Anda di halaman 1dari 5

TERAPI ANTI RETROVIRAL

1.1 Waktu memulai terapi ARV

Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk
pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV
dalam populasi. Berikut ini indikasi untuk memulai terapi ART:1,2
1. Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau
2. Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya
3. Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4
 Semua pasien ko-infeksi TB
 Semua pasien ko-infeksi HBV
 Semua ibu hamil
 ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negatif (sero discordant)
 Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)
 Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan
Papua Barat

1.2 Regimen di Indonesia

Pemerintah menyediakan sediaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) / Fixed Dose


Combination (FDC) untuk rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV. Sediaan KDT ini
merupakan obat pilihan utama, diberikan sekali sehari sebelum tidur Obat ARV harus
diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang tinggi (>95%) sehingga petugas
kesehatan perlu untuk membantu pasien agar dapat patuh minum obat, kalau perlu
melibatkan keluarga atau pasien lama. Kepatuhan pasien dalam meminum obat dapat
dipengaruhi oleh banyak hal seperti prosedur di layanan, jarak, keuangan, sikap petugas
dan efek samping. Oleh karena itu perlu dicari penyebab ketidak patuhannya dan
dibantu untuk meningkatkan kepatuhannya, seperti konseling dan motivasi terus
menerus. Ketidak patuhan kepada obat lain seperti kotrimkoksasoltidak selalu menjadi
dasar untuk menentukan kepatuhan minum ARV. Obat ARV lini pertama yang tersedia
di Indonesia. Berikut ini obat-obat ARV yang terdapat di Indonesia:1,2
1. Tenofovir (TDF) 300 mg
2. Lamivudin (3TC) 150 mg
3. Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg
4. Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg
5. Nevirapine (NVP) 200 mg
6. Kombinasi dosis tetap (KDT):
 TDF+FTC 300mg/200mg
 TDF+3TC+EFV 300mg/150mg/600mg
Rejimen yang digunakan di tingkat FKTP adalah rejimen lini pertama dengan pilihan:
1. TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
2. TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
3. AZT + 3TC + EFV
4. AZT + 3TC + NVP
Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami
kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam
terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir
pasti terjadi resistansi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV
menggunakan kombinasi 2 NRTI + boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi
pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga anak dengan paduan berbasis NNRTI
yang digunakan sebagai lini pertama.3
1. Berbasis AZT atau d4T -> TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r
2. Berbasis TDF -> AZT + 3TC + LPV/r

1.3 Efek Samping Terapi ARV

Tujuan dari terapi ARV adalah untuk menemukan kombinasi pengobatan yang
tepat pada dosis yang tepat yang cukup untuk melawan HIV dalam tubuh tetapi tidak
menimbulkan efek samping.Namun kejadian efek samping banyak dilaporkan dalam
penggunaan obat ARV. Efek samping ARV bervariasi pada tiap obat dan dari satu
orang dengan yang lain dan umumnya terjadi pada tiga bulan pertama awal terapi ARV.
Efek samping yang sering dilaporkan yaitu efek samping bersifat jangka pendek dan
bersifat ringan seperti masalah pada syaraf, anemia, diare, pusing, lelah, sakit kepala,
mual, muntah.nyeri dan ruam. Disamping itu ada juga yang mengalami efek samping
jangka panjang dan lebih berat seperti lipodistropi, resistensi insulin, kelainan lipid,
penurunan kepadatan tulang, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Efek samping yang
terjadi dalam penggunaan ARV dapat mengakibatkan berkurangnya kepatuhan pasien
dalam minum obat sehingga efektivitas atau outcome terapi yang diharapkan tidak
optimal.3 Menurut WHO berikut ini obat-obat ARV dengan efek samping yang dapat
timbul:4
1.4 Kegagalan terapi ARV

Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV, dibutuhkan pengobatan ARV


yang berhasil. Kegagalan pengobatan pada pasien HIV dinilai dari tiga hal, yaitu klinis,
imunologis, dan virologis. Kegagalan klinis adalah terjadinya perburukan klinis pasien
HIV seperti penurunan berat badan atau timbul dan semakin memburuknya infeksi
oportunistik setelah pemberian ARV. Kegagalan imunologis adalah terjadinya penurunan
jumlah limfosit CD4, yaitu CD4 menurun sampai ≤ nilai awal; CD4 persisten <100
sell/cc selama 1 tahun; dan CD4 turun 50% dari nilai tertinggi. Sementara itu, kegagalan
virologis adalah meingkatnya jumlah virus dalam darah setelah pemberian ARV, yaitu
viral load >1000 kopi/ cc. Target yang ingin dicapai dalam virologis adalah tercapainya
jumlah virus serendah mungkin atau di bawah batas deteksi yang dikenal sebagai jumlah
virus tak terdeteksi (undetectable viral load).3,6
Kegagalan virologis merupakan pertanda awal dari kegagalan pengobatan satu
kombinasi obat ARV. Setelah terjadi kegagalan virologis, dengan berjalannya waktu
akan diikuti oleh kegagalan imunologis dan akhirnya akan timbul kegagalan klinis. Pada
keadaan gagal klinis biasanya ditandai oleh timbulnya kembali infeksi oportunistik. Hal
ini disebabkan oleh rendahnya jumlah limfosit CD4 akibat terjadinya resistensi virus
terhadap ARV yang sedang digunakan. Kegagalan virologis muncul lebih dini daripada
kegagalan imunologis dan klinis. Karena itu, pemeriksaan viral load akan mendeteksi
lebih dini dan akurat kegagalan pengobatan dibandingkan dengan pemantauan
menggunakan kriteria imunologis maupun klinis, sehingga mencegah meningkatnya
mordibitas dan mortalitas pasien HIV.7 Pemeriksaan viral load juga digunakan untuk
menduga risiko transmisi kepada orang lain, terutama pada ibu hamil dengan HIV dan
pada tingkat populasi.8,9 Pasien HIV yang dinyatakan gagal pada pengobatan lini
pertama, harus menggunakan pengobatan ARV lini kedua supaya dapat mencapai tujuan
pengobatan ARV seperti disebut di atas.3 Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
perubahan biaya pengobatan karena harga obat ARV lini kedua lebih mahal dari obat
ARV lini pertama.
Ketidakpatuhan merupakan faktor utama dalam kegagalan pengobatan infeksi
virus HIV. Kepatuhan (adherence) adalah minum obat sesuai dosis, tidak pernah lupa,
tepat waktu, dan tidak pernah putus. Suatu studi melaporkan bahwa sebanyak 70%
pasien yang mendapatkan ARV lini pertama dengan viral load yang tinggi akan
mengalami penurunan viral load setelah mendapat intervensi kepatuhan.1
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Guidelines: Consolidated Guidelines on HIV Prevention Diagnosis, Treatment and
Care For Key Populations.2016.
2. Kemenkes RI. Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama. 2016.
3. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral. 2015.
4. Barus, T., Yelfi, A., Ginting, D. Evaluasi Efek Samping Obat Antiretroviral dan
Penatalaksanaannya pada Pasien HIV/AIDS di Puskesmas Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara Periode Tahun 2013-2015. Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal. 2 (1) 29-
37. 2017.
5. Kaplan, W. Background Paper 6.7 Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired
Immune Deficiency Syndromes (AIDS). 2013.
6. Dybul M, FauciAS, Bartlett JG, Kaplan JE, Pau AK, et al. Panel on Clinical Practices for
the Treatment of HIV. Guidelines for using antiretroviral agents among HIV-infected
adults and adolescents. Recommendations of the panel on clinical practices for treatment
of HIV. Ann Intern Med. 2002;137(5 Pt 2):381-433.
7. Bonner K, Mezochow A, Roberts T, Ford N, Cohn J. Viral load monitoring as a tool to
reinforce adherence: a systematic review. J Acquir Immune Defic Syndr. 2013;64:74–8.
8. Warszawski J, Tubiana R, Le Chenadec J, Blanche S, Teglas J-P, Dollfus C, et al. Mother-
to-child HIV transmission despite antiretroviral therapy in the ANRS French Perinatal
Cohort. AIDS. 2008;22:289–99.
9. Miller WC, Powers KA, Smith MK, Cohen MS. Community viral load as a measure for
assessment of HIV treatment as prevention. Lancet Infect Dis. 2013;13:459–64.

Anda mungkin juga menyukai