betapa pentingnya melakukan imunisasi dimana
imunisasi itu sendiri merupakan salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit,
maka menjadi hal yang penting untuk mengetahui dan memahami terkait imunisasi
serta apabila balita sudah sakit salah satu cara yaitu dengan staregi MTBS.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1.5 Alur Pelayanan Kesehatan dan Tatalaksana MTBS
(Usia 2bln-5bln)
Perawat dan
Bidan
Petugas Gizi
Anamnesa
Rujukan Internal Pemeriksaan
Diagnosa
Poli Umum Rujukan RSUD
Terapi/Tindakan
Poli Gigi &mulut (sesuai Buku
Poli Gizi Bagan MTBS)
Kesling
Laboratorium
Apotek
Kasir
Pasien Pulang
8
Pada manajemen terpadu balita sakit (MTBS) model pengelolaannya meliputi:
9
Adalah merupakan penentuan tindakan dan member pengobatan di fasilitas
kesehatan yang sesuai dengan setiap klasifikasi, memberi obat untuk diminum
di rumah dan juga mengajari ibu tentang cara memberikan obat serta tindakan
lain yang harus dilakukan di rumah.
b. Memberi konseling bagi ibu
Konseling berarti mengajari atau menasehati ibu yang mencakup
mengajukan pertanyaan, mendengarkan jawaban ibu, memuji, memberikan
nasehat yang relevan, membantu memecahkan masalah dan mengecek
pemahaman ibu. Juga termasuk menilai cara pemberian makan anak, memberi
anjuran pemberian makan yang baik untuk anak serta kapan harus membawa
anaknya kembali ke fasilitas kesehatan.
c. Memberi pelayanan tindak lanjut
Adalah menentukan tindakan dan pengobatan pada saat anak datang untuk
kunjungan ulang.
d. Manajemen terpadu bayi muda umur 1 hari – 2 bulan
Meliputi menilai dan membuat klasifikasi, menentukan tindakan dan
memberi pengobatan, konseling dan tindak lanjut pada bayi umur 1 hari sampai
2 bulan baik sehat maupun sakit. Pada prinsipnya, proses manajemen kasus pada
bayi muda umur 1 hari – 2 bulan tidak berbeda dengan anak sakit umur 2 bulan
– 5 tahun.
2.1.7 Klasifikasi Manajemen Terpadu Balita Sakit
2.1.7.1 Umur 1 hari- 2 bulan
1) Penilaian Tanda dan Gejala
Pada penilaian tanda dan gejala yang pertama kali dilakukan pada balita
umur 1 hari sampai 2 bulan adalah:
11
g) Klasifikasi gangguan cerna. Dijumpai bila tanda sebagai berikut;
muntah segera setelah minum, atau berulang, berwarna hijau, gelisah,
rewel dan perut bayi kembung.
h) Klasifikasi diare. Diare dehidrasi berat, jika terdapat tanda seperti
letargis atau mengantuk atau tidak sadar, mata cekung serta turgor jelek.
Diare dehidrasi sedang jika ditemukan tanda seperti gelisah atau rewel,
mata cekuung serta turgor kulit jelek. Diare tanpa dehidrasi bila hanya
ada salah satu tanda dehidrasi berat atau ringan.
i) Klasifikasi BB rendah atau masalah pemberian ASI. Jika ditemukan
tanda seperti bayi sangat kecil, BB kurang dari 200 gram umur kurang
28 hari, tidak bisa minum ASI, tidak melekat sama sekali, tidak mampu
menghisap ASI.
2.1.7.2 Umur 2 bulan- 5 tahun
1) Penilaian tanda dan gejala
Pada penilaian tanda dan gejala pada bayi umur 2 bulan sampai dengan 5
tahun ini yang dinilai adalaha da tidaknya tanda bahaya umum (tidak bisa
minum atau menetek, muntah, kejang, letargis atau tidak sadar) dan
keluhan seperti batuk atau kesukaran bernafas, adanya diare, demam,
masalah telinga, malnutrisi, anemia dan lain-lain.
a) Penilaian pertama, kleuhan batuk atau sukar bernafas, tanda bahaya
umum, tarikan dinding dada ke dalam, stridor, nafas cepat.
b) Penilaian kedua, keluhan dan tanda adanya diare, seperti letargis, mata
cekung, tidak bisa minum atau malas makan, turgor jelek, gelisah, rewel,
haus atau banyak minu.
c) Penilaian ketiga, tanda demam, disertai dengan adanya tanda bahaya
umum, kaku kuduk dan adanya infeksi lokal.
d) Penilaian keempat, tanda masalah telinga seperti nyeri pada telinga,
adanya pembengkakkan.
e) Penilaian kelima, tanda status gizi seperti badan kelihatan bertambah
kurus, bengkak pada kedua kaki, telapak tangan pucat dan sebagainya.
12
a) Klasifikasi pneumonia. Berat, jika adanya tanda bahaya umum, tarikan
dinding dada ke dalam, adanya stridor. Pneumonia jika ditemukan
tanda frekuensi nafas yang sangat cepat. Batuk bukan pneumonia, bila
tidak ada pneumonia dan hanya keluhan batuk.
b) Klasifikasi dehidrasi. Berat, bila ada tanda dan gejala seperti letargis,
mata cekung, turgor jelek seklai. Ringan atau sedang dengan tanda
gelisah, rewel, mata cekung, haus, turgor jelek. Diare tanpa dehidrasi,
bila tidak cukup tanda adanya dehidrasi.
c) Klasifikasi diare persisten. Jika ditemukan diare sudah lebih dari 14
hari dengan dikelompokkan menjadi dua kategori persisten berat, jika
adanya tanda dehidrasi dan diare persisten bila tidak ditemukan tanda
dehidrasi.
d) Klasifikasi disentri. Bila diare disertai dengan darah dalam tinja atau
diarenya bercampur dengan darah.
e) Klasifikasi resiko malaria. Bila ditemukan bahaya umum dan disertai
dengan kaku kuduk.
f) Klasifikasi campak. Campak dengan komplikasi berat, jika ditemukan
adanya tanda bahaya umum, terjadi kekeruhan pada kornea mata,
adanya luka di daerah mulut. Campak dengan komplikasi pada mata
atau mulut bila ditemukan tanda mata bernanah serta luka dimulut dan
ketiga klasifikasi campak bila hanya tanda khas campak.
g) Klasifikasi demam berdarah dengue. Bila terjaid demam yang kurang
dari 7 hari.
h) Klasifikasi status gizi. Gizi buruk dan atau anemia berat, bila BB sangat
kurus, adanya bengkak pada kedua kaki serta pada telapak tangan
ditemukan kepucatan. Klasifikasi dibawah garis merah dan atau anemia
bila ditemukan tanda telapak tangan agak pucat, BB menurut umur di
bawah garis merah dan ketiga, tidak bawah garis merah dan tidak
anemia bila tidak ada tanda di atas.
13
a. Lihat keadaan umum anak:
Apakah anak :
1) Letargis atau tidak sadar?
2) Gelisah atau rewel/mudah marah?
b. Lihat apakah matanya cekung
c. Beri anak minum,apakah anak:
1) Tidak bisa minum atau malas minum?
2) Ataukah haus minum dengan lahap
d. Cubit perut untuk mengetahui turgor apakah kembali sangat lambat(lebih
dari 2 detik) atau lambat.
2. Diare dengan dehidrasi ringan
a. Tanda-tandanya:
1) Letargis atau tidak sadar
2) Mata cekung
3) Tidak bisa minum atau malas minum
4) Cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat
b. Cara mengatasi dirumah:
1) Beri cairan dan makanan yang sesuai
2) Jika tidak ada perubahan segera rujuk ke Rumah Sakit dan salama
dalam perjalanan ibu di minta terus memberikan larutan oralit sedikit
demi sedikit
3) Anjurkan ibu tetap memberikan ASI
4) Berikan penjelasan kepada ibu kapan harus kembali
5) Kunjungan ulang selama 5 hari jika tidak ada perbaikkan
3. Identifikasi tindakan MTBS
Yaitu pengambilan keputusan oleh petugas dalam menangani diare, tindakan
MTBS mencakup 3 rencana terapi:
2.1 Terapi A
Terapi dirumah untuk mencegah dehidrasi, caiean yang biasa diberikan
oralit (cairan gula-garam), sayuran dan sup yang mengandung garam
2.2 Terapi B
Dehidrasi sedang dengan pemberian cairan rehidrasi oral
14
2.3 Terapi C
Dehidrasi berat dengan pemberian cairan infus RL
2.2 Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten yaitu usaha memberikan
kekebalan bayi dan anak dengan memasukan vaksin ke dalam tubuh agar membuat zat
anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan vaksin adalah bahan yang
dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh
melalui suntikan seperti vaksin BCG, DPT, Campak, dan melalui mulut seperti vaksin
polio. Tujuan diberikan imunisasi yaitu di harapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit tertentu (Marimbi, 2010).
Di Negara Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah dan
ada juga yang hanya di anjurkan, imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah
diwajibkan oleh WHO ditambah dengan hepatitis B. Imunisasi yang hanya dianjurkan
oleh pemerintah dapat digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa atau
penyakit endemik, atau untuk kepentingan tertentu (bepergian) seperti jamaah haji seperti
imunisasi meningitis (Kemenkes RI, 2014).
Pemberian imunisasi pada anak yang mempunyai tujuan agar tubuh kebal terhadap
penyakit tertentu, kekebalan tubuh juga dapat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya terdapat tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, potensi
antigen yang disuntikan dan waktu antara pemberian imunisasi. Mengingat efektif dan
tidaknya imunisasi tersebut akan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya sehingga
kekebalan tubuh dapat diharapkan pada diri anak (Alimul, 2008).
15
2.2.1 Jenis-Jenis Immunisasi
Jenis-jenis imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi wajib dan pilihan.
1. Imunisasi Wajib
Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah
untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang
bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi
wajib terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus.
2. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara
terus-menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan
imunisasi lanjutan.
16
Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk kekebalan aktif
terhadap tuberkolosis. Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung
Mycrobacterium bovis hidup yang dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin), strain
paris. Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan pemberian imunisasi
BCG pada umur 0-11 bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada bayi umur 2
atau 3 bulan. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru
lahir sampai usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi
berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian
imunisasi ini “berhasil,” maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan
timbul benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi
perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas.Biasanya setelah
suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam (Theophilus, 2000).
17
Tanda Keberhasilan:
Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6
minggu.Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh
sendiri dan meninggalkan luka parut.
Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja dikarenakan cara
penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian
khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di
paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit
paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam
kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah endemis TB,
infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat vaksinasi
alamiah.
Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau
menunjukkan Mantoux positif.
b. Imunisasi DPT-HB-HIB
18
Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia 18 bulan,
dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi
TT
Efek samping :
Efek ringan seperti pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan,
demam.
Efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih 4 jam, kesadaran
menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock.
Penanganan efek Samping:
Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau sari
buah).
Jika demam, kenakan pakaian yang tipis.
Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6
kali dalam 24 jam).
Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
Jika reaksi memberat dan menetap bawa bayi ke dokter.
Indikasi/Kontra:
Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu penyakit
seperti epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat
karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh menerima
vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang menyebabkan panas.
c. Imunisasi POLIO
19
dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio
walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah. Vaksin yang
dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO
ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid.
Kontra Indikasi :
Sedang menderita demam, penyakit akut atau penyakit kronis progresif.
20
Hipersensitif pada saat pemberian vaksin ini sebelumnya.
Penyakit demam akibat infeksi akut: tunggu sampai sembuh.
Alergi terhadap streptomycin.
21
Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5-6 tahun)
dan saat meninggalkan sekolah dasar (12 thun). Cara memberikan imunisasi polio
adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung ke dalam
mulut anak.Imunisasi ini jangan diberika pada anak yang sedang diare berat, efek
samping yng terjai sangat minimal dapat berupa kejang.
Vaksin dari virus polio (tipe 1,2,dan 3) Virus polio terdiri atas tiga strain,
yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig), dan strain 3 (leon) yang dilemahkan,
dibuat dalam biakkan sel-vero : asam amino, antibiotic, calf serum dalam
magnesium clorida, dan fenol merah.Vaksin yang berbentuk cairan dengan
kemasan 1 cc atau 2 cc dalam flacon, pipet. Pemberian secara oral sebanyak 2
tetes (0,1 ml) dengan diberikan 4 kali, interval 4 minggu.
Cara pemberian :
Secara oral (melalui mulut), dosis (2 tetes) sebanyak 4 kali (dosis) pemberian,
dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
Usia Pemberian:
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18
bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan
vaksin DTP.
Efek Samping:
Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio oral. Setelah mendapat vaksin
polio oral bayi boleh makan minum seperti biasa. Apabila muntah dalam 30 menit
segera diberi dosis ulang.
Penanganan efek samping:
Orangtua tidak perlu melakukan tindakan apa pun.
Tingkat Kekebalan:
Dapat mencekal hingga 90%.
Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di
atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang
menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan
mekanisme kekebalan terganggu.
d. Imunisasi Campak
22
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
campak pada anak karena penyakit ini sangat menular. Kandungan vaksin ini adalah
virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu
kali.Waktu pemberian imunisasi campak pada umur 9 – 11 bulan. Cara pemberian
imunisasi campak melalui subkutan kemudian efek sampingnya adalah dapat terjadi
ruam pada tempat suntikan dan panas.
23
Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6
kali dalam 24 jam).
Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
Jika reaksi tersebut berat dan menetap bawa bayi ke dokter.
e. Imunisasi Hepatitis B
24
angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol
berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%.Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95%
bayi mengalami respons imun yang cukup.
Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.
Vaksin berisi HBsAg murni
Diberikn sedini mungkin setelah lahir
Suntikan secara intramuscular di daerah deltoid, dosis 0,5 ml.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2-8ºC
Bayi lahir dari ibu HBsAg (+) diberikan immunoglobulin hepatitis B 12 jam
setelah lahir + hepatitis B
3. Imunisasi Lanjutan
1. Imunisasi DT
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid
tetanus dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat.
Indikasi :
Pemberian kekebalan simultan terhadap difteri dan tetanus pada anak-anak.
Cara pemberian dan dosis :
Secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml. Dianjurkan untuk
anak usia di bawah 8 tahun.
Kontra indikasi :
Hipersensitif terhadap komponen dari vaksin.
Efek samping :
Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat
sementara, dan kadang-kadang gejala demam.
25
Penanganan efek samping :
Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum anak lebih banyak.
Jika demam, kenakan pakaian yang tipis
Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin
Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6 kali
dalam 24 jam)
Anak boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
2. Imunisasi Td
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid
tetanus dan toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat.
Indikasi :
Imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada individu mulai usia 7 tahun.
Cara pemberian dan dosis :
Disuntikkan secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5
ml.
Kontra indikasi :
Individu yang menderita reaksi berat terhadap dosis sebelumnya..
Efek samping :
Pada uji klinis dilaporkan terdapat kasus nyeri pada lokasi penyuntikan (20–30%)
serta demam (4,7%).
3. Imunisasi TT
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu dalam vial gelas,
mengandung toksoid tetanus murni, terabsorpsi ke dalam aluminium fosfat.
Indikasi :
Perlindungan terhadap tetanus neonatorum pada wanita usia subur.
Cara pemberian dan dosis :
Secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml.
Kontra indikasi :
Gejala-gejala berat karena dosis TT sebelumnnya.
Hipersensitif terhadap komponen vaksin.
26
Demam atau infeksi akut.
Efek samping :
Jarang terjadi dan bersifat ringan seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan
yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam.
Penganan efek samping :
Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
Anjurkan ibu minum lebih banyak.
4. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang paling
berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu
tertentu. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah Backlog
fighting, Crash program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub-PIN, Catch up
Campaign campak dan Imunisasi dalam Penanganan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI).
5. Imunisasi Khusus
6. Imunisasi Pilihan
Merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular
tertentu. Jenis imunisasi pilihan diantarannya Hib, Pneumokokus (PCV),
Influenza, MMR, Tifoid, varisela, Hepatitis A.
27
2.2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi
28
Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3
Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun
optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
9 bulan Campak-1 Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan
program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah
mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu
diberikan.
15-18 MMR Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi
bulan campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.
Hib-4 Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
18 DTP-4 DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.
bulan Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.
2 tahun Hepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua
kali dengan interval 6-12 bulan.
2-3 Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2
tahun tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3
tahun.
5 tahun DTP-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)
Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.
6 MMR Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang belum
tahun. mendapatkan MMR-1.
10 dT/TT Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk
tahun mendapatkan imunitas selama 25 tahun.
Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.
Kejadian Ikutan Pasca Imuniasi (KIPI) merupakan semua kejadian sakit dan
kematian yang terjadi dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Pencegahan yag
dapat dilakukan yaitu:
29
b. Orangtua diajarkan menangani reaksi vaksin yang ringan & dianjurkan segera
kembali apabila ada reaksi yg mencemaskan
c. Mengenal dan dapat mengatasi reaksi anafilaksis
d. Sesuaikan dengan reaksi ringan/berat yg terjadi atau harus dirujuk ke RS dg
fasilitas lengkap
e. Mencegah KIPI akibat program error:
1) Gunakan alat suntik disposibel
2) Gunakan pelarut vaksin yang sudah disediakan oleh produsen vaksin
3) Vaksin yg sudah dilarutkan harus segera dibuang
4) Dalam lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin
5) Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama
30
i. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up
vaccination)
j. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian di bawah mengenai
pemilihan jarum suntik, lokasi suntikan dan posisi penerimaan vaksin.
31
2.2.5 Patofisiologi Imunisasi
Antigen
Dx. Nyeri
Sistem imun spesifik Inflamasi Nyeri
Dx. Gg Termoregulasi
Demam
menetralkan antigen
32
33
2.2.6 Asuhan Keperawatan Imunisasi
1. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama :
Tanggal lahir :
Umur :
Agama :
Suku :
Diagnosa Medis :
Tanggal dikaji :
No. Medrek :
Nama Ibu :
Pekerjaan Ibu :
Pendidikan Ibu :
34
c. Post Natal :Tanyakan kondisi anak setelah lahir, apgar score, berat badan
lahir, panjang badan lahir dan apakah terdapat kelainan kongenital.
6. Riwayat Keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang dialami oleh keluarga, apakah keluarga
memiliki penyakit keturunan yang terkait dengan penurunan imunitas seperti
HIV/AIDS
7. Riwayat pengobatan
Apakah anak sedang mengkonsumsi obat-obatan steroid seperti prednison, atau
sedang menjalani radioterapi dan kemoterapi.
8. Riwayat sosial
Tanyakan siapa yang mengasuh anak, struktur keluarga, lingkungan sekitar
tempat tinggal.
9. Kebutuhan dasar
Nutrisi Tanyakan nutrisi yang diberikan ASI/PASI,
kekuatan menghisap (jika masih diberikan ASI),
frekuensi pemberian nutrisi, kebiasaan makan, BB
saat ini
Eliminasi Pola defekasi : frekuensi, apakah ada kesulitan,
karakteristik feses
Pola berkemih : frekuensi berkemih atau
mengganti popok, kekuatan keluarnya urin, bau
dan warna urin.
Tidur dan Lama tidur, apakah tidur nyenyak, apakah ada
istirahat perubahan pola tidur (nokturia
35
Aktivitas Aktivitas sehari-hari yang dilakukan seperti
permainan yang dilakukan, tempat bermain,
tingkat aktivitas anak, kemampuan mandiri anak,
personal hygiene
8. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum :
TTV : HR, RR, S
Antropometri : PB, BB, LK
Kepala : bentuk, lesi, rambut, kebersihan
Mata : konjungtiva, sklera
Hidung :pernapasan cuping hidung, sekret
Mulut : mukosa bibir, warna, kelembaban, bentuk, sianosis
Telinga : bentuk, serumen, kebersihan
Leher : pembesaran KGB
Dada : inspeksi pengembangan dada kanan = kiri, penggunaan otot nafas
tambahan, auskultasi bunyi nafas, ronchi, auskultasi bunyi jantung S1,S2,
murmur, gallop
Abdomen : bising usus , perkusi perut timpani, pembesaran hati, pembesaran
limfa
Genitalia : hipospadia
Tangan : turgor , CRT, jumlah jari, pergerakan
Kaki : turgor, jumlah jari, pergerakan
36
DO: terlihat kesakitan,
merah Masuk ke dalam tubuh
Inflamasi
Nyeri
DS: menggigil Antigen Hipertermi
DO: suhu meningkat
Masuk ke dalam tubuh
Inflamasi
Peningkatan suhu
Demam
3. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa Pra Imunisasi
Kecemasan berhubungan dengan ketidaktahuan manfaat imunisasi
b. Diagnosa Pasca Imunisasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dari kerusakan jaringan ditandai
dengan anak menangis.
2. Hipertermi berhubungan dengan sistem inflamasi tubuh ditandai dengan
suhu anak meningkat.
37
4. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri akut Setelah 1. Kaji skala 1. Mengkaji nyeri
berhubungan dilakukan nyeri anak dapat menentukan
dengan inflamasi tindakan 2. Libatkan ibu terapi yang efektif
dari kerusakan keperawatan klien selama 2. Keberadaan ibu
jaringan ditandai nyeri dapat prosedur akan membuat
dengan anak berkurang tindakan klien merasa
menangis. dengan kriteria 3. Lakukan aman dan nyaman
klien tidak lagi manajemen 3. Tekhnik distraksi
menangis, klien nyeri melalui nyeri dengan
kembali distraksi menggunakan
tersenyum dan dengan mainan mainan dapat
tidak rewel 4. Berikan rasa mengurangi nyeri
aman dan pada klien
nyaman pada 4. Rasa aman dan
bayi seperti nyaman dapat
memberikan membuat anak
sentuhan, menjadi lebih
menggendong rileks sehingga
bayi nyeri dapat
berkurang
38
suhu anak kembali dalam 3. Kolaborasi kenaikan suhu
meningkat. batas normal pemberian tubuh cepat
dengan kriteria antipiretik terdeteksi dan
suhu tubuh tidal 4. Beritahu ibu cepat ditangani
lebih dari 37,5 C, untuk 2. Monitor warna
TTV normal, memastikan dan suhu kulit
suhu rabaan dan intake cairan dapat menjadi
kulit normal, dan nutrisi cara untuk
tidak ada tanda- adekuat mendeteksi
tanda menggigil 5. Berikan kenaikan suhu
kompres tubuh
hangat di aksila 3. Obat anti piretik
atau lipatan dapat
paha. menurunkan
demam
4. Peningkatan
suhu tubuh dapat
berpengaruh
pada
keseimbangan
cairan dan
metabolisme
tubuh.
5. Kompres hangat
dapat meredakan
demam.
5. Evaluasi Keperawatan
39
A (Analisis) = Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif
klien dibandingkan dengan kriteria dan standar yang telah dilakukan
P (Perencanaan) = Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis
40
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam rangka mensukseskan target dari SDGs pada tahun 2030 berupa
kesehatan yang baik, menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong
kesejahteraan segala usia. Maka program kesehatn ibu dan anak menjadi penting.
MTBS mencakup berbagai upaya yang berkaitan erat dengan penyembuhan
penyakit pada bayi berupa pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga,
malnutrisi, serta upaya peningkatan pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit
seperti imunisasi, pemberian vit K, Vit A dan konseling pemberian ASI atau
makan. Penerapan MTB yang baik dapat mengoptimalisasikan layanan kesehatan
bagi ibu maupun anak.
3.2 Saran
41
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI, (2015), Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Jakarta,
Indonesia.
Kowass IN, Ismanto AY, Lolong J, (2017), Hubungan penerapan manajemen terpadu
balita sakit (MTBS): Status imunisasi dengan kelengkapan imunisasi dasar pada
bayi (usia 2-12 bulan) di puskesmas Bahu, e-Kp vol 5 No 1.
Marimbi, Hanung. (2010). Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada
Balita. Nuha Medika : Yogyakarta
Prasetyawati, A. (2012). Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Dalam Millenium Development
Goals (MDGs). Nuha Medika. Yogyakarta.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2010). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
2010. 15 November 2013. http://www.litbang.depkes.go.id/sites/do
Riyadi. (2012). Imunisasi Bayi Dan Balita.jakarta: TIM
Sari, Y. R. (2017). Tantangan Implementasi Mtbs Di Puskesmas: Literature
Review. Prosiding Snapp: Kesehatan (Kedokteran, Kebidanan, Keperawatan,
Farmasi, Psikologi), 3(1), 172-178.
Sekartini. (2011). Kesehatan Dan Tumbuh Kembang Anak. jakarta: TIM
42
UNICEF. (2005). Laporan UNICEF Tentang Himbauan Untuk Menyelamatkan Anak-
Anak Melalui Imunisasi. Retrieved from https://www.unicef.org/INDONESIA/
ID/3175.HTML.
WHO. (2003) Component of IMCI, Toward Better Child Health And Development,
WHO, (2011), Caring For Newborns and Children in the Community: A training course
for community health workers; Caring For the sick Child in community,
Switzerland.
43