Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat ditularkan melalui berbagai

cara. Di Indonesia, penularan HIV terutama terjadi melalui hubungan seks tidak

aman dan melalui Napza suntik. HIV juga dapat ditularkan dari ibu HIV positif

kepada bayinya atau yang populer dalam istilah bahasa Inggris Mother to Child

HIV Transmission (MTCT).1

Secara global, HIV merupakan penyebab utama kematian perempuan usia

reproduksi. Selama tahun 2008 terdapat 1,4 juta perempuan dengan HIV positif

melahirkan di negara berkembang dan sebanyak 430.000 bayi terinfeksi HIV.2

Pada tahun 2011, secara global terdapat sekitar 330.000 anak terinfeksi HIV,

dengan sekitar 90% terjadi di Sub-Sahara, Afrika, dan infeksi ini terutama

didapatkan melalui transmisi dari ibu ke anak.3

Di Indonesia, jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan pada tahun

2015 sebanyak 30.935 kasus dan kasus baru AIDS sebanyak 6.081 kasus.

Sebanyak 0,3% kasus baru terjadi pada anak usia < 1 tahun.1

Infeksi HIV/AIDS pada anak umumnya ditularkan oleh ibu secara vertikal

pada saat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, penderita terbanyak

ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (lebih dari 66%), sedangkan

anak yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak 26%, dan yang berusia lebih dari

10 tahun hanya 7,9%.4


Salah satu cara transmisi infeksi HIV dari ibu ke anaknya yaitu melalui ASI.

Pada ibu dengan HIV yang tidak mendapatkan obat ARV profilaksis, risiko

munculnya infeksi postnatal pada bayi paling tinggi terjadi pada minggu keempat

sampai minggu keenam kehidupan, berkisar 0,7-1% setiap minggunya. Risiko

transmisi HIV melalui ASI dari ibu dengan infeksi HIV kronik sebesar 14%.

Sementara risiko transmisi melalui ASI dari ibu yang terinfeksi HIV saat trimester

akhir kehamilan atau saat periode laktasi meningkat menjadi 25-30%.5 Faktor lain

yang mempengaruhi peningkatan risiko transmisi HIV melalui ASI antara lain

tingginya kadar virus dalam plasma dan ASI, rendahnya kadar CD4+ ibu,

lamanya pemberian ASI, abnormalitas payudara (seperti mastitis dan abnormalitas

putting payudara), lesi oral pada bayi, dan pemberian ASI dan susu formula

bersamaan (dibandingkan dengan bayi yang hanya mendapatkan ASI).6

Infeksi HIV pada anak merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di

dunia, dan berkembang dengan kecepatan yang sangat berbahaya. Pada bayi usia

kurang dari satu bulan yang terinfeksi HIV sejak di dalam rahim atau saat proses

persalinan memiliki perjalanan penyakit yang progresif. Jika tidak ditatalaksanai,

hampir setengah dari anak-anak ini akan meninggal saat berusia dua tahun.

Kematian anak dengan HIV dapat dicegah dengan diagnosis dini sejak bayi,

ketersediaan perawatan dan pengobatan yang efektif, serta pemberian makan yang

aman pada bayi dapat membantu menurunkan transmisi HIV.3,7

Melalui deteksi dini, bayi yang terinfeksi HIV akan semakin cepat diterapi

dengan diberikan pengobatan ARV yang dapat membantu menurunkan morbiditas

dan mortalitas. Jika deteksi dini tidak dapat dilakukan, progresifitas perjalanan
penyakit dan kematian terjadi secara cepat. Hampir 50% anak yang terinfeksi

selama kehamilan atau saat proses persalinan meninggal dalam waktu satu tahun,

dan hampir 50% anak yang terinfeksi HIV melalui pemberian ASI meninggal

dalam waktu sembilan tahun.7,8


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus yang

memiliki genus Lentivirus yang menginfeksi, merusak, atau menggangu fungsi sel

sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh

manusia tersebut menjadi melemah. Virus HIV menyebar melalui cairan tubuh

dan memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia

terutama sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) atau sel-T.9

HIV menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel-T

CD4+ dan makrofag yang merupakan sistem imunitas seluler tubuh. Infeksi dari

virus ini akan menyebabkan kerusakan secara progresif dari sistem kekebalan

tubuh, menyebabkan defisiensi imun sehingga tubuh tidak mampu melawan

infeksi dan penyakit. Seiring dengan berjalannya waktu, HIV dapat merusak

banyal sel CD4 sehingga kekebalan tubuh semakin menurun dan tidak dapat

melawan infeksi dan penyakit sama sekali, infeksi ini akan berkembang menjadi

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).10,11

B. Epidemiologi

Pada tahun 2006, sebanyak 2,3 juta anak usia < 15 tahun terinfeksi HIV dan

diperkirakan sebanyak 530.000 kasus baru infeksi HIV pada anak < 15 tahun.

Sebanyak 380.000 kematian anak disebabkan oleh AIDS di seluruh dunia. Afrika
memiliki prevalensi infeksi HIV dengan 90% kasus baru HIV dan AIDS

berhubungan dengan kematian anak.12

Terdapat 1,4 juta perempuan dengan HIV positif melahirkan di negara

berkembang dan sebanyak 430.000 bayi terinfeksi HIV.2 Pada tahun 2011, secara

global terdapat sekitar 330.000 anak terinfeksi HIV, dengan sekitar 90% terjadi di

Sub-Sahara, Afrika, dan infeksi ini terutama didapatkan melalui transmisi dari ibu

ke anak.3

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit (Ditjen PP) dan Penyehatan

Lingkungan (PL) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa

kasus HIV di Indonesia secara kumulatif sejak 1 April 1987 - 30 September 2014

sebanyak 150.296 orang, sedangkan untuk kasus AIDS berjumlah 55.799 orang.1

Gambar 2.1. Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan Per Provinsi Tahun 1987
Sampai Dengan September 20141

Jumlah infeksi HIV tertinggi ditemukan di provinsi DKI Jakarta dengan

jumlah 32.782 orang. Sepuluh besar kasus HIV terbanyak ada di provinsi DKI

Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Jawa Tengah,
Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan. Sementara di

Kalimantan Selatan, jumlah infeksi HIV sebanyak 526 orang.1

Saat ini risiko penularan HIV melalui jalur parenteral (ibu kepada anaknya),

terutama di beberapa ibu kota provinsi sebesar 2,7%. Jumlah kumulatif kasus

AIDS di Indonesia dari transmisi perinatal sebanyak 1.506 jiwa, jumlah tersebut

berasal dari data kumulatif wanita sebanyak 16.149 yang terinfeksi AIDS.1

C. Struktur Virus HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang termasuk dalam

famili Retroviridae sub famili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV merupakan

virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobase). Virus RNA ini mampu

membuat DNA dari RNA dengan pertolongan enzim reserve transcription yang

kemudian disisipkan dalam DNA sel hospes sebagai mesin genetik, sehingga

virus mampu untuk menggunakan mesin replikatif sel hospes menjadi sel

malignan. Sub familia Lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi

laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan

dapat fatal.13,14

Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa HIV

memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama

envelope virus, gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran.

Gp120 memiliki afinitas tinggi terutama region V3 terhadap reseptor CD4

sehingga bertanggungjawab pada awal interaksi dengan sel target. Sedangkan

gp41 bertanggungjawab dalam proses internalisasi atau adsorpsi.13-16


Gambar 2.2 Struktur virus HIV14,15

Selubung virus terdiri atas dua lapisan lipid. Masing - masing subunit

selubung virus terdiri atas dua non-kovalen rangkaian protein membrane

glycoprotein 120 (gp120), protein membran luar, dan glycoprotein 41 (gp41).

Kedua glikoprotein tersebut adalah bagian paling infeksius dari HIV dan berperan

dalam perlekatan virus dengan sel hospes pada proses infeksi.13-16

Sampai dengan saat ini dikenal dua serotip HIV yang menginfeksi manusia,

yaitu HIV tipe1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2). HIV-1 lebih mematikan dan

lebih mudah masuk kedalam tubuh.13-16

D. Patogenesis

Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.

Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini

menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk

yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap

kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.14,16,17

Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan

seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan

makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada

limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara

langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai

efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar

protein HIV yang disebut sampul gp120 dan gp24 berinteraksi dengan CD4+ yang

kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.14,16

Gambar 2.3 Interaksi gp120 dan gp41 dengan CD416

Setelah HIV mengifeksi seseorang, terjadilah infeksi HIV asimptomatik

yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap.

Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada dua tahun

berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa


pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun,

dimana jumlah CD4+akan mencapai < 200 sel/mm3.14,16,17

Dalam tubuh orang dengan HIV AIDS (ODHA), partikel virus bergabung

dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur

hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian

berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi

penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang

yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.

Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai

dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 14,16,17

E. Transmisi HIV melalui ASI

Penting untuk menentukan asal HIV dalam ASI, apakah terdapat produksi

virus lokal dalam ASI yang mempengaruhi penularan, apakah pemilihan virus

atau resistensi virus dalam ASI berdampak pada penularan, dan cara virus

menginfeksi bayi.12

HIV yang terdeteksi dalam ASI berada di kompartemen bebas sel dan sel.

Viral varian dalam darah dan ASI ternyata berbeda, dengan beberapa varian

utama dalam ASI tidak terdeteksi dalam darah. Temuan ini akan menunjukkan

bahwa beberapa virus dalam ASI bereplikasi secara independen, di kompartemen

mammae. Pengamatan terhadap kompartementalisasi HIV di antara darah perifer

dan ASI menunjukkan bahwa penularan HIV pascakelahiran dapat terjadi dengan

varian yang mungkin tidak diprediksi dari analisis populasi virus yang

beredar.18,19
Asal HIV dalam ASI masih belum dipahami dengan baik. HIV bebas sel

dan HIV terkait sel dalam ASI bertanggung jawab untuk transmisi ASI. Sel,

termasuk makrofag dan limfosit, dan virus bebas sel dapat bermigrasi dari

kompartemen sistemik ke ASI.18,19

Sel CD4 yang terinfeksi menunjukkan kapasitas yang lebih besar untuk

memasuki siklus replikasi virus di kompartemen ASI dibandingkan dengan darah.

Setelah menelan ASI yang terinfeksi HIV, permukaan mukosa usus bayi

merupakan tempat yang paling mungkin terjadinya transmisi. Virus HIV dapat

menembus submukosa dengan cara penetrasi melalui mukosa atau lesi, melalui

transitosis sel M atau enterosit yang mengekspresikan reseptor galaktosil seramida

(Gal Cer) atau Fc.18,19

F. Klasifikasi Penyakit HIV/AIDS pada Bayi dan Anak

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit HIV/AIDS pada Bayi dan Anak20,21


Kategori/Stadium Gejala
N Tanpa gelaja Anak tanpa gejala dan tanda infeksi HIV, atau anak yang
WHO stadium 1 hanya mempunyai satu dari gejala yang ada di kategori
A.

A Gejala ringan Anak dengan dua gejala atau lebih dari gejala berikut
WHO stadium 2 (tetapi tidak satupun dari gejala kategori B atau C yang
tampak): limfadenopati (>0,5 cm lebih dari dua tempat;
bilateral=satu tempat; hepatomegali; splenomegali;
dermatitis; parotitis; infeksi saluran napas atas persisten
atau berulang, sinusitis, atau otitis media.

B Gejala sedang Anak dengan gejala selain gejala pada kategori A atau C
WHO stadium 3 yang menambah gejala infeksi HIV. Contoh gejala-gejala
pada kategori ini adalah tidak terbatas hanya pada:
anemia (<8 g/dl), neutropenia (<1000/mm3), atau
trombositopenia (<100.000/mm3) yang terus menerus
selama lebih dari 1 bulan. Mengitis bakterialis,
pneumonia, atau sepsis (satu kali episode); Candidiasis
orofaringeal (thrush) persisten (>2 bulan) pada anak usia
>6 bulan; Kardiomegali; Infeksi cytomegalovirus yang
terjadi pada usia sebelum 1 bulan; Diare kronis atau
berulang; Hepatitis; Stomatitis herpes simpleks yang
berulang (lebih dari dua kali dalam setahun); Bronkitis
herpes simpleks virus (HSV), pneumonitis, atau
esofagitis yang terjadi sebelum usia 1 bulan; Herpes
zooster paling tidak terjadi dua kali episode atau
mengenai lebih dari satu dermatom; Leiomiosarkoma;
lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau pulmonary
lymphoid hyperplasia complex; Nefropati; Demam
persisten (terjadi >1 bulan); Toksoplasmosis terjadi pada
usia sebelum 1 bulan; Varicella disseminated

C Gejala berat Anak-anak yang memiliki salah satu gejala yang terdapat
WHO stadium 4 pada definisi kasus AIDS untuk surveilans tahun 1987,
kecuali LIP.Multipel atau infeksi bakteri serius berulang
(septisemia, pneumonia, meningitis, infeksi sendi dan
tulang, abses organ dalam). Candidiasis esofagus atau
paru. Coccidiomycosis disseminated. Cryptococcosis
diluar paru. Cryptosporidiosis atau Isosporiasis dengan
diare persisten >1 bulan. Penyakit cytomegalovirus gejala
muncul pada usia sebelum 1 bulan. Cytomegalovirus
dengan gangguan penglihatan. Ensefalopati tanpa ada
penyakit lain selain HIV. HSV yang menyebabkan ulkus
mucokutaneus lebih 1 bulan, atau sebagai penyebab
bronkhitis, pneumonitis, esofagitis. Histoplasmosis
disaminated. Kaposi’s sarcoma. Limpoma CNS primer.
Limfoma, Burkitt’s, sel besar, atau imunoblastis.
Tuberkulosis terdiseminasi atau di luar paru. Infeksi
mycobacterium selain tuberkulosis, terdiseminasi. PCP,
leukoensefalopati multifokal progresif. Toksoplasmosis
otak pada usia >1 bulan. Gejala malnutrisi tanpa sebab
selain HIV.

Tabel 2.2 Klasifikasi WHO Tentang Imunodefisiensi HIV Menggunakan CD420,21


Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4
Imunodefisiensi Nilai CD4 menurut umur
< 11 bulan 12-35 bulan 36-59 bulan > 5 tahun
(%) (%) (%) (sel/mm3)
Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500
Ringan 30 – 35 25 - 30 20 – 25 350−499
Sedang 25 – 30 20−25 15−20 200−349
Berat <25 <20 <15 <200 atau
<15%
G. Cara Penularan

Human immunodeficiency virus (HIV) dapat masuk ke tubuh melalui tiga

cara, yaitu melalui hubungan seksual, penggunaan jarum yang tidak steril atau

terkontaminasi HIV, dan penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin

dalam kandungannya, yang dikenal sebagai penularan HIV dari ibu ke anak

(PPIA).22

1. Hubungan seksual

Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari

semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama

sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama

berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua

individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung

dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis

atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV.

Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam

tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan

atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.22,23,24

2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi

Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring)

untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau

penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas

dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik,

pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza


suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses

transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan.22,24

3. Penularan dari ibu-ke-anak

Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat

ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat

persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari

anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Berikut

ini adalah persentase perkiraan waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke

bayinya.22,24,25

Tabel 2.3 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi26
Waktu Risiko
Selama kehamilan 5-10%
Ketika persalinan 10-20%
Penularan melalui ASI 10-15%
Keseluruhan risiko penularan 25-45%

Ada tiga faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari

ibu ke bayi yaitu faktor ibu, faktor bayi, dan faktor tindakan obstetri.22,25

- Faktor Ibu

Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke

bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada saat menjelang ataupun saat

persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.6

Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV

akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Pada umumnya kadar HIV
tertinggi sebesar 10 juta kopi/ml darah terjadi 3–6 minggu setelah terinfeksi atau

kita sebut sebagai infeksi primer. Setelah beberapa minggu, biasanya kadar HIV

mulai berkurang dan relatif terus rendah selama beberapa tahun pada periode

tanpa gejala, periode ini kita sebut sebagai fase asimptomatik.27

Ketika memasuki masa stadium AIDS, dimana tanda-tanda gejala AIDS

mulai muncul, kadar HIV kembali meningkat. Cukup banyak orang dengan

HIV/AIDS (ODHA) yang kadar HIV-nya sangat rendah sehingga menjadi sulit

untuk dideteksi di dalam darah (kurang dari 50 kopi RNA/ml). Umumnya, kondisi

ini terjadi pada ODHA yang telah minum obat antiretroviral secara teratur dengan

benar. Risiko penularan HIV sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari

1.000 kopi RNA/ml), sementara jika kadar HIV di atas 100.000 kopi RNA/ml,

risiko penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi tinggi.22,27,28

Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV (viral load)

yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Ibu dengan sel CD4 yang

rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4

kurang dari 350. Semakin rendah jumlah sel CD4, pada umumnya risiko

penularan HIV akan semakin besar. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI

akan bertambah jika terdapat adanya masalah pada payudara ibu, seperti mastitis,

abses dan luka di puting payudara.6,22,27,28

- Faktor bayi

Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga

lebih rentan untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh bayi tersebut

belum berkembang baik, seperti sistem kulit dan mukosa. Bayi yang dilahirkan
sebelum 34 minggu memiliki risiko tertular HIV yang lebih tinggi pada saat

persalinan dan masa-masa awal kelahiran. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa

jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi

mungkin akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI.22,29

Bayi yang diberikan ASI eksklusif kemungkinan memiliki risiko terinfeksi

HIV lebih rendah dibandingkan bayi yang mengkonsumsi makanan campuran

(mixed feeding), yaitu tak hanya ASI tetapi juga susu formula dan makanan padat

lainnya. Hal ini diperkirakan karena air dan makanan yang kurang bersih

(terkontaminasi) akan merusak usus bayi yang mendapatkan makanan campuran,

sehingga HIV dari ASI bisa masuk ke tubuh bayi. Selain itu, bayi yang memiliki

luka di mulutnya memiliki risiko untuk tertular HIV lebih besar ketika diberikan

ASI.22,30

- Faktor Tindakan Obstetrik

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke

bayi selama persalinan adalah sebagai berikut:22,31

 Jenis persalinan (per vaginam atau per abdominal/SC).

 Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu

ke bayi juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya

kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari

empat jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga

dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam

sebelum persalinan.
H. Diagnosis

1. Pemeriksaan fisik

Transmisi vertikal pada 50-70% terjadi sewaktu kehamilan tua atau pada

saat persalinan sehingga pada waktu lahir bayi tidak menunjukkan kelainan. Jadi

bila saat lahir tidak ditemukan kelainan fisik belum berarti bayi tidak tertular.

Pemantauan perlu dilakukan secara berkala, setiap bulan untuk 6 bulan pertama, 2

bulan sekali pada 6 bulan kedua , selanjutnya setiap 6 bulan. Kelainan yang dapat

ditemukan antara lain berupa gagal tumbuh, anoreksia, demam yang berulang atau

berkepanjangan, pembesaran kelenjar , hati dan limpa serta ensefalopati progresif.

Gejala juga dapat berupa infeksi pada organ tubuh lainnya berupa infeksi saluran

nafas yang berulang, diare yang berkepanjangan, piodermi yang berulang maupun

infeksi oportunistik antara lain infeksi dengan jamur seperti kandidiasis, infeksi

dengan protozoa seperti Pneumocystis carinii, toxoplasma yang dapat memberi

gejala pada otak. Bayi juga mudah menderita infeksi dengan Mycobacterium

tuberculosis.32

2. Pemeriksaan penunjang

Tidak mudah menegakkan diagnosis infeksi HIV pada bayi karena

penularan HIV pada bayi dapat terjadi tidak hanya selama masa kehamilan dan

saat bersalin, ,namun juga dapat terjadi pada saat menyusui. Pemeriksaan

laboratorium yang dapat dilakukan salah satunya adalah pemeriksaan darah tepi

berupa pemeriksaan hemoglobin, leukosit hitung jenis, trombosit, dan jumlah sel

CD4. Pada bayi yang terinfeksi HIV dapat ditemukan anemia serta jumlah

leukosit CD4 dan trombosit rendah.33


Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis

HIV pada bayi sedini mungkin adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus

atau partikelnya dalam tubuh seorang bayi (tes PCR). Polymerase chain reactions

(PCR) DNA HIV mempunyai spesifisitas dan sensitifitas yang hampir sama

dengan kultur virus dan lebih mudah dilakukan di laboratorium. Tetapi harus hati-

hati, karena sering terjadi negatif palsu pada bayi usia satu minggu. Oleh karena

itu, pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada bayi usia 4-6 minggu, selanjutnya

diulang pada usia 3-6 bulan.8,34

Antibodi terhadap HIV dari ibu ditransfer melalui plasenta selama

kehamilan. Dengan demikian, semua bayi yang lahir dari ibu HIV positif bila

diperiksa antibodi HIV, hasilnya akan positif. Akan tetapi virusnya tidak selalu

ditransfer. Antibodi HIV dari ibu ini berada pada darah bayi paling lama sampai

18 bulan, sebaliknya bayi yang terinfeksi akan memproduksi antibodi sendiri.

Karena itu bayi yang berusia kurang dari 18 bulan jika dilakukan pemeriksaan

antibodi, hasilnya dapat positif palsu. Meskipun secara teoritis kita dapat menunda

diagnosis HIV hingga bayi berusia 18 bulan, tindakan ini tidak bijaksana karena

perjalanan penyakit akibat HIV pada bayi sering kali berjalan dramatis/berat pada

saat bayi berusia kurang dari 12 bulan, dengan angka kematian mencapai 50%.34,35

Terdapat dua cara untuk menyingkirkan diagnosis infeksi HIV pada bayi

dan anak:36

1. Uji virologi HIV negatif pada anak dan bila pernah mendapat ASI,

pemberiannya sudah dihentikan > 6 minggu


 HIV-DNA atau HIV-RNA atau antigen p24 dapat dilakukan minimal

usia 1 bulan, idealnya 6-8 minggu untuk menyingkirkan infeksi HIV

selama persalinan. Infeksi dapat disingkirkan setelah penghentian ASI >

6 minggu.

2. Uji antibodi HIV negatif pada usia 18 bulan dan ASI sudah dihentikan > 6

minggu

 Bila uji antibodi HIV negatif saat usia 9 bulan dan ASI sudah dihentikan

selama 6 minggu, dapat dikatakan tidak terinfeksi HIV.

 Uji antibodi HIV dapat dikerjakan sedini-dininya usia 9-12 bulan karena

74% dan 96% bayi yang tidak terinfeksi HIV akan menunjukkan hasil

antibodi negatif pada usia tersebut.

Tabel 2.4 Skenario Pemeriksaan HIV37,38


Kategori Tes yang Tujuan Aksi
diperlukan
Bayi sehat, ibu Uji Virologi Mendiagnosis Mulai ARV bila
terinfeksi HIV umur 6 minggu HIV terinfeksi HIV

Bayi-pajanan HIV Serologi ibu atau Untuk identifikasi Memerlukan tes


tidak diketahui bayi atau memastikan virologi bila
pajanan HIV terpajan HIV

Bayi sehat Serologi pada Untuk Hasil positif harus


terpajan HIV, imunisasi 9 bulan mengidentifikasi diikuti dengan uji
umur 9 bulan bayi yang masih virologi dan
memiliki antibodi pemantauan
ibu atau lanjut. Hasil
seroreversi negatif, harus
dianggap tidak
terinfeksi, ulangi
test bila masih
mendapat ASI

Bayi atau anak Serologi Memastikan Lakukan uji


dengan gejala dan infeksi virologi bila umur
tanda sugestif < 18 bulan
infeksi HIV

Bayi umur > 9 - < Uji virologi Mendiagnosis Bila positif


18 bulan dengan HIV terinfeksi segera
uji serologi positif masuk ke
tatalaksana HIV
dan terapi ARV

Bayi yang sudah Ulangi uji Untuk Anak < 5tahun


berhenti ASI (serologi atau mengeksklusi terinfeksi HIV
virologi) setelah infeksi HIV harus segera
berhenti minum setelah pajanan mendapat
ASI 6 minggu dihentikan tatalaksana HIV
termasuk ARV

Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi

perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, maka dalam menegakkan

diagnosis dilakukan dengan cara diagnosis presumtif. Diagnosis presumtif yaitu:

Bila ada 1 gejala berikut:37,38

 PCP, meningitis kriptokokus, kandidiasis esophagus

 Toksoplasmosis

 Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar

Atau minimal ada 2 gejala berikut:

 Oral thrush

 Pneumonia berat

 Sepsis berat

 Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang lanjut

pada ibu

 CD4+ <20%
Gambar 2. Bagan diagnosis HIV pada bayi dan anak < 18 bulan pajanan HIV
tidak diketahui37
I. Tatalaksana

Pengobatan infeksi HIV pada anak saat ini terutama ditujukan untuk

pengobatan profilaksis sejak bayi dalam kandungan. Berbagai protokol

pengobatan ibu HIV (+) pada saat hamil dan persalinan telah berhasil menekan

transmisi maternofetal dari 15-50% menjadi sekitar 2% yang sangat mengurangi

beban baik secara medis maupun secara ekonomis dan emosional. Selain itu

pengobatan profilaksis pada bayi yang lahir dari ibu HIV (+) memperlihatkan pula

kemajuan berarti merupakan pula upaya pencegahan penyakit AIDS yang selama

ini biasanya dalam masa singkat berakhir fatal. Bayi yang terbukti terinfeksi HIV,

dengan atau tanpa kelainan klinis, saat ini telah tersedia berbagai obat anti

retrovirus yang cukup efektif untuk menurunkan jumlah virus (viral load) sampai

sehingga dapat memperbaiki keadaan umum dan kualitas hidup bayi dan anak

tersebut.21,35,37,38

Pengobatan profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dengan

zidovudin selama 6 minggu merupakan baku anti retrovirus, dan dapat ditambah

dengan nevirapin bila ibu belum mendapat anti retrovirus sewaktu hamil atau

hanya mendapat anti retrovirus selama persalinan saja. Bila bayi terbukti

terinfeksi HIV maka pertimbangan pengobatan tergantung dari risiko

progresivitas menurut derajat defisiensi imun yang terjadi atau sesuai dengan

kondisi klinis bayi.21,38


Tabel 2.5 Indikasi Pengobatan Anti Retrovirus untuk Infeksi HIV Bayi Usia < 12
Bulan21,37,38
Kategori Klinis Sel CD4 Kopi RNA HIV Rekomendasi
Simptomatik < 25% Semua nilai Terapi
(Kategori Klinis A, B, C)
Asimptomatik > 25% Semua nilai Pertimbangkan
(Kategori Klinis N) terapi

Antiretroviral yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside Reverse

Transcriptase Inhibitor (NRTI) + 1 Non- Nucleoside Reverse Transcriptase

Inhibitor (NNRTI).37,38

Tabel 2.6 Keuntungan dan Kerugian Antiretroviral NRTI37,38


NRTI Keuntungan Kerugian
Zidovudin (AZT) dipilih - AZT kurang - Efek samping inisial
bila Hb > 7,5 g/dl menyebabkan gastrointestinal lebih
lipodistrofi dan banyak
asidosis laktat - Anemia dan
- AZT tidak neutropenia berat
memerlukan dapat terjadi.
penyimpanan di Pemantauan darah
lemari pendingin tepi lengkap sebelum
dan sesudah terapi
berguna terutama
pada daerah endemik
malaria

Stavudin (d4T) - d4T memiliki efek - d4T lebih sering


samping menimbulkan
gastrointesinal dan lipodistrofi, asidosis
anemia lebih sedikit laktat dan neuropati
dibandingkan AZT perifer (penelitian
pada orang dewasa)

Tenofovir (TDF) - Dosis sekali sehari - Risiko osteoporosis


- Untuk anak > 2 dan gangguan fungsi
tahun ginjal
Keterangan:37,38

- 3TC dapat digunakan bersama dengan 3 obat di atas karena memiliki

catatan efikasi, keamanan dan tolerabilitas yang baik. Namun mudah timbul

resistensi bila tidak patuh minum ARV.

- Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama untuk lini 1. Namun bila Hb

anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T) sebagai

lini 1.

- Dengan adanya risiko efek simpang pada penggunaan d4T jangka panjang,

maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 8

gr/dl)setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang

maka dapat kembali ke d4T.

- Tenofovir saat ini belum digunakan sebagai lini pertama karena

ketersediannya belum dipastikan, sedangkan umur termuda yang

diperbolehkan menggunakan obat ini adalah 2 tahun dan anak yang lebih

muda tidak dapat menggunakannya. Selain itu perlu dipertimbangkan efek

samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena

diharapkan penggunaan ARV tidak mengganggu pertumbuhan tinggi

badannya.

Tabel 2.7 Keuntungan dan Kerugian Antiretroviral NNRTI37,38


Keuntungan Kerugian
Nevirapin - NVP dapat diberikan pada - Insiden ruam lebih tinggi
(NVP) semua umur dari EFV. Ruam NVP
- Tidak memiliki efek mungkin berat dan
teratogenik mengancam jiwa
- NVP merupakan salah satu - Dihubungkan dengan
kombinasi obat yang dapat potensi hepatotoksisitas
digunakan pada anak yang yang mampu mengancam
lebih tua jiwa
- Ruam dan hepatotoksisitas
lebih sering terjadi pada
perempuan dengan CD4 >
250 sel/mm3, karenanya
jika digunakan pada
remaja putri yang sedang
hamil, diperlukan
pemantauan ketat pada 12
minggu pertama
kehamilan (risiko toksik
tinggi)
- Rifampisin menurunkan
kadar NVP lebih banyak
dari EFV

Efavirenz - EFV menyebabkan ruam dan - EFV dapat digunakan


(EFV) hepatotoksisitas lebih sedikit mulai pada umur 3 tahun
dari NVP. Ruam yang muncul atau BB > 10 kg
umumnya ringan - Gangguan SSP sementara
- Kadarnya lebih tidak dapat terjadi pada 26-36%
terpengaruh oleh rifampisin anak, jangan diberikan
dan dianggap sebagai NNRTI pada anak dengan
terpilih pada anak yang gangguan psikiatrik berat
mendapat terapi TB - EFV tidak terbukti
- Pada anak yang belum dapat memiliki efek teratogenik,
menelan kapsul, kapsul EFV tetapi bila perlu dihindari
dapat dibuka dan pada remaja putri yang
ditambahkan pada minum potensial untuk hamil
atau makanan - Tidak tersedia dalam
bentuk sirup EFV lebih
mahal daripada NVP

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNLAM/RSUD Ulin Banjarmasin,

telah membuat petunjuk pelaksanaan untuk tata laksana bayi yang lahir dari ibu

HIV (+).39

1. Saat persalinan, tim dari bayi menggunakan proteksi yang sudah disiapkan.

2. Melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah rutin.

3. Tidak diberi ASI sesuai anjuran WHO dengan kriteria AFASS. Bila ibu

memilih tetap memberikan ASI, maka ASI diberikan hanya selama 6 bulan
dan kemudian dihentikan. ASI diperah dan dihangatkan 56oC selama 30

menit. Tidak boleh memberikan ASI secara bersamaan dengan PASI atau

susu formula.

4. Pengobatan profilaksis diberikan zidofudin selama 6 minggu untuk semua

neonatus yang terekspos HIV profilaksis

 Pertimbangkan pemberian regimen selama 4 minggu pada neonatus

cukup bulan

 Ibu sudah mendapatkan terapi antiretroviral standar dengan supresi viral

yang konsisten

 Tidak ada perhatian tentang ketaatan atau kepatuhan ibu

 Mulai pemberian zidofudin sedekat mungkin dengan waktu kelahiran,

lebih baik saat 6-12 jam kelahiran

 Dosis berdasarkan usia kehamilan:

a. Bila usia kehamilan > 35 minggu

- 4 mg/kbBB peroral setiap 12 jam

- Jika tidak dapat ditoleransi dengan oral berikan 3 mg/kgBB i.v setiap

12 jam

b. Bila usia kehamilan > 30 minggu dan < 35 minggu

- 2 mg/kgBB peroral setiap 12 jam

- Jika tidak dapat ditoleransi dengan oral berikan 1,5 mg/kgBB i.v

setiap 12 jam

- Tingkatkan menjadi 3 mg/kgBB oral (2,3 mg/kgBB i.v) setiap 12

jam pada usia bayi 15 hari


c. Bila usia kehamilan < 30 minggu

- 2 mg/kgBB peroral setiap 12 jam

- Jika tidak dapat ditoleransi dengan oral berikan 1,5 mg/kgBB i.v

setiap 12 jam

- Tingkatkan menjadi 3 mg/kgBB oral (2,3 mg/kgBB i.v) setiap 12

jam pada usia bayi 4 minggu

5. Laporkan pada tim HIV/AIDS RSUD Ulin.

6. Bila kondisi bayi baik dan tidak ada faktor risiko, bayi di rawat gabung

dengan ibu.

7. Sebelum pulang dilakukan imunisasi rutin kecuali terdapat tanda klinis

defisiensi imun berat tidak diberikan vaksinasi hidup (BCG, polio, dan pada

kontrol berikutnya juga tidak diberikan campak dan MMR).

8. Pemantuan klinis, laboratorium, dan tumbuh kembang, serta infeksi, pada

usia 1 bulan, 2-3 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 18 bulan untuk diagnosis

infeksi HIV.

J. Tatalaksana Pemberian Makanan Pada Bayi

Anjuran utama bagi ibu HIV positif adalah untuk tidak menyusui bayinya

dan menggantikannya dengan susu formula. Namun, di banyak negara

berkembang hal tersebut ternyata sulit dijalankan karena keterbatasan dana untuk

membeli susu formula, sulit untuk mendapatkan air bersih dan botol susu yang

bersih, selain adanya norma-norma sosial di masyarakat tertentu. Menyikapi

kondisi tersebut, panduan WHO yang baru menyebutkan bahwa bayi dari ibu HIV

positif boleh diberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan dan dapat
diperpanjang hingga 12 bulan dengan risiko penularan terhadap bayi akan

bertambah sejalan dengan diperpanjangnya masa menyusui. Eksklusif artinya

hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan apapun, termasuk air

putih, kecuali untuk pemberian obat. Bila ibu tidak dapat melanjutkan pemberian

ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan dengan susu formula

untuk menghindari mixed feeding.30,40

Susu formula dapat diberikan hanya bila memenuhi persyaratan AFASS,

yaitu Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable, dan Safe.36,41

1. Acceptable (mudah diterima) berarti tidak ada hambatan sosial budaya bagi

ibu untuk memberikan susu formula untuk bayi.

2. Feasible (mudah dilakukan) berarti ibu dan keluarga punya waktu,

pengetahuan, dan keterampilan yang memadai untuk menyiapkan dan

memberikan susu formula kepada bayi.

3. Affordable (terjangkau) berarti ibu dan keluarga mampu menyediakan susu

formula.

4. Sustainable (berkelanjutan) berarti susu formula harus diberikan setiap hari

selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan

distribusi susu formula tersebut dijamin keberadaannya.

5. Safe (aman penggunaannya) berarti susu formula harus disimpan, disiapkan

dandiberikan secara benar dan higienis.

Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan informasi dan edukasi untuk

membantu mereka membuat keputusan apakah ingin memberikan susu formula

atau memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Mereka butuh bantuan untuk
menilai dan menimbang risiko penularan HIV ke bayinya. Mereka butuh

dukungan agar merasa percaya diri dengan keputusannya dan dibimbing

bagaimana memberi makanan ke bayinya seaman mungkin. Agar mampu

melakukan hal itu, tenaga kesehatan perlu dibekali pelatihan tentang hal-hal

seputar HIV dan pemberian makanan untuk bayi.36

Rekomendasi untuk pemberian informasi tentang pemberian makanan bayi

dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sebagai berikut:36

1. Memberikan penjelasan tentang risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.

2. Memberikan penjelasan tentang kelebihan dan kekurangan dari pilihan

pemberian makanan bayi (susu formula atau ASI eksklusif), dimulai dari

pilihan ibu yang pertama.

3. Bersama dengan si ibu, menggali informasi kondisi rumah ibu dan situasi

keluarganya.

K. Imunisasi pada Bayi dengan HIV

Bayi yang tertular HIV melalui transmisi vertikal masih mempunyai

kemampuan untuk memberi respons imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-2

tahun. Oleh karena itu di negara-negara berkembang tetap dianjurkan untuk

memberikan vaksinasi rutin pada bayi yang terinfeksi HIV melalui transmisi

vertikal. Namun dianjurakan untuk tidak memberikan imunisasi dengan vaksin

hidup misalnya BCG, polio, campak. Untuk imunisasi polio OPV (oral polio

vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated polio vaccine) yang bukan

merupakan vaksin hidup.42,43


L. Pencegahan

Terdapat 4 (empat) prong yang harus diupayakan untuk mencegah

terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak. Empat prong tersebut adalah:36

1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif

3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang

dikandungnya

4. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV

positif beserta anak dan keluarganya. Prong keempat merupakan upaya

lanjutan dari tiga prong sebelumnya

Tabel 2.8 Implementasi 4 Prong Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak36
Skala Nasional Area Risiko Tinggi
Prong 1: - Mengurangi stigma - Mengurangi stigma
Mencegah terjadinya - Meningkatkan - Meningkatkan
penularan HIV pada kemampuan kemampuan
perempuan usia masyarakat melakukan masyarakat melakukan
reproduktif perubahan perilaku perubahan perilaku dan
dan melakukan praktik melakukan praktik
pencegahan penularan pencegahan penularan
HIV HIV
- Komunikasi perubahan - Komunikasi perubahan
perilaku untuk remaja / perilaku untuk
dewasa muda remaja/dewasa muda
- Mobilisasi masyarakat
untuk memotivasi ibu
hamil menjalani
konseling dan tes HIV

Prong 2: - Promosi dan distribusi - Promosi dan distribusi


Mencegah kehamilan kondom untuk - kondom untuk
yang tidak mencegah penularan mencegah
direncanakan pada HIV - penularan HIV
perempuan HIV positif - Promosi alat - Promosi alat
kontrasepsi lain untuk kontrasepsi
mencegah kehamilan - lain untuk mencegah
yang tidak diinginkan kehamilan yang tidak
- Penyuluhan ke diinginkan
masyarakat tentang - Penyuluhan ke
pencegahan HIV dari masyarakat tentang
ibu ke anak, terutama pencegahan HIV dari
ditujukan ke laki-laki ibu ke anak, terutama
- Konseling pasangan ditujukan ke laki-laki
yang salah satunya - Konseling pasangan
terinfeksi HIV yang
- Konseling perempuan/ - salah satunya terinfeksi
pasangannya jika hasil HIV
tes HIV-nya negatif - Konseling perempuan/
selama kehamilan pasangannya jika hasil
tes HIV-nya negatif
selama kehamilan
- Menganjurkan
perempuan yang
menderita penyakit
kronis untuk menunda
kehamilan hingga sehat
selama 6 bulan
- Membantu laki-laki
HIV positif dan
pasangannya untuk
menghindari
kehamilan yang tidak
direncanakan

Prong 3: - Merujuk ibu HIV - Memberikan layanan


Mencegah terjadinya positif ke sarana kepada ibu hamil HIV
penularan HIV dari ibu layanan kesehatan positif: Terapi ARV,
hamil HIV positif ke tingkat konseling pemberian
bayi yang kabupaten/provinsi makanan bayi,
dikandungnya untuk mendapatkan persalinan yang aman
layanan tindak lanjut

Prong 4: - Merujuk ibu HIV - Memberikan layanan


Memberikan dukungan positif ke sarana psikologis dan social
psikologis, sosial dan layanan kesehatan kepada ibu HIV positif
perawatan kepada ibu tingkat dan keluarganya
HIV positif beserta bayi kabupaten/provinsi
dan keluarganya untuk mendapatkan
layanan tindak lanjut
BAB III

PENUTUP

Neonatus dapat tertular HIV melalui transmisi vertikal sewaktu intranatal,

intrapartum atau melalui ASI. Transmisi vertikal dapat sangat dikurangi dengan

pemberian obat antiretroviral pada ibu atau persalinan melalui seksio sesaria.22,31

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis

HIV pada bayi sedini mungkin adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus

atau partikelnya dalam tubuh seorang bayi (tes PCR). Polymerase chain reactions

(PCR) DNA HIV mempunyai spesifisitas dan sensitifitas yang hampir sama

dengan kultur virus dan lebih mudah dilakukan di laboratorium.8,34

Tatalaksana pada bayi dengan ibu HIV adalah diberikan antiretroviral

Zidofudin selama 6 minggu ditambahkan dengan dukungan suportif berupa

makanan bergizi dan pemberian imunisasi rutin.21,38 Pemberian ASI tidak

dianjurkan. Pengganti ASI ini harus diberikan dengan memenuhi kriteria AFASS.

Namun, apabila ibu tetap ingin memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan

sebelumnya tentang risikonya, ASI harus diberikan secara eksklusif dan tidak

dicampur dengan susu formula atau makanan pengganti lainnya.36,41 Pemantauan

dilakukan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, serta pemeriksaan

darah (hemoglobin, CD4, trombosit dan sebagainya). Bila timbul gejala segera

diobati dengan obat antiretroviral.33


DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan. Profil kesehatan indonesia tahun 2015. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI, 2016.

2. WHO, UNAIDS. Guidance on provider-initiated HIV testing and

counselling in health facilities. Geneva: WHO, 2007.

3. WHO, UNAIDS. A Progress Report on the Global Plan towards the

Elimination of New HIV Infections among Children by 2015 and Keeping

Their Mothers Alive. Geneva: WHO, UNAIDS, 2012.

4. Asnake S, Amsalu S. Clinical Manifestations of HIV/AIDS in Children in

Northwest Ethiopia. Ethiop J Health Dev, 2005; 19(1): 24-8.

5. Humphrey JH, Marinda E, Mutasa K, et al. Mother to Child Transmission of

HIV among Zimbabwean Women Who Seroconverted Postnatally:

Prospective Cohort Study. BMJ, 2010; 341: 6580.

6. Bulterys M, Ellington S, Kourtis AP. HIV-1 and breastfeeding: biology of

transmission and advances in prevention. Clin Perinatol. 2010; 37(4): 807–

824.

7. WHO. Use of Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and

Preventing HIV Infection in Infants. Geneva: WHO, 2012.

8. Fonjungo, PN. Field Expansion of DNA Polymerase Chain Reaction for

Early Infant Diagnosis of HIV-1: The Ethiopian Experience. Center for

Global Health, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Atlanta,

2012.
9. Morse SA, Timothy A, and Meitzner. AIDS and Lentiviruses in Jawetz,

Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. The McGraw-Hill

Companies, 2013.

10. Oguntibeju OO, J van den Heever WM, and E Van Schalkwyk F. Immune

response and possible causes of CD4+ T-Cell depletion in human

immunodeficiency virus (HIV)-1 infection. African journal of Microbiology

Research, 2009; 3(7): 344-352.

11. Cummins NW and Badley AD. Making sense of how HIV kills infected

CD4 T cells: implications for HIV cure. MCT, 2014; 2(20): 1-7.

12. WHO, UNAIDS. HIV Transmission Through Breastfeeding. Geneva:

WHO, 2007.

13. Sierra S, Kupfer B, and Kaiser R. Basics of the virology of HIV-1 and its

replication. Journal of Clinical Virology, 2005; 34: 233–244.

14. Belasio EF, Raimondo M, Suligoi B, and Buttò S. HIV virology and

pathogenetic mechanisms of infection: a brief overview. Ann Ist Super

Sanità, 2010; 46(1): 5-14.

15. Teixeira C, Gomes JRB, Gomes P, Maurel F. Viral surface glycoproteins,

gp120 and gp41, as potential drug targets against HIV-1: Brief overview

one quarter of a century past the approval of zidovudine, the first anti-

retroviral drug. European Journal of Medicinal Chemistry, 2011; 46: 979-

992.

16. Wilen CB, Tilton JC, and Doms RW. HIV: Cell Binding and Entry. Cold

Spring Harb Perspect Med, 2012; 2: 1-13.


17. Simon V, David DH, and Karim QA. HIV/AIDS epidemiology,

pathogenesis, prevention, and treatment. Lancet, 2006; 368(9534): 489–504.

18. Koulinska IN et al. Transmission of cell-free and cell-associated HIV

through breastfeeding. Journal of Acquired Immune Deficiency Syndrome,

2006; 41(1): 93–99.

19. Petitjean G et al. Compartment-specific HIV resting T-cell reservoirs.

AIDS, 2006; 20(9):1338–1340.

20. Domachowske JB. Pediatric Human Immunodeficiency Virus Infection.

Clin Microbiol Rev. 1996;9:448-68.

21. Akib AAP. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Sari Pediatri, 2004; 6(1): 1-14.

22. Kementerian Kesehatan. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari

Ibu ke Anak (PPIA). Edisi 2. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2012.

23. Attia S, Egger M, Muller M, Zwahlen M, and Low N. Sexual transmission

of HIV according to viral load and antiretroviral therapy: systematic review

and meta-analysis. AIDS, 2009; 23(11): 1397-1403.

24. Patel P, Borkowf CB, Brooks JT, Lasry A, Lansky A, and Mermin J.

Estimating per-act HIV transmission risk: a systematic review. AIDS, 2014;

28(10): 1509-1519.

25. Fentaw HM, Worku A, Sahu O. Statistical Modeling and Analysis of

Mother-To-Child Transmission of HIV: A Case Study in Referral Hospital

and Health Center of Hawassa Town, South Nation Nationality People,

Ethiopia. International Journal of Data Envelopment Analysis and

Operations Research, 2014; 1(3): 49-52.


26. Agrawal VK. HIV and Infant Feeding. Indian Journal of Clinical Practice,

2013; 24(4): 353-356.

27. Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler Klinis dan Sosial.

Edisi 1. Surabaya: Airlangga University Press, 2008.

28. Steben M, Drouin MC, Savignac MT, Baril JG, Laberge J. Expert

consensus: Viral load and the risk of HIV transmission. Quebec: Institute

National de Sante Publique, 2014.

29. Turchi MD, Duarte LDS, and Martelli CMT. Mother-to-child transmission

of HIV: risk factors and missed opportunities for prevention among

pregnant women attending health services in Goiânia, Goiás State, Brazil.

Cad. Saúde Pública, Rio de Janeiro, 2007; 23(3): 390-401.

30. Coovadia HM, Rollins NC, Bland RM, Little K, Coutsoudis A, Bennish

ML, Newell M-L. Mother-to-child transmission of HIV-1 infection during

exclusive breastfeeding in the first 6 months of life: an intervention cohort

study. Lancet, 2007; 369: 1107–16.

31. Mark S, Murphy KE, Read S, Bitnun A, and Yudin MH. HIV mother to

child transmission, mode of delivery, and duration of rupture of membranes:

experience in the current era. Infectious Diseases in Obstetrics and

Gynecology, 2012: 1-5.

32. Lodha R, Upadhyay A, Kapoor V, and Kabra SK. Clinical profile and

natural history of children with HIV infection. Indian journal of Pediatrics,

2006; 73: 201-204.


33. Parinitha SS and Kulkarni. Haematological changes in HIV infection with

correlation to CD4 cell count. AMJ, 2012; 5(3): 157-162.

34. Stevens W, Sherman G, Downing R, Parson LM, OU CY, Crowley S, et al.

Role of laboratory in Ensuring Global Access to ARV Treatment for HIV-

Infected Children: Consensus Statement on the Performance of Laboratory

Assays for Early Infant Diagnosis. The Open AIDS Journal, 2008; 2: 17-25.

35. Suradi R. Tata laksana Bayi dari Ibu pengidap HIV/AIDS. Sari Pediatri,

2003; 3(3): 180-185.

36. Departemen Kesehatan. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi

Antiretroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI,

2008.

37. Kementerian Kesehatan. Pedoman penerapan Terapi hiv pada anak. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI, 2014.

38. WHO. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating

and preventing HIV infection: recommendations for a public health

approach. Geneva: WHO, 2013.

39. Suciati. Penatalaksanaan Bayi Lahir dengan Ibu HIV. Banjarmansin: RSUD

Ulin Banjarmasin, 2016.

40. Young SL, Mbuya MNN, Chantry CJ, Geubbels EP, Ballard KI, Cohan D.

Current Knowledge and Future Research on Infant Feeding in the Context

of HIV: Basic, Clinical, Behavioral, and Programmatic Perspectives.

American Society for Nutrition, 2011; 2: 225–243.


41. Satish Tiwari, Ketan Bharadva, Balraj Yadav, Sushma Malik, Prashant

Gangal, Cr Banapurmath, et al. Infant and Young Child Feeding Guidelines

2016. Indian Pediatrics, 2016; 53: 703-713.

42. Havens PL, Mofenson LM. The Committee on Pediatrics AIDS. Evaluation

and Management of the Infant Exposed to HIV-1 in the United States.

Pediatrics, 2009; 123:175-87.

43. Shet A, Kumara samy N. Management Issue among Children Living with

HIV: Looking Ahead. Indian Pediatrics, 2008; 45: 955-60.

Anda mungkin juga menyukai