Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan irama jantung disebut juga sebagai disritmia atau aritmia
jantung, Fibrilasi atrium (FA) merupakan gangguan irama jantung (aritmia)
yang paling banyak ditemukan di masyarakat maupun di rumah sakit, serta
paling sering menyebabkan rawat inap sekitar sepertiga dari kasus rawat inap
gangguan irama jantung. Kejadian fibrilasi atrium meningkat seiring dengan
pertambahan usia, sekitar 0,5% pada pasien berusia 50-59 tahun dan 8,8% pada
usia 80-89 tahun, angka kejadian fibrilasi atrium lebih banyak ditemukan pada
pria dibandingkan pada wanita (Dinarti, 2009).
Data dari studi observasional (MONICAmultinational MONItoring of
trend and determinant in CArdiovascular disease) pada populasi urban di
Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data
di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan
bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat setiap
tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3%
(2012) dan 9,8% (2013) (Widyaningsih, 2011).
Menurut analisis Framingham, fibrilasi atrium memiliki risiko besar
untuk terjadinya peningkatan mortalitas yaitu 1,5 – 2 kali lebih besar di
bandingkan yang tidak mengalami fibrilasi atrium dan mengakibatkan
peningkatan morbiditas termasuk stroke. Stroke merupakan salah satu
komplikasi FA yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh
FA mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat
FA ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat
lebih tinggi (Yansen, 2013).
Fibrilasi atrium merupakan penyebab paling sering terjadinya stroke
emboli yang disebabkan oleh trombus yang terbentuk di atrium. Trombus
terbawa ke aliran darah sistemik sebagai emboli yang dapat menyumbat aliran
darah otak. Risiko terjadinya stroke lima kali lebih besar dibandingkan dengan
faktor risiko stroke yang lain seperti Penyakit Jantung Koroner (PJK),
hipertensi dan gagal jantung kongestif (Hardin, 2008).
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di negara maju sedangkan
di Indonesia sendiri Stroke merupakan penyakit utama yang dapat
menyebabkan cacat dan kematian (Lumbantobing, 2003). Stroke adalah suatu
manifestasi klinis gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit
neurologis dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yaitu hipertensi,
diabetes mellitus, jenis kelamin dan usia (Sudoyo, 2009). Secara garis besar
stroke yang sering terjadi adalah stroke iskemik, penyebab stroke iskemik
banyak diakibatkan oleh kardioemboli karena emboli yang berasal dari jantung
dan dapat mengganggu aliran darah ke otak (Nurimaba, 2010).
Terdapat penelitian tentang hubungan fibrilasi atrium sebagai faktor
risiko kejadian stroke non hemoragik di bagian saraf RSUD DR SOEDARSO
Pontianak tahun 2015 oleh Agnes Widyaningsih dengan hasil didapatkan
fibrilasi atrium sebagai faktor risiko terjadinya stroke iskemik dimana terdapat
16 pasien yang mengalami fibrilasi atrium, 13 diantaranya juga mengalami
stroke iskemik. Penelitian di RS Binawaluya Jakarta oleh arif budirahman tahun
2008 menyatakan angka kejadian fibrilasi atrium adalah sebanyak 59,1% dari
137 populasi, karena banyaknya angka kejadian fibrilasi atrium peneliti ingin
meneliti hubungan fibrilasi atrium dengan angka kejadian stroke iskemik di
RSPAD Gatot Soebroto.

1.2 Perumusan Masalah


Stroke merupakan penyakit utama yang dapat menyebabkan cacat dan
kematian di Indonesia, salah satu bentuk patologi stroke adalah stroke emboli
yang disebabkan oleh bermacam - macam penyebab. Fibrilasi atrium
merupakan penyebab paling sering terjadinya stroke emboli. Penelitian
mengenai hubungan Fibrilasi atrium dengan angka kejadian stroke non
hemoragik sudah dilakukan oleh peneliti lainnya, tetapi pada penelitian tersebut
tidak menyertakan atau tidak mengeksklusi faktor risiko lain dari stroke non
hemoragik yang dapat menyebabkan sebagai faktor perancu dalam penelitian,
dengan demikian peneliti ingin membuktikan faktor risiko apa yang paling
berpengaruh dalam kejadian stroke non hemoragik? Diantara faktor risiko
fibrilasi atrium, hipertensi, diabetes mellitus dan jenis kelamin.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui berapa angka kejadian stroke non hemoragik di unit
stroke RSPAD Gatot Soebroto periode Januari – Desember 2014
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan fibrilasi atrium dengan angka kejadian Stroke
non hemoragik di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta periode
Januari – Desember 2014
2. Untuk mengetahui hubungan hipertensi dengan angka kejadian Stroke non
hemoragik di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta periode Januari –
Desember 2014
3. Untuk mengetahui hubungan diabetes mellitus dengan angka kejadian
Stroke non hemoragik di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta periode
Januari – Desember 2014
4. Untuk mengetahui hubungan jenos kelamin dengan angka kejadian Stroke
non hemoragik di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta periode
Januari – Desember 2014
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk menambah ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan. Penelitian ini juga diharapkan dapat
menambah informasi tentang pengaruh Fibrilasi atrium dengan Stroke iskemik.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Manfaat untuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta
Mendapat informasi dari hasil penelitian tentang banyaknya angka
kejadian stroke iskemik yang di akibatkan oleh Fibrilasi atrium dan adanya
faktor resiko bagi penderita Aritmia untuk menjadi stroke iskemik, sebagai
antisipasi kesehatan pasien yang berobat ke RSPAD Jakarta
2. Manfaat untuk masyarakat umum
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat
mengenai penyakit fibrilasi atrium dan stroke, sehingga masyarakat lebih
waspada dan dapat mencagah faktor resiko terhadap penyakit fibrilasi atrium
3. Manfaat untuk penulis di bidang akademik
Penelitian ini diharapkan memberikan bukti data secara empiris
mengenai faktor risiko fibrilasi atrium, serta memberikan informasi bagi
lembaga atau institusi kesehatan untuk mengetahui faktor risiko fibrilasi atrium,
sehingga dapat mengatasi faktor risiko tersebut lebih dini. Penelitian ini juga
sebagai syarat dalam menyelesaikan pendidikan akademik bagi peneliti
4. Manfaat untuk perkembangan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian
pustaka untuk peneliti selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka


II.1.1 Stroke
II.1.1.1 Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi
klinis dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh yang
berlangsung dengan cepat, lebih dari 24 jam, tanpa ditemukannya penyebab
selain gangguan vaskular (Aliah, 2007).
Stroke adalah manifestasi klinis dari defisit neurologis yang mendadak
dan disebabkan oleh gangguan vaskular (smith, 2010).
Gejala neurologi fokal adalah gejala-gejala yang muncul akibat
gangguan di daerah yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi. Misalnya,
kelemahan unilateral akibat lesi di traktus kortikospinalis. Gangguan non fokal
atau global misalnya gangguan kesadaran sampai koma. Gangguan non fokal
tidak selalu disebabkan oleh stroke (Gofir, 2009).

II.1.1.2 Etiologi
1. Penyebab terjadinya stroke iskemik antara lain :
a. Penurunan aliran darah sistemik
b. Thrombosis
c. Emboli serebral yang berasal dari jantung (kardioemboli), aorta dan
proksimal arteri (intra-arterial), serta system vena (smith, 2010)
2. Penyebab stroke hemoragik antara lain:
a. Penyebab tersering adalah hipertensi
b. Malformasi vaskular (caplan, 2009)
II.1.1.3 Klasifikasi
Stroke dibagi berdasarkan patologinya menjadi stroke iskemik dan stroke
hemoragik, angka kejadian stroke iskemik lebih besar dibandingkan dengan
stroke hemoragik (vander worp and van gijn, 2007).
1. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan atau Stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak
terkontrol di otak.
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim
otak dan bukan disebabkan oleh trauma (Aliah,2007).
b. Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Keadaan terdapatnya atau masuknya darah kedalam ruang subaraknoid
(Aliah, 2007)
2. Stroke Iskemik
a. Stroke akibat trombosis serebri
b. Emboli serebri
c. Hipoperfusi sistemik

Stroke berdasarkan waktu terjadinya dapat dibagi dalam 4 bentuk klinis :


a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Gangguan akut fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang
dari 24 jam dan disebabkan oleh trombus atau emboli, bisa sembuh kembali
(Muir, 2010).
b. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
Gejala neurologisnya akan menghilang tetapi waktu yang dibutuhkan lebih
lama yaitu lebih dari 24 jam, bahkan sampai 21 hari (Gofir,2009).
c. Stroke in Evolution (progressing stroke)
Pada bentuk ini gejala/tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48
jam (Gofir, 2009).
d. Completed Stroke Non-Hemorrhagic
Kelainan neurologis yang sifatnya menetap tidak berkembang lagi (Aliah,
2007).

II.1.1.4 Faktor Risiko


Faktor risiko timbulnya stroke dibagi dalam faktor risiko yang tidak
dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah (Ropper dan Brown, 2005) :
1. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko yang dapat diubah, dibagi menjadi dua yaitu yang
berhubungan dengan kondisi kesehatan dan faktor yang berhubungan dengan
pola hidup. Faktor risiko yang berhubungan dengan kondisi kesehatan
diantaranya hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung ( infark miokard dan
fibrilasi atrium), hiperlipidemia. Sedangkan yang berhubungan dengan pola
hidup diantaranya merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, kurangnya
aktivitas fisik dan obesitas (Ropper dan Brown, 2005).
Faktor risiko yang dapat dikendalikan :
a. Hipertensi
Hipertensi menurut JNC (Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment on High Blood Pressure) VII
didefinisikan sebagai keadaan dimana tekanan darah lebih dari 140/90
mmHg, merupakan faktor risiko yang dapat diubah dan sangat penting untuk
stroke. Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk stroke baik iskemik
maupun hemoragik di Amerika Serikat (Fields et al, 2004). Makin tinggi
tekanan darah, makin besar risiko untuk mengalami stroke (Lewington et al,
2002).
Hipertensi kronik akan menyebabkan perubahan struktur arteri dan
arterial sistemik, terutama pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula
akan terjadi hipertrofi dari tunika media diikuti dengan hialinisasi setempat
dan penebalan fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan terjadi
penyempitan pembuluh darah. Hipertensi juga merupakan salah satu
penyebab jejas endotel selain karena hiperkolesterolemia, diabetes mellitus,
rokok dan infeksi kronis (Ropper dan Brown, 2005).
Jejas endotel kronik atau berulang merupakan hal pokok yang
mendasari terbentuknya aterosklerosis. Endotel yang rusak menyebabkan
timbulnya agregrasi trombosit. Trombosit akan melepaskan enzim, adenosin
difosfat yang mengawali mekanisme koagulasi. Sumbatan fibrinotrombosit
ini dapat terlepas dan membentuk emboli atau dapat tetap tinggal di tempat
dan menjadi trombus yang merupakan penyebab tersering pada stroke. Dari
hasil penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa hipertensi dijumpai
pada 50%-70% pasien stroke. Terapi hipertensi sangat diperlukan untuk
mengurangi risiko stroke. Dari beberapa studi menyebutkan bahwa terapi
hipertensi jangka panjang dapat mengurangi risiko stroke sebesar 38 %
(Aliah, 2007)
b. Penyakit Jantung (Infark Miokard dan Fibrilasi Atrium)
Kurang lebih 3-4 % orang yang memiliki infark miokard akan
mengalami stroke emboli. Seorang penderita dengan fibrilasi atrium
memiliki risiko enam kali lipat untuk mengalami stroke. Hal ini didasari oleh
adanya aterosklerosis yang merupakan suatu kelainan paling mendasar pada
infark miokard maupun stroke iskemik. Infark miokard akan menyebabkan
kerusakan dinding jantung atau fibrilasi atrium yang persisten, yang akan
menyebabkan pembentukan trombus. Lepasnya trombus akan menjadi
emboli dan dapat menyebabkan sumbatan pembuluh darah otak (Ropert dan
Brown, 2005).
c. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus didefinisikan sebagai keadaan dimana kadar gula
darah puasa 126 mg/dL atau lebih besar yang diukur dalam dua kesempatan
pada hari yang berlainan. Dari hasil sebuah studi kasus kontrol menunjukkan
bahwa seseorang dengan diabetes mellitus memiliki risiko 1,6 sampai 8 kali
lipat mengalami stroke iskemik daripada penderita tanpa diabetes mellitus
(AHA, 2006). Seseorang dengan diabetes mellitus memiliki risiko yang
tinggi untuk mengalami aterosklerosis dan faktor risiko aterogenik
(misalnya: hipertensi dan abnormalitas lipid darah). Hiperglikemi kronis
akan menimbulkan glikolisasi protein-protein dalam tubuh. Bila hal ini
berlangsung lama, akan terjadi AGES (advanced glycosylate end products)
yang toksik untuk semua protein. AGE protein yang terjadi diantaranya
terdapat pada reseptor makrofag dan reseptor endotel. AGE reseptor di
makrofag akan meningkatkan produksi TNF (tumor necrosis factors), ILI
(interleukine-I), IGF-I (Insuline like growth factors-I). Produk ini akan
memudahkan proliferasi sel dan matriks pembuluh darah. AGE Reseptor
yang terjadi di endotel menaikkan produksi faktor jaringan endotelin-I yang
dapat menyebabkan kontriksi pembuluh darah dan kerusakan pembuluh
darah (AHA, 2006).
Sistem serebrovaskular terdiri dari arteri besar (makrovaskular) dan
kecil (mikrovaskular). Komponen arteri besar diantaranya segmen
ekstrakranial dan intrakranial dari arteri karotis dan vertebra, sedangkan
komponen arteri kecil diantaranya komponen dari sirkulus Willisi (arteri
basiler, serebri media, serebri anterior dan serebri posterior). Oklusi arteri
kecil bisa disebabkan oleh proses degeneratif pada pembuluh darah,
misalnya mikroateroma dan lipohialinosis. Diabetes mellitus menyebabkan
komplikasi baik mikrovaskular ataupun makrovaskular. Diabetes mellitus
mempercepat perkembangan aterosklerosis pada arteri karotis. Sebuah studi
cohort yang telah dilakukan terhadap 1192 laki-laki dan perempuan yang
diteliti selama 5 tahun, menunjukkan bahwa penebalan tunika intima dan
tunika media arteri karotis lebih cepat dua kali lipat pada subyek dengan
diabetes mellitus daripada subyek tanpa diabetes mellitus (Wagenknecht et
al, 2003).
Aterosklerosis pada komponen arteri besar intrakranial dapat
menyebabkan lesi stenosis pada arteri yang menyusun sirkulus Willisi, hal
ini kira-kira terjadi pada 10% kasus stroke iskemik. Diabetes mellitus juga
mempengaruhi prognosis stroke. Suatu studi di Copenhagen menunjukkan
bahwa pasien dengan diabetes mellitus mengalami pemulihan neurologik
yang lebih lambat daripada pasien tanpa diabetes mellitus. Oleh karena itu
diperlukan kontrol diabetes mellitus secara intensif baik farmakologi
ataupun modifikasi sikap penderita untuk mencegah komplikasi baik
mikrovaskular ataupun makrovaskular. Terapi intensif diabetes mellitus
dapat menurunkan risiko stroke, infark miokard dan angina sampai 42%
(AHA, 2006).
d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia didefinisikan sebagai kondisi dimana kadar kolesterol
total lebih atau sama dengan 240 mg/dl. Kadar kolesterol darah dipengaruhi
oleh makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet). Faktor lainnya
yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol darah disamping diet adalah
faktor keturunan, umur, jenis kelamin, obesitas, stress, alkohol dan aktifitas
fisik. Kadar kolesterol yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Hubungan antara kadar
kolesterol darah dengan stroke merupakan suatu hal yang komplek. Kadar
kolesterol tinggi diduga berhubungan dengan peningkatan terjadinya stroke
iskemik. Belum terdapat suatu penelitan yang menunjukkan hubungan pasti
antara peningkatan kolesterol dengan insidensi stroke. Terapi dengan
menggunakan statin (obat penurun kolesterol) menunjukkan adanya
penurunan risiko stroke dengan cara menstabilisasi plak aterosklerosis.
Selain diperlukan terapi farmakologi, perubahan gaya hidup juga sangat
dianjurkan untuk mengontrol kadar kolesterol darah (Ropper dan Brown,
2005).

Faktor risiko yang dapat diubah :


a. Merokok
Merokok adalah faktor risiko potensial terjadinya stroke iskemik.
Merokok meningkatkan risiko stroke melalui efek terbentuknya trombus dan
pembentukan aterosklerosis pada pembuluh darah (Burns, 2003).
b. Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko untuk stroke,
diabetes mellitus, obesitas, hipertensi, osteoporosis dan depresi (Taylor et al,
2004, Shephard, 2001). Aktivitas moderat-berat seperti berjalan, berkebun,
berenang, aerobik dalam waktu rata-rata 30 menit setiap hari dapat
mengurangi risiko stroke (Pearson et al, 2002).
c. Konsumsi alkohol berlebih
Insidensi stroke iskemik pada orang yang mengonsumsi alkohol
dalam jumlah kecil (rata-rata 1-2 gelas per hari) lebih rendah dari pada orang
yang tidak mengonsumsi alkohol. Hal ini dikarenakan efek proteksi dari
alkohol, yang berdasarkan sebuah studi mampu menurunkan penyakit
jantung koroner. Mengonsumsi terlalu banyak alkohol (lebih dari 5 gelas per
hari) merupakan faktor risiko yang signifikan untuk stroke iskemik maupun
hemoragik (Pearson et al, 2002).
d. Obesitas
Obesitas adalah keadaan dimana indeks massa tubuh > 25 kg/m2.
Obesitas merupakan faktor risiko untuk diabetes, hipertensi, serta
hiperkolesterolemia (Mokdad et al, 2003). Suatu studi menunjukkan bahwa
peningkatan berat badan berhubungan dengan peningkatan risiko stroke
(Song et al, 2004).
2. Faktor resiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko yang tidak dapat diubah diantaranya usia yang meningkat,
jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, riwayat TIA (Transient Ischemic
Attack) atau stroke, penyakit jantung koroner dan fibrilasi atrium (Ropper dan
Brown, 2005).
Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi :
a. Usia
Risiko stroke meningkat dua kali lipat ketika seseorang berusia lebih
dari 55 tahun, begitupun angka kematian akibat stroke meningkat seiring
bertambahnya usia. Stroke paling sering terjadi pada usia lebih dari 65 tahun,
tetapi jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun (Japardi, 2002).
b. Jenis Kelamin
Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi
stroke pada wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen
yang berfungsi sebagai proteksi pada proses aterosklerosis (Japardi, 2002).
c. Ras
Berdasarkan suatu studi yang telah dilakukan di USA, warga Afrika-
Amerika memiliki risiko 60 % untuk menderita stroke dan mengalami
disabilitas fisik yang lebih berat paska stroke (Japardi, 2002).
d. Riwayat keluarga
Seorang individu yang memiliki orang tua atau kakek-nenek yang
mengalami stroke memiliki risiko lebih besar untuk menderita stroke
dibanding individu yang tidak memiliki riwayat stroke dalam keluarganya
(Japardi, 2002).
e. Riwayat Stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack) sebelumnya
Definisi Transient Ischemic Attack (TIA) adalah episode singkat
disfungsi neurologi yang disebabkan oleh gangguan fokal dari otak atau
iskemi retina dengan gejala klinik kurang dari 1 jam dan tidak ditemukan
adanya infark. Lebih dari 70% pasien dengan TIA memiliki 40 % risiko
untuk mengalami stroke dalam 2 tahun pertama (Japardi, 2002).

II.1.1.5 Patofisiologi Stroke


1. Stroke Iskemik
Tiga mekanisme utama yang menyebabkan stroke adalah trombosis,
emboli dan iskemia global (stroke hipotensi). Pada beberapa kasus, stroke bisa
disebabkan oleh vasospasme (paska perdarahan subarakhnoid, hipertensi
ensefalopati) dan beberapa bentuk arteritis (Shah, 2008).
Trombosis
Trombosis merupakan penyebab stroke yang paling sering, 50 % stroke
iskemik disebabkan oleh adanya trombosis. Obstruksi pembuluh darah bisa
disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh
darah otak atau pembuluh darah organ distal. Trombus dapat terjadi pada
pembuluh darah besar termasuk sistem arteri karotis atau pembuluh darah kecil
termasuk cabang dari sirklus Willisi dan sirkulasi posterior. Penyebab tersering
dari stroke trombus adanya plak aterosklerosis. Penyebab lain yang dapat
menyebabkan trombosis meliputi keadaan hiperkoagulasi, arteritis (Giant Cell
dan Takayasu), displasia fibromuskular dan diseksi dinding pembuluh darah
(Shah, 2008).
Trombosis yang terdapat pada pembuluh darah kecil yang merupakan
salah satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus Willisi, arteri serebri media,
arteri vertebralis atau arteri basilaris akan menghasilkan infark lakunar.
Insidensi infark lakunar adalah 10%-30% dari semua jenis stroke. Sumbatan
pada arteriol kecil ini paling sering disebabkan oleh hipertensi kronis (Japardi,
2002).

Emboli
Stroke emboli dapat disebabkan oleh sumbatan pembuluh darah oleh
suatu emboli, yaitu sebuah partikel atau debris yang berjalan terbawa aliran
darah yang berasal dari pembuluh darah mana saja. Emboli paling sering
merupakan suatu trombus yang terlepas, dapat juga berupa lemak , udara, tumor
atau metastasis, kumpulan bakteri seperti pada endokarditis infektif dan benda
asing. Target paling sering dari emboli adalah cabang superfisial dari arteri
serebri ataupun serebelli. Emboli paling sering tersangkut di arteri serebri
media, karena 80% darah yang dibawa arteri karotis mengalir melalui arteri
serebri media (smith, 2010).
Sumber embolisasi tidak hanya dapat terletak di arteri karotis atau
vertebralis, akan tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskular sistemik
diantaranya meliputi (Mardjono, 2008):
1. Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau arteria vertebralis, dapat
berasal dari plak aterosklerotik atau dari trombus yang melekat pada intima
arteri.
2. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada :
a. Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel.
b. Penyakit jantung reumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis
c. Fibrilasi atrium
d. Infark kordis akut
3. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi pada :
a. Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru
b. Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti pada penyakit ”caisson”)

Iskemia global atau stroke hipotensi


Berkurangnya tekanan darah sistemik karena berbagai sebab
bertanggungjawab atas terjadinya stroke hipotensi atau iskemia global. Iskemia
global ini biasanya disebabkan oleh kegagalan pompa jantung pada cardiac
arrest atau aritmia, atau karena berkurangnya cardiac output seperti pada infark
miokard, emboli paru, efusi perikard. Iskemia global menyebabkan kerusakan
sebagian besar area otak termasuk area yang disebut “watershed area” yaitu
area diantara wilayah pendarahan dua arteri serebri dan serebelli. Infark pada
area ini akan menyebabkan gejala klinik berupa paralisis dan kehilangan sensasi
terutama pada lengan. Angka kejadian infark pada area ini kira-kira sebesar
10% dari semua jenis stroke dan hampir 40% terjadi pada pasien dengan oklusi
atau stenosis karotis (Smith, 2010).
Infark serebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis dan
arteriosklerosis. Aterosklerosis dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis
dengan cara :
a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan menyebabkan berkurangnya aliran
darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah
c. Terbentuknya thrombus dan terlepas sebagai emboli
d. Menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah yang kemudian dapat
menjadi robek (Aliah dkk, 2007)
Keadaan yang dapat menyebabkan sumbatan atau tertutupnya aliran
darah otak baik sebagian atau seluruh lumen pembuluh darah otak adalah :
a) Perubahan patologis pada dinding arteri pembuluh darah otak menyebabkan
trombosis yang diawali oleh proses aterosklerosis di tempat tersebut.
b) Perubahan dimana tekanan perfusi sangat menurun karena sumbatan pada
pembuluh darah seperti sumbatan arteri karotis atau vertebrobasilar.
c) Perubahan akibat perubahan sifat darah, misalnya sickle-cell, leukemia,
polisitemia, hemoglobinopati, makro globulinemia dan anemia.
d) Tersumbatnya pembuluh darah akibat emboli daerah proksimal misalnya
emboli jantung (Aliah dkk, 2007).
Ketika arteri tersumbat secara akut oleh thrombus atau embolus dan tidak
ada perdarahan kolateral yang adekuat, maka area sistem saraf pusat yang
diperdarahi akan mengalami infark (Ginsberg, 2005).
Emboli yang menyumbat pembuluh darah ke otak akan mengurangi atau
menghentikan aliran darah ke bagian distal dari sumbatan. Aliran darah otak
yang normal ialah sekitar 50-55 ml/ 100 gr otak/ menit (Lumbantobing, 2004).
Sejalan dengan berkurangnya aliran darah, fungsi neuron akan terganggu dalam
dua tahap (Smith et al, 2010).
Penurunan aliran darah otak dibawah titik kritis, sekitar 18 ml/ 100 gr
otak/ menit, akan terjadi kehilangan fungsi elektrisitas neuron. Tahap ini
merupakan tahap yang reversibel (Setyopranoto, 2011).
Tahap berikutnya merupakan tahap ireversibel. Tahap ini terjadi
beberapa menit setelah aliran darah otak menurun dibawah titik kritis yang
kedua, yaitu 10 ml/100 gr otak/ menit. Pada kondisi tersebut, metabolisme
aerobic mitokondria mengalami kegagalan dan digantikan dengan metabolism
anaerobic yang kurang memadai dalam menghasilkan energi (Setyopranoto,
2011).
Defisit energi tersebut menyebabkan kegagalan homeostasis ion selular.
Kondisi ini akan menyebabkan refluks kalium dari dalam sel dan influks
natrium serta air ke dalam sel. Kalsium juga memasuki sel dan memperburuk
kerusakan mitokondria. Kehilangan homeostasis ion selular tersebut akan
menyebabkan kematian sel (Ropper and Brown, 2005)
Identifikasi dari dua tahap kegagalan fungsi neuron tersebut telah
melahirkan konsep iskemik penumbra, yaitu daerah pada otak yang telah
mencapai tahap kerusakan reversibel dimana terdapat kegagalan elektrik neuron
tetapi belum memasuki tahap ireversibel (Smith et al, 2010) dan fungsinya
dapat pulih jika aliran darah kembali normal (Ginsberg, 2005). Daerah ini
memiliki tingkat aliran darah otak antara 8-18 ml/100 gr/menit (Lumbantobing,
2004).
Berdasarkan konsep tersebut, jaringan iskemik penumbra dapat
diselamatkan dengan memberikan agen penghancur trombus, sehingga perfusi
ke otak kembali normal atau dengan memberikan agen yang dapat melindungi
neuron yang rentan tersebut dari kerusakan yang lebih parah atau kombinasi
dari keduanya (Smith et al, 2010). Jaringan otak mungkin dapat bertahan sekitar
5-6 jam (Ropper and Brown, 2005).
Menurut smith et al (2010) kematian neuron otak dapat dikarenakan dua
hal, yaitu :
a. Necrotic pathway, dimana terjadi kerusakan sitoskeletal yang cepat yang
diakibatkan oleh kegagalan energi sel.
b. Apoptotic pathway, dimana neuron terprogram untuk mati.
2. Stroke Hemoragik
Ada 2 tipe utama pendarahan otak yang dapat menimbulkan serangan
stroke :
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Tujuh puluh kasus PIS terjadi di kapsula interna, 20% di fossa posterior
dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna) (Aliah, 2007)
Pendarahan intraserebral spontan pada pasien tanpa riwayat anomali
vaskular biasanya berhubungan dengan hipertensi. Terjadi tiba-tiba tanpa
peringatan, sering saat aktivitas (Aliah, 2007).
Gambaran patologis menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya
pembuluh darah otak, diikuti pembentukan edema dalam jaringan otak
disekitar hematoma. Apabila hematoma membesar, kerusakan struktur otak
dan peningkatan tekanan intracranial dapat nyeri kepala, muntah, dan
penurunan kesadaran (Chung and caplan, 2007). Dapat pula iskemik pada
jaringan yang di perdarahinya karena ada desakan dari edema jaringan atau
hematoma tersebut (Aliah dkk,2007).
b. Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Walaupun pendarahan ini biasanya disebabkan rupturnya aneurisma
arterial dan malformasi vaskular, tidak ditemukan penyebab spesifik pada
20% kasus. Rupture aneurisma mencapai 85% kasus dan sisanya merupakan
malformasi vascular (Chung and caplan, 2007).

II.1.1.6 Gejala Klinis


Menurut Gofir (2009) gejala neurologis yang timbul tergantung berat
ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Manifestasi klinik stroke
dapat berupa :
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan yang timbul mendadak. Keparahan
kelumpuhan tidak mengindikasikan tingkat keparahan dan prognosisnya (Muir,
2010).
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
3. Perubahan mendadak status mental
4. Afasia
5. Disartria
6. Gangguan penglihatan
7. Ataksia
8. Vertigo, mual, muntah, nyeri kepala (Gofir, 2009).

II.1.1.7 Diagnosis Stroke


1. Temuan klinis
a. Anamnesis : terjadinya keluhan/gejala defisit neurologis mendadak tanpa
trauma kepala, adanya faktor risiko stroke.
b. Pemeriksaan fisik : adanya neurologis fokal dan ditemukannya faktor risiko
stroke (Alilah dkk, 2009)
2. Pemeriksaan tambahan/ Laboratorium
a. Computed Tomograohy (CT) scan/ Magnetic Resonance Imaging :
memperkuat diagnosis, menentukan jenis patologi, lokasi lesi, ukuran lesi
dan menyingkirkan lesi non vaskular.
b. Angiografi serebral : untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang
pembuluh darah yang terganggu.
c. Pemeriksaan Liquor Cerebro Spinalis (LCS) membantu membedakan infark
dan perdarahan otak (pendarahan intraserebral maupun subaraknoidal)
3. Pemeriksaan lain-lain
a. Darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, erotrosit, laju endap darah),
hitung jenis.
b. Komponen kimia darah, gas, elektrolit.
c. Doppler, Elektrokardiogram (EKG) (Aliah dkk, 2007)

II.1.1.8 Pencegahan Stroke


Rekurensi dapat dicegah dengan memodifikasi faktor risiko (Chung and
Caplan, 2007). Manipulasi diet dan penggunaan obat-obat penurun kolesterol,
misalnya paravastatin (Ginsberg, 2005). Sejak tahun 1970, penelitian kohort
berskala besar memberikan informasi tentang faktor-faktor risiko stroke, yang
banyak diantaranya dapat dicegah baik dengan pola hidup sehat maupun obat
(Gofir, 2009).
Terapi anti platelet diindikasikan untuk seumur hidup, diberikan sedini
mungkin setelah terjadi infark serebri. Dosis awal aspirin (300mg per hari)
dapat diturunkan menjadi 75 mg per hari setelah 4 minggu. Stroke pada pasien
dengan fibrilasi atrium lebih parah dari pada stroke karena sebab lainnya
(Zimetbaum and Falk, 2007). Maka pencegahan stroke pada pasien fibrilasi
atrium sangat penting. Pada fibrilasi atrium dan penyakit jantung lain yang
dapat menjadi sumber emboli, dapat diberi profilaksis antikoagulan dengan
warfarin (Ginsberg, 2005; Krause, 2010).
Menurut beberapa penelitian meta-analysis menunjukkan pemberian
antikoagulan dengan dose-adjusted sangat manjur untuk pencegahan stroke
iskemik atau hemoragik, dengan penurunan faktor risiko sebesar 61%
(Zimetbaum, 2007). Antikoagulan dengan Vitamin K antagonis warfarin sudah
sejak 50 tahun digunakan dan efektif untuk pencegahan stroke pada risiko
sedang sampai tinggi dengan fibrilasi atrium. Data menunjukkan dengan dose-
adjused warfarin menunjukkan risiko stroke 68%. Pada populasi pasien yang
sama, aspirin menurunkan risiko stroke sebesar 21%. Walaupun warfarin
efektif untuk pencegahan stroke sedang hingga tinggi dengan fibrilasi atrium,
warfarin memiliki interaksi yang rumit dengan beberapa makanan dan obat lain,
metabolism yang berubah-ubah, onsetnya lambat dan menuntut pemantauan
yang teratur (Prasad et al, 2012).
II.1.2 Fibrilasi Atrium
II.1.2.1 Definisi
Fibrilasi atrium (FA) merupakan bentuk aritmia yang sering terjadi
(Zimetbaum, 2007). Aritmia sendiri didefinisikan sebagai abnormalitas detak
jantung atau irama jantung yang disebabkan karena gangguan impuls
(automacity, triggered automacity) atau konduksinya (re-entry) (Iwai et al,
2005).
Pada FA terjadi eksitasi dan recorvery yang sangat tidak teratur dari
atrium. Impuls listrik yang timbul dari atrium sangat cepat dan tidak teratur
(Josephson, 2005). Biasanya hanya sebagian kecil dari impuls tersebut sampai
di ventrikel karena dihambat oleh nodus atrioventrikuler (AV) untuk
melindungi ventrikel, supaya denyut ventrikel tidak terlalu cepat (Trisnohadi,
2007). Fibrilasi atrium dapat berlangsung sebentar atau menetap. Fibrilasi
atrium merupakan takiaritmia yang ditandai dengan tidak terkoordinasinya
aktivitas atrium akibat kerusakan mekanik atrium (Josephson, 2005)

II.1.2.2 Etiologi
Etiologi fibrilasi atrium menurut Nasution dan Ismail (2006) dapat dibagi
berdasarkan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan kejadian fibrilasi atrium
antara lain :
1. Penyakit jantung yang berhubungan dengan FA
a. Penyakit jantung koroner (PJK)
b. Kardiomiopati dilatasi
c. Kardiomiopati hipertrofik
d. Penyakit Katup Jantung Reumatik (RHD/PJR) dan non reumatik
e. Aritmia jantung
f. Perikarditis
2. Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan FA
a. Hipertensi sistemik
b. Diabetes Mellitus
c. Hipertiroidisme
d. Penyakit paru
e. Neurogenik

II.1.2.3 Klasifikasi
Menurut Nasution dan Ismail (2006) klasifikasi Fibrilasi Atrium (FA) yaitu :
1. Fibrilasi atrium paroksismal merupakan FA yang berlangsung kurang dari 7
hari. Lima puluh persen FA paroksismal akan kembali ke irama sinus secara
spontan dalam waktu 24 jam.
2. Fibrilasi atrium persisten merupakan FA yang menetap lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 7 hari
3. Fibrilasi atrium kronik atau permanen yaitu yang berlangsung lebih dari 7 hari.
Rosenthal et al (2012) menambahkan lone fibrilasi atrium. Istilah ini
digunakan untu pasien FA dibawah 60 tahun yang tidak ada riwayat kelainan
jantung dan pada ekokardiografinya normal.

II.1.2.4 Patofisiologi Fibrilasi Atrium


Fibrilasi atrium dimulai dengan adanya aktifitas listrik cepat yang
berasal dari lapisan muscular vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung
terus dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multiple. Pada awalnya FA
akan timbul secara kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik yang
selanjutnya akan membuat FA permanen. Awalnya perubahan ini reversibel.
Apabila FA berlangsung lama, akan menjadi permanen (Firdaus, 2007).
Prinsip mekanisme elektofisiologi FA menurut Nasution dan Ismail
(2007) yaitu didasari oleh adanya aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry.
1. Aktivasi Fokal
Fokus pencetus seringkali berasal dari daerah vena pulmonalis. Lingkaran
reentry yang terjadi di banyak tempat dan berukuran mikro, sehingga
membentuk gambaran gelombang P berbagai ukuran (Nasution dan Ismail,
2007).
2. Multiple Wavelet Reentry
Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelets
yang dipicu oleh depolariasi atrial premature dari focus yang tercetus secara
cepat (Nasution dan Ismail, 2007).

II.1.2.5 Patofisiologi Pembentukan Trombus pada Fibrilasi atrium


Pada FA, aktivitas atrium kiri tidak teratur. Akibatnya terjadi
penurunan atrial flow velocities. Yang menyebabkan stasis pada atrium kiri dan
memudahkan terbentuknya thrombus (Hart and Pearce, 2009). FA akan
meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi, dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya FA (Nasution dan Ismail, 2006). Thrombus yang ada pada atrium kiri
tersebut dapat menyebabkan terjadinya stroke (Prasad et al, 2012).
Bebarapa faktor pada pasien dengan fibrilasi atrium menjadi lebih
berisiko tinggi menderita stroke, antara lain:
1. Umur lebih dari 65 tahun
2. Hipertensi
3. Penyakit jantung rematik
4. Transient ischemic attack
5. Diabetes mellitus
6. Penyakit jantung kongestif (Josephson, 2005).

II.1.2.6 Pemeriksaan Fibrilasi Atrium


Gejala klinik fibrilasi atrium kadang asimptomatik. Beberapa pasien
mengalami palpitasi, sulit bernapas, lelah, pusing, dan nyeri dada. Gejala klinik
tidak dapat dijadikan sebagai diagnosis. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
dapat membantu dalam diagnosis (Gutierrez and Blanchard, 2011).
Pada pemeriksaan EKG akan tampak gelombang fibrilasi yang berupa
gelombang yang tidak teratur dan sangat cepat. Tidak nampak gelombang P dan
kompleks QRS juga intervalnya tidak teratur (Ashley and Niebauer, 2004).
II.1.2.7 Gambaran EKG pada Fibrilasi Atrium

Gambar 1. Gambaran EKG Fibrilasi atrium

Karakteristik gambaran EKG pada FA menurut Dharma (2010):


1. Laju : Laju atrial 400-600x menit, laju ventrikel bervariasi.
2. Ritme : Irama ventrikel tidak teratur.
3. Gelombang P : Tidak dapat diidentifikasi, garis baseline bergelombang.
4. Durasi QRS : Kurang dari atau 0,10 detik kecuali ada perlambatan konduksi
intraventrikel.

II.1.2.8 Hubungan Fibrilasi Atrium dengan Stroke Iskemik dan Stroke


Hemoragik
Trombus intrakardial terbentuk bila terdapat kelainan pada kutub atau
dinding rongga jantung, trombus ini terbentuk bila terjadi gangguan irama
jantung sehingga terjadi keadaan yang relatif statis pada atrium seperti pada
fibrilasi atrium (Japardi, 2002). Sumber trombus pada fibrilasi atrium adalah
pada atrium kiri, dan dianggap merupakan faktor risiko yang penting dalam
terjadinya kardioemboli (Gutierrez and Blanchard, 2011).
Faktor – faktor yang dapat mengakibatkan terbentuknya emboli (Japardi, 2002):
a. Faktor Mekanis
Perubahan fungsi mekanik pada atrium setelah gangguan irama (fibrilasi
atrium), berhubungan dengan timbulnya emboli dinding endokardium
berkontraksi secara tidak teratur sehingga menyebabkan terlepasnya emboli.
b. Faktor Aliran Darah
Statis aliran darah di atrium merupakan faktor prediktif terjadinya
emboli pada penderita fibrilasi atrium, fraksi ejeksi yang rendah, gagal jantung,
infark miokardium, kardiomiopati dilatasi.
c. Proses Trombolisis di Endokardium
Pemecahan trombus oleh enzim trombolitik endokardium berperan
untuk terjadinya emboli.
Perjalanan emboli yang terlepas dari jantung tersebut akan keluar dari
ventrikel kiri, akan mengikuti aliran darah dan masuk ke arkus aorta. Aliran
darah ini 90% akan menuju ke otak melalui arteri karotis komunis dan 10% nya
melalui arteri verbralis.
Emboli melalui arteri karotis jauh lebih banyak karena penampangnya
lebih besar dan lurus dari pada arteri vertebralis yang kecil dan berkelok-kelok.
Emboli kebanyakan terdapat pada arteri serebri media karena arteri ini
merupakan cabang langsung dari arteri karotis interna, dan akan menerima 80%
darah dari arteri karotis interna (Japardi, 2002).
Emboli yang menyumbat aliran darah dapat menyebabkan hipoksia
neuron yang diperdarahinya. Kematian neuron dapat terjadi beberapa beberapa
menit kemudian jika perdarahan kolateral tidak dapat terpenuhi. Maka daerah
tersebut akan mengalami iskemik dan berlanjut menjadi infark (Caplan, 2009).
Menurut Japardi (2002) infark dapat berupa infark berdarah, yang
diakibatkan karena permanennya emboli tersebut. Hasil autopsy
menggambarkan 70% pasien emboli mengalami perdarahan (Hornig et al,
2003). Pada stroke 15-20% yang disebabkan fibrilasi atrium ukuran infarknya
besar (Kimura et al, 2005), pada stroke perdarahan yang diakibatkan emboli
ditemukan infark yang berukuran sedang dan besar (Hornig et al, 2003).
Sedangkan menurut Japardi (2002) tekanan darah arterial yang normal akan
memasuki kapiler yang hipoksia dan menyebabkan diapedesis dari sel darah
merah melalui dinding kapiler yang hipoksia. Makin hebat sikulasi dan makin
berat kerusakan dinding kapiler akan menyebabkan infark berdarah
(Lumbantobing, 2004).
II.2 Penelitian Sebelumnya

Tabel 1. Penelitian sebelumnya


No Peneliti Judul Penelitian Hasil
1 Jatty Puspaningtias Hubungan antara fibrilasi Jenis penelitian adalah analitik
tahun 2008 atrium dengan terjadinya observasional dan menggunakan
stroke iskemik pada pasien desain
stroke periode 1 Januari belah lintang ( cross-sectional)
2006 – 31 Desember 2006. dengan menggunakan 81 sampel
pasien. Hasil : Dari sampel yang
diteliti, didapatkan hubungan
antara fibrilasi atrium dengan
terjadinya stroke memiliki
kemaknaan sebesar 0,050 ( p ≤
0,05 ) dan memiliki risiko atribut
sebesar 2,863. Pada penelitian ini
pasien dengan fibrilasi atrium
memiliki risiko 2,863 kali lebih
besar untuk terjadi stroke
iskemik daripada tidak fibrilasi
atrium. Fibrilasi atrium
berhubungan dengan terjadinya
stroke iskemik sebagai faktor
risiko dari stroke iskemik.
2 Agnes Fibrilasi Atrium sebagai Jenis penelitian ini merupakan
Widyaningsih faktor resiko kejadian analitik dengan pendekatan case
tahun 2011 Stroke Hemoragik di control yang dilakukan terhadap
bagian saraf RSUD DR 32 subyek kelompok kasus dan
SOEDARSO Pontianak. 32 subyek penelitian kontrol
yang dirawat inap di RSUD dr.
Soedarso Pontianak.
menggunakan uji Mc. Nemar
dengan hasil: Didapatkan
fibrilasi atrium sebagai faktor
risiko kejadian stroke non
hemoragik
II.3 Kerangka Teori
Faktor risiko fibrilasi atrium :

1. Peningkatan resistensi atrium


2. Proses infiltratif dan inflamasi
3. Proses infeksi
4. Iskemik atau infark atrium
5. Hipertensi
6. Obesitas

Diabetes melitus PJK Fibrilasi Atrium Hipertensi Hiperlipidemia

Hiperglikemia Denyut jantung Perubahan kadar kolesterol


Kerusakan
tidak teratur struktur tinggi
pembuluh
glukogenesis arteri
darah
dinding Kerusakan
Penimbunan lemak di Aliran darah
jantung Kerusakan endotel
pembuluh darah statis
endotel pembuluh
pembuluh darah
darah
Risiko kerusakan
endotel

Mudah terbentuk trombus

Trombus terlepas dari dinding pembuluh darah

Emboli

Masuk ke aliran darah menuju arkus aorta dan ke otak

Menyumbat aliran darah

Hipoksia neuron

Stroke iskemik

Bagan 1. Kerangka Teori

Referensi : : Tidak diteliti


1. Agustina, 2009 : Diteliti
2. Japardi, 2002
II.4 Kerangka Konsep

Variabel independen
(Faktor risiko stroke) :
Fibrilasi atrium Variabel dependen :
Diabetes mellitus Stroke non hemoragik
Hipertensi
Jenis kelamin

Bagan 2. Kerangka Konsep

II. 4 Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak terdapat hubungan antara faktor risiko stroke (fibrilasi atrium,


diabetes mellitus, hipertensi dan jenis kelamin terhadap angka kejadian
stroke non hemoragik)
H1 : Terdapat hubungan antara fibrilasi atrium dengan stroke iskemik di unit
stroke RSPAD Gatot Soebroto periode Januari – Desember 2014.
H2 : Terdapat hubungan antara diabetes mellitus dengan stroke iskemik di
unit stroke RSPAD Gatot Soebroto periode Januari – Desember 2014.
H3 : Terdapat hubungan antara hipertensi dengan stroke iskemik di unit stroke
RSPAD Gatot Soebroto periode Januari – Desember 2014.
H4 : Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan stroke iskemik di unit
stroke RSPAD Gatot Soebroto periode Januari – Desember 2014.
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional yaitu,
mendeskripsikan objek yang diteliti dan hubungan dari masing-masing variabel
independen dengan variable dependen, dengan pendekatan cross sectional
(potong lintang) dimana peneliti melakukan pengukuran variabel yang
dilakukan suatu saat hanya satu kali (Dahlan, 2010). Survei pada penelitian ini
menggunakan data dari rekam medis di RSPAD Gatot Soebroto.

III.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, dengan
menggunakan data sekunder atau data rekam medis pasien yang tercatat di buku
registrasi unit stroke pada periode Januari – Desember 2014, waktu penelitian
dimulai dari Maret – April 2016.

III.3. Subjek Penelitian


III.3.1. Populasi
3.1.1 Populasi Target
Semua pasien Stroke di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto

3.1.2 Populasi Terjangkau


Semua pasien Stroke di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto periode 1 Januari –
31 Desember 2014
III.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien di unit stroke RSPAD Gatot
Soebroto yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
1) Kriteria Inklusi
1. Pasien rawat inap yang terdaftar di rekam medis periode Januari – Desember
2014
2. Terdapat pemeriksaan EKG
3. Terdapat pemeriksaan CT Scan dan terdiagnosis stroke
2) Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang pernah mengalami stroke sebelumnya
2. Pasien yang berusia kurang dari 50 tahun
3. Pasien yang memiliki penyakit kelainan jantung, hiperlipidemia.
3) Besar Sampel
Dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian analitis kategorik
tidak berpasangan sebagai berikut :

2
𝑛1 = 𝑛 2 = (𝑍∝√2𝑃𝑄+𝑍𝛽 √𝑃1𝑄1+𝑃2𝑄2
𝑃1− 𝑝2
)

N = Jumlah sampel minimal yang diperlukan


Zα = deviat baku alfa, ditetapkan sebesar 1.96 (Wibisono, 2012)
Zβ = deviat baku beta, ditetapkan sebesar 0.84 (Wibisono, 2012)
P = proporsi total = (P1 + P2)/2 = 0.58
Q1 = 1 – P1
Q2 = 1 – P2
Q=1–P
P1 = Proporsi beresiko/kasus
P2 = Proporsi pada kelompok tidak terpajan/ kontrol
P1 – P2 = Selisih pajanan minimal dianggap bermakna, ditetapkan sebesar
(20%) = 0.2
Besar sampel yang dihitung adalah 23 orang dari 23 orang dikalikan dua
dan ditambah 10%. Jumlah keseluruhan yang dibutuhkan adalah 23 x 2 = 46 +
4 = 50 orang.

III.4. Teknik Pengambilan Sampel


Sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian. Teknik pengambilan sampel menggunakan probability sampling,
yaitu tiap subyek dalam populasi memiliki kesempatan atau peluang yang sama
untuk terpilih menjadi sampel. Metode yang digunakan yaitu simple random
sampling, yaitu pengambilan sampel sedemikian rupa sehingga setiap anggota
mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Dahlan,
2011). Metode simpel random sampling ini dilakukan dengan cara diundi atau
dikocok. Teknik pengumpulan data dengan data sekunder, data tersebut diambil
dari rekam medis.

III.5. Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional (potong lintang)
yaitu rancangan studi yang mencari hubungan antara variable bebas dengan
variable terikat dengan melakukan pengukuran sesaat atau diobservasi hanya
satu kali.

III.6 Identifikasi Variabel Penelitian


III.6.1.Variabel Terikat
Variabel terikat atau dependent variable adalah variabel yang berubah
karena variabel bebas tersebut (Dahlan, 2010). Variabel terikat dalam penelitian
ini adalah stroke iskemik.

III.6.2 Variabel Bebas


Variabel bebas atau independent variable adalah variabel yang bila
berubah akan mengakibatkan perubahan variabel lain (Dahlan, 2010). Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah fibrilasi atrium, diabetes mellitus, hipertensi
dan jenis kelamin.

III.7. Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional

Alat
No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Stroke Hasil diagnosis Rekam 1.Ya Nominal
iskemik dokter yang medis 2.Tidak
menyatakan pasien
mengalami stroke
iskemik dan terdapat
pemeriksaan Ct scan
kepala dengan
gambaran hipodens
dan tercantum pada
hasil rekam medis
(modifikasi Prasad
et al, 2009)
2 Stroke Hasil diagnosis Rekam 1. Ya Nominal
dokter yang medis 2. tidak
menyatakan pasien
mengalami stroke
dan terdapat
pemeriksaan Ct scan
yang tercantum pada
hasil rekam medis
(modifikasi prasad et
al, 2009)
3 Fibrilasi Hasil diagnosis Rekam 1.ya (fibrilasi Nominal
Atrium dokter yang medis atrium)
menyatakan pasien 2.Tidak
mengalami fibrilasi (tidak
atrium yang di fibrilasi
perkuat dengan atrium)
adanya pemeriksaan
EKG dengan
gambaran denyut
jantung tidak
teratur.: gelombang
P tidak dapat
diidentifikasi, durasi
QRS kurang dari
0,10 detik, irama
ventrikel tidak
teratur, laju atrial
400-600x/menit.
(modifikasi Dharma,
2010)
4 Diabetes Tingginya kadar Rekam 1.Ya Nominal
mellitus glukosa darah puasa. medis 2.tidak
yang terdiagnosa
DM oleh dokter di
dalam rekam medis
pasien.
5 Hipertensi Peningkatan tekanan Rekam 1.Ya Nominal
darah lebih dari medis 2.tidak
140/90 mmHg. Dan
terdiagnosis
hipertensi oleh
dokter di dalam
buku rekam medis.
6 Jenis Jenis kelamin dilihat Rekam 1.laki-laki Nominal
kelamin dari identitas pasien medis 2.perempuan
saat masuk RS

III.8 Instrumen Penelitian


Instrumen data untuk penelitian ini merupakan data sekunder yang
dikumpulkan atau didapatkan dengan cara mencatat data rekam medik pasien di
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Pelaksanaan pencatatan data rekam medik
dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti. Pengumpulan data diperoleh
dengan menggunakan instrumen berupa berkas rawat inap pasien stroke di
RSPAD Gatot Soebroto periode Januari – Desember 2014.
III.9 Alur Penelitian

Identifikasi dan Perumusan Masalah

Rancangan penelitian :

Jenis penelitian merupakan analitik observasional


dengan pendekatan cross sectional.

Penentuan Populasi dan Subjek Penelitian : Populasi pada penelitian ini adalah pasien rawat inap
pada unit stroke di RSPAD Gatot Soebroto Periode Januari-Desember 2014

Sampel penelitian : pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Penetuan jumlah sampel :

Perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan


rumus kategorik tidak berpasangan

Teknik Pengambilan Sampel :

Peneliti menggunakan teknikprobability sampling, yaitu tiap subyek dalam populasi


memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk menjadi sampel.

Pengumpulan dan Pengolahan Data :

Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca rekam medis pasien lalu mencatat
data yang diperlukan dalam penelitian.Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
program statistik.

Menyusun laporan

Bagan 3. Alur penelitian


III.10 Analisis Data
III.10.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat distribusi


frekuensi dari setiap variabel yang akan diteliti. Seluruh data yang terkumpul
dianalisa secara deskriptif, dilakukan perhitungan jumlah persentase masing-
masing variabel yang diteliti kemudian hasil analisa data disajikan ke dalam
bentuk tabel.

III.10.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel


independen dan variabel dependen. Variabel independen (fibrilasi atrium,
diabetes mellitus, hipertensi dan jenis kelamin) dan variabel dependen (stroke
iskemik). Karena variabel dependen dan variabel independen berjenis
kategorik, maka uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square. Jika tidak
memenuhi uji Chi-Square maka menggunakan alternatif, untuk tabel 2X2
digunakan uji Fisher. Penelitian ini juga melihat nilai Odds Ratio (OR) untuk
digunakan sebagai indikator hubungan sebab dan akibat hasilnya jika OR=1
atau mencakup angka 1 bukan sebagai faktor risiko, jika kurang dari 1 maka
sebagai faktor protektif dan jika lebih dari 1 maka sebagai faktor risiko
(Sopiyudin,2009 hal 19;Sastroasmoro, 2010 hal 140)

III.10.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui faktor risiko yang


paling berpengaruh di antara faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan
stroke iskemik, dengan menggunakan uji regresi logistik, karena uji yang
digunakan menggunakan variabel data kategorik dan mencari persentase
kemungkinan efek terjadi pada individu yang memiliki faktor risiko.
III.11 Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian peneliti harus memperhatikan masalah etika
penelitian yang meliputi :
a. Kerahasiaan Nama (Autonomy)
Dalam menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama
responden pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberi kode pada
masing-masing lembar tersebut.
b. Kerahasiaan Hasil (Convidentiality)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dengan cara peneliti
tidak mencantumkan data responden pada saat pengolahan data dan interpretasi
hasil.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. Gambaran RSPAD Gatot Soebroto

RSPAD Gatot Soebroto merupakan tempat penelitian ini, beralamat di


jalan Dr. Abdul Rahman Saleh No.24, Jakarta Pusat. Dahulu merupakan rumah
sakit tentara belanda, dikenal dengat groot militare hospital welterveden.

Pada tanggal 8 Maret 1942 menjadi rumah sakit militer angkatan darat
Jepang dengan nama rikugun byoin. Sejak 17 Agustus 1945 dikuasai oleh
tentara KNIL dan namanya diubah menjadi militaire geneeskundige dienst yang
dikenal dengan nama “leger hospital Batavia”.

Pada tanggal 26 Juli 1950 diserahkan kepada djawatan kesehatan


Angkatan Darat menjadi rumah sakit tentara pusat. Moment bersejarah ini
selanjutnya diperingati sebagai hari jadi RSPAD Gatot Soebroto.

Mengingat jasa-jasa Letnan Jendral Gatot Soebroto yang memberikan


segalanya bagi RSPAD agar menjadi kebanggaan prajurit dan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan prajurit angkatan darat maka dipakailah nama
Gatot Soebroto dibelakang nama Rumah Sakit Angkatan Darat ini.

RSPAD Gatot Soebroto merupakan rumah sakit tingkat satu dan


menjadi rujukan tertinggi di jajaran TNI yang memberikan perawatan kesehatan
untuk prajurit TNI, PNS, dan masyarakat umum.
IV.2. Hasil Penelitian

IV.2.1 Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi variabel-


variabel yang akan diteliti baik variabel dependen yaitu stroke iskemik dan
variabel independen yaitu fibrilasi atrium, diabetes mellitus, hipertensi dan jenis
kelamin.

IV.2.1.1 Stroke

Tabel 3. Distribusi Stroke non Hemoragik pada Pasien Rawat


Inap Unit Stroke Periode Januari – Desember 2014
Jenis stroke Frekuensi %
Ya 31 62
Tidak 19 38
Jumlah 50 100

Berdasarkan analisis diatas diketahui bahwa dari 50 responden terdapat


31 responden atau 62% yang mengalami stroke non hemoragik dan 19
responden atau 38% yang tidak mengalami stroke non hemoragik.
IV.2.1.2 Jenis Kelamin

Tabel 4. Distribusi Jenis Kelamin Pada Pasien Rawat Inap Unit


stroke Periode Januari – Desember 2014
Jenis Kelamin Frekuensi %
Laki – laki 33 66
Perempuan 17 34
Jumlah 50 100

Berdasarkan analisis diatas diketahui bahwa dari 50 responden terdapat


33 responden atau 66% yang berjenis kelamin laki-laki dan 17 responden atau
34% yang berjenis kelamin perempuan.

IV.2.1.3 Diabetes Mellitus

Tabel 5. Distribusi Pasien Rawat Inap Unit Stroke Periode


Januari – Desember 2014 yang Mengalami Diabetes Melitus
Diabetes mellitus Frekuensi %
Ya 16 32
Tidak 34 68
Jumlah 50 100

Berdasarkan analisis diatas diketahui bahwa dari 50 responden terdapat


16 responden atau 32% yang mengalami diabetes melitus dan 34 responden
atau 68% yang tidak mengalami diabetes melitus.
IV.2.1.4 Hipertensi

Tabel 6. Distribusi Pasien Rawat Inap Unit Stroke Periode


Januari – Desember 2014 yang Mengalami Hipertensi
Hipertensi Frekuensi %
Ya 28 56
Tidak 22 44
Jumlah 50 100

Berdasarkan analisis diatas diketahui bahwa dari 50 responden terdapat


28 responden atau 56% yang mengalami hipertensi dan 22 orang atau 44%
yang tidak hipertensi.

IV.2.1.5 Fibrilasi Atrium

Tabel 7. Distribusi Pasien Rawat Inap Unit Stroke Periode


Januari – Desember 2014 yang Mengalami Fibrilasi Atrium
Fibrilasi Atrium Frekuensi %
Ya 20 40
Tidak 30 60
Jumlah 50 100

Berdasarkan analisis di atas diketahui bahwa dari 50 responden terdapat


20 responden atau 40% yang mengalami fibrilasi atrium dan 30 responden atau
60% yang tidak mengalami fibrilasi atrium.
IV.2.2 Hasil Analisis Bivariat

Uji penelitian ini menggunakan Chi-square untuk melihat hubungan


antara variabel dependen yaitu stroke non hemoragik dengan variabel
independennya yaitu diabetes mellitus, hipertensi, jenis kelamin dan fibrilasi
atrium. Jika syarat uji Chi-square tidak terpenuhi maka menggunakan uji
alternatifnya yaitu uji fisher. Kedua variabel dapat dikatakan memliki korelasi
jika memilki nilai probabilitas < 0,05. Penelitian ini juga melihat nilai Odds
Ratio (OR) digunakan sebagai indikator hubungan sebab dan akibat hasilnya.

IV.2.2.1 Jenis Kelamin

Tabel 8. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Stroke Non


Hemoragik
Stoke non hemoragik Jumlah
Jenis OR 95%
Ya Tidak P value
Kelamin N % (CI)
N % N %
Laki-laki 20 20.5 13 12.5 33 100
0.839
Perempuan 11 10.5 6 6.5 17 100 0.777
(0.24-2.829)
Jumlah 31 50 19 50 50 100

Dari hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan stroke non
hemoragik didapatkan hasil 20 responden berjenis kelamin laki-laki yang
mengalami stroke non hemoragik, 11 responden berjenis kelamin perempuan
yang mengalami stroke non hemoragik, 13 responden berjenis kelamin laki-laki
yang tidak mengalami stroke non hemoragik dan 6 responden perempuan yang
tidak mengalami stroke non hemoragik dan didapatkan nilai P-value 0.777 >
0.05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan stroke non hemoragik.
Odds ratio yang dihitung disini merupakan odds dari responden berjenis
kelamin laki-laki dibandingkan dengan responden berjenis kelamin perempuan.
Nilai Odds ratio sebesar 0.839 berarti resonden berjenis kelamin laki-laki
memiliki kecenderungan untuk mengalami stroke non hemoragik 1 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden berjenis kelamin perempuan.
Selanjutnya diperoleh juga selang kepercayaan [(0.24),(2.829)], sehingga jenis
kelamin bukan sebagai faktor resiko dalam terjadinya stroke non hemoragik.

IV.2.2.2 Diabetes mellitus

Tabel 9. Hubungan Antara Diabetes Mellitus dengan Stroke Non


Hemoragik
Stoke non hemoragik Jumlah
Diabetes OR 95%
Ya Tidak P value
Melitus N % (CI)
N % N %
Ya 14 9.9 2 6.1 16 100 7.000
Tidak 17 21.1 17 12.9 34 100 0.011 (1.376-
Jumlah 31 50 19 50 50 100 35.619)

Dari hasil analisis diatas terdapat 14 responden dengan diabetes melitus


yang mengalami stroke non hemoragik, 2 responden diabetes melitus yang
tidak mengalami stroke non hemoragik, 17 responden tidak diabetes melitus
yang mengalami stroke non hemoragik dan 17 responden tidak diabetes melitus
yang tidak mengalami stroke non hemoragik dan didapatkan nilai P-value
sebesar 0.011 < 0.05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara diabetes melitus dengan stroke non hemoragik.
Odds ratio yang dihitung disini merupakan odds dari responden dengan
diabetes melitus dibandingkan dengan responden yang tidak diabetes melitus.
Nilai Odds ratio sebesar 7.000 yang berarti responden dengan diabetes melitus
memiliki kecenderungan untuk mengalami stroke non hemoragik 7 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden yang tidak diabetes melitus. Selanjutnya
diperoleh juga selang kepercayaan [(1.376),(35.619)], sehingga diabetes melitus
sebagai faktor resiko dalam terjadinya stroke non hemoragik.

IV.2.2.3 Hipertensi

Tabel 10. Hubungan Antara Hipertensi dengan Stroke Non Hemoragik


Stoke non hemoragik Jumlah
OR 95%
Hipertensi Ya Tidak P value
N % (CI)
N % N %
Ya 14 17.4 14 10.6 28 100 0.294
Tidak 17 13.6 5 8.4 22 100 0.049 (0.085-
Jumlah 31 31 19 19 50 100 1.019)

Dari hasil analisis terdapat 14 responden dengan hipertensi yang


mengalami stroke non hemoragik, 14 responden dengan hipertensi yang tidak
mengalami stroke non hemoragik, 17 responden tidak hipertensi yang
mengalami stroke non hemoragik dan 5 responden tidak hipertensi dan tidak
mengalami stroke non hemoragik dan didapatkan nilai p-value sebesar 0.049 <
0.05, maka dapat diambil kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan antara
hipertensi dengan stroke non hemoragik.
Odds ratio yang dihitung disini merupakan odds dari responden dengan
hipertensi dibandingkan dengan responden yang tidak hipertensi. Nilai Odds
ratio sebesar 0.294 yang berarti responden dengan hipertensi memiliki
kecenderungan untuk mengalami stroke non hemoragic 0.294 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang tidak hipertensi. Selanjutnya diperoleh
juga selang kepercayaan [(0.085),(1.019)], sehingga hipertensi bukan sebagai
faktor resiko dalam terjadinya stroke non hemoragik.
IV.2.2.4 Fibrilasi Atrium

Tabel 11. Hubungan Antara Fibrilasi Atrium dengan Stroke Non


Hemoragik
Stoke non hemoragik Jumlah
Fibrilasi OR 95%
Ya Tidak P value
Atrium N % (CI)
N % N %
Ya 20 100 0 0 20 100
2.727
Tidak 11 42.3 19 57.6 30 100 0.000
(1.704-4.365)
Jumlah 31 50 19 50 50 100

Berdasarkan analisis diatas diketahui bahwa terdapat 20 responden


dengan fibrilasi atrium yang mengalami stroke non hemoragik, 11 responden
tidak fibrilasi atrium yang mengalami stroke non hemoragik dan 19 responden
tidak fibrilasi atrium yang tidak mengalami stroke hemoragik dan didapatkan P-
value sebesar 0.000 < 0.05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara fibrilasi atrium dengan stroke non hemoragik.
Odds ratio yang dihitung disini merupakan odds dari responden dengan
fibrilasi atrium dibandingkan dengan responden yang tidak fibrilasi atrium.
Nilai Odds ratio sebesar 2.727 yang berarti responden dengan fibrilasi atrium
memiliki kecenderungan untuk mengalami stroke non hemoragik 2 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden yang tidak fibrilasi atrium. Selanjutnya
diperoleh juga selang kepercayaan [(1.704),(4.365)], sehingga fibrilasi atrium
sebagai faktor resiko dalam terjadinya stroke non hemoragik.

IV.2.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui faktor risiko yang


paling berpengaruh di antara faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan
stroke non hemoragik, dengan menggunakan uji regresi logistik, karena uji
yang digunakan menggunakan variabel data kategorik dan mencari persentase
kemungkinan efek terjadi pada individu yang memiliki faktor risiko.

a. Overall test

Tabel 12. Overall Test


Chi-square Df Sig.
38.567 3 .000

Berdasarkan hasil analisis tersebut didapatkan nilai Sig. 0,000 dimana P


< 0,05 sehingga menolak H0 dan menerima H1. Nilai Chi-Square= 38.567
dengan p-value 0,000 yang menandakan bahwa terdapat minimal satu variabel
yang signifikan mempengaruhi variabel terikat sehingga dapat digunakan untuk
analisis lebih lanjut.

b. Partial test

Tabel 13. Partial Test


Variabel Sig
Fibrilasi Atrium 0.998
Diabetes mellitus 0.020
Hipertensi 0.027

Berdasarkan hasil analisis tersebut didapatkan bahwa variabel fibrilasi


atrium nilai P-value 0.998 sehingga menerima H0 dan menolak H1 yang
menyatakan bahwa dengan keyakinan 95% dapat disimpulkan bahwa fibrilasi
atrium tidak berpengaruh terhadap kejadian stroke non hemoragik. Berdasarkan
analisis diabetes mellitus dan hipertensi nilai P-value < 0.05 sehingga menolak
H0 dan menerima H1 yang menyatakan bahwa dengan keyakinan 95% dapat
disimpulkan bahwa diabetes mellitus dan hipertensi mempengaruhi kejadian
stroke non hemoragik.

c. Pengujian Hosmer-Lemeshow

Tabel 14. Hosmer-Lemeshow


Chi-square Df Sig
.012 5 1.000

Dari hasil uji Hosmer-Lemeshow didapatkan nilai Sig 1.000 dimana P >
0,05 sehingga menerima H0 menolak H1. Hal ini menerangkan bahwa dengan
tingkat keyakinan 95% dapat bahwa model regresi logistik dapat digunakan.

d. Nagelkerke R-square

Tabel 15. Nagelkerke R-square


Cox & Snell R Nagelkerke R
-2log likehood
Square Square
27.839 .538 .731

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa proporsi variabel Hipertensi yang


dapat dijelaskan oleh model sebesar 73.1%
Tabel 16. Analisis Multivariat
Predicted
Observed Stroke Non
Precentage
Hemoragik
Correct
Stroke Non hemoragik Ya Tidak
Ya 30 1 96.8
Tidak 7 12 63.2
Overall Percentage 84.0

Dari tabel diatas dapat ditunjukkan bahwa model regresi logistic yang
digunakan baik, karena dapat memprediksi kondisi stroke non hemoragik yang
terjadi sebesar 84%.

Tabel 17. Ringkasan analisis faktor risiko stroke non


hemoragik di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto.
No Variabel Nilai P Keterangan
1 Jenis kelamin 0.777 Tidak terdapat hubungan
2 Diabetes mellitus 0.011 Terdapat hubungan
3 Hipertensi 0.049 Terdapat hubungan
4 Fibrilasi atrium 0.000 Terdapat hubungan

Tabel diatas adalah tabel variabel bebas yang akan dilakukan analisis
multivariat. Syarat analisis multivariat adalah nilai P < 0,25. maka yang
dilakukan analisis adalah diabetes mellitus, hipertensi dan fibrilasi atrium.
Tabel 18. Hasil analisis multivariat
95% C.I for OR
Variabel Sig Or
Lower Upper
Hipertensi 0.027 13.699 1.341 139.950
Diabetes
0.020 0.047 0.004 0.622
Mellitus
Fibrilasi Atrium 0.998 0.000 0.000

Pada tabel diatas didapatkan hasil OR yang paling besar adalah


hipertensi. Hal ini menerangkan bahwa hipertensi yang paling berpengaruh
terhadap kejadian stroke non hemoragik di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto
periode Januari – Desember 2014.

IV.3 Pembahasan

A. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan angka kejadian Stroke Iskemik pada
Pasien Rawat Inap di Unit Stroke RSPAD Gatot Soebroto Periode Januari –
Desember 2014.
Berdasarkan distribusi jenis kelamin pasien rawat inap yang mengalami
stroke non hemoragik di unit stroke RSPAD Gatot Soebroto periode Januari –
Desember 2014, terdapat lebih banyak pasien laki-laki yang mengalami stroke
non hemoragik dibandingkan perempuan. Hal ini sama seperti penelitian
agustina eka evia rahmawati (2009), yang menyatakan persentase yang lebih
banyak mengalami stroke non hemoragik adalah laki-laki 73 orang (61.3%) dan
46 orang perempuan (38.7%) dari total sampel 119 orang. Terdapat perbedaan
hasil pada penelitian ananto wibisono (2012), yang menyatakan angka kejadian
stroke non hemoragik lebih banyak dialami oleh perempuan dibandingkan laki-
laki dengan hasil penelitian yaitu, terdapat 30 pasien perempuan yang
mengalami stroke non hemoragik dari jumlah sampel 55 orang.
Hasil analisis bivariat dan odds ratio didapatkan hasil tidak terdapat
hubungan jenis kelamin dengan angka kejadian stroke iskemik dan jenis
kelamin tidak merupakan faktor resiko dari stroke iskemik. Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya hormon estrogen yang ada pada perempuan sebelum
menopause yang berfungsi sebagai proteksi pembuluh darah terhadap
arterosklerosis yang merupakan penyebab dari trombosis (Japardi,2002).
Pada usia dibawah 50 tahun memang prevalensi penderita stroke lebih
banyak pada laki-laki. Namun pada usia diatas 50 tahun wanita lebih banyak
menderita stroke (Gofir, 2009).

B. Hubungan Diabetes Mellitus dengan Angka Kejadian Stroke Iskemik Pada


Pasien Rawat Inap Unit Stroke RSPAD Gatot Soebroto Periode Januari –
Desember 2014.
Berdasarkan hasil distribusi data menunjukkan hasil 14 orang yang
mengalami stroke non hemoragik dengan diabetes mellitus dan 17 orang yang
mengalami stroke non hemoragik dan tidak diabetes mellitus, dari hasil analisis
data bivariat dan odds ratio terdapat hubungan atara diabetes mellitus dengan
stroke non hemoragik dengan nilai P 0.011, dan berisiko 7 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak mengalami diabetes mellitus.
Penelitian ini sama dengan penelitian aulya farra (2010) yang
mengatakan diabetes mellitus berpengaruh positif dan merupakan faktor risiko
dari terjadinya stroke non hemoragik dengan hasil 71.21% penderita stroke non
hemoragik dengan diabetes mellitus. Diabetes adalah kondisi dimana terjadi
peningkatan insulin dalam darah pada DM tipe II, kondisi tersebut
meningkatkan penyerapan jumlah natrium didalam tubuh. Penyerapan natrium
akan meningkatkan kadar kalium dalam darah dan akan menyebabkan
terstimulasikan sistem saraf simpatik. Hal ini menyebabkan perubahan struktur
dalam darah yang mempengaruhi fungsi jantung dan tekanan darah. Kondisi
DM sendiri, akan menyebabkan kerusakan dinding arteri sehingga membentuk
bekuan darah yang disebut trombus. Trombus akan membesar dan menutup
lumen arteri, atau trombus dapat terlepas dan membentuk emboli yang akan
mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri (Gofir, 2009).
C. Hubungan Hipertensi dengan Angka Kejadian Stroke Iskemik Pada Pasien
Rawat Inap Unit Stroke RSPAD Gatot Soebroto Periode Januari – Desember
2014.
Berdasarkan hasil distribusi data terdapat 14 responden dengan
hipertensi yang mengalami stroke non hemoragik dan 17 responden tidak
hipertensi yang mengalami stroke non hemoragik, sedangkan hasil analisis
bivariat didapatkan nilai P value sebesar 0.049 < 0.05, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara hipertensi dengan
stroke non hemoragik. Nilai Odds ratio sebesar 0.294 dengan nilai kepercayaan
0.085 – 1.019 yang berarti hipertensi bukan sebagai faktor resiko dalam
terjadinya stroke non hemoragik.
Penelitian ini tidak sama dengan penelitian Agustina eka evia rahmawati
(2009) yang mendapatkan hasil tidak hipertensi berjumlah 12 orang (25%), dan
hipertensi berjumlah 36 orang (75%). Dari hasil penelitian hipertensi dijumpai
pada 50%-70% pasien stroke. Seseorang dengan hipertensi memiliki risiko 3
sampai 4 kali lipat untuk mengalami stroke dibandingkan orang tanpa
hipertensi.

Hipertensi berhubungan dengan stroke melalui efeknya terhadap


perubahan struktur arteri dan menyebabkan jejas pada endotel. Perubahan
struktur arteri yang terjadi berupa penyempitan pembuluh darah, yang
mekanismenya telah dijelaskan pada tinjauan pustaka. Apabila terjadi
penyempitan pembuluh darah di otak, akan terjadi pengurangan aliran darah ke
otak, dan terjadilah proses iskemi otak (Fields et al, 2004).
D. Hubungan Fibrilasi Atrium dengan Angka Kejadian Stroke Iskemik Pada
Pasien Rawat Inap Unit Stroke RSPAD Gatot Soebroto Periode Januari –
Desember 2014.
Berdasarkan distribusi data terdapat 20 responden dengan fibrilasi
atrium yang mengalami stroke non hemoragik, 11 responden tidak fibrilasi
atrium yang mengalami stroke non hemoragik dan didapatkan nilai P value
sebesar 0.000 < 0.05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara fibrilasi atrium dengan stroke non hemoragik. Nilai Odds
ratio sebesar 2.727 yang berarti responden dengan fibrilasi atrium memiliki
kecenderungan untuk mengalami stroke non hemoragic 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang tidak fibrilasi atrium.
Penelitian ini sama dengan ananto wibisono (2012) pasien stroke
iskemik yang mengalami fibrilasi atrium sebanyak 11 sampel (20%).
Sedangkan pada kelompok bukan stroke iskemik hanya 1 sampel (2,9%) yang
menderita fibrilasi atrium dari hasil uji statistik pada penelitian ini didapatkan
hasil yang bermakna antara fibrilasi atrium dengan stroke iskemik.
Impuls listrik yang timbul pada pasien fibrilasi atrium terjadi sangat
cepat dan tidak teratur. Akibatnya terjadi irama jantung yang cepat dan tidak
teratur. Aktivitas atrium kiri menjadi tidak teratur dan menyebabkan aliran
statis pada daerah tersebut. aliran statis tersebut merupakan salah satu penyebab
terbentuknya trombus intrakardial. trombus yang ada pada atrium kiri tersebut
dapat menyebabkan terjadinya stroke (Japardi, 2002).
E. Analisis Multivariat
Berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan regresi logistic
didapatkan nilai odds ratio paling besar adalah hipertensi, pasien yang
mengalami hipertensi merupakan faktor risiko paling berpengaruh terhadap
angka kejadian stroke non hemoragik. Penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Baharuddin (2015) yang menyatakan dari 87 pasien yang didiagnosis
stroke yang dirawat di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
periode Januari-Juni 2015, jenis stroke terbanyak adalah non hemoragik stroke
(NHS) yaitu 79 kasus (90.80%) dimana terdapat 26 pasien non hemoragik
stroke yang didignosa mengalami diabetes mellitus sedangkan penderita
hemoragik stroke (HS) sebanyak 8 kasus (17.07%) yang mana terdapat 1 pasien
yang juga didiagnosa diabetes mellitus.

IV.4. Keterbatasan Penelitian

a. Keterbatasan waktu penelitian


Keterbatasan waktu penelitian menyangkut pada jenis penelitian yang
retrospektif yaitu melihat kejadian setahun sebelumnya, untuk menghemat
waktu penelitian.
b. Keterbatasan dalam mengeksklusi atau menghindari terjadinya bias.
Keterbatasan ini disebabkan karena banyaknya faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi dari angka kejadian stroke iskemik.

Anda mungkin juga menyukai