Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIABETES


MELITUS DI RUANG RAWAT INAP ADENIUM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

disusun guna memenuhi tugas pada Program Profesi Ners (P2N)


Stase Keperawatan Medikal

oleh
Indra Sarosa., S.Kep.
NIM 132311101052

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
DIABETES MELLITUS

A. Anatomi dan Fisiologi Pankreas


Pankreas merupakan organ retroperitoneal yang terletak di bagian
posterior dari dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa, di depan
aorta abdominalis dan arteri serta vena mesenterica superior (Gambar 1). Organ
ini konsistensinya padat, panjangnya ±11,5 cm, beratnya ±150 gram. Pankreas
terdiri bagian kepala/caput yang terletak di sebelah kanan, diikuti corpus ditengah,
dan cauda di sebelah kiri. Ada sebagian kecil dari pankreas yang berada di bagian
belakang Arteri Mesenterica Superior yang disebut dengan Processus Uncinatus
(Simbar, 2005).

Gambar 1. Anatomi Pankreas


Jaringan penyusun pankreas (Guyton dan Hall, 2006) terdiri dari :
a. Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti anggur
yang disebut sebagai asinus/Pancreatic acini (Gambar 2), yang merupakan
jaringan yang menghasilkan enzim pencernaan ke dalam duodenum.
b. Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans/Islet of
Langerhans (Gambar.2) yang tersebar di seluruh jaringan pankreas, yang
menghasilkan insulin dan glukagon ke dalam darah.

Gambar 2. Asinus dan pulau langerhans


Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel (Mescher, 2010)
yaitu:
a. Sel α (sekitar 20%), menghasilkan hormon glukagon.
b. Sel ß (dengan jumlah paling banyak 70%), menghasilkan hormon insulin.
c. Sel δ (sekitar 5-10%), menghasilkan hormon Somatostatin.
d. Sel F atau PP (paling jarang), menghasilkan polipeptida pankreas.
Masuknya glukosa ke dalam sel otot dipengaruhi oleh 2 keadaan. Pertama,
ketika sel oto melakukan kerja yang lebih berat, sel otot akan lebih permeabel
terhadap glukosa. Kedua, ketika beberapa jam setelah makan, glukosa darah akan
meningkat dan pankreas akan mengeluarkan insulin yang banyak. Insulin yang
meningkat tersebut menyebabkan peningkatan transport glukosa ke dalam sel
(Guyton dan Hall, 2006). Insulin dihasilkan didarah dalam dengan bentuk bebas
dengan waktu paruh plasma ±6 menit, bila tidak berikatan dengan reseptor pada
sel target, maka akan didegradasi oleh enzim insulinase yang dihasilkan terutama
di hati dalam waktu 10-15 menit (Guyton dan Hall, 2006). Reseptor insulin
merupakan kombinasi dari empat subunit yang berikatan dengan ikatan disulfida
yaitu dua subunit-α yang berada di luar sel membran dan dua unit sel-ß yang
menembus membran (Gambar 3). Insulin akan mengikat serta mengaktivasi
reseptor α pada sel target, sehingga akan menyebabkan sel ß terfosforilasi. Sel ß
akan mengaktifkan tyrosine kinase yang juga akan menyebabkan terfosforilasinya
enzim intrasel lain termasuk insulin-receptors substrates (IRS) (Guyton dan Hall,
2006).

Gambar 3. Reseptor insulin


Dalam tubuh kita terdapat mekanisme reabsorbsi glukosa oleh ginjal,
dalam batas ambang tertentu. Kadar glukosa normal dalam tubuh kira-kira 100mg
glukosa/100ml plasma dengan GFR/Glomerular Filtration Rate 125ml/menit.
Glukosa akan ditemukan diurin jika telah melewati ambang ginjal untuk
reabsorbsi glukosa yaitu 375 mg/menit dengan glukosa di plasma darah
300mg/100ml (Sherwood, 2011).

B. Konsep Penyakit Diabetes Melitus


1. Pengertian
Diabetes Mellitus (DM) adalah kumpulan penyakit metabolik dengan
hiperglikemi yang bisa disebabkan oleh kekurangan insulin, kerja insulin yang
menurun, atau keduanya. Hiperglikemi yang berlanjut hingga kronik pada
penderita DM akan menyebabkan kerusakan , disfungsi, maupun kegagalan organ
lain, khususnya mata, ginjal, jantung, dan pembuluh darah (American Diabetes
Association, 2011).Diabetes Mellitus yaitu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemi kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh
terutama mata, ginjal , saraf, jantung dan pembuluh darah (setiyohadi, 2006).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,
2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa)
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Menurut Mansjoer dkk (2005), diabetes melitus adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan adanya kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai
dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang dapat
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh
darah.
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat (Silvia, 2006). Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang
ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolism
karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin
atau penurunan sensivitas insulin (Amin et al, 2013).

2. Epidemiologi
a. Menurut Orang
Menurut WHO (2011) penderita DM di negara maju sebagian besar berada
pada kelompok umur ≥ 65 tahun, sedangkan di negara berkembang penderita DM
sebagian besar berada pada kelompok umur 45-64 tahun. Semua orang memiliki
resiko untuk mengalami diabetes. Secara global, prevalensi DM lebih tinggi pada
laki-laki. Menurut WHO (2008) prevalensi laki-laki (9,8%) lebih tingggi daripada
perempuan (9,2%) Berdasarkan penelitian Butarbutar (2013) di RSUD Deli
Serdang tahun 2012 proporsi penderita DM berusia ≤ 40 tahun yaitu 4,3%
sedangkan yang berusia > 40 tahun yang menderita DM yaitu 95,7%. Proporsi
laki-laki menderita DM yaitu 41,4% sedangkan pada perempuan 58,6%.
c. Menurut Tempat
Menurut IDF (2010) bahwa lebih dari 371 juta orang di dunia yang
berumur 20-79 tahun, Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan prevalensi
DM tertinggi, di bawah China, India, USA, Brazil, Rusia dan Mexico.
Prevalensinya di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan, serta
cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi
(Kemenkes, 2013). Menurut Riskesdas tahun 2013, Prevalensi DM yang
terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta
(2,5%), Sulawesi Utara (2,4%), dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi DM
yang terdiagnosis dokter atau berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi
Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa
Tenggara Timur (3,3%).
c. Menurut waktu
Prevalensi penderita DM terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun
2000 jumlah penderita DM mencapai 171 juta orang dan meningkat menjadi 366
juta orang pada tahun 2011. Secara global, DM menyebabkan 4,6 juta kematian
setiap tahunnya. IDF memperkirakan DM akan meningkat menjadi 552 juta orang
pada tahun 2030 (IDF, 2011). Di Indonesia menurut laporan WHO, prevalensi
penderita DM tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang yang diperkirakan pada tahun
2030 meningkat menjadi 21,3 juta orang (Bustan, 2007).

3. Etiologi
Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti
tetapi umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan
faktor herediter memegang peranan penting.
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille
Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia
(meningkatnya kadar gula darah). Faktor genetik dan lingkungan merupakan
faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi
virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga
pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM. Virus
atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang
membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune,
dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga
dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Bare &Suzanne, 2002).
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran
terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset
melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM
sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak
insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup
menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin
menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien
dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan
utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder
berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak
selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-tanda
atau gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang berlebihan,
lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan
normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan
peningkatan gula darah ( Bare & Suzanne, 2002)

4. Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi diabetes mellitus menurut Riyadi dan Sukarmin,
(2008) membedakan penyakit ini berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai
patogenesisnya, yaitu Diabetes Mellitus tipe I : Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) dan tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM), Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom
lainnya, serta Diabetes Mellitus gestasional (GDM)..
a. Diabetes Mellitus tipe I
Merupakan diabetes mellitus yang tergantung pada insulin atau insulin
dependent diabetes mellitus (IDDM). Pasien diabetes mellitus tipe I menghasilkan
sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. Pada diabetes mellitus
tipe I ini terjadi kerusakan sel-sel beta pangkreas yang diperkirakan terjadi akibat
kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin juga karena infeksi (WHO,
2000; Smeltzer dan Bare, 2002). Sebagian besar diabetes mellitus tipe I terjadi
sebelum usia 30 tahun, tetapi bisa pula terjadi pada semua usia. Faktor lingkungan
seperti infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal
menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin.Terjadi
kekurangan insulin yang berat dan pasien harus mendapatkan suntikan insulin
secara teratur (Medicastore, Tanpa Tahun; Riyadi dan Sukarmin, 2008).
b. Diabetes Mellitus Tipe II
Merupakan diabetes mellitus yang tidak bergantung pada insulin atau non-
insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM). Diabetes mellitus tipe II
disebabkan karena kegagalan relatif sel beta pulau langerhans dan turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Pasien diabetes mellitus tipe II
mengalami penurunan sensivitas terhadap kadar glukosa, yang berakibat pada
pembukaan kadar glukosa tinggi. (Tjokroprawiro, 1982 dalam Situmorang, 2009).
Diabetes mellitus tipe II bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya
terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor resiko untuk diabetes tipe II adalah obesitas
c. Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Diabetes melitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi
perinatal (sekitar waktu melahirkan) dan sang ibu memiliki resiko untuk
menderita penyakit DM yang lebih besar dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah
melahirkan
d. Diabetes Mellitus tipe lain
Diabetes mellitus ini merupakan diabetes mellitus yang berhubungan
dengan keadaan atau sindrom lain, misalnya defek genetik sel beta pankreas,
penyakit infeksi seperti pankreatitis, kelainan hormonal atau penggunaan obat-
obatan seperti glukokortikoid (Smeltzer dan Bare, 2002; PERKENI, 2006).
Diabetes mellitus tipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun dan seringkali pasien mengalami obesitas
dan resisten terhadap insulin (Price dan Wilson, 2005).
Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya
Tipe Diabetes Mellitus Etologi
Tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut
a. Autoimun
b. Idiopatik
Tipe II Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes
mellitus
Sumber: PERKENI (2006)

5. Patofisiologi
Glukosa secara normal bersirkulasi dalam darah dengan jumlah
tertentu.Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin, adalah
hormon yang diproduksi oleh pankreas berfungsi untuk mengendalikan kadar
glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Pada
diabetes kemampuan tubuh terhadap insulin dapat menurun atau pankreas tidak
memproduksi sama sekali hormon insulin sehingga keadaan ini dapat
menimbulkan hiperglikemi.
a. DM Tipe I
Pada DM Tipe I ketidakmampuan menghasilkan insulin karena sel-sel β
pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Dalam keadaan normal
insulin berperan dalam proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam
amino serta substansi lain). Pada penderita defisiensi insulin proses ini terjadi
tanpa hambatan sehingga menimbulkan hiperglikemi. Disamping itu terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton
yang merupakan produk samping pemecahan bahan lemak.Badan keton dapat
mengganggu keseimbangan asam basa dalam tubuh bila jumlahnya berlebihan.
Pada DM Tipe I, hiperglikemi puasa terjadi karena produksi glukosa yang tidak
dapat diukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang tidak dapat disimpan
dalam hati tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi
postprandial (sesudah makan).
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel sehingga akan terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. DM tipe II dengan resistensi
insulin akan diikuti pula dengan penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian
insulin tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan.Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, perlu adanya peningkatan jumlah sekresi insulin. Pada
penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat dari sekresi
insulin berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan dalam tingkat normal
atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi DM Tipe II.
6. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit diabetes mellitus antara satu pasien dengan pasien yang lain
bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat
tertentu (Hastuti, 2008). Price dan Wilson (2005); Noer et al (2006); Riyadi dan
Sukarmin (2008) menyebutkan gejala khas penyakit diabetes mellitus yaitu:
a. poliuria (peningkatan pengeluaran urin)
disebabkan oleh hiperglikemia yang berat melebihi ambang ginjal sehingga
timbul glikosuria. Glikosuria mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin;
b. polidipsia (peningkatan rasa haus)
disebabkan oleh poliuria yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi
intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar
sel mengikuti penurunan konsentrasi ke plasma yang hipertonik. Dehidrasi
intrasel merangsang pengeluaran ADH (antideuretic hormone) dan
menimbulkan rasa haus;
c. polifagia (peningkatan rasa lapar)
disebabkan oleh pengeluaran glukosa bersama urin sehingga pasien mengalami
kekurangan kalori dan timbul rasa lapar berlebih;
d. lemas, dan berat badan turun
akibat gangguan sirkulasi, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan
sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi
e. gejala lain yang mungkin dikeluhkan oleh pasien adalah rasa kesemutan,
pruritus (gatal-gatal), mata kabur, gigi mudah goyah dan lepas, ibu hamil
sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 Kg, impotensi pada pria serta pruritus vulva
pada wanita.
Tabel 1. Manifestasi klinis diabetes melitus berdasarkan dasar patologis
Manifestasi Klinis Dasar Patofisiologi DM Tipe 1 DM Tipe 2
Poliuri Air tdk diabsorbsi di tubulus ginjal sekunder ++ +
aktifitas osmotic glukosa; sehingga
kehilangan air, glukosa dan elektrolit. ++ +

Polidipsi Dehidrasi sekunder terhadap poliuri yang ++ +


menyebabkan haus.

Polifagia Banyak makan sekunder terhadap kerusakan


jaringan (katabolisme) menyebabkan mudah
lapar.

Berat badan Penurunan berat badan sekunder terhadap ++ -


menurun penurunan jumlah air, glikogen, dan
cadangan trigliserida; kehilangan kronis
sekunder terhadap penurunan massa otot
perubahan asam amino pada bentuk glukosa
dan badan keton.
Penglihatan kabur Sekunder terhadap paparan kronis pada lensa + ++
mata dan retina.
Pruritus, infeksi Infeksi bakteri dan jamur pada kulit. + ++
kulit, vaginitis
Ketonuria Ketika glukosa tidak dapat digunakan ++ -
sebagai energi pada sel-sel yang tergantung
insulin, asam lemak akan digunakan sebagai
energi, asam lemak akan dipecah dalam
bentuk keton di dalam darah dan
diekskresikan ke ginjal; pada DM tipe 2,
insulin cukup untuk menekan kelebihan
penggunaan asam lemak tetapi tidak cukup
bila menggunakan glukosa.
Kelemahan, lelah, Penurunan volume plasma menyebabkan ++ +
pusing hipotensi postural; kehilangan potassium dan
metabolisme protein menyebabkan
kelemahan.
Ket : (+) sering nampak, (++) selalu nampak, (-) tidak selalu nampak

Hiperglikemia yang berat dan melebihi ambang ginjal dapat menimbulkan


glikosuria. Glikosuria dapat mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Saat glukosa hilang
bersama urin, individu akan mengalami keseimbangan kalori negatif dan
berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin meningkat (polifagia) akan
terjadi sebagai akibat kehilangan kalori. Gejala lain yang dapat terjadi pada pasien
DM antara lain mengeluh lelah, mengantuk, berat badan turun, lemah dan
somnolen (Price & Wilson, 2005).
PERKENI (2011) menyebutkan bahwa gejala khas diabetes melitus
terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagi, dan berat badan menurun tanpa sebab yang
jelas, sedangkan gejala yang tidak khas diabetes melitus diantaranya lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria)
dan pruritus vulva (wanita). Menurut Rondhianto (2011) keluhan lain yang
terjadi adalah gangguan saraf tepi seperti kesemutan, pandangan kabur – katarak,
kelainan kulit seperti gatal terutama di daerah kemaluan dan lipatan kulit,
penurunan ereksi (gangguan mikrovaskuler), keputihan, gigi mudah goyah,
infeksi, gusi bengkak, telinga berdengung, rambut tipis dan mudah rontok, sering
batuk dan lama, perut kembung, mual, konstipasi atau diare, hipertensi
sehingga menyebabkan decompensasi kordis, penyakit liver, infeksi saluran
kemih dan gangguan ginjal seperti gagal ginjal.

7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa DM ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa
dalam darah. Penegakan diagnosa yang tepat untuk diabetes melitus pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood),
vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu :
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM;
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl dengan adanya keluhan
klasik;
1) Prosedur pemeriksaan gula darah
a) Prosedur pemeriksaan gula darah dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan maupun oleh pasien sendiri (Pemeriksaan Gula Darah
Mandiri (PGDM)). Dengan melakukan pemeriksaan glukosa darah
secara mandiri dan teratur maka klien akan mengetahui dampak
penatalaksanaan DM pada dirinya dan semakin memperkuat
perilaku perawatan dirinya. Beberapa ketentuan adalah sebagai
berikut:
(1) PGDM terutama dianjurkan bagi klien dengan pengobatan insulin
atau obat pemicu sekresi insulin.
(2) Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam
setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang
waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan diantara siklus
tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nocturnal yang kadang
tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic
spells.
(3) Pemeriksaan dilakukan 2 kali dalam seminggu.
(4) Darah yang biasa digunakan adalah darah kapiler

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai
patokan penyaring
Kadar Glukosa Darah Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl) Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dl)
DM Belum Pasti DM DM Belum Pasti DM
Plasma vena >200 100-200 >120 110-120
Darah kapiler >200 80-100 >110 90-110

2) Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).


Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. Menurut
Smeltzer & Bare (2001), TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang
dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus. Tes TTGO dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu metode analisis, dan plasma serum (darah kapiler atau
vena). Menurut Tjokroprawiro (2010), pelaksanaan TTGO dilakukan
dengan cara:
a) Tiga hari sebelum tes, klien makan karbohidrat cukup dan
melakukan kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
b) Kemudian klien puasa semalam (10-12 jam, minimal 8 jam)
c) Keesokanhari tepatnya di pagi hari, glukosa darah puasa diperiksa
d) Setelah itu klien diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air
250 ml, diminum dalam waktu 5 menit dan berpuasa kembali
e) Setelah 2 jam, dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
f) Selama pemeriksaan, klien tetap istirahat, tidak boleh merokok,
tetapi boleh minum air putih.
Kriteria Diagnosis DM
a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan hasil
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan
terakhir;
b. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7,0
mmol/l). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam;
c. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l).
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Gambar 5. Langkah-langkah penentuan diagnosis diabetes melitus
8. Penatalaksanaan Farmakologi Dan Non Farmakologi
Penatalaksaanaan pada pasien diabetes diperlukan untuk meningkatkan
kondisi dari pasien itu sendiri. Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan teraupetik
pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa
terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima
komponen dalam penatalaksanaan diabetes yaitu diet, latihan , pemantauan, terapi,
dan pendidikan (Smeltzer & Bare, 2001).
Terdapat tujuan pengelolaan diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
a. Tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan gejala atau keluhan dan
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian darah;
b. Tujuan jangka panjang yaitu mencegah komplikasi, mikroangiopati dan
makroangiopati dengan tujuan menurunkan mortalitas dan morbiditas (PERKENI,
2011)
Pada penatalaksanaan penderita diabetes melitus terdapat beberapa prinsip
pengelolaan yang dilakukan meliputi :
a. Edukasi
DM tipe2 umumnya terjadi dikarenakan adanya pola gaya hidup dan
perilaku yang sudah terbentuk secara mapan. Perilaku klien yang diharapkan
untuk berubah diperlukan partisipasi aktif dari pasien, keluarga, serta lingkungan
baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan kerja. Edukasi
dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada pasien. Penyuluhan kesehatan
pada penderita diabetes melitus merupakan suatu hal yang amat penting dalam
regulasi gula darah penderita diabetes melitus dan mencegah atau setidaknya
menghambat munculnya penyulit kronik maupun penyulit akut yang ditakuti oleh
penderita. Tujuan penyuluhan yaitu meningkatkan pengetahuan diabetisi tentang
penyakit dan pengelolaannya dengan tujuan dapat merawat sendiri sehingga
mampu mempertahankan hidup dan mencegah komplikasi lebih lanjut (
PERKENI, 2011).
Pengobatan diabetes memerlukan keseimbangan antara beberapa kegiatan
yang merupakan bagian integral dari kegiatan yang merupakan bagian integral
dari kegiatan rutin sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja dan lainnya.
Berhasilnya pengobatan diabetes tergantung pada kerja sama antara petugas
kesehatan, penderita dan keluarga. Pasien mempunyai pengetahuan cukup tentang
diabetes, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, akan dapat
mengendalikan kondisi penyakit sehingga dapat hidup lebih lama (Price, 2005).
Menurut Friedman (2003) dalam Ferawati (2014), pendidikan merupakan aspek
status sosial yang sangat berhubungan dengan status kesehatan.
b. Terapi Gizi Medis
Diet merupakan bagian dari penatalaksanaan DM. Keberhasilan dari diet
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi,
tenaga kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan
nutrisi pada pasien DM yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis,
dan jumlah makanan merupakan aspek yang sangatpenting untuk diperhatikan,
terutama pada pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011).
Diet diperlukan terapis yaitu terapi gizi medis yang merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Agar dapat berhasil Terapi Gizi Medis
memerlukan keterlibatan menyeluruh dari anggota (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan, dan pasien itu sendiri). Klien diabetes sebaiknya mendapat Terapi Gizi
Medis sesuai dengan kebutuhan agar sasaran terapi dapat tercapai. Klien diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis
dan jumlah makanan, terutama mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan untuk penderita diabetes mellitus terdiri
dari:
1) Karbohidrat
a) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi
b) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c) Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
d) Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
e) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

f) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak


melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
g) Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
2) Lemak
a) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
b) Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
c) Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
d) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
e) Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.

3) Protein
a) Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
b) Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, tempe.
c) Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
4) Natrium
a) Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 g (1 sendok teh) garam dapur.
b) Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
c) Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

5) Serat
a) Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
b) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari.
6) Pemanis alternatif
a) Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi.
Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa.
b) Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitoldan
xylitol.
c) Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
d) Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
e) Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, neotame.
f) Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake/ ADI )
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani bagi orang yang memiliki DM tipe 2 memiliki manfaat
antara lain meningkatkan kebugaran tubuh, meningkatkan penurunan kadar
glukosa darah, mencegah kegemukan, ikut berperan dalam mengatasi
kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik, gangguan lemak darah,
meningkatkan kadar kolesterol HDL, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin,
menormalkan tekanan darah, serta meningkatkan kemampuan kerja. Latihan
jasmani, pada tubuh akan meningkatkan kebutuhan bahan bakar tubuh oleh otot
yang aktif dan terjadi pula reaksi tubuh yang kompleks meliputi fungsi sirkulasi,
metabolisme, dan susunan saraf otonom. Glukosa yang disimpan dalam otot dan
hati sebagai glikogen cepat diakses untuk dipergunakan sebagai sumber energi
pada latihan jasmani terutama pada beberapa atau permulaan latihan jasmani
dimulai. Latihan jasmani setelah 10 menit awal akan terjadi peningkatan glukosa
15 kali dari kebutuhan biasa, setelah 60 menit, akan meningkat sampai 35 kali
(Suhartono, 2004). Setelah beberapa menit latihan jasmani berlangsung tubuh
akan mengompensasi energi dari lemak. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani (PERKENI, 2011).
Jenis latihan jasmani yang dianjurkan untuk para klien diabetes adalah
jalan, jogging, berenang dan bersepeda. Tahapan dalam latihan jasmani juga
sangat diperlukan, tahapan dalam latihan jasmani perlu dilakukan agar otot tidak
memperoleh beban secara mendadak. Tahapan latihan jasmani mulai dari
pemanasan (warming up), latihan inti (conditioning), pendinginan (cooling down),
serta peregangan (stretching). Pada saat melakukan latihan jasmani kerja insulin
menjadi lebih baik dan yang kurang optimal menjadi lebih baik lagi. Akan tetapi
efek yang dihasilkan dari latihan jasmani setelah 2 x 24 jam hilang, oleh karena
itu untuk memperoleh efek tersebut latihan jasmani perlu dilakukan 2 hari sekali
atau seminggu 3 kali (Suhartono, 2004).
Latihan fisik atau olahraga memiliki tujuan untuk meningkatkan kepekaan insulin,
mencegah kegemukan, memperbaiki aliran darah, merangsang pembentukan
glikogen baru dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Latihan fisik atau olahraga
meliputi empat prinsip :
1) Jenis olah raga dinamis. Jenis olahraga dinamis yaitu latihan kontinyu,
interval, progresif, ritmis dan latihan daya tahan;
2) Intensitas olahraga. Takaran latihan sampai 72-87 % denyut nadi maksimal
disebut zona latihan. Rumus denyut nadi maksimal adalah 220 dikurangi
usia (dalam tahun);
3) Lamanya latihan. Latihan jasmani dilakukan secara teratur selama kurang
lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (continous, rhytmical, interval,
progressive, endurance training).
4) Frekuensi latihan. Frekuensi latihan dilakukan sebaiknya sebanyak 3-4 kali
dalam seminggu (PERKENI, 2011).
d. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa belum tercapai dibagi
menjadi 2:
1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
OHO merupakan obat penurun kadar glukosa darah yang sering digunakan
pada DM tipe 2. Beberapa obat yang biasanya digunakan antara lain:
a) Sulfonil Urea
Sulfonil Urea paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan dengan
obat golongan lain, yaitu biguanid (metrofin), inhibitor glukosidase alfa
atau insulin. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
produksi insulin oleh sel-sel beta pankreas dan menjadi pilihan utama pada
pasien DM tipe 2 dengan berat badan berlebihan. Klien yang berusia lanjut
perlu menghindari pemberian obat golongan sulfonil urea yang memiliki
waktu kerja panjang untuk meminimalkan resiko hipoglikemia. Obat-obat
dari kelompok ini yang beredar adalah glibenklamida (5mg/tablet),
glibenklamida micronized (5mg/tablet), glikasida (80mg/tablet), glikuidon
(30mg/tablet), glipisida (5mg/tablet), glimepirida (1mg, 2mg, 3mg/tablet),
klorpromida (100 mg/tablet) (Sustrani et al., 2006).
b) Biguanid/Metformin
Biguanid/Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati dan memperbaiki ambilan glukosa dari jaringan (glukosa perifer).
Kontraindikasi biguanid bagi klien diabetes adalah pada klien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal dan klien yang kecenderungan hipoksia
jaringan. Efek sampingnya adalah mual, dan untuk mengurangi keluhan
tersebut penggunaan biguanind bersamaan atau sesudah makan.
c) Inhibitor Glukosidase Alfa
Inhibitor Glukosidase Alfa mempunyai efek utama menghambat
penyerapan gula di saluran pencernaan, sehingga dapat menurunkan kadar
gula sesudah makan, terutama bermanfaat untuk klien dengan kadar gula
darah puasa yang masih normal. Efek samping obat ini adalah gangguan
fungsi hati dan ginjal, terutama pada klien yang pernah mengalami
gangguan tersebut. Oleh karena itu, untuk pemakaian jangka lama obat ini,
diperlukan pemantauan fungsi hati dan ginjal. Obat generik yang beredar
adalah Acarbose (50 mg dan 100 mg/tablet) dengan merek Glucobay
(Sustraniet al., 2006).
d) Meglitinida
Meglitinida termasuk kelompok baru yang bekerja pada pankreas seperti
kelompok sulfonil urea, tetapi dengan cara kerja yang berbeda. Obat
generik yang beredar adalah Repaglinid (0,5 mg, 1 mg dan 2 mg/tablet
dengan merek Novonorm) (Sustrani et al., 2006).
e) Obat Kelompok Lain
Kelompok lain yang belum beredar di Indonesia adalah thiazolidrediones
(troglitazone) yang bekerja pada otot, lemak, dan liver untuk menghambat
pelepasan gula dari jaringan penyimpanan sumber gula darah tersebut
(Sustrani et al., 2006).
2) Insulin
Jenis dan lama kerja insulin :
a) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
b) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
c) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
d) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
e) Insulin campuran tetap, kerja pendek, kerja menengah
3) premixed insulin

9. Komplikasi
Hiperglikemia adalah keadaan kelebihan gula darah yang disebabkan oleh
makan secara berlebihan, stress, emosional, penghentian obat secara mendadak.
Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis diabetik (KAD) dan koma
hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HHNK) .
a. Ketoasidosis Diabetik ( KAD)
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketoasidosis terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon
kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan).
Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan glukosa sel
tubuh menurun. KAD merupakan komplikasi akut DM yang serius dan
membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat dieuresis osmotik, KAD
biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok
(Soewando, 2009). KAD merupakan penyebab tersering kematian yang
berhubungan dengan DM tipe 1 salah satu komplikasi terberatnya adalah edema
otak yang terjadi pada sekitar 0,5-0,9 % kasus KAD dan menyebabkan 21-24 %
kematian (Rustama dkk, 2010).
b. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
Koma hiperosmolar hiperglikemia non ketotik ditandai oleh hiperglikemia,
hipersmolar tanpa disertai adanya ketosis. HHNK lebih sering ditemukan pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki, biasanya terjadi pada orang lanjut usia.
Penyebabnya antara lain: infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak
terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan
penyebab tersering (57,1%). Faktor yang memulai HHNK adalah diuresis
glukosuria. Glukosuria menyebabkan kegagalan pada ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air.
Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dan penurunan cairan tubuh total.
Terjadi peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan
intravaskular menyebabkan keadaan hipersmolar. Keadaan ini memicu sekresi
hormon anti diuretik dan rasa haus. Pada hiperglikemia dan hipersmolar akan
timbul dehirasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan
hipotensi dan nantinya menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan
koma merupakan stadium terakhir dari hiperglikemia dimana telah timbul
gangguan elektrolit berat. Keluhan pasien HHNK adalah rasa lemah, gangguan
penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah
namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang disertai keluhan
saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Soewando,
2009).

10. Komplikasi Kronik


Komplikasi kronik jangka panjang atau dapat disebut juga dengan
komplikasi vaskular jangka DM melibatkan pembuluh pembuluh kecil
(mikrovaskular) dan pembuluh pembuluh sedang dan besar (makrovaskular).
Menurut Tjokroprawiro (2011) risiko terjadinya komplikasi pada penderita DM
adalah 2 kali lebih mudah mengalami stroke, dua puluh 25 kali lebih mudah
mengalami buta, 2 kali lebih mudah mengalami PJK (Penyakit Jantung Koroner),
17 kali lebih mudah mengalami gagal ginjal kronik, dan 5 kali lebih mudah
mengalami selulitis atau ganggrene.
1. Komplikasi Mikrovaskular
a. Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering
ditemukan pada usia 20-74 tahun. Resikonya 25 kali lebih mudah mengalami
kebutaan dibandingkan dengan nondiabetes. Resikonya meningkat sejalan dengan
lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis DM tipe 1 ditegakkan retinopati diabetik
hanya ditemukan < 5% dari pasien. Setelah 10 tahun prevalensi meningkat
menjadi 40-50% dan setelah 20 tahun > 90 % pasien. Pada diabetes tipe 2 ketika
diagnosis ditegakkan 25 % retinopati diabetik nonpoliferatif dan setelah 20 tahun
meningkat menjadi 60 % (Pandelaki, 2009). Retinopati diabetik disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Retina
merupakan bagian mata yang menerima bayangan dan mengirimkan informasi
bayangan tersebut ke otak (Smeltzer dan bare, 2001). Faktor resiko timbulnya
retinopati adalah kadar gula yang tidak terkontrol, durasi diabetes, hipertensi,
hiperlipidemia dan merokok. Retinopati diabetik sering tidak bergejala hingga
kelainan yang berat atau kerusakan retina yang ireversibel sudah terjadi (Rustama
dkk, 2010).
c. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik pada DM ditandai dengan albuminuria menetap (>300
mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Di
Amerika dan Eropa nefropati merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal
dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi diantara semua komplikasi
DM dan penyebab kematian tersering karena komplikasi kardiovaskuler
(Hendromartono, 2009). Pada DM tipe 1 sering memperlihatkan tanda-tanda
penyakit renal setelah 15-20 tahun kemudian, sementara pada DM tipe 2 dapat
terkana renal dalam waktu 10 tahun sejak diagnosa DM (Soewando, 2009).
d. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling
sering ditemukan pada DM. Resiko yang dihadapi pasien DM dengan neuropati
diabetik ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi
jari/kaki. Manifestasi neuropati sangat bervariasi, mulai dari tidak ada keluhan
dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektro fisiologis hingga keluhan
nyeri yang hebat. Bisa juga keluhan dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik
tergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi (Subekti, 2009).Neuropati
DM dapat menyerang semua tipe saraf termasuk perifer, otonom dan spinal.
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia penderita
dan lamanya panyakit DM. prevalensi dapat meningkat 50 % pada pasien
menderita DM selama 25 tahun. Kenaikan glukosa selama bertahun-tahun telah
membawa implikasi pada neuropati (Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi Makrovaskular
a. Gangguan Pada kaki (Kaki Diabetes)
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi yang paling ditakuti,
karena sering berakhir dengan kecacatan dan kematian. Di Indonesia kaki diabetes
masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal.
Terjadinya masalah kaki diabetes diawali dengan adanya hiperglikemia pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Kelainan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit dan
otot kemudian terjadi perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjuntnya mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas (Waspadji, 2009)
b. Gangguan Pada Pembuluh Darah
Kerusakan pada pembuluh darah karena DM akan mengakibatkan masalah
pada jantung dan otak, serta gangguan pada pembuluh darah kaki akibatnya
sirkulasi terganggu, terjadi peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan infark hati
dan cerebral. Penyempitan pembuluh darah disebabkan adanya tumpukan lemak
pada dinding pembuluh darah. Penumpukan ini tidak hanya terjadi karena pola
makan yang tidak normal tetapi juga disebabkan oleh kontrol metabolisme
glukosa dalam hati tidak normal. Komplikasi dapat mengenai pembuluh darah
arteri yang lebih besar sehingga terjadi aterosklorosis. Perubahan ini
menyebabkan meningginya LDL-kolesterol dan trigliserida serta menurunnya
HDL kolesterol (Tobing dkk, 2008).
c. Gangguan Fungsi Jantung
Gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke
jantung terhambat atau terjadi iskhemia (kekurangan oksigen di otot jantung),
timbul angina pectoris bahkan akhirnya dapat menyebabkan serangan jantung dan
hingga gagal jantung(Tobing dkk, 2008).
d. Gangguan Fungsi Pembuluh Otak
Pasien DM sering merasakan berat dibelakang kepala, leher, dan pundak,
pusing (vertigo) serta pendengaran dan penglihatan terganggu. Jika hal ini
dibiarkan, gangguan neurologis akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang
disebabkan penyumbatan atau pendarahan (Tobing dkk, 2008).
e. Gangguan Pada Paru
Pada penderita DM biasanya lebih mudah terserang infeksi Tuberkulosis
Paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. DM memperberat infeksi paru, demikian pula sebaliknya
sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).
f. Gangguan Pada Sistem Pencernaan
Mengidap DM terlalu lama dpat mengakibatatkan urat saraf yang
memelihara lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan
makanan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan lambung menjadi bergelembung
sehingga proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama
tertinggal lambung. Keadaan ini akan menimbulkan rasa mual, perut mudah terasa
penuh, kembung, makan tidak lekas turun, kadang timbul terasa sakit di ulu hati
atau makanan terhenti dalam dada, hal ini adalah akibat dari gangguan saraf
otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran pencernaan bisa juga
timbul akibat pemakaian obat-obatan yang diminum.(Tjokroprawiro, 2011).
C. Clinical Pathway

Ketidakseimbangan Kerusakan sel β Faktor genetik, autoimun,


produksi insulin lingkungan (virus atau toksik)
Gula dalam darah
tidak dapat dibawa
masuk ke dalam sel

Viskositas dalam Anabolisme protein


Syok Hiperglikemia
Hiperglikemia darah meningkat menurun

Batas melebihi ambang Aliran darah melambat Koma diabetik Kerusakan pada antibodi
ginjal
Iskemik jaringan Risiko infeksi Kekebalan tubuh menurun
Glukosuria
Ketidakefektifan perfusi Neuropati sensori perifer
Diuresis osmotik jaringan perifer
Klien tidak merasakan sakit
Poliuri  retensi urin
Kehilangan kalori
Nekrosis luka
Kehilangan cairan dan
elektrolit dalam sel Sel kekurangan bahan
Gangren
untuk metabolisme
Dehidrasi Kerusakan integritas kulit
Risiko syok Protein lemak dibakar

BB menurun
Merangsang
hipotalamus
Fatique
Pusat lapar dan haus
Katabolisme lemak Pemecahan protein
Polidipsi
Polifagi Asam lemak Keton Ureum

Ketidakseimbangan
Ketoasidosis
nutrisi kurang dari
kebutuhan
D. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, No. RM, dan tanggal MRS. Resistensi insulin
cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
Manusia mengalami penurunan fisiologis yang menurun dengan cepat setelah
usia 40 tahun. Penurunan ini akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin
pankreas untuk memproduksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Sehingga
beresiko besar bagi manusia lanjut usia untuk menderita gangguan produksi
insulin terlebih lagi dari akumulasi gaya hidup yang buruk pada saat muda.
b. Riwayat kesehatan
1) Diagnosa Medik: Diabetes Mellitus
2) Keluhan Utama
Biasanya pasien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada kulit
yang disertai bisul/lalu tidak sembuh-sembuh, kesemutan/rasa berat, mata
kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga mengeluh poli urea,
polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare kadang-kadang
disertai nyeri perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat, sering haus, pusing-
pusing/sakit kepala, kesulitan orgasme pada wanita dan masalah impoten
pada pria.
3) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengalaman klien saat ini yang
membentuk suatu kronologi dari terjadinya etiologi hingga klien mengalami
keluhan yang dirasakan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh
penderita.
a) Penyakit yang pernah dialami
b) Alergi
c) Imunisasi
d) Kebiasaan/Pola hidup
e) Obat yang pernah digunakan
5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga merupakan penyekit yang pernah dialami atau sedang
dialami keluarga, baik penyakit yang sama dengan keluhan klien atau pun
penyakit lain. Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
c. Genogram
d. Pengkajian Keperawatan
1) persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
menjelaskan tentang bagaimana pendapat klien maupun keluarga mengenai
apakah kesehatan itu dan bagaimana klien dan keluarga mempertahankan
kesehatannya.
2) pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri yang dapat dilihat melalui
lingkar lengan atau nilai IMT, biomedical sign merupakan data yang
diperoleh dari hasil laboratorium yang menunjang, clinical sign merupakan
tanda-tanda yang diperoleh dari keadaan fisik klien yang menunjang, diet
pattern merupakan pola diet atau intake makanan dan minuman yang
dikonsumsi.
3) pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau,
karakter)
4) pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living, status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen. Gejala: lemah, letih, sulit bergerak/berjalan,
kram otot, tonus otot menurun. Tanda : penurunan kekuatan otot.
5) Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur
6) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan keadaan
indera
7) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan
peran diri
8) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi
9) Pola peran & hubungan
10) Pola manajemen & koping stres
11) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum (Kesadaran secara kualitatif maupun kuantitatif), tanda-
tanda vital seperti tekanan darah, pernafasan, nadi dan suhu
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi):
a) Kepala
(1)Rambut, Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain
rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut
yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut
tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
(2)Muka/ Wajah.
Simetris atau tidak? Apakah ada nyeri tekan?
(3)Mata, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
(4)Telinga, Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda
adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang
telinga, keluar cairan dari telinga, melihat serumen telinga
berkurangnya pendengaran, telinga kadang-kadang berdenging,
adakah gangguan pendengaran
(5)Hidung, Apakah ada pernapasan cuping hidung? Adakah nyeri tekan?
Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya?
(6)Mulut, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi
mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah
(7)Tenggorokan, Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-
tanda infeksi faring, cairan eksudat?
b) Leher
Adakah nyeri tekan, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah pembesaran
vena jugularis?
c) Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekuensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale? Pada
auskultasi, adakah suara napas tambahan? Adakah sesak nafas, batuk,
sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.
d) Jantung
Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya? Adakah bunyi
tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia?
e) Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda meteorismus?
Adakah pembesaran lien dan hepar? Terdapat polifagi, polidipsi, mual,
muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan
lingkar abdomen, obesitas.
f) Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Turgor
kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembaban dan suhu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren,
kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
g) Ekstremitas
Apakah terdapat oedema,Penyebaran lemak, penyebaran masa otot,
perubahan tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di
ekstrimitas?
h) Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi? Poliuri, retensio
urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih?
f. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
1) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120
mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
2) Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui
perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan
merah bata ( ++++ ).
3) Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis kuman.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan iskemia
jaringan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan metabolik
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
gangguan keseimbangan insulin, makanan dan aktivitas jasmani
d. Risiko syok berhubungan dengan kehilangan cairan dan elektrolit dalam sel
e. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan antibodi
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
No
keperawatan
1. Ketidakefektifan Setelah NOC : NIC :
perfusi jaringan dilakukan Circulation status Peripheral Sensation
perifer tindakan Indikator: Management
berhubungan keperawatan 1. Tekanan sistol dan 1. Monitor daerah tertentu yang 1. Skrining kemungkinan tidak
dengan iskemia 1x24 jam diastole dalam hanya peka terhadap adekuatnya sirkulasi
jaringan perfusi jaringan rentang yang panas/dingin/tumpul/tajam
menjadi efektif diharapkan 2. Kaji CRT 2. Menilai pengisian darah
2. Tidak terdapat didaerah perifer
hipotensi ortostatik 3. Gunakan sarung tangan 3. Untuk proteksi
3. Tidak terdapat tanda 4. Diskusikan mengenai 4. Pasien dan keluarga paham
peningkatan perubahan sensasi mengenai perubahan yang
tekanan intrakranial terjadi
(tidak >15mmHg) 5. Instrusksikan keluarga untuk 5. Mencegah komplikasi lebih
mengobservasi adanya luka lanjut
2. Kerusakan Setelah NOC : Tissue integrity NIC: Wound Care
integritas kulit dilakukan And Wound healing 1. Monitor karakteristik dari luka 1. Pertimbangan intervensi yang
berhubungan tindakan 1. Integritas kulit yang akan dilakukan
dengan kondisi keperawatan baik dapat 2. Bersihkan dengan normal 2. Cairan fisiologis untuk
gangguan 1x24 jam dipertahankan salin perawatan luka
metabolik integritas kulit (sensasi, elastisitas, 3. Pantau proses penyembuhan 3. Memantau keefektifan dari
membaik temperatur, hidrasi, luka perawatan luka
pigmentasi) 4. Instruksikan pasien dan 4. Mencegah luka terkontaminasi
2. Tidak terdapat keluarga menjaga kebersihan
luka/lesi pada kulit luka
3. Perfusi jaringan 5. Informasikan kepada pasien 5. Mencegah infeksi terjadi
baik dan keluarga mengenai tanda-
4. Mampu melindungi tanda infeksi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit
3. Ketidakseimban Setelah NOC: Nutritional status NIC:
gan nutrisi dilakukan Indikator: Nutrition monitoring
kurang dari tindakan 1. Mampu 1. Monitor berat badan pasien 1. Memantau perkembangan berat
kebutuhan keperawatan mengidentifikasi badan pasien
berhubungan 1x24 jam nutrisi kebutuhan nutrisi 2. Monitor tipe dan jumlah 2. Aktivitas dapat membuat
dengan pasien dapat 2. Tidak terdapat aktivitas yang biasa dilakukan metabolisme meningkat
gangguan terpenuhi tanda-tanda 3. Monitor kulit kering dan 3. Memantau hidrasi
keseimbangan malnutrisi perubahan pigmentasi
insulin, makanan 4. Monitor lingkungan selama 4. Lingkungan dapat
dan aktivitas makan mempengaruhi motivasi untuk
jasmani makan
5. Monitor turgor kulit 5. Monitor hidrasi
5. Risiko syok Setelah NOC: Shock Prevention NIC:
berhubungan dilakukan Indikator: Shock prevention
dengan tindakan Irama jantung, nadi, 1. Monitor sirkulasi 1. Memantau keadekuatan
sirkulasi darah
kehilangan keperawatan frekuensi napas, irama 2. Monitor tanda inadekuat 2. Mencegah hipoksia jaringan
cairan dan 1x24 jam tidak pernapasan dalam batas oksigenasi jaringan
elektrolit dalam terdapat tanda yang diharapkan 3. Monitor input dan output 3. Memantau keseimbangan tubuh
sel gejala syok 4. Monitor tanda awal syok 4. Pencegahan komplikasi lebih
lanjut
5. Kolaborasi pemberian cairan 5. Rehidrasi
IV dengan tepat
6. Risiko infeksi Setelah NOC: Risk contol NIC:
berhubungan dilakukan 1. Pasien mampu Infection control
dengan tindakan mampu 1. Bersihkan lingkungan setelah 1. Mencegah infeksi silang
penurunan keperawatan mengidentifikasi dipakai pasien lain
antibodi 1x24 jam tanda dan gejala 2. Batasi pengunjung 2. Mencegah penyebaran
infeksi dapat infeksi bakteri/kuman dari luar
dihindari 2. TTV dalam batas 3. Cuci tangan sebelum dan 3. Mencegah infeksi nosokomial
normal sesudah melakukan tindakan
4. Beri penjelasan kepada pasien 4. Pencegahan segera komplikasi
tanda dan gejala infeksi lebih lanjut
5. Kolaborasi pemberian 5. Mencegah penyebaran infeksi
antibitok
E. Discharge Planning
1. Kaji kemampuan klien untuk meninggalkan RS
2. Kolaborasikan dengan terapis, dokter, ahli gizi, atau petugas kesehatan lain
tentang kebelanjutan perawatan klien di rumah
3. Identifikasi bahwa pelayanan kesehatan tingkat pertama (puskesmas atau
petugas kesehatan di rumah klien) mengetahui keadaan klien
4. Identifikasi pendidikan kesehatan apa yang dibutuhkan oleh klien meliputi:
cara pemberian terapi insulin mulai dari persiapan alat sampai penyuntikan
dan lokasi; memonitor atau memeriksa glukosa darah dan glukosa dalam
urine; perencanaan diet, buat jadwal; perencanaan latihan, jelaskan dampak
latihan dengan diabetik; cara untuk mencegah hiperglikemi dan hipoglikemi
dan infomasikan gejala gejala yang muncul dari keduanya; cara mencegah
infeksi : kebersihan kaki, hindari perlukaan, gunakan sikat gigi yang halus.
5. Komunikasikan dengan klien tentang perencanaan pulang
6. Dokumentasikan perencanaan pulang
7. Anjurkan klien untuk melakukan pengontrolan kesehatan secara rutin
DAFTAR PUSTAKA

Corwin,Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : EGC

Gleadle, Jonathan. 2007. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Penerbit Erlangga

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Aesculapius

Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing

Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing.

Priguna, Sidharta. 1996. Sakit Muskuloskeletal dalam Praktik. Jakarta: Dian


Rakyat.

Price SA, Wilson LM. 1995. Fisiologi Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-4.
Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2.


Jakarta: EGC.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.


Tjockroprawiro, A. 2010. Rumus Klinis Praktis: Diabetologi-Endokrionologi-
Metabolisme Bidang Penyakit dam Fokus: Diabetes. Surabaya: PERKENI
Cabang Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai