Anda di halaman 1dari 39

i

LAPORAN KASUS

BELL’S PALSY

Oleh:

Rizky Oktary 17360004

Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di

SMF Ilmu Saraf Deli SerdangLubukPakam

Pembimbing

dr.Anita Surya, M.Ked (Neu), Sp.S

SMF ILMU SARAF

RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM

LUBUK PAKAM

2018
i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior di bagian SMF Ilmu Neurologi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dengan
judul “BELL’S PALSY”

Telaah jurnal ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam
teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu
Neurologi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk
kepentingan klinis kepada pasien. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.
Anita Surya, M.Ked (Neu), Sp.S yang telah membimbing penulis dalam telaah
jurnal ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa telaah jurnal ini masih memiliki


kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari
semua pihak yang membaca telaah jurnal ini. Harapan penulis semoga telaah
jurnal ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Lubuk Pakam, 08 Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv

DAFTAR TABEL .......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 2

2.1 Anatomi Nervus Facialis ........................................................................ 2

2.2 Definisi ................................................................................................... 6

2.3 Epidemiologi........................................................................................... 6

2.4 Etiologi dan Faktor risiko ....................................................................... 6

2.5 Patofisiologi ............................................................................................ 7

2.6 Diagnosa ................................................................................................. 8

2.7 Diagnosa banding .................................................................................. 16

2.8 Penatalaksanaan ...................................................................................... 17

2.9 Komplikasi.............................................................................................. 20

2.10 Prognosis ................................................................................................ 21

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24

LAMPIRAN .................................................................................................... 26

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Jaras Saraf .................................................................... 4

Gambar 2.2 Patofisiologi lesi UMN dan LMN ............................................... 7

Gambar 2.3 Parese Nervus VII perifer kanan ................................................. 8

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sistem House Brackman ................................................................. 14

v
BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer,


terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak
menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-50
tahun. Peluang untuk terjadinya bell’s palsy pada laki-laki sama dengan para
wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya bell’s palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1

Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika


berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di
Belanda 1 penderita per 5000 orang dewasa & 1 penderita per 20,000 anak per
tahun. BP pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan pada
anak tidak terdapat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis kelamin.2

Para ahli menyebutkan bahwa pada bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi unilateral. Namun demikian
dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit
ini berulang atau kambuh.1

Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya


masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas
profesi penderita. Sehingga diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk
mencapai pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat kembali
melakukan aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat. 1,2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nervus Facialis

Saraf facialis adalah saraf kranial ketujuh (CNVII) dan terdiri dari
komponen motorik, sensorik dan parasimpatik. Komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik
kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan
lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang
mempersarafi glandula lakrimalis. Saraf facialis keluar dari otak di sudut
serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di
dalam kanalis facialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina
sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda
timpani. Pada bagian awal dari kanalis facialis, segmen labirin merupakan bagian
yang tersempit yang dilewati saraf facialis; foramen meatal pada segmen ini hanya
memiliki diameter sebesar 0,66 mm.3

Saraf facialis menerima akson dari bagian superior dari nukleus soliter dan
nukleus saliva superior yang membentuk komponen intermedius nervus (akson
indera dan parasimpatis) dan serat motor eferen dari nukleus wajah, yang
menerima input sinaptik dari korteks motor kontralateral untuk semua wajah
gerakan kecuali dahi, yang memiliki input bicortical.3

Jalur saraf wajah memiliki komponen intrakranial, intratemporal dan


ekstratemporal. Inti motorik Nervus Facialis terletak pada bagian ventolateral
tegmentum Pons bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi
inti N VI dan membentuk genu internal nervus facialis, kemudian berjalan ke
bagian-lateral batas kaudal pons pada sudut ponto serebelar. Saraf Inter Medius
terletak pada bagian diantara N VII dan N VIII. Serabut motorik saraf Facialis
bersama-sama dengan saraf intermedius dan saraf vestibulokoklearis memasuki

2
3

meatus akustikus internus untuk meneruskan perjalanannya didalam os petrosus


(kanalis facialis).4

Nervus Facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum timpani.
Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan
membelok ke belakang kavum timpani di situ ia tergabung dengan ganglion
genikulatum. Ganglion tersebut merupakan set induk dari serabut penghantar
impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut yang
menuju ke batang otak adalah nervus intennedius, disamping itu ganglion tersebut
memberikan cabang-cabang kepada ganglion lain yang menghantarkan impuls
sekretomotorik. Os petrosus yang mengandung nervus facialis dinamakan
akuaduktus fallopii atau kanalis facialis. Disitu nervus facialis memberikan.
Cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit ia menerima serabut-
serabut korda timpani. Melalui kanaliskulus anterior ia keluar dari tulang
tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda timpani
menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari nevus
mandibularis.4

3
4

Gambar 2.1. Anatomi jaras saraf

Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen stilomastoideus


memberikan Cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian
memberikan cabang ke otot stilomastoideus sebelum masuk ke glandula Parotis.
Di dalam glandula parotis nervus facialis dibagi atas lima jalur percabangannya
yakni temporal, servical, bukal, zygomatic dan marginal mandibularis. Jaras
parasimpatis (General Viceral Efferant) dari intinya di nucleus salivatorius
superior setelah mengikuti jaras N VII berjalan melalui Greater petrosal nerve dan
chorda Tympatni. 4
5

a. Greater petrosal nerve berjalan ke ganglion pterygopalatina berganti


neuron lalu mempersarafi glandula lakrimal, nasal dan palatal.4
b. Chorda tympani berjalan melalui nervus lingualis berganti neuron
mempersarafi glandula sublingual dan glatldula submandibular.4

Jaras Special Afferent ( Taste) : dari intinya nukeus solitarius berjalan melalui
nervus intennedius ke: 4

• Greater petrosal Nerve melalui nervus palatina mempersarafi taste dari palatum.

• Chorda Tympani melalui nervus lingualis mempersarafi taste 2/3 bagian depan
lidah.4

Jaras General Somatik different : 4

Nukleus spinalis traktus trigeminal menerima impuls melalui nervus


intermedius dari MAE dan kulit sekitar telinga. Korteks serebri akan memberikan
persyarafan bilateral pada nucleus N VII yang mengontrol otot dahi, tetapi hanya
mernberi persarafan kontra lateral pada otot wajah bagian bawah. Sehingga pada
lesi LMN akan menimbulkan paralysis otot wajah ipsilateral bagian atas bawah,
sedangkan pada lesi LMN akan menimbulkan kelemahan otot wajah sisi
kontralateral. Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian
bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan
memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti otot wajah bagian bawah
lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya, sudut mulut sisi yang lumpuh tampak
lebih rendah. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat maka sudut mulut yang
sehat saja yang dapat terangkat. Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo
pontin, di os petrusus, cavum tympani di foramen stilemastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi di pon yang terletak disekitar ini nervus
abducens bisa merusak akar nevus facialis, inti nervus abducens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralysis facialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan rektus lateris atau gerakan melirik ke arah lesi, Proses patologi di
6

sekitar meatus akuatikus intemus akan melibatkan nervus facialis dan akustikus
sehingga paralysis facialis LMN akan timbul berbarengan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia ( tidak bisa rnengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).4

2.2. Definisi
Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus facialis perifer
yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama
meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan
nevus facialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy. Juga
dikatakan Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan facialis tipe lower
motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut
dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya.5

2.3. Epidemiologi
Prevalensi Bell’s Palsy dibeberapa negara cukup tinggi, di Inggris dan
Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100.000 penduduk per tahun.
Di Belanda 1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20.000 anak
per tahun. Bell’s Palsy dapat menyerang pria dan wanita pada setiap usia dengan
tingkat persentase morbiditas yang sama.2

2.4. Etiologi dan Faktor Risiko


Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah penelitian mengidentifikasi genom
virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut
yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy). Diperkirakan,
penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun terakhir ini
dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus BP sekian
lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV)
dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Tahun 1972, McCormick
7

pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik.


Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas
dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten
dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan
adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien BP. Murakami dkk melakukan
tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita BP
berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan
endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan
ditemukan antigen virus dalam nervus facialis dan ganglion genikulatum.
Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi
ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.6

2.5. Patofisiologi
Saraf facialis keluar dari otak di angulus ponto-cerebelaris memasuki
meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis facialis
memberikan cabang untukganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya
kemuskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani.Pada bagian awal dari
kanalis facialis, segmen labirinmerupakan bagian yang tersempit yang dilewati
saraf facialis. Foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diametersebesar
0,66 mm.7

Gambar 2.2. Patofisiologi Lesi LMN dan UMN


8

Otot-otot wajah diinervasi saraf facialis. Kerusakan pada saraf facialis di


meatus akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau
operasi), di kanalis facialis (perineuritis, Bell’spalsy) atau di kelenjar parotis
(karena tumor) akan menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan kelopak
mata bawah dan sudut mulut pada sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi
lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor neuron (UMN) akan menunjukkan
bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang menginnervasi bagian ini
menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral.8

2.6. Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya
kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab
lain dari kelumpuhan n. fasialis perifer.7
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan
adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya
lebih cermat dengan menggunakan cermin.9
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak
dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak
matanya maka bola mata tampak berputar keatas (Bell phenomen). Penderita
tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar
melalui sisi mulut yang lumpuh.9,10

Gambar 2.3 Parese nervus VII perifer kanan10


9

Diagnosis bell’s palsy mencakup beberapa hal dibawah ini: 10


a. Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan : Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa
tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang
segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara
mendadak.11

b. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10
otot-otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut:11
a. M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke
atas.
b. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan
mengerutkan hidung ke atas
d. M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua
mata kuat-kuat
e. M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi
f. M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan
mulut kedepan sambil memperlihatkan
gigi
g. M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan
kedua pipi
h. M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita
bersiul
i. M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua
sudut bibir ke bawah
10

j. M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan


mulut yang tertutup rapat ke depan

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan
dan kiri :11

a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga
(3)
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
c. Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh ( 30 ).11

2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot
menentukan terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss
menganggap penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian
pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot.
Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan
gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah
lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga
untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut
dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan
tergantung dari gradasinya.11

3. Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n.
Korda timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII
sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi
(hilangnya pengecapan).12
11

Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh


menjulurkan lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina,
asam sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini dilakukan secara
bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak
boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan tersebar
melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk
menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1
untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk
rasa asam.12
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan
ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa
beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.11

4. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan
kanulasi kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan
tabung polietilen no 50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang
telah dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam mulut dan
pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume
dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar
25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur
ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda
timpani.4

5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex


Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan
fungsi serabut-serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan
melalui saraf petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion
genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat
menyebabkan berkurangnya produksi air mata.6,13
12

Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata.


Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar
0,5 cm panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit,
panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi
satunya. Freys menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih
atau sama dengan 50% dianggap patologis.6

6. Refleks Stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik
impedans meter, yaitu dengan cara memberikan rangsangan pada
muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui fungsi N.
stapedius cabang N.VII.6

7. Uji audiologik

Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu


menjalani pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk
hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes.
Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji
respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat
dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli
konduktif dapat memberikan kesan suatu kelainan dalam telinga tengah,
dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada daerah ini,
perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan
saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan
saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga
ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan suatu nada yang
keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot
stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan
menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut
diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada
13

perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian


aferen saraf kranialis.12

8. Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf
fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya
sinkinesis adalah sebagai berikut :11
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian
kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).
Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan
dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2),
tergantung dari gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara
(gerakan emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar
mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau
pergerakan tidak simetris.11

Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan


karakteristik dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah
usulkan tetapi semenjak pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang
selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan
fungsi yang normal dan grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit.
Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada
istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam tabel:1
14

Tabel 2.1. Sistem House-Brackmann


Grade Penjelasan Karakteristik
I Normal Fungsi fasial normal
II Disfungsi Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi dekat,
ringan bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan
pergerakan
III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara kedua
sedang sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum
IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri
sedang berat Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi Wajah tampak asimetris
berat Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan
VI Total parese Tidak ada pergerakan
15

c. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk


mengetahui kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf.
Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi
(EMG), Elektroneuronografi (ENOG).14

1. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini
bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien.
Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola
denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang
mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG
sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21
hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang
menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat
sebelum 21 hari.14

2. Elektroneuronografi (ENOG)

ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG.


ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG
pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf
dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila
dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka
kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin
melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara
16

77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka


tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.14

2.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral
dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan
anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri
kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental
status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai
kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat
trauma sebelumnya.6,15
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media
supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan
foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila
ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-
zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII;
tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.16

2.8. Penatalaksanaan
17

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa


identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf(jika tersedia) apabila terdapat
kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang
menjadi diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat
menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.
Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis
dan farmakologis.17
Canadian Society of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan Canadian
Neurological Sciences Federation melakukan review terhadap beberapa modalitas
terapi Bell’s palsy. Mereka membuat review tentang bukti penanganan Bell’s
palsy dengan kortikosteroid dan antiviral, latihan fasial, elektrostimulasi, fisio
terapi dan operasi dekompresi. Mereka juga membahas terapi perlindungan mata,
rujukan spesialis, dan investigasi lebih jauh pada pasien yang memiliki kelemahan
wajah yang persisten dan progresif.18

Adapun terapi untuk bell’s palsy adalah sebagai berikut:

a. Terapi Non-farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.


Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears),
pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau
tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).19
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan
mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti
adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan
ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.20
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan
setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun,
diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan
valasiklovir tanpa terapi fisik.20,21
18

Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,


meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi
yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi,
fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.22,23
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat
saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi
yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu
secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari
gerakan wajah berlebih.21,23
Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot
wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback
visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan
bertahap untuk
membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal
20-40 kali dengan 2-4 set per hari. 21,23
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien
dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi
sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan
mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi
strategi meditasi-relaksasi.21,23
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan
kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah
dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan
untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup
dilakukan 1-2 kali per hari. 21,23
19

Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan,


pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani
kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial,
dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke
bagian kulit atau bedah plastik.23
Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan
kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop
atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada
pasien.18

b. Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin


dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi
kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis
yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset,
harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian
prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1
mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. 24
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes,
ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi),
dan Cushing syndrome.24
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat
antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan
kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif
dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato mengindikasikan bahwa
hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/
valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan
prednisolon.21
20

Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan


prednison memiliki hasil yang lebih baik. Penelitian lain menemukan bahwa
kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko
batas signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini
mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah
onset.25
Namun, hasil analisis penelitian dengan 1145 pasien menunjukkan tidak
adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam
hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik
dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan
kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan
penggunaan terapi kombinasi.26
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per
hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara
untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi
dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.26
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih
tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali
selama lima hari.13,17,18 Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan
preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual,
diare, dan sakit kepala.24

2.9. Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat


yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s
palsy, adalah sebagai berikut:7
a. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimalyang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
b. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia
(gangguan pengecapan), ageusia (hilangpengecapan), dan disestesia
21

(gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli


normal)
c. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. 7

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan beberapa


kondisi sebagai berikut: 7

1. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,


contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata,
kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
2. Crocodile tearphenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah
paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya
air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
3. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara
tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi
wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi
bilateral tidak terjadi bersamaan).7

2.10. Prognosis

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini


sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulusfasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. 7

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit


(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-
aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s
palsy,bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat),dan kasus
dengan penyengatan kontras yang jelas.7
22

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial


inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu
pertama.7

Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa
gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak
berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:6
a. Usia di atas 60 tahun
b. Paralisis komplit
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
d. Nyeri pada bagian belakang telinga dan berkurangnya air mata.
BAB III
KESIMPULAN

Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus facialis perifer


yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama
meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan
nevus facialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy.

Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik


vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah
virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini
secara logis karena pada umumnya kasus BP sekian lama dianggap idiopatik.

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin


dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi
kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis
yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset,
harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian
prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1
mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. 2

23
24

DAFTAR PUSTAKA

1. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.


Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2006.
2. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of
Bell’s palsy in the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc.
2001;46:258.
3. Lumban TS. Neurologi Klinik. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 2011.
4. Diamond M, dkk. Peripheral facial nerve communications and their
clinical implications. Clin Anat 2011;24:10–18.
5. Davis Larry E, Molly K. King,Jessica L. Schultz, 2005, Bells palsy in
Fundamentals of Neurologic Disease , Demos Medical Publishing New
York; 63-64.
6. Ropper AH, Brown RH, 2003, Adams and Victor’s Principles of
Neurology. 8th ed. New York:MacGraw-Hill; 1180-1182.
7. Lowis, H., Gaharu, MN. (2012). Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana
di Pelayanan Primer. J of Indonesia Med. Ass.,Vol.62(1), pp.32.
8. Snell, RS. Clinical Anatomy By Regions 9th Edition. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins. 2012.
9. Djamil Y, A Basjiruddin, 2003, Paralisis Bell. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. p 297-300.
10. Afzal M. Atlas of Clinical Diagnosis, 2 ed. Saunders, London. 2003.
11. Mardjono M, dkk. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakart :
Dian Rakyat. 2004.
12. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007.
13. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 1997.
14. Jeffrey D, dkk. Bell’s Palsy: Diagnosis and Management. Journal of
Medicine. 2007;76(7): 997-1002.
25

15. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-
Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.
16. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves:
Bell palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical
Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies Inc; 2005. p. 182.
17. De Almeida, JR. et al. Management Of Bell Palsy: Clinical Practice
Guideline. CMAJ : Canadian Med. Ass. J. 2014: 186(12), pp. 917– 922.
18. Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy,
Otolaryngology-Head and Neck Surg. J. 2013;149 (1) ,pp.S1–S27.
19. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia:
Medscape. 2010.
20. Maula N, dkk. Bell’s Palsy: Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan
Primer. J Indon Med Assoc, 2012: 62(1). 32-37.
21. Hato N, et al. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a
multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol.
2007;28:408-13.
22. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial
rehabilitation improves function in people with facial paralysis: a 5-year
experience at the Massachussets Eye and Ear Infirmary. Phys Ther.
2010;90:391-7.
23. Van Swearingen J. Facial rehabilitation: a neuromuscular reeducation,
patient-centered approach. Facial Plast Surg. 2008;24:250- 9.
24. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids & adrenocortical antagonists. In:
Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th Ed. USA: The
McGraw-Hill Companies; 2004. p. 641-60.
25. Axelsson S, Lindberg S, Stjernquist-Desatnik A. Outcome of treatment
with valacyclovir and prednisone in patients with Bell’s palsy. Ann Otol
Rhinol Laryngol. 2003;112:197.
26. Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, Peleg AY. The
benefits of steroids versus steroids plus antivirals for treatment of Bell’s
palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009;339:3354.
26

Lampiran
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Penjahit
Suku Bangsa : Batak
Alamat : Dsn. III Ds. Damak Tolong Buho Kec. Bintang Bayu

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mulut mencong
Telaah : Mulut mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu. Awalnya pasien
merasa wajahnya bergerak-gerak sendiri dan terasa tebal, lidah juga terasa tebal,
hingga ketika pasien bangun tidur pasien merasakan mulutnya tiba-tiba mencong
ke kiri. Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa
kering. Gangguan pendengaran tidak ada. Gangguan pengecapan tidak ada.
Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada. Riwayat trauma pada kepala
tidak ada. Kelumpuhan anggota gerak tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat telinga berair tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
seperti pasien
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
- Pasien seorang penjahit yang sering terpapar dengan kipas angin.
27

PEMERIKSAAN FISIK
Status Present

KU/KP/KG : Sedang/Sedang/Baik

Sensorium : Compos mentis

HR : 101 x/i

RR : 31 x/i

Temperatur : 39 °C

BB : 54 kg

TB : 156 cm

Status Lokalisata

a. Kepala : Normochepali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), cekung (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-), Pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir kering (-)
Telinga : Nyeri tekan tragus (-), Ottorhea (-)

b. Leher : Pembesaran KGB (-)


c. Thorax :

Pulmo
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : stem fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor (+)
28

Auskultasi: vesikuler (+), ronchi -/-, wheezing -/-

Cor
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: bunyi jantung murni, irama takikardi, bising jantung (-)

d. Abdomen :

Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : tympani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Korpus Vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibbus (-)

Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda rangsang Meningen:
- Kaku kuduk :-
- Kernig :-
- Brudzinski I :-
- Brudzinski II :-
2. Tanda peningkatan TIK
-Pupil : isokor, reflek cahaya +/+ Ф3mm/3mm
3. Pemeriksaan Nervus Cranialis:

Nervus kranialis Kanan Kiri


N I (Olfaktorius)
29

-subjektif Baik Baik


-objektif (dg bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II (Optikus)
-tajam penglihatan Baik Baik
-lapangan pandang Baik Baik
-melihat warna Baik Baik
-funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
-bola mata Ortho Ortho
-ptosis Tidak ada Tidak ada
-gerakan bulbus Ke segala arah Ke segala arah
-strabismus Tidak ada Tidak ada
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
-ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
-pupil
bentuk Bulat, isokor,  3 mm Bulat, isokor,  3 mm
reflex cahaya + +
reflex akomodasi + +
reflex konvergensi + +
N IV (Trochlearis)
-gerakan mata ke bawah Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N V (Trigeminus)
-Motorik
membuka mulut Baik Baik
menggerakkan rahang Baik Baik
menggigit Baik Baik
mengunyah Baik Baik
30

-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea + +
*sensibilitas + +
Divisi Maksila
*reflex Masseter Baik Baik
*sensibilitas Baik Baik
Divisi Mandibula
*sensibilitas Baik Baik
N VI (Abdusen)
-gerakan mata ke lateral Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N VII (Fasialis)
-raut wajah Plika nasolabialis kiri lebih datar
-sekresi air mata + +
-fisura palpebra + -
-menggerakkan dahi + -
-menutup mata + -
-mencibir/bersiul + -
-memperlihatkan gigi + -
-sensasi lidah 2/3 depan + +
-hiperakusis - -
N VIII (Vestibularis)
-suara berbisik Baik Baik
-detik arloji Baik Baik
-rinne test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-weber test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-swabach test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
*memanjang
31

*memendek
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
*pendular
*vertical
*siklikal
-pengaruh posisi kepala Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
-sensasi lidah 1/3 blkg Baik Baik
-refleks muntah (Geg Rx) + +
N X (Vagus)
-Arkus faring Simetris
-uvula Di tengah
-menelan Baik
-artikulasi Baik
-suara Baik
-nadi Teratur
N XI (Asesorius)
-menoleh ke kanan +
-menoleh ke kiri +
-mengangkat bahu kanan +
-mengangkat bahu kiri +
N XII (Hipoglosus)
-kedudukan lidah dalam Di tengah
-kedudukan lidah Di tengah
dijulurkan
-tremor -
-fasikulasi -
-atropi -

4. Koordinasi: baik
32

5. Pemeriksaan Fungsi Motorik;


Kanan Kiri
a.Badan -Respirasi Simetris kiri dan kanan
-duduk Simetris Simetris
b.Berdiri & -gerakan spontan Tidak ada Tidak ada
berjalan
-tremor Tidak ada Tidak ada
-atetosis Tidak ada Tidak ada
-mioklonik Tidak ada Tidak ada
-khorea Tidak ada Tidak ada

c.Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
-gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
-kekuatan 55555 55555 55555 55555
-tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi
-tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas: baik

7. Sistim reflex
a.fisiologis
Kanan Kiri kanan Kiri
Kornea + + Biseps ++ ++
Berbangkis triseps ++ ++
Laring KPR ++ ++
Masseter APR ++ ++
Dinding Bulbokavernosus
perut
33

-atas
-bawah
-tengah
Cremaster
Sfingter

b.Patologis
Lengan Kanan Kiri Tungkai Kanan Kiri
Hofmann- - - Babinski - -
Tromner
Chaddoks - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Klonus paha - -
Klonos kaki - -

8. Fungsi otonom
-miksi : baik
-defekasi : baik
-sekresi keringat : baik

9.Fungsi luhur :
Kesadaran Tanda demensia
-reaksi bicara : baik -refleks Glabella : -
-reaksi intelek : baik -refleks Snout :-
-reaksi emosi : baik -refleks mengisap : -
-refleks memegang : -
-refleks Palmomental : -
34

Diagnosis
Diagnosa klinis : Paralisis nervus fasialis sinistra tipe perifer
Diagnosa topis : Nervus VII sinistra
Diagnosa etiologi : Bell’s Palsy

Prognosis:
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : bonam
Quo ad functionam: bonam

Terapi
a. Istirahat
b. Metilprednisolone 50 mg 1x1
c. Mecobalamin 3x1 tab
d. Fisioterapi

Anda mungkin juga menyukai