Anda di halaman 1dari 11

7.

Gejala Klinis

Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak mengalami gejala
penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat
ditemukan mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina.
Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan
serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal. Hambatan transportasi
tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang tampak sebagai gambaran soft exudates pada
pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan tanda retinopati DM nonproliferatif.
Hipoksia akibat oklusi akan merangsang pembentukan pembuluh darah baru dan ini merupakan
tanda patognomonik retinopati DM proliferatif. Kebutaan pada DM dapat
terjadi akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif intravitreous, atau ablasio retina
traksional.1

Pada prinsipnya retinopati diabetik secara klinis dibagi menjadi tipe non-proliferatif san tipe
proliferatif.11
A. Retinopati Diabetik Non Proliferatif
1. Retinopati diabetik Non proliferatif ringan
Gejala :
 Mikroaneurisma
 Perdarahan intra retina ringan – sedang kurang dari 4 kwadran
 Hard eksudat
 Edema makula
 Kelainan fovea avaskular zone pada FFA
2. Retinopati diabetik Non proliferatif sedang
Gejala :
 Soft eksudat
 Perdarahan intra retina sedang – berat pada 4 kwadran
 Venous beading ( dilatasi vena fokal )
 Intra retina mikrovaskular abnormal ( IRMA )
Gambar 8.
Retinopati diabetik
tipe nonproliferatif sedang
Ket :
(1) Perdarahan flame-
shaped;
(2) Soft exudates;
(3) Cotton wool spots;
(4) Mikroaneurisma

3. Retinopati diabetik Non prolifertif berat


Gejala : salah satu dari gejala dibawah ini :
 Perdarahan intra retina hebat pada ke 4 kwadran
 Venous beading pada 2 kwadran
 IRMA sedang – berat pada 1 kwadran
4. Retinopati Non proliferatif sangat berat
Gejala : dua dari gejala dibawah ini :
 Perdarahan intra retina hebat pada ke 4 kwadran
 Venous beading pada 2 kwadran
 IRMA sedang – berat pada 1 kwadran
B. Retinopati Diabetika Proliferatif
1. Retinopati diabetika proliferatif dini ( Early PDR )
Gejala: Sudah mulai terlihat adanya neovaskularisasi
2. Retinopati diabetika proliferatif resiko tinggi ( High risk PDR )
Gejala :
 Neovaskularisasi pada diskus ( NVD ) lebih dari 1/3 – 1/2 daerah diskus,
atau
 NVD dan perdarahan preretina /vitreous, atau
 Neovaskularisasi retina ( NVE ) lebih dari 1/2 daerah diskus dan
perdarahan preretina/vitreous.
Apabila dirangkum, maka gejala retinopati diabetik yaitu akan ditemukan pada retina
sebagai berikut:2
1. Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler, terutama daerah vena
dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah
terutama polus posterior. Kadang-kadang pembuluh darah ini demikian kecilnya
sehingga tidak terlihat sedang dengan bantuan angiografi fluoresein lebih mudah
dipertunjukkan adanya mikroaneurismata ini. Mikroaneurismata merupakan kelainan
diabetes melitus dini pada mata.
2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mirkoanurismata di polus posterior. Bentuk perdarahan ini merupakan prognosis
penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan prognosis lebih buruk dibanding
kecil. Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau
karena pecahnya kapiler.
3. Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya iregular dan berkelok-kelok, bentuk
ini seakan-akan dapat memberikan perdarahan tapi hal ini tidaklah demikian. Hal ini
terjadi akibat kelainan sirkulasi dan kadang-kadang disertai kelainan endotel dan
eksudasi plasma.
4. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu
iregular, kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan
bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu. Pada
mulanya tampak pada gambaran angiografi fluoresein sebagai kebocoran fluoresein
di luar pembuluh darah. Kelainan ini terutama terdiri atas bahan-bahan lipid dan
terutama banyak ditemukan pada keadaan hiperlipoproteinemia.
5. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan
berwarna putih. Biasanya terletak di bagian tepi daerah non irigasi dan dihubungkan
dengan iskemia retina.
6. Pembuluh darah baru pada retina biasanya terletak di permukaan jaringan.
Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel pembuluh darah. Tampak
sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam kelompok-kelompok, dan bentuknya
iregular. Hal ini merupakan awal penyakit yang berat pada retinopati diabetes. Mula-
mula terletak di dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal, ke
badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal), maupun perdarahan badan kaca.
Proliferasi preretinal dari suatu neovaskularisasi biasanya diikuti proliferasi jaringan
ganglia dan perdarahan.
7. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula
sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien.
8. Hiperlipedimia suatu keadaan yang sangat jarang, tanda ini akan segera hilang bila
diberikan pengobatan.

Gambar 1. Funduskopi Mata Normal dan Retinopati Diabetik

8. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium yang sangat
penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes. Kadar HbA1c juga penting
pada follow-up jangka panjang perawatan pasien dengan diabetes dan retinopati diabetik.
Mengontrol diabetes dan mempertahankan level HbA1c pada range 6-7% merupakan sasaran
pada manajemen optimal diabetes dan retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan,
maka progresi dari retinopati diabetik bisa berkurang secara signifikan.

Pencitraan
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA)) merupakan
pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis dan manajemen
retinopathy DM :
o Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang tidak
membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari mikroaneurisma karena
mereka tampak hipofluoresen.
o Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap homogen yang
dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi.
o IRMA (Intra Retinal Microvascular Abnormality) tampak sebagai pembuluh
darah yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada batas luar retina yang tidak
mendapat perfusi.

Gambar II.11 Gambaran FFA pada Retinopathy DM

Tes lainnya
Tes yang lain meliputi optical coherence tomography (OCT), yang menggunakan
cahaya untuk menghasilkan bayangan cross-sectional dari retina. Uji ini digunakan untuk
menentukan ketebalan retina dan ada atau tidaknya pembengkakan di dalam retina akibat
tarikan vitreomakular. Tes ini juga digunakan untuk diagnosis dan penatalaksanaan
edema makular diabetik atau edema makular yang signifikan secara klinis.

Gambar II.12 Optical Coherence Tomography Menunjukaan Abnormalitas Ketebalan Retina


(revophth.com)

9. Penatalaksanaan

Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati


DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM
nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani
pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan
edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah
perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4
bulan. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani
panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk berkembang
menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan.
Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM
proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka
kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan.1
Deteksi Dini Retinopati Diabetika. Pada tahun 2010, The American Diabetes
Association menetapkan beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM.
Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus
menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah
diagnosis DM ditegakkan. Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata
lengkap oleh dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata
penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata.
Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan
menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif.
Kelima, perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester
pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan/atau
perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang
risiko tersebut. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai deteksi dini retinopati diabetika, yaitu
perubahan pada pembuluh darah, pembuluh darah yang pecah atau bocor, pembengkakan
makula, perubahan pada lensa dan kerusakan jaringan saraf. 1,6
Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya yang harus dilakukan
secara bersama untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan juga untuk
memperlambat perburukan retinopati. Tujuan utama pengobatan retinopati diabetik ialah untuk
mencegah terjadinya kebutaan permanen. Pendekatan multidisiplin dengan melibatkan ahli
diabetes, perawat edukator, ahli gizi, spesialis mata, optometris dan dokter umum, akan memberi
harapan bagi pasien untuk mendapatkan pengobatan yang optimal sehingga kebutaan dapat
dicegah. Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam mencegah timbulnya
retinopati diabetik atau memburuknya retinopati dibetik yang sudah ada. Metode pencegahan dan
pengobatan retinopati diabetik saat ini meliputi:1,3
 Kontrol glukosa darah
 Kontrol tekanan darah
 Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan atau radiasi (jarang dilakukan)
 Fotokoagulasi dengan sinar laser:
o Fotokoagulasi panretinal untuk RDP atau glaukoma neovaskular
o Fotokoagulasi fokal untuk edema makula
 Vitrektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina
Pasien dengan retina normal atau RDNP minimal perlu diperiksa setiap tahun karena
pasien yang sebelumnya tanpa retinopati pada waktu diagnosis diabetes ditegakkan, 5-10% akan
mengalami retinopati setelah 1 tahun. Pasien RDNP derajat sedang dengan mikroaneurisma,
perdarahan yang jarang, atau ada eksudat keras tetapi tidak disertai edema makula perlu
pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering progresif. Suatu penelitian terhadap pasien
diabetes tipe 1 ditemukan 16% dari RDNP derajat sedang yang hanya ditandai eksudat keras dan
mikroaneurisma, berkembang ke arah stadium proliferatif hanya dalam waktu 4 tahun.1,3
Kontrol Glukosa Darah. Untuk mengetahui pengaruh kontrol glukosa darah terhadap
retinopati diabetik, Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melakukan penelitian pada
1441 pasien diabetes tipe 1 yang belum disertai retinopati dan yang sudah menderita RDNP.
Kelompok pasien yang belum disertai retinopati dan mendapat terapi intensif dengan insulin
selama 36 bulan mengalami penurunan risiko terjadi retinopati sebesar 76%. Demikian juga pada
kelompok yang sudah menderita retinopati, terapi intensif dapat mencagah risiko perburukan
retinopati sebesar 54%. Efek perlindungan melalui mengendalikan glukosa darah juga terlihat
dari hasil penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) terhadap diabetes
tipe 2. Pasien diabetes yang diterapi secara intensif, setiap penurunan 1% HbA1c akan diikuti
dengan penurunan risiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian dari DCCT
dan UKPDS tersebut memperlihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif
tidak dapat mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi risiko
timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Secara
klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi risiko
kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.3
Kontrol Hipertensi. Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap retinopati diabetik,
UKPDS menganalisis pasien diabetes tipe 2 yang dilakukan kontrol tekanan darah secara ketat
dibanding dengan kontrol tekanan darah sedang melalui pengamatan selama 8 tahun. Kelompok
pasien dengan kontrok tekanan darah secara ketat mengalami penurunan risiko progresifitas
retinopati sebanyak 34%. Apropriate Blood Control in Diabetes (ABCD) Study melakukan
penelitian terhadap kelompok pasien diabetes yang mendapat terapi hipertensi dengan target
tekanan diastolik < 75 mmHg dibanding dengan kelompok dengan target tekanan darah diastol
antara 80-89 mmHg. Sebanyak 470 pasien diberi terapi nisoldipin atau enalapril secara acak
kemudian dilakukan pengamatan selama 5 tahun. Tekanan darah rata-rata yang dicapai pada
kelompok pertama adalah 132/78 mmHg sedangkan kelompok kedua mencapai tekanan darah
rata-rata 138-86 mmHg. Hasil analisis statistik menunjukkan antara kedua kelompok tidak
ditemukan perbedaan bermakna dalam mencegah progresifitas retinopati.3
Ablasi Kelenjar Hipofisis. Dugaan adanya hubungan antara growth hormone dan
retinopati diabetik didasarkan laporan dari sarjana Poulsen mengenai kasus retinopati diabetik
pada pasien diabetes wanita yang mengalami infark hipofisis sewaktu melahirkan. Setelah
dilakukan hipofisektomi ternyata retinopati diabetik yang sudah ada mengalami perbaikan. Sejak
itu tindakan hipofisektomi sering dilakukan pada pasien diabetes yang sudah disertai retinopati
diabetik proliferatif dan memberikan hasil yang baik. Peran growth hormone terhadap timbulnya
retinopati diabetik didasarkan atas fakta bahwa retinopati diabetik berkembaaang cepat selama
usia pubertas. Pada masa tersebut kepekaan jaringan terhadap growth hormone sangat tinggi.
Bukti lain yang memperkuat hipotesis tersebut ialah pasien kerdil akibat defisiensi growth
hormone yang juga menderita diabetes tidak pernah mengalami retinopati diabetik dan penyakit
mikrovaskular yang lain. Meskipun demikian, hipofisektomi pada pasien diabetes dengan
retinopattti diabetik saat ini sudah sangat jarang dilakukan. 3
Fotokoagulasi. Suatu uji klinik berskala besar yang dilakukan National Institutes of
Health di Amerika Serikat jelas menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar
laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif untuk pasien dengan retinopati
diabetik proliferatif dan edema makula. Indikasi terapi fotokoagulasi ialah retinopati diabetik
proliferatif, edema makula dan neovaskular yang terletak pada sudut chamber anterior. Ada tiga
metode terapi fotokoagulasi dengan laser, yaitu: 1) scatter (panretinal) photocoagulation,
dilakukan pada kasus dengan kemunduran visus yang cepat dan untuk menghilangkan
neovaskular pada saraf optikus dan permukaan retina atau pada sudut chamber anterior, 2) focal
photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma di fundus posterior yang mengalami
kebocoran untuk mengurangi atau menghilangkan edema makula, 3) grid photocoagulation,
suatu teknik penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan bentuk kisi-ksisi diarahkan pada
daerah edema. Terapi edema makula sering dilakukan degnan menggunakan kombinasi focal
dan grid photocoagulation.3
Vitrektomi. Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
(opacity) vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga membantu
bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami proliferasi
fibrovaskular. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio
retina, perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak
mengalami perbaikan.3

Perjalanan Klinis dan Prognosis Retinopati Diabetik


Pasien RDNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang, memiliki prognosis
baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ualng setiap 1 tahun. Pasien yang tergolong RDNP
sedang tanpa disertai edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan oleh
karena sering bersifat progresif. Pasien RDNP detrajat ringan sampai sedang dengan disertai
edema makula yang secara klinik tidak signifikan, perlu diperiksa kembali dalam waktu 4-6
bulan oleh karena memiliki risiko besar untuk berkembang menjadi edema makula yang secara
klinik signifikan (CSME). Untuk pasien RDNP dengan CSME harus dilakukan terapi
fotokoagulasi. Risiko kebutaan pada stadium ini akan berkurang sampai 50% apabila dilakukan
terapi fotokoagulasi. Pasien RDNP berat memiliki risiko tinggi menjadi RDP. Separuh dari
pasien RDNP berat akan berkembang menjadi RDP dalam 1 tahun dimana 15% diantaranya
tergolong RDP dengan risiko tinggi. Pasien RDNP sangat berat, risiko menjadi RDP dalam 1
tahun adalah 75% dimana 45% diantaranya tergolong RDP risiko tinggi. Oleh sebab itu pasien
RDNP sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3-4 bulan. Pasien dengan RDP
risiko tinggi harus segera diterapi dengan fotokoagulasi. Teknik yang dilakukan ialah dengan
scatter photocoagulation. Pasien RDP risiko tinggi yang disertai dengan CSME, terapi
fotokoagilasi mula-mula dengan menggunakan metode focal dan panretinal (scatter). Oleh
karena metode fotokoagulasi panretinal dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema makula,
maka untuk terpai dengan metode panretinal (scatter) perlu dibagi dalam 2 tahap atau lebih.3

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prognosis:


 Faktor prognostik yang menguntungkan
o Eksudat yang sirkuler.
o Kebocoran yang jelas/berbatas tegas.
o Perfusi sekitar fovea yang baik.
 Faktor prognostik yang tidak menguntungkan
o Edema yang difus / kebocoran yang multiple.
o Deposisi lipid pada fovea.
o Iskemia macular.
o Edema macular kistoid.
o Visus preoperatif kurang dari 20/200.
o Hipertensi.

Anda mungkin juga menyukai