Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
oleh:
Chyntiananda Prabu Hening
NIM. 1710029033
Pembimbing:
dr. Djoen Herdianto, Sp.JP
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Rheumatic Heart Disease”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Djoen Herdianto, Sp.JP, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
ilmu penyakit Dalam.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2017 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.................................................................................................4
BAB II................................................................................................................6
LAPORAN KASUS...............................................................................................6
BAB III.............................................................................................................16
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................16
3.1 Definisi...........................................................................................................16
3.2 Epidemiologi..................................................................................................16
3.3 Etiologi...........................................................................................................16
3.4 Patogenesis....................................................................................................17
3.5 Diagnosis........................................................................................................20
3.5.1 Manifestasi Mayor......................................................................................21
3.5.2 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................23
3.6 Tatalaksana....................................................................................................24
3.7 Prognosis.......................................................................................................29
BAB IV.............................................................................................................30
KESIMPULAN...................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi
rata-rata sebesar 2,2 per 1.000 anak sekolah.
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1
November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per
100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara
berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia
akibat penyakit tersebut.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak
sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi
demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat
penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien:
Nama : An. NA
Umur : 12 tahun
Alamat : Jl. Tani Harapan
Pekerjaan : Pelajar
MRS : 14 Agustus 2019
Tanggal periksa : 18 Agustus 2019
B. Anamnesis:
Keluhan Utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dirujuk dari RS Moeis dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu
SMRS dan memberat dalam 2 hari terakhir. Sesak tersebut bersifat hilang timbul.
Keluhan tersebut muncul ketika pasien beraktifitas berat, berjalan jauh (kurang
lebih 6 meter), dan saat malam hari. Ketika sesak muncul, pasien lebih nyaman
pada posisi duduk, jika berbaring pasien merasa lebih sesak. Pasien juga
mengeluhkan kedua kaki bengkak sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien
belum pernah mengalami kaki bengkak seperti ini. Pasien memiliki riwayat
penyakit jantung bawaan sejak kecil namun tidak pernah kontrol. Pasien mulai
mengalami keluhan sesak seperti ini sejak usia 8 tahun dan sering keluar masuk
rumah sakit untuk dirawat karena sesak tersebut. Pasien juga sering sakit batuk
pilek sejak kecil dan biasanya hanya diobati dengan obat warung. Keluarga pasien
mengatakan pasien belum pernah melakukan operasi jantung, namun pasien
pernah dioperasi karena usus buntu. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien
mengalami penurunan berat badan sekitar >5 kg dalam 3 bulan terakhir ini.
Keluhan mual dan muntah disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
6
Riwayat Penyakit Keluarga:
o Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung dan sakit
jantung bawaan.
o Riwayat hipertensi (+) ibu pasien
o Riwayat diabetes melitus (-)
o Riwayat asma, alergi (-)
Riwayat kebiasaan :
o Makan 2-3 kali sehari
o Tidak pernah olahraga
Riwayat Pengobatan:
o Tidak ada mengkonsumsi obat rutin
C. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran :
o Compos mentis
o GCS: E4-V5-M6
Tanda Vital :
o Tekanan darah : 130/60 mmHg
o Nadi : 94 kali/menit
o Frekuensi nafas : 24 kali/menit
o Suhu : 36.7 oC
o Saturasi : 99%
Kepala :
o Konjungtiva palpebra anemis (- | -)
o Sklera ikterik (- | -)
o Sianotik (-)
o Pernapasan Cuping Hidung (-)
Leher :
o JVP = 5 + 1,5 cm
o Deviasi trachea (-)
o Kelenjar tiroid : Pembesaran (-), nodul (-), nyeri tekan (-)
Dada :
o Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tampak di intercostal V pada linea mid
clavicularis sinistra
Palpasi:
- Ictus kordis terletak di intercostal V pada linea mid
clavicularis sinistra, diameter 1.5 cm, kuat angkat
7
- Thrill (+)
- Pulsasi parasternal (-)
- Pulsasi epigastrial (-)
Perkusi : Batas jantung kiri di intercostal V antara linea mid
clavicularis sinistra dan axilla anterior line sinistra
Auskultasi:
- S1 S2 split (-)
- Murmur (+) di katup Mitral yang meluas hingga ke aksila
- Murmur (+) di katup Aorta
- Gallop (-)
o Paru:
Inspeksi : Besar dan bentuk dada simetris.
Palpasi : Gerakan napas simetris dextra=sinistra,
Fremitus simeteris dextra=sinistra
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi:
- Suara Nafas : vesikuler di kedua lapang paru
- Suara tambahan : ronkhi (+) di kuadran bawah paru kanan,
wheezing (-)
Abdomen :
o Inspeksi: tampak rata
o Palpasi:
Supel
Nyeri tekan epigastrium (-)
Hepar tidak teraba dan lien tidak teraba.
o Perkusi:
Timpani seluruh pada keempat kuadran abdomen
Shifting dullness (-)
o Auskultasi: Bising usus (+), kesan normal
Ekstremitas:
o Clubbing : tidak didapatkan
o Sianosis: tidak didapatkan
o Pitting oedema:
- -
- -
o Akral hangat, CRT < 2”
8
D. Pemeriksaan Penunjang:
Elektrokardiografi (EKG) (13/08/19):
Deskripsi EKG:
Irama sinus takikardi, Heart Rate 136x/menit; Aksis normal; Gelombang P
normal; Interval PR 0,12 S; Durasi QRS 0,08 S; Q patologis (-), Pembesaran
ventrikel kiri (+), Pembesaran atrium (-), Bundle branch block (-)
Kesan EKG : Sinus takikardi + Left Ventrikel Hypertrophy
9
Deskripsi Foto Thoraks:
Kardiomegali + efusi pleura kanan
10
Bil Indirect 1,0 mg/dl 0-0,8 ↑
Albumin 3,1 g/dl 3,5-5,5 ↓
ASTO 400 IU/ml <200 ↑
CRP 48,0 Mg/L <6,0 ↑
Echocardiografi (15/08/19) :
1. Kontraktilitas LV menurun (EF : 47%)
2. LVH (+) eccentric
3. Tak tampak trombus maupun vegetasi
4. Katup-katup :
AI severe (Sdec 10 m/s2)
MI severe
TI mild
P dalam batas normal
Doppler E /A < 1
Kesimpulan :
Sesuai gambaran PJK
Fungsi sistolik LV menurun
Fungsi diastolik LV terganggu
AI severe, MI severe, TI mild
F. Diagnosis:
Diagnosis fungsional : CHF functional class NYHA II-III
Diagnosis anatomis : Mitral Regurgitasi dan Aorta Regurgitasi
Diagnosis etiologis : Rheumatic Heart Disease
Diagnosis tambahan : Susp endokarditis infection + Efusi pleura
dextra + Pneumonia + Gizi buruk
G. Penatalaksanaan:
Pediatric
1. MRS PICU
2. O2 nasal kanul 2-3 lpm
3. Pasang kateter urin
4. Drip KCl 40 meq dalam Asering 1200 ml/24 jam
5. Cefotaxime 3 x 1 gr (IV)
6. Spironolakton 2 x 12,5 mg (PO)
7. Ibuprofen 3 x 400 mg (PO)
8. Captopril 3 x 12,5 mg (PO)
9. Kultur darah dan urin
Kardiovaskular
1. Konsul Sp.BTKV
2. Cek ASTO dan CRP
11
H. Follow Up:
Tanggal S O A P
Sp.A :
1. Infus D5 ½ NS
1000cc/24 jam + drip
KCl 50cc/24 jam
2. Furosemide 3 x 30
mg
3. SP Dobutamin
5mcq/kgBB/hari
4. Ceftriaxone 2 x
1,5gr
5. Captopril 3 x 12,5
mg
RHD + MR 6. Nebu ventolin 1500
TD: 130/60
severe + cc 3x/hari
mmHg
Jumat AR severe 7. NAC 3 x 200 mg
-Sesak N: 120x /menit
15/08/2019 + CHF + PO
-Batuk RR: 24x /menit
susp 8. Spironolakton 2 x
T: 36,2 oC
endokarditi 25 mg PO
s infection 9. Vit B complex 2 x
10mg
10.Zinc 1 x 20mg
11. Cek serum
elektrolit post koreksi
Sp.GK :
1. Diet lunak
hepar ½ porsi
2. Diet hepatosol
3 x 150 mg
3. Minum max
400cc/hari
Sabtu -Sesak TD: 130/60 RHD + MR Sp. JP :
16/08/2019 -Nyeri mmHg severe + 1. Infus D5 ½ NS
perut N: 99x/menit AR severe 700cc/24 jam
RR: 24x/menit + CHF + 2. Echo ulang
T: 36 oC susp 3. EKG ulang
endokarditi
s infection Sp.A :
+ 1. Eritromisin 3 x
Pneumonia 500 mg (10
hari)
2. Prednison 3 x 4
mg
3. KSR 3 x ½ tab
4. Inj. Ranitidin
12
Sp. GK :
1. Diet hepatosol
6 x 100 mg
2. Max minum
500 cc/ hari
RHD + MR Sp.A:
severe + 1. NAC 3 x 200 mg
TD: 140/60
AR severe 2. Salbutamol 3 x 2
mmHg
+ CHF + mg (saran Sp.JP Stop)
Minggu -Sesak N: 99x/menit
susp
17/08/2019 -Batuk RR: 22x/menit
endokarditi Sp.BTKV:
T 36 oC
s infection 1. Rencana Operasi
+ dari poli, boleh
Pneumonia KRS
RHD + MR Sp.JP:
TD: 120/50
severe + 1. Captopril stop
mmHg
AR severe 2. Lasix 3 x 20 mg
Senin N: 98x/menit
-Sesak + CHF + 3. Dobutamin 3
18/08/2019 RR: 22x/menit
susp mcq/kgBB
T 37 oC
endokarditi 4. Jika TD sistol > 90
s infection dobutamin di stop
Sp.JP:
1. Infus D5 ½ NS
RHD + MR 500cc/24 jam
TD: 120/50
severe +
mmHg
AR severe Sp.BTKV:
Selasa -Sesak N: 96x/menit
+ CHF + 1. Evaluasi Foto
19/08/2019 (berkurang) RR: 22x/menit
susp Thorax 3 hari lagi
T 36oC
endokarditi posisi erect/duduk
s infection 2. Rencana USG
Thoraks dengan
marker
Sp.A:
RHD + MR
1. Inj Ceftriaxon stop
severe +
2. Inj Levofloxacin 2
AR severe
TD: 116/53 x 340 mg
+ CHF +
mmHg
susp
Rabu -Pasien N: 113x/menit Sp.JP:
endokarditi
20/08/2019 kooperatif RR: 22x/menit 1. KSR 1 x ½ tab
s infection
T 36oC 2. Captopril 3 x 6 mg
+ Efusi
pleura
Sp.BTKV :
Dextra +
1. R/ WSD tunggu
Gizi buruk
hasil USG thorax
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
RHEUMATIC HEART DISEASE
3.1 Definisi
Penyakit jantung rematik (Reumatic Heart Disease) merupakan
penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung
rematik merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam
rematik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%),
jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.
Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau
keduanya.
3.2 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000
kematian bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat
penyakit jantung pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1
November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5
per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di
negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000
penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal
diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.
3.3 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam
reumatik. Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem
yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang
14
mempunyai faktor predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini
ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses
autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat
melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis
yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan
katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak
berumur 5-15 tahun.
3.4 Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis
nifas dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis
akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A
pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari
ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4
Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu- minggu setelah gejala
faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain.
Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media
trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A
saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih
dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart
disease. Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease
yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi.
Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan
pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat
berkembang menjadi valvular stenosis.
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever
dalam patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa
faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain
faktor organisme, faktor host dan faktor sistem imun.
15
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme
penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever.
Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan,
dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major
histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan
dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan
menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M
yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk
ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase
yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. Antibodi yang
paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi
tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri.
Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah:
1) Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog
namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan
karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat
berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi
sel–sel antibodi reseptor permukaan.
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar
dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever.
Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin
dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T
16
anti miosin dan anti protein M.
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,
Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan
jaringan katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga
memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6%
populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang
genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen
(HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan
rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6
berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam
presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon
sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang
paling berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan
verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung.
Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan
meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan
terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan
korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral
(65- 70% kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral.
Karena peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri
akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti
dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung
lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi
katup aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi
darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri.
Di sisi lain, dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat
17
fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup,
corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi
vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.
3.5 Diagnosis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit
tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-
anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin
tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat
badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien
juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di
bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan
kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi
Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.
Diagnosis RHD menggunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali.
Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor
dan minor. Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor
+ 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus grup A
tenggorok positif + peningkatan titer antibody streptokokus.
18
terakhir)
2) Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever,
terjadi pada sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari
setelah infeksi Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak.
Radang sendi aktif ditandai dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada
beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif
dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah
sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan
beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada
sebagian besar pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak
menetap lebih dari dua atau tiga minggu.
19
3) Chorea Sydenham
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan
dua kali lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten
yakni beberapa bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan).
Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan
saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari
chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai tiga bulan dari
terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih labil
dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja,
tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat
terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok.
Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun
menghilang saat beristirahat.
4) Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever
yang terjadi kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna
kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya
berwarna merah berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di
tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.
5) Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus.
Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku,
ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit
kepala bagian oksipital dan di atas kolumna vertebralis. Nodul berupa
benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal, mobile, dengan
diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu
setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan.
Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat.
20
3.5.2 Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease
adalah:
a. Pemeriksaan Laboratorium :
Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama
pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi
akut berupa C- reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED).
Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik untuk
penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED,
namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat
pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal
digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.
Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus
grup A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.
Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika
gejala klinis rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus
yang biasa digunakan adalah antistreptolisin O/ASTO dan
antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO dilakukan
terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan dilakukan
pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat
pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi.
Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada
dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan
mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1:
60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
Pemeriksaan kultur tenggorokan
21
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif
bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.
b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi :
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali
dan kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada
karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya
pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas
atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18
detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.
c. Pemeriksaan Ekokardiografi :
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan
karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan.
Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat
memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi
terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan
regurgitasi mitral ke postero-lateral.
3.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis
besar bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A, menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi
suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi
bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak
dan memantau komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis
pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas
pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai
penanganan kasus-kasus parah.
a) Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer
22
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu
hal yang sangat penting untuk mengindari paparan berulang
kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A.
Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder
jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan
aspek bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien
untuk mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi,
dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan juga efek
samping.
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan
amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus
beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat alergi
terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam,
pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri
Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium
lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena
lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan
penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak
dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat
rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka
yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena
rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-
ekonomi rendah).
Profilaksis Sekunder
23
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah
metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart
disease yang parah.
24
garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif,
bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.
Tabel 3.9 Tirah Baring yang Dianjurkan sesuai Taranta dan Marcowitz
Tirah baring selama 2 minggu, mobilisasi
Tanpa karditis
bertahap selama 2 minggu
Tirah baring selama 4 minggu, mobilisasi
Karditis, tanpa kardiomegali
bertahap selama 4 minggu
25
Tirah baring selama 6 minggu, mobilisasi
Karditis dengan kardiomegali bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan kardiomegali
Tirah baring selama gagal jantung, mobilisasi
dan gagal jantung
bertahap selama 3 bulan
e) Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus
mengalami perburukan meskipun telah mendapat terapi medis
yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi
untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi
pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang
simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami
gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan
intervensi.
Stenosis Mitral:
Pasien dengan stenosis mitral murni yang
ideal, dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty
(BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu
dilakukan operasi.
Regurgitasi Mitral:
Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral
akut (mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang
berat dengan rheumatic heart disease yang tak
teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk
reparasi atau penggantian katup.
Stenosis Aorta:
Stenosis katut aorta yang berdiri sendiri
amat langka. Intervensi dengan balon biasanya
kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak
dikerjakan.
Regurgitasi Aorta:
Regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri
atau kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani
dengan penggantian katup.
26
3.7 Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi
mengalami kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun
waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda rheumatic fever
terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic
fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis
dan kerusakan katup lebih besar.
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12
minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada
pasien dengan tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada
pasien dengan serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD
meningkat menjadi 60%.
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus pada An. NA, 12 tahun, dengan diagnois
fungsional CHF functional class NYHA II-III, diagnosis anatomis Mitral
regurgitasi dan Aorta regurgitasi, diagnosis etiologis Rheumatic Heart Disease,
serta diagnosis tambahan Susp endokarditis infection, Efusi pleura dextra,
Pneumonia dan Gizi buruk.
Pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium kasus didapatkan
sesuai dengan teori. Namun pada pemeriksaan penunjang berupa
elektrokardiografi tidak menunjukkan hasil yang spesifik pada penyakit jantung
katup yang disebabkan oleh RHD.
Pada tatalaksana medikamentosa diberikan sesuai dengan teori dan untuk
perencanaan operasi katup pada pasien dijadwalkan kemudian.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New
York, 2001; p. 1657 – 65.
2. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379:
953–64
3. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease
WHO Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation
Geneva, 29 October–1 November 2001.
4. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013;331-335.
5. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem
Kardiovaskuler secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik
Jantung, dan Jantung sebagai Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan:
Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran USU. 2005; 7 -16.
6. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO
expert Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 18 Agustus 2019].
7. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune
Pathogenesis of Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31
–39.
8. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis
of Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
9. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
10. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease:
current scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
12. Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever.
Philadelphia: Crawford. 2010;3:1215-1223
13. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular
Medicine. United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.14.
14. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam
28
Physician. 2010 1;81(3):346-359.
15. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease:
The last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online]
Melalui: http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#a0199
[diakses pada 19 Agustus 2019].
17. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ.
2006;333(7579): 1153-1156
29