Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Efusi Pleura


1. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Pleura
Pleura adalah rongga yang melapisi parenkim paru, terdiri dari 2 lapiran yaitu lapisan
vixceral dan parietal. Pleura visceral menempel pada seluruh permukaan paru-paru dan pleura
parietal adalah membran terluar (tidak menempel langsung pada paru). Di antara pleura
visceral dan pleura parietal terdapat rongga yang disebut kavum pleura atau rongga pleura
(Moore, Dalley dan Agur, 2010). Rongga pleura terisi sejumlah cairan yang memisahkan kedua
pleura tersebut sehingga memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan selama
proses respirasi. Cairan pleura berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler pleura, ruang
interstitial paru, kelenjar getah bening intratoraks, pembuluh darah intratoraks dan rongga
peritoneum. Jumlah cairan pleura dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antara pembuluh-
pembuluh kapiler pleura dengan rongga pleura sesuai hukum Starling serta kemampuan
eliminasi cairan oleh sistem penyaliran limfatik pleura parietal. Tekanan pleura merupakan
cermin tekanan di dalam rongga toraks (Light, 2007). Perbedaan tekanan yang ditimbulkan
oleh pleura berperan penting dalam proses respirasi.

Gambar 1. Pleura
b. Cairan Pleura
Cavum pleurae terdapat sedikit cairan serous yang membuat permukaan pleura parietalis
dan pleura viseralis menjadi licin sehingga mencegah terjadinya gesekan. Cairan ini diproduksi
oleh pleura parietalis dan diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke
pembuluh limfa dan kembali ke darah. Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak
10-20 mL (Price & Wilson, 2006). Cairan pleura mengandung 1.500-4.500 sel/ mL terdiri dari
makrofag (75%), limfosit (23%), eritrosit dan mesotel bebas. Cairan pleura normal
mengandung protein 1-2 g/100 mL. Elektroforesis cairan pleura menunjukkan bahwa kadar
protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun kadar protein berat molekul
rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan
pleura 20-25% lebih tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar
ionatrium lebih rendah 3-5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6-9% sehingga pH cairan
pleura lebih tinggi dibandingkan dengan pH plasma (Light, 2007).
c. Fisiologi Pleura
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura menimbulkan tekanan
transpulmonar yang selanjutnya mempengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi.
Pengembangan paru terjadi bila kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi
rekoil elastik (elastic recoil) paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah
cairan rongga pleura diatur keseimbangan starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) yang
ditimbulkan oleh tekanan pleura dan kapiler, kemampuan sistem penyaliran limfatik pleura
serta keseimbangan elektrolit (Price & Wilson, 2006). Ketidakseimbangan komponen-
komponen tersebut dapat menyebabkan penumpukan cairan sehingga terjadi efusi pleura.
Bila terserang penyakit, pleura mungkin akan meradang, selain itu udara atau cairan dapat
masuk ke dalam rongga pleura sehingga menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
2. Definisi Efusi Pleura
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (10 sampai 20ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Brunner & Suddarth, 2002).
Pleura dapat berupa transudate atau eksudat. Transudate terjadi pada peningkatan
tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jantung kongestif. Pada gagal jantung kongestif
keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Transudasi
juga dapat terjadi pada hipoproteinemia, seperti pada penyakit hati dan ginjal. Sedangkan
penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat
peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan absorbsi getah bening (Price & Wilson,
2006).

Gambar 2. Efusi pleura

3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya. Sementara pada
populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa
efusi pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang
sedang berkembang, seperti Indonesia, paling banyak disebabkan oleh infeksi bakteri
tuberkulosis (Lee, 2003 dalam Puspita dkk., 2017).
Di Indonesia sendiri belum terekam data angka kejadian efusi pleura, namun dibeberapa rumah
sakit sudah dilakukan beberapa penelitian terkait kejadian efusi pleura. Seperti penelitian oleh
Puspita dkk., (2017) terdapat 537 insidensi efusi pleura pada periode Januari-Desember 2015
di Kota Metro Bandar Lampung tercatat sebanyak 39,1% adalah berjenis kelamin lakilaki dan
sebanyak 60,9% adalah perempuan. Pada kota Metro penyebab efusi pleura terbanyak adalah
keganasan paru.
Penyebab efusi, penyakit ganas menyumbang 41% dan tuberkulosis untuk 33% dari
100 kasus efusi pleura eksudatif, 2 pasien (2%) memiliki koeksistensi tuberkulosis dan
keganasan yang dianalisis dengan kelompok ganas. Parapneumoni efusi ditemukan hanya 6%
kasus, penyebab lain gagal jantung. kongestif 3%, komplikasi dari operasi by pass koroner 2%,
rheumatoid atritis 2%, erythematous lupus sistemik 1%, gagal ginjal kronis 1%, kolesistitis
akut 1%, etiologi tidak diketahui 8%. Kasus efusi pleura mencapai 2,7% dari penyakit infeksi
saluran napas lainnya. Tingginya angka kejadian efusi pleura disebabkan keterlambatan
penderita untuk memeriksakan kesehatan sejak dini. Faktor resiko terjadinya efusi pleura
diakibatkan karena lingkungan yang tidak bersih,sanitasi yang kurang, lingkungan yang padat
penduduk, kondisi sosial ekonomi yang menurun, serta sarana dan prasarana kesehatan yang
kurang dan kurangnya masyarakat tentang pengetahuan kesehatan (Mattison dkk., 2010 dalam
Puspita dkk., 2017).

4. Etiologi
Efusi pleura bukan merupakan penyakit primer, tetapi penyakit sekunder yang disebabkan
oleh penyakit lain. Berdasarkan Brunner dan Suddart (2014), efusi pleura dapat disebabkan
oleh 2 faktor yaitu:
a. Infeksi
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan terjadi efusi pleura seperti tuberkulosis,
pneumonia, abses paru, dan abses subfrenik.
b. Non-infeksi
Penyakit non-infeksi yang dapat menyebabkan efusi pleura seperti Ca paru, Ca pleura
(primer dan sekunder), Ca mediastinum, tumor ovarium, gagal ginjal (CKD), dan Sirosis
Hepatitis.

Menurut Incekara (2018) penyebab efusi pleura dibagi 2, yaitu:


1. Transudat
Transudat adalah cairan yang dapat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik pada membran pelura. Akumulasi cairan disebabkan oleh faktor
sistemik yang mempengaruhi produksi dan absorbsi cairan pleura seperti gagal jantung
kongestif, atelektasis, sirosis, sindrom nefrotik, dan dialisis peritonium, urinothorax,
myxoedema, hipoalbuminemia, atelektasis, sarkoidosis, emboli paru, sindrom superior vena
cava, sindrom meigs, penyempitan perikarditis, dan kebocoran cairan serebrospinal ke ruang
pleura.
2. Eksudat
Eksudat dapat dihasilkan dari proses inflamasi pleura atau akibat berkurangnya drainase
limfatik. Cairan eksudat dapat terbentuk dari proses inflamasi yang terjadi pada paru-paru atau
pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura. Penyebab efusi pleura transudat
diantaranya penyakit neoplastik, penyakit metastasis, mesothelioma, limfoma, penyakit
menular, infeksi bakteri, tbc, infeksi jamur, infeksi parasit, dan infeksi virus.

5. Klasifikasi
Efusi pleura dapat dibedakan menurut cairan yang mengisi pleura, yaitu sebagai berikut
(Price & Wilson, 2006):
a. Hidrotoraks
Penimbunan transudate pada pleura.
b. Empiema
Efusi pleura yang mengandung nanah. Empiema disebabkan oleh perluasan infeksi
dari struktur yang berdekatan dan dapat merupakan komplikasi dari pneumonia, abses
paru, atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura. Empiema yang tidak ditangani
dengan drainase yang baikdapat membahayakan rangka toraks.
c. Hemotoraks
Perdarahan sejati ke dalam rongga pleura, bukan merupakan efusi pleura yang yang
berdarah. Penyebab paling sering yaitu trauma. Trauma dapat dibedakan sebagai trauma
tembus (luka tusuk) dan trauma tumpul (fraktur iga yang selanjutnya menyebabkan
laserasi paru atau pembuluh darah intercostal).
d. Kilotoraks
Terisinya rongga pleura oleh getah bening yang disalurkan oleh duktus torasikus
sebagai akibat trauma atau keganasan.

6. Patofisiologi
Efusi pleura sering kali mencerminkan penyakit di tempat lain yang menyebar ke rongga
pleura dengan proses infeksi, inflamasi, metastasis atau edema. Efusi pleura terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu. Cairan masuk atau keluar dari rongga
pleura terjadi karena perbedaan tekanan yang timbul akibat gerakan pernapasan dan aliran
darah. Namun, banyaknya proses seluler yang aktif menyebabkan cairan yang masuk ke rongga
pleura berlebihan (Lee, 2003 dalam Puspita dkk., 2017).

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat muncul pada efusi pleura yaitu (Price & Wilson, 2006;
Nurarif dan Kusuma, 2013):
a. Dispnea
b. Nyeri dada
c. Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
d. Ruang intercostal menonjol (efusi yang berat)
e. Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
f. Perkusi meredup di atas efusi pleura
g. Egofoni di atas paru yang tertekan dekat efusi
h. Suara nafas berkurang di atas efusi pleura
i. Adanya gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, banyak mengeluarkan
keringat, batuk, dan meningkatnya produksi dahak.
j. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian efusi akan kurang bergerak saat pernafasan, fremitus
melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk menunjang diagnosis efusi pleura dianranya:
a.
b. Radiologi
1) Foto Toraks
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang mengalir bebas
tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling bawah dari rongga pleura, ruang
subpulmonik dan sulkus kostofrenikus lateral. Efusi pleura biasanya terdeteksi pada foto
toraks postero anterior posisi tegak jika jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Foto toraks
lateral dapat mendeteksi efusi pleura sebesar 50 – 75 ml. Tanda awal efusi pleura yaitu
pada foto toraks postero anterior posisi tegak maka akan dijumpai gambaran sudut
kostofrenikus yang tumpul baik dilihat dari depan maupun dari samping. Dengan jumlah
yang besar, cairan yang mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari
foto toraks postero anterior. Ketinggian efusi pleura sesuai dengan tingkat batas tertinggi
meniskus. Adanya pneumotoraks atau abses dapat mengubah tampilan meniskus menjadi
garis yang lurus. Efusi pleura lebih sulit teridentifikasi pada foto toraks dengan posisi
terlentang (Roberts dkk., 2014).

Gambar 3 (A) efusi pleura kiri pada foto thoraks tampak posterior anterior dan
lateral, (B) meniscus sign
2) USG Toraks
Ada beberapa keuntungan dari penggunaan USG toraks untuk menilai suatu efusi
pleura. USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan dan merupakan tindakan
yang tidak invasif dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien. USG toraks lebih unggul
daripada foto toraks dalam mendiagnosis efusi pleura dan dapat mendeteksi efusi pleura
sekecil 5ml. meskipun beberapa hal yang detail hanya bisa terlihat pada CT scan, USG
dapat mengidentifikasi efusi yang terlokalisir, membedakan cairan dari penebalan pleura,
dan dapat membedakan lesi paru antara yang padat dan cair. USG juga dapat digunakan
untuk membedakan penyebab efusi pleura apakah berasal dari paru atau dari abdomen.
Selain itu USG dapat dilakukan di tempat tidur pasien yang sangat berguna untuk
identifikasi cepat lokasi diafragma dan tingkat interkostal untuk menentukan batas atas
efusi pleura. (Roberts dkk., 2014).

Gambar 4 gambaran pleura pada USG toraks


3) CT scan toraks
Meskipun tindakan torakosentesis biasanya dilakukan berdasarkan temuan foto toraks,
tetapi CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto toraks biasa untuk
mendeteksi efusi pleura yang sangat minimal dan mudah menilai luas, jumlah, dan lokasi
dari efusi pleura yang terlokalisir. Lesi lokulasi bisa tampak samar-samar pada foto toraks
biasa. Pada gambaran CT scan toraks, cairan yang mengalir bebas akan membentuk seperti
bulan sabit dapa daerah paling bawah, sedangkan penumpukan cairan yang terlokalisir akan
tetap berbentuk lenticular dan relatif tetap berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan
toraks dapat digunakan untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa yang
mengarah keganasan dan penyakit – penyakit lain yang menyebabkan efusi pleura
eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras intra vena, CT scan toraks dapat membedakan
penyakit parenkim paru, seperti abses paru. Emboli paru juga dapat terdeteksi dengan
menggunakan zat kontras intra vena. CT scan toraks juga berguna dalam mengidentifikasi
patologi mediastinum dan dalam membedakan ascites dari efusi pleura subpulmonik yang
terlokalisir (Roberts dkk., 2014).

Gambar 5 gambaran efusi pleura pada CT Scan toraks


c. Torakosintesis
Torakosintesis yang dilanjutkan dengan analisis cairan pleura dapat dengan cepat
mempersempit diagnosis banding efusi pleura. Sebagian besar cairan pleura berwarna
kekuningan. Temuan ini tidak spesifik karena cairan berwarna kekuningan terdapat pada
berbagai kasus efusi pleura. Namun tampilan warna lain efusi pleura dapat membantu untuk
mendiagnosis penyebab efusi pleura. Cairan yang mengandung darah dapat ditemukan
pada kasus pneumonia, keganasan, dan hemotoraks. Jika warna cairan sangat keruh atau
seperti susu maka sentrifugasi dapat dilakukan untuk membedakan empiema dari kilotoraks
atau pseudokilotoraks. Pada empiema, cairan yang berada di bagian atas akan bersih
sedangkan debris-debris sel akan mengendap di bagian bawah, sedangkan pada kilotoraks
ataupun pseudokilotoraks warna cairan akan tetap sama karena kandungan lipid yang tinggi
dalam cairan pleura. Cairan yang berwarna kecoklatan atau kehitaman dicurigai disebabkan
oleh abses hati oleh infeksi amuba dan infeksi aspergillus.

Gambar 6 proses torakosintesis (Roberts dkk., 2014)


d. Biopsi Pleura
Pada kasus efusi pleura yang belum pasti diagnosisnya di mana dicurigai disebabkan
oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan dengan kontras, maka biopsi
jarum dengan tuntunan CT scan merupakan metode yang tepat. Biopsi jarum Abram hanya
bermakna jika dilakukan di daerah dengan tingkat kejadian tuberkulosis yang tinggi,
walaupun torakoskopi dan biopsi jarum dengan tuntunan CT scan dapat dilakukan untuk
hasil diagnostik yang lebih akurat (Havelock dkk., 2010).
e. Torakoskopi
Torakoskopi merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura eksudat di
mana diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan dan dicurigai adanya
keganasan (Havelock dkk., 2010).
f. Pemeriksaan Lain Pada Kondisi Tertentu (Havelock dkk., 2010)
1) Pleuritis tuberkulosis
Ketika dilakukan biopsi pleura, maka sampel harus dikirim untuk pemeriksaan
histologi dan kultur untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis. Biopsi pleura melalui
torakoskopi merupakan pemeriksaan yang paling akurat untuk mendapatkan hasil
positif untuk kultur mikobakterium (dan juga sensitivitas obat). Penanda tuberkulosis
pleura dapat bermakna di negara-negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang
rendah. Adenosine deaminase (ADA) adalah penanda yang paling sering digunakan.
2) Rheumathoid Arthritis yang berhubungan dengan efusi pleura
Sebagian besar efusi pleura Sebagian besar efusi pleura yang disebabkan oleh
Rheumathoid Arthritis menunjukkan kadar glukosa yang sangat rendah yaitu yang
disebabkan oleh Rheumathoid Arthritis menunjukkan kadar glukosa yang sangat
rendah yaitu Kilotoraks dan pseudokilotoraks Pada kasus terduga kilotoraks atau
pseudokilotoraks maka cairan pleura harus diperiksakan untuk menilai kristal
kolesterol, kilomikron, kadar trigliserida cairan pleura dan kadar kolesterol cairan
pleura.
3) Kilotoraks dan pseudokilotoraks
Pada kasus terduga kilotoraks atau pseudokilotoraks maka cairan pleura harus
diperiksakan untuk menilai kristal kolesterol, kilomikron, kadar trigliserida cairan
pleura dan kadar kolesterol cairan pleura.

Anda mungkin juga menyukai