Anda di halaman 1dari 32

JOURNAL READING

Hyperthermia in Human Ischemic and Hemorrhagic Stroke: Similar


Outcome, Different Mechanism

Oleh:

Rizky Oktary 17360004

Journal inidibuatuntukmelengkapipersyaratanKepaniteraanKlinik Senior di

SMF IlmuSaraf Deli SerdangLubukPakam

Pembimbing

dr.Anita Surya, M.Ked (Neu), Sp.S

SMF ILMU SARAF

RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM

LUBUK PAKAM

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan telaah jurnal ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior di bagian SMF Ilmu Neurologi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dengan
judul “Hyperthermia in Human Ischemic and Hemorrhagic Stroke: Similar
Outcome, Different Mechanism”

Telaah jurnal ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam
teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu
Neurologi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk
kepentingan klinis kepada pasien. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.
Anita Surya, M.Ked (Neu), Sp.S yang telah membimbing penulis dalam telaah
jurnal ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa telaah jurnal ini masih memiliki


kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari
semua pihak yang membaca telaah jurnal ini. Harapan penulis semoga telaah
jurnal ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Lubuk Pakam, 03 Mei 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Metode Pencarian Literatur

Pencarian literature dalam telaah jurnal ini dilakukan melalui National Center

of Biotechnology Information (NCBI) yaitu pada address:

(http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0078429). Kata

kunci yang digunakan untuk penelusuran jurnal yang akan di telaah ini adalah

“Stroke”

1.2 Abstrak

Hipertermia adalah penanda dari hasil buruk pada stroke iskemik (IS) dan

perdarahan intracerebral (ICH). Tujuan peneliti adalah untuk mempelajari

mekanisme yang logis berhubungan dengan hasil buruk yang terkait dengan

hipertermia pada stroke. Peneliti melakukan penelitian casecontrol termasuk

pasien dengan IS (n = 100) dan ICH (n = 100) dalam 12 jam pertama dari onset

gejala. Secara khusus, pasien IS dan ICH secara berurutan dimasukkan ke dalam 2

subkelompok, sesuai dengan suhu tubuh tertinggi dalam 24 jam pertama: Tmax,

<37.50C dan Tmax ≥ 37.50C , hingga mencapai 50 pasien per subkelompok suhu

untuk pasien IS dan ICH. Suhu tubuh ditentukan saat masuk dan setiap 4 jam

selama 48 jam pertama. Variabel hasil utama didapati hasil fungsional yang buruk

(dimodifikasi skor skala Rankin >2) pada 3 bulan. Tingkat serum glutamat dan
MMP-9 aktif diukur saat masuk. Hasil kami menunjukkan bahwa Tmax ≥37.50C

dalam 24 jam pertama secara independen terkait dengan hasil yang buruk di kedua

IS (OR, 12,43; 95% CI, 3,73-41,48; p, 0,0001) dan ICH (OR, 4,29; 95% CI, 1,32

–13.91; p = 0,015) setelah menyesuaikan untuk variabel dengan relevansi biologi

yang terbukti untuk hasil. Namun, ketika tingkat penanda molekuler dimasukkan

dalam model regresi logistik, kami mengamati bahwa glutamat (OR, 1,01; 95%

CI, 1,00-1,02; p = 0,001) dan volume infark (OR, 1,06; 95% CI, 1,01–1,10 ; p =

0,015) adalah satu-satunya variabel yang secara independen terkait dengan hasil

buruk pada IS, dan MMP-9 aktif (OR, 1,04; 95% CI, 1,00–1,08; p = 0,002) dan

National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) saat masuk (OR, 1,29; 95% CI,

1,13-1,49; p, 0,0001) di ICH. Kesimpulannya, hasil ini menunjukkan bahwa

meskipun hasil yang terkait dengan hipertermia serupa pada IS dan ICH manusia,

mekanisme yang mendasari mungkin berbeda.


BAB II
DESKRIPSI JURNAL
2.1 Deskripsi Umum

Judul : “Hyperthermia in Human Ischemic and Hemorrhagic

Stroke: Similar Outcome, Different Mechanism”

Penulis : Francisco Campos., Toma´ s Sobrino., Alba Vieites-

Prado,

Marı´a Pe´rez-Mato, Manuel Rodrı´guez-Ya´n˜ ez, Miguel

Blanco, Jose´ Castillo

Publikasi : PLOS ONE Vol. 08 No. 11 November 2013

Penelaah : Rizky Oktari

Tanggal telaah : April 2018

2.2 Deskripsi Konten

2.2.1 Latar Belakang

Perubahan demografis dan peningkatan kualitas sistem perawatan

kesehatan di negara-negara maju mengkondisikan peningkatan insidensi dan

prevalensi stroke iskemik (IS) dan perdarahan intraserebral (ICH). Oleh karena
itu memahami mekanisme molekuler yang terlibat dalam kedua patologi

neurologis untuk menemukan perawatan baru dan lebih efisien sangat dituntut.

Terapi farmakologis (intravena atau intra-arteri) atau reperfusi mekanik

adalah satu-satunya pengobatan yang disetujui selama fase akut IS; Namun

perawatan ini sulit untuk diterapkan di lebih dari 10% pasien karena terapi

singkat dengan rentang dosis obat yang tidak membahayakan dan komplikasi

sekunder. Dalam kasus ICH, tidak ada perawatan farmakologis yang

memuaskan terhadap gangguan ini dengan tingkat mortalitas tinggi dan

prognosis yang buruk. Manajemen standar untuk ICH terutama adalah suportif,

termasuk perlindungan saluran napas, pemeliharaan stabilitas hemodinamik,

dan kontrol tekanan intrakranial. Selain itu, dijelaskan dengan baik bahwa

ekstravasasi mediator molekuler darah ke parenkim otak setelah ICH

memediasi pertumbuhan hematoma, edema dan kematian sel. Oleh karena itu,

administrasi awal agen hemostatik, kontrol tekanan darah teliti, evakuasi bedah

awal, dan aspirasi hematoma kateter juga telah dicoba tanpa berhasil

membatasi ekspansi hematoma.

Baik pada IS dan ICH, hipertermia adalah komplikasi umum yang

terjadi pada hingga 30-40% pasien, dan secara independen terkait dengan hasil

yang buruk dan peningkatan mortalitas. Namun, meskipun mekanisme

molekuler yang mendasari merusak efek hipertermia dalam stroke iskemik

cukup dijelaskan dengan baik pada ICH sebagian besar tidak diketahui.

Penelitian sebelumnya oleh kelompok kami, dilakukan pada model hewan


iskemia serebral, telah menunjukkan bahwa efek merusak dari hipertermia

dimediasi terutama melalui peningkatan eksitotoksisitas glutamat, sementara

efek perlindungan yang terkait dengan perawatan hipotermia terkait erat

dengan pengurangan pelepasan glutamat, data ini juga sesuai dengan data

klinis kami sebelumnya. Di sisi lain, pelepasan glutamat tampaknya bertindak

sebagai mekanisme sekunder penting dari cedera setelah pertumbuhan

hematoma pada ICH. Dalam hal ini, telah dibuktikan pada model hewan ICH

bahwa peningkatan sementara konsentrasi ekstraseluler glutamat di wilayah

perihematomal muncul setelah pembentukan hematoma. Demikian pula,

pengobatan memantine, penghambat afinitas rendah dari subtipe N-metil-D-

aspartat dari saluran terkait reseptor glutamat, mengurangi volume perdarahan,

kematian sel apoptosis, infiltrasi neutrofil, dan jumlah mikroglia/makrofag di

pinggiran hematoma. Namun, masih belum diketahui secara luas apakah

glutamat excitotoxicity memainkan peran penting dalam efek hipertermia

selama ICH.

Karena efek buruk hipertermia pada hasil kedua IS dan ICH, tujuan

kami adalah untuk mempelajari apakah pelepasan glutamat bertindak sebagai

kunci mekanisme molekuler yang terlibat dalam hasil buruk yang terkait

dengan hipertermia pada IS dan ICH.


2.2.2 Metode

Populasi penelitian

Ini adalah studi case-control termasuk pasien dengan IS (n = 100) dan

ICH (n = 100) dalam 12 jam pertama dari onset gejala. Secara khusus, pasien

IS dan ICH secara berurutan dimasukkan ke dalam 2 subkelompok, sesuai

dengan suhu tubuh tertinggi dalam 24 jam pertama: Tmax < 37.5 0C dan Tmax

≥ 37.50C, hingga mencapai 50 pasien per subkelompok suhu untuk pasien IS

dan ICH. Periode penerimaan adalah dari April 2009 hingga Juli 2012. Studi

ini dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki dari World Medical

Association (2008) dan disetujui oleh Komite Etika Penelitian Klinis Galicia

(CEIC). Informed consent tertulis diperoleh dari setiap pasien atau keluarga

mereka setelah penjelasan lengkap tentang prosedur.

Menurut klasifikasi yang digunakan dalam penelitian sebelumnya,

suhu aksiler masuk ≥37.50C dianggap sebagai hipertermia (terlepas dari

demam), sedangkan suhu aksila, <37.50C dianggap sebagai normothermia.

Mengikuti protokol klinis unit stroke rumah sakit kami, pasien dengan

suhu aksila ≥ 37.50C diobati dengan metamizol (2 g intravena) atau

parasetamol (500 mg per oral) setiap 6 jam (meskipun pengobatan dengan

metamizol dan parasetamol digunakan untuk mengontrol hipertermia, kondisi

hipotermia tidak diinduksi pada salah satu pasien yang direkrut).


Ukuran sampel untuk penelitian ini dihitung menggunakan perangkat

lunak EPIDAT statistik (y, berdasarkan prevalensi hasil yang buruk 35%

pada pasien stroke dengan hipertermia menurut penelitian sebelumnya.

Ukuran sampel minimum dihitung untuk mendeteksi efek ini dibuat

menerima tingkat alpha 5% dan power 80%.

Penelitian ini dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki dari World

Medical Association (2008) dan disetujui oleh Komite Etika Penelitian Klinis

Galicia (CEIC). Informed consent diperoleh dari setiap pasien atau keluarga

mereka setelah penjelasan lengkap tentang prosedur.

Variabel klinis dan neuroimaging

Semua pasien dirawat di unit stroke akut dan ditangani oleh tim stroke

yang sama sesuai dengan protokol Unit Stroke dari Rumah Sakit Clínico

Universitario de Santiago de Compostela.

Riwayat medis yang dicatat sebagai faktor risiko vaskular potensial,

tes darah dan koagulasi, EKG 12-lead, x-ray dada, dan ultrasonografi karotis

dilakukan saat pasien masuk.

Sesuai dengan studi klinis sebelumnya dan mengikuti protokol Unit

Stroke di rumah sakit kami, suhu aksila diukur oleh perawat. Suhu diperoleh

saat masuk dan setiap 4 jam selama 48 jam pertama. Suhu basal dan suhu

tertinggi dalam 24 pertama dipertimbangkan untuk analisis.


Subtipe stroke diklasifikasikan berdasarkan kriteria TOAST pada IS

dan sebagai hipertensi, amyloid, dalam kaitannya dengan pengobatan

antiplatelet/antikoagulan, dan sekunder untuk malformasi arteriovenosa atau

yang lain pada ICH.

Keparahan stroke dinilai oleh ahli saraf yang bersertifikat

internasional menggunakan National Institute of Health Stroke Scale

(NIHSS) saat masuk, 24, 48 dan 72 jam. Kerusakan neurologis dini (END)

didefinisikan sebagai peningkatan ≥4 poin dalam NIHSS dalam 72 jam

pertama dengan memperhatikan skor NIHSS awal. Hasil fungsional

dievaluasi pada 3 bulan dan hasil fungsional yang buruk, variabel hasil utama

dari penelitian, didefinisikan sebagai Rankin Scale modifikasi (mRS) dengan

nilai >2.

Penggunaan terapi reperfusi, inklusi dalam uji klinis dan adanya

infeksi selama 72 jam pertama juga dipertimbangkan untuk analisis.

Semua pasien menjalani computed tomography (CT) kranial saat

masuk dan CT kontrol antara hari ke 4 dan 7. Pada pasien dengan IS, MRI

multimodal (magnetic resonance imaging) juga dilakukan saat masuk.

Volume lesi diukur dengan menggunakan metode ABC/2 di DWI-MRI dan

CT kontrol pada pasien IS, dan CT saat masuk dan CT kontrol pada pasien

dengan ICH. Neuroradiologists dibutakan untuk data klinis dan analitis

melakukan semua studi pencitraan.


Tes laboratorium

Sampel darah, yang diperoleh dari semua pasien saat masuk

dikumpulkan dalam tabung uji kimia, disentrifugasi pada 3000 g selama 15

menit, dan segera dibekukan dan disimpan pada -80C. Kadar serum Glu

ditentukan dengan analisis kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) mengikuti

metode yang dijelaskan sebelumnya, sementara tingkat matriks aktif

metalloprotease-9 (MMP-9) (GE Healthcare - Amersham, Little Chalfont

Buckinghamshire, Inggris) diukur menggunakan ELISA komersial kit

mengikuti instruksi produsen. Koefisien variasi intra-assay dan inter-assay

adalah 1,7% dan 2,3% untuk Glu, dan 3,6% dan 6,6% untuk MMP-9 aktif,

masing-masing. Penentuan dilakukan di laboratorium independen yang

dibutakan untuk data klinis.

Analisis statistik

Hasilnya dinyatakan sebagai persentase untuk kategori variabel dan

sebagai mean (SD) atau median dan jangkauan (persentil ke-25 dan ke-75)

untuk variabel kontinyu tergantung pada apakah distribusi mereka normal

atau tidak. Tes Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menguji normalitas

distribusi. Proporsi dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square atau

Fisher, sedangkan variabel berkelanjutan antara kelompok dibandingkan

dengan Student t atau tes Mann-Whitney. Analisis Spearman atau Pearson

digunakan untuk korelasi bivariat. ANOVA digunakan untuk perbandingan

antara beberapa variabel kuantitatif. Pengaruh tingkat penanda molekuler dan


suhu pada hasil fungsional yang buruk pada 3 bulan dinilai dengan analisis

regresi logistik setelah disesuaikan untuk variabel-variabel dengan relevansi

biologi terbukti untuk hasil untuk menghindari kemungkinan menemukan

beberapa asosiasi palsu, dan bahwa efek dari beberapa prediktor pada titik

akhir tidak ditutupi oleh efek dari beberapa pembaur. Secara khusus, hasil

pembelahan yang telah dipilih untuk IS adalah usia, riwayat fibrilasi atrium,

NIHSS saat masuk, kadar glukosa dan volume DWI saat masuk; sementara

usia, antikoagulan sebelumnya, riwayat hipertensi, volume NIHSS dan ICH

saat masuk telah dipilih untuk ICH. Hasilnya dinyatakan sebagai odds ratio

yang disesuaikan (OR) dengan interval kepercayaan 95% yang sesuai (95%

CI). Hasil OR yang sesuai dengan masing-masing unit variabel yang sesuai

(misalnya, per unit NIHSS, per mL volume DWI, per ng MMP-9, per mM

glutamat, dll.). Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS 16.0 (SPSS

Inc.Chicago, IL, USA).

2.2.3 Hasil

Tabel 1 menunjukkan karakteristik klinis, biokimia dan neuroimaging

pasien Stroke Iskemik dan Perdarahan Intraserebral yang diklasifikasikan

sesuai dengan batasan T max , < 37.5 0C atau Tmax ≥ 37.50C untuk suhu

tubuh tertinggi dalam 24 jam pertama. Semua kelompok dibandingkan

berdasarkan karakteristik klinis, pengobatan farmakologis dan subtipe Stroke

Iskemik atau Perdarahan Intraserebral. Namun, pasien Stroke Iskemik dan


Perdarahan Intraserebral dengan Tmax ≥ 37.50C menunjukkan hasil

fungsional yang lebih buruk selama 3 bulan, luas infark atau volume

perdarahan intraserebral menjadi lebih besar pada hari ke-4 sampai hari ke-7,

dan terjadi peningkatan frekuensi infeksi. Selanjutnya, pasien Perdarahan

Intraserebral dengan Tmax ≥ 37.50C menunjukkan peningkatan kadar

glukosa, fibrinogen, protein C-reaktif sensitivitas tinggi (hs-CRP) dan

leukosit, sedangkan pasien Perdarahan Intraserebral dengan Tmax ≥ 37.5 0C

mengalami peningkatan frekuensi kerusakan neurologis dini. Berdasarkan

penanda molekuler, pasien Stroke Iskemik dengan Tmax ≥ 37.50C

menunjukkan peningkatan Glu. Dengan menggunakan kontras, pasien

Perdarahan Intraserebral dengan Tmax ≥ 37.50C menunjukkan tingkat MMP-

9 aktif yang lebih tinggi. Bahkan, peneliti menemukan korelasi kuat antara

tingkat Glu saat masuk dan saat suhu tubuh tertinggi dalam 24 jam pertama (r

= 0,458, p, 0,0001) untuk pasien Stroke Iskemik, dan antara tingkat MMP-9

aktif saat masuk dan saat suhu tubuh tertinggi dalam 24 jam pertama (r =

0,654, p, 0,0001) untuk pasien Perdarahan Intraserebral.

Dalam analisis multivariat, Tmax ≥ 37.50C dalam 24 jam pertama

secara independen terkait dengan hasil yang buruk pada masing-masing

pasien Stroke Iskemik (OR, 12,43; 95% CI, 3,73 41,48; p, 0,0001) (Tabel 2)

dan Perdarahan Intraserebral (OR, 4,29; 95 % CI, 1,32-13,91; p = 0,015)

(Tabel 3) setelah menyesuaikan variabel dengan relevansi bukti biologi

sebagai hasil. Namun, ketika tingkat penanda molekuler dimasukkan dalam

model regresi logistik, peneliti mengamati bahwa glutamat (OR, 1,01; 95%
CI, 1,00-1,02; p = 0,001) dan volume infark (OR, 1,06; 95% CI, 1,01-1,10 ; p

= 0,015) adalah satu-satunya variabel yang secara independen terkait dengan

hasil buruk pada Stroke Iskemik, serta MMP-9 aktif (OR, 1,04; 95% CI, 1,00-

1,08; p = 0,002) dan NIHSS saat masuk (OR, 1,29; 95% CI, 1,13 1,49; p,

0,0001) pada pasien Perdarahan Intraserebral ICH (Tabel 2 dan 3).


2.2.4 Pembahasan

Studi ini menunjukkan bahwa suhu tubuh dalam 24 jam pertama yaitu

≥ 37.50C memprediksikan hasil yang buruk pada kedua pasien dengan Stroke

Iskemik dan Perdarahan Intraserebral. Hasil ini sejalan dengan efek

hipertermia yang dapat merusak dalam patologi neuronal [6,7]. Namun,

pasien Stroke Iskemik dengan Tmax ≥ 37.50C menunjukkan tingkat glutamat

yang lebih tinggi, pasien Perdarahan Intraserebral dengan Tmax ≥ 37.5 0C

menunjukkan tingkat MMP-9 aktif yang lebih tinggi. Data klinis ini

tampaknya menunjukkan bahwa pada Stroke Iskemik, efek buruk hipertermia

pada hasil fungsional dapat dimediasi oleh glutamat dan volume infark, pada

Perdarahan Intraserebral dimediasi terutama oleh MMP-9 aktif dan defisit

neurologis saat masuk. Oleh karena itu, meskipun hasil buruk yang terkait

dengan hipertermia mirip pada pasien dengan Stroke Iskemik dan Perdarahan

Intraserebral, namun mekanisme yang mendasari mungkin seutuhnya

berbeda.

Hasil penelitian studi ini menunjukkan peran penting glutamat sebagai

efek perusak pada hipertermia selama fase akut Stroke Iskemik. Temuan ini

mendukung data eksperimen sebelumnya, di mana penelitian tersebut telah

menunjukkan bahwa efek suhu sangat terkait dengan eksitotoksisitas

glutamat. Bahkan, analisis respon inflamasi dan tingkat metabolisme

menunjukkan bahwa efek hipertermia pada kerusakan iskemik juga kurang

penting daripada eksitotoksisitas glutamat [10]. Sejalan dengan penelitian


sebelumnya [10], temuan ini memperkuat hipotesis yang menyatakan bahwa

terdapat efek menguntungkan dari pengobatan yang difokuskan pada

pengurangan hipertermia setelah iskemia, seperti hipotermia atau obat

antipiretik, dapat ditingkatkan dalam kombinasi dengan obat yang mampu

mengurangi eksitotoksisitas glutamat. (lihat [19] untuk review).

Di sisi lain, hal tersebut telah secara luas menggambarkan hubungan

antara hipertermia dan hasil fungsional yang buruk setelah Perdarahan

Intraserebral [9,14,20]. Namun, mekanisme molekuler yang terkait dengan

efek buruk hipertermia pada Perdarahan Intraserebral belum sepenuhnya

diklarifikasi. Telah disarankan bahwa proses molekuler seperti peradangan,

eksitotoksisitas glutamat, infeksi, dan proses dalam kaitannya dengan

pertumbuhan hematoma, yang menginduksi perubahan patofisiologi dini pada

sekitaran jaringan otak seperti kerusakan sawar darah otak (BBB) dan

perkembangan edema vasogenik, dianggap sebagai prediktor yang relevan

untuk hasil yang buruk pada Perdarahan Intraserebral, dapat terlibat dalam

konsekuensi buruk hipertermia [6,20]. Dalam penelitian ini, peneliti

menemukan hubungan antara hipertermia dan hasil yang buruk pada

Perdarahan Intraserebral tampaknya terutama dimediasi oleh MMP-9 aktif

(biomarker kerusakan sawar darah otak) dan defisit neurologis dini, tetapi

tidak dengan peningkatan kadar glutamat seperti yang terjadi pada Stroke

Iskemik. Pertumbuhan hematoma adalah salah satu komplikasi fisiologis

utama yang terkait dengan hasil buruk pada Perdarahan Intraserebral [14,20].

Meskipun mekanisme tepat yang terlibat dalam efek perusak dari


pertumbuhan hematoma dini selama fase akut juga kurang dipahami, MMPs

yang berlebih dan kerusakan BBB diusulkan sebagai dua proses yang paling

penting, terkait dengan pertumbuhan hematoma [3]. Demikian juga, MMP-9

tampaknya juga terlibat dalam cedera otak sekunder dan hasil akhir setelah

Perdarahan Intraserebral primer pada manusia [21-23]. Oleh karena itu, hasil

penelitian ini menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa, mekanisme diatas,

yaitu peningkatan MMP-9 aktif merupakan salah satu mekanisme paling

penting yang terlibat dalam hipertermi sebagai efek perusak pada Perdarahan

Intraserebral. Oleh karena itu, penelitian ini mengemukakan dasar pemikiran

bahwa manajemen hipertermia pada pasien Perdarahan Intraserebral harus

mencakup pengobatan yang mampu mengurangi aktivitas hematoma atau

MMP-9. Dalam hal ini, penggunaan obat-obatan antipiretik dan / atau selimut

pendingin dalam kombinasi dengan obat-obatan terhadap ekstensi hematoma

dapat membantu mengurangi efek buruk hipertermia.

Menariknya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksitotoksisitas

glutamat tampaknya tidak bertindak sebagai mekanisme penting yang terlibat

dalam efek hipertermia yang merusak pada Perdarahan Intraserebral seperti

yang terjadi pada iskemia. Meskipun penelitian eksperimental telah

menunjukkan bahwa glutamat yang terakumulasi secara sementara di daerah

perihematoma selama fase awal Perdarahan Intraserebral, peran spesifik

glutamat dalam cedera otak pada Perdarahan Intraserebral perlu dieksplorasi

lebih lanjut. Dalam kasus tersebut, model hewan saat ini (injeksi darah atau

kolagenase autologus) pada Perdarahan Intraserebral sulit untuk mengetahui


apakah peningkatan glutamat yang dihasilkan sebagai hasil dari efek buatan

gangguan jaringan setelah injeksi darah atau kolagenase, atau hal tersebut

disebabkan oleh efek massa edema perihematomal, yang dapat menyebabkan

hipoperfusi regional dengan kompresi mekanis pembuluh darah [24]. Selain

itu, studi klinis bahkan belum menunjukkan relevansi glutamat pada

Perdarahan Intraserebral. Oleh karena itu, penelitian eksperimental dan klinis

lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan peran glutamat dalam Perdarahan

Intraserebral.

Karena hipertermia sangat berbeda dari demam dalam beberapa aspek

mendasar, termasuk perubahan set point hipotalamus dalam demam tetapi

tidak pada hipertermia, peneliti menganggap bahwa satu keterbatasan

penelitian adalah pasien dengan hipertermia tidak diklasifikasikan menjadi

demam dan tanpa demam. Namun demikian, karena suhu tubuh adalah

variabel utama tetapi bukan mekanisme fisiologis yang terlibat dalam

peningkatan suhu, peneliti menganggap bahwa pembatasan ini tidak

mempengaruhi kesimpulan dari hasil penelitian ini.

Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa suhu tubuh

yang ≥ 37.50C dalam 24 jam pertama memprediksikan hasil buruk pada

pasien Stroke Iskemik dan Perdarahan Intraserebral, tetapi mekanisme yang

mendasari berbeda, yaitu eksitotoksisitas glutamat dan volume infark pada

Stroke Iskemik dan MMP-9 aktif serta defisit neurologis pada kasus

Perdarahan Intraserebral. Oleh karena itu, strategi perlindungan masa depan


yang difokuskan pada manajemen efek hipertermia pada Stroke Iskemik dan

Perdarahan Intraserebral harus dirancang dengan mempertimbangkan

mekanisme yang terlibat.


BAB III

TELAAH JURNAL

3.1 Identifikasi PICO

Berikut adalah identifikasi PICO untuk jurnal ini adalah sebagai berikut:

3.1.1 Patiens

Pasien pada penelitian ini adalah penderita Stroke Iskemik (n = 100) dan

Perdarahan Intraserebral (n = 100) dalam 12 jam pertama dari onset gejala.

Kemudian, pasien Stroke Iskemik dan Perdarahan Intraserebral dimasukkan ke

dalam 2 subkelompok, sesuai dengan suhu tubuh tertinggi dalam 24 jam pertama:

Tmax < 37.50C dan Tmax ≥ 37.50C, hingga mencapai 50 pasien per subkelompok.

Periode penerimaan adalah dari April 2009 hingga Juli 2012.

3.1.2 Intervention

Intervensi yang dilakukan adalah pemberian metamizol (2 g

intravena) atau parasetamol (500 mg per oral) setiap 6 jam pada pasien

dengan suhu aksila ≥ 37.50C.


3.1.3 Comparison

Peneliti membandingkan hasil akhir dan mekanisme hipertermi pada

stroke iskemik dan perdarahan intraserebral dengan variabel independen pada

stroke iskemik adalah usia, riwayat fibrilasi atrium, NIHSS saat masuk, kadar

glukosa dan volume DWI saat masuk, NIHSS saat masuk, kadar glutamat dan

jumlah MMP-9 aktif.; sedangkan variabel independen perdarahan intraserebral

adalah usia, antikoagulan sebelumnya, riwayat hipertensi, volume ICH saat

masuk, NIHSS saat masuk, dan kadar glutamat dan jumlah MMP-9 aktif.

3.1.4 Outcome

Dengan suhu tubuh ≥ 37.50C dalam 24 jam pertama memprediksikan

hasil buruk pada pasien Stroke Iskemik dan Perdarahan Intraserebral, tetapi

mekanisme yang mendasari keduanya berbeda, yaitu eksitotoksisitas glutamat

dan volume infark pada Stroke Iskemik dan MMP-9 aktif serta defisit

neurologis pada kasus Perdarahan Intraserebral. Oleh karena itu, strategi

manajemen hipertermia pada Stroke Iskemik dan Perdarahan Intraserebral

harus dirancang untuk mengurangi efek buruk pada pasien.


Critical appraisal of Prognostic studies
Are the results of the study valid? (Internal Validity)

A. VALIDITY
1.Was the defined representative sample of patients assembled at a common
(usually early) point in the course of their disease)?

Apakah pasien merupakan sampel yang representatif dan merupakan pasien


yang tergolong kelompok awal pada perjalanan penyakit mereka?

Jawaban: Ya. Sampel yang digunakan sebanyak 200 sampel dengan 100 sampel
pada Stroke Iskemik dan 100 pada Perdarahan Intraserebral dalam 12 jam pertama
dari onset gejala. Secara khusus, pasien IS dan ICH secara berurutan dimasukkan ke
dalam 2 subkelompok, sesuai dengan suhu tubuh tertinggi dalam 24 jam pertama:
Tmax < 37.50C dan Tmax ≥ 37.50C, hingga mencapai 50 pasien per subkelompok
suhu untuk pasien IS dan ICH. Periode penerimaan adalah dari April 2009 hingga
Juli 2012. Studi ini dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki dari World Medical
Association (2008) dan disetujui oleh Komite Etika Penelitian Klinis Galicia
(CEIC). Pasien direkrut dari perawatan unit stroke

What is the best? Where do I find the information?


It is preferable if study patients are enrolled at a The Methods section should describe the stage
uniformly early time in the disease usually at which patients entered the study (e.g., at the
when disease first becomes manifest. Such time of first myocardial infarction; Stage 3
groups of patients are called an ‘inception breast cancer). The Methods section should also
cohort’. Patients should also be representative provide information about patient recruitment,
of the underlying population. Patients from whether patients were recruited from primary
tertiary referral centres may have more care or tertiary referral centres.
advanced disease and poorer prognoses than
patients form primary care.

Hal tersebut lebih baik jika pasien dalam studi Bagian Metode harus menggambarkan tahap di

terdaftar pada waktu yang seragam di awal mana pasien memasuki penelitian (misalnya,

penyakit biasanya ketika penyakit pertama pada saat infark miokard pertama; Kanker

menjadi nyata. Kelompok pasien semacam itu payudara stadium 3). Bagian Metode juga harus
disebut 'kelompok awal'. Pasien juga harus memberikan informasi tentang rekrutmen
mewakili populasi yang mendasari. Pasien dari pasien, apakah pasien direkrut dari perawatan
pusat rujukan tersier mungkin memiliki primer atau pusat rujukan tersier.
penyakit yang lebih lanjut dan prognosis yang
lebih buruk daripada pasien yang membentuk
perawatan primer.

2. Was patient follow-up sufficiently long and complete?

Apakah waktu follow up pasien cukup lama dan lengkap?

Jawaban: Ya. Sampel penelitian ini di follow up selama 3 bulan dan tidak ada pasien yang lose to
follow up
What is the best? Where do I find the information?
Length of follow-up should be long enough to The Results section should state the median or
detect the outcome of interest. This will vary mean length of follow-up. The Results section
depending on the outcome (e.g., for pregnancy should also provide the number of and the
outcomes, nine months; for cancer, many reasons for patients being unavailable for
years). All patients should be followed from the follow-up. A comparison of the two groups
beginning of the study until the outcome of (those available and those unavailable) may be
interest or death occurs. Reasons for non presented in table form or the authors may
follow-up should be provided along with simply state in the text whether or not there
comparison of the demographic and clinical were differences.
characteristics of the patients who were
unavailable and those in whom follow-up was
complete.

Lama follow-up harus cukup lama untuk


Bagian Hasil harus menyatakan median atau
mendeteksi hasil yang diinginkan. Dan ini akan
rata-rata lama tindak lanjut. Bagian Hasil juga
bervariasi tergantung pada hasil (misalnya,
harus memberikan jumlah dan alasan untuk
untuk hasil kehamilan, sembilan bulan; untuk
pasien yang tidak bersedia untuk di follow-up.
kanker, bertahun-tahun). Semua pasien harus
Perbandingan kedua kelompok (yang tersedia
diikuti sejak awal penelitian sampai hasil yang
dan yang tidak tersedia) dapat disajikan dalam
diinginakn atau kematian terjadi. Alasan untuk
tidak melakukan follow-up harus diberikan bentuk tabel atau penulis mungkin hanya
bersama dengan perbandingan karakteristik menyatakan dalam teks apakah ada perbedaan
demografi dan klinis pasien yang tidak tersedia atau tidak.
dan mereka yang follow up nya belum selesai.

3. Were outcome criteria either objective or applied in a ‘blind’ fashion?

Apakah kriteria hasil baik obyektif atau yang diaplikasikan dalam bentuk 'penyamaran'?

Jawaban: Tidak. Didalam jurnal tidak dijelaskan mengenai blinding baik pada metode maupun
hasil penelitian
What is the best? Where do I find the information?
A clear definition of all outcomes should be The Methods section should provide a clear
provided. It is ideal if less objective outcomes definition or explicit criteria for each outcome
are assessed blindly, that is, the individual and whether determination is blinded to
determining the outcome does not know prognostic factors will be found in either the
whether the patient has a potential prognostic Methods or Results sections.
factor.

Definisi yang jelas tentang semua hasil harus


disediakan. Hal ini sangat ideal jika hasil yang Bagian Metode harus memberikan definisi yang

kurang obyektif dinilai tanpa penyamaran, jelas atau kriteria eksplisit untuk setiap hasil

yaitu, individu yang menentukan hasilnya tidak dan apakah penentuan di blinding untuk faktor

tahu apakah pasien memiliki faktor prognostik prognostik yang akan ditemukan baik di Bagian

potensial. Metode atau Hasil.

4. If subgroups with different prognoses are identified, did adjustment for


important prognostic factors take place?

Jika subkelompok dengan prognosis berbeda diidentifikasi, apakah penyesuaian


untuk faktor prognostik dilakukan?

Jawaban: Ya. Identifikasi prognosis pada subkelompok sudah dilakukan dan dilakukan
penyesuaian (adjustment) untuk setiap faktor prognostiknya.
What is the best? Where do I find the information?
A prognostic factor is a patient characteristic The Results section should identify any
(e.g., age, stage of disease) that predicts the prognostic factors and whether or not these
patient’s eventual outcome. The study should have been adjusted for in the analysis. Also
adjust for known prognostic factors in the look at the tables and figures for evidence of
analysis so that results are not distorted. this (e.g., there may be separate survival curves
for patients at different stages of disease or for
different age groups).

Faktor prognostik adalah karakteristik pasien Bagian Hasil harus mengidentifikasi apa saja
(misalnya usia, tahap penyakit) yang faktor prognostik dan apakah hal tersebut sudah
memprediksi hasil akhir pasien. Studi atau belum disesuaikan dalam analisis. Juga
seharusnya menyesuaikan faktor prognosis lihat pada tabel dan angka sebagai bukti (mis.,
yang di analisis sehingga hasilnya tidak mungkin ada kurva kelangsungan hidup
terdistorsi. terpisah untuk pasien pada berbagai tahap
penyakit atau untuk kelompok usia yang
berbeda).

B. IMPORTANT
How likely are the outcomes over time?
Seberapa mungkin hasil akhirnya di informasikan dari waktu ke waktu?

Jawaban: Hasil akhir prognosis dalam penelitian ini hanya ditampilkan dalam bentuk tabel
sehingga informasi yang diberikan hanya sedikit.

There are several different ways of reporting outcomes of disease. Often they are reported
simply as a rate (e.g., the proportion of people experiencing an event). Expressing prognosis
as a rate has some advantages. It is simple, easily communicated and understood and readily
committed to memory. Unfortunately, rates convey very little information and there can be
important differences in prognosis within similar summary rates. For this reason survival
curve are used to estimate survival of a cohort over time. It is a useful method for describing
any dichotomous outcome (not just survival) that occurs only once during the follow-up
period, The figure below shows the survival curves for three diseases with the same survival
rate at 5 years. Notice that the summary rate obscures important differences to patients

Ada beberapa cara berbeda untuk melaporkan hasil penyakit. Seringkali mereka dilaporkan
hanya sebagai rate (misalnya, proporsi orang yang mengalami peristiwa). Mengekspresikan
prognosis sebagai angka memiliki beberapa keuntungan.Karena caranya sederhana, mudah
dikomunikasikan dan dipahami dan mudah untuk diingat. Sayangnya, tampilan rate hanya
menyampaikan sedikit informasi dan ada perbedaan penting pada prognosis dalam tingkat
ringkasan yang sama. Untuk alasan ini kurva survival digunakan untuk memperkirakan
kelangsungan hidup suatu kelompok dari waktu ke waktu. Ini merupakan metode yang berguna
untuk menggambarkan hasil dikotomis (bukan hanya bertahan hidup) yang terjadi hanya sekali
selama periode tindak lanjut, Gambar di bawah ini menunjukkan kurva survival untuk tiga
penyakit dengan tingkat kelangsungan hidup yang sama pada 5 tahun. Perhatikan bahwa tingkat
ringkasan mengaburkan perbedaan penting pada pasien.

How precise are the prognostic estimates?


Seberapa tepat perkiraan prognostiknya?

Jawaban: Perkiraan prognostiknya berdasarkan confidence interval adalah 95% dan itu termasuk
baik.

To determine the precision of the estimates we need to look at the 95% confidence
intervals (CI) around the estimate. The narrower the CI, the more useful the estimate. The
precision of the estimates depends on the number of observations on which the estimate is
based. Since earlier follow-up periods usually include results from more patients than later
periods, estimates on the left hand side of the curve are usually more precise. Observations
on the right or tail end of the curve are usually based on a very small number of people
because of deaths, dropouts and late entrants to the study. Consequently, estimates of
survival at the end of the follow-up period are relatively imprecise and can be affected by
what happens to only a few people.

Untuk menentukan ketepatan perkiraan, kita perlu melihat interval kepercayaan 95% (CI)
di sekitar perkiraan. Semakin sempit CI, semakin bermanfaat perkiraannya. Ketepatan
perkiraan bergantung pada jumlah observasi yang menjadi dasar perkiraan. Karena periode
tindak lanjut awal biasanya termasuk hasil dari lebih banyak pasien daripada periode
selanjutnya, perkiraan di sisi kiri kurva biasanya lebih tepat. Pengamatan pada ujung
kanan atau ujung kurva biasanya didasarkan pada sejumlah kecil orang karena kematian,
putus sekolah dan terlambat masuk ke penelitian. Akibatnya, perkiraan kelangsungan
hidup pada akhir periode tindak lanjut relatif tidak tepat dan dapat dipengaruhi oleh apa
yang terjadi pada hanya beberapa orang.
C. APPICABILITY
Can I apply this valid, important evidence about prognosis to my patient?
Dapatkah saya mengaplikasikan validitas, important evidence prognosis ini kepada pasien saya?

The questions that you should ask before you decide to apply the results of the study to
your patients are:
Pertanyaan ini sebaiknya di tanyakan sebelum anda menentukan untuk mengaplikasikan
hasil dari penelitian ke pasien anda:

- Is my patient so different to those in the study that the results cannot


apply?
Apakah pasien saya berbeda dengan penelitian sehingga hasilnya tidak
dapat diaplikasikan?

Tidak, pasien nya tidak begitu berbeda dari pasien Stroke Iskemik dan
Perdarahan Intraserebral pada umumnya yang dapat mengalami hipertermi.

- Will this evidence make a clinically important impact on my conclusions


about what to offer to tell my patients ?
Apakah bukti ini akan memberikan dampak yang penting secara klinis
pada kesimpulan saya tentang apa yang harus ditawarkan untuk
memberi tahu pasien saya

Ya, bukti ini akan memberikan dampak penting secara klinis pada kesimpulan
saya tentang dampak hipertermi (demam) dapat memberikan efek yang buruk
pada stroke iskemik dan perdarahan intraserebral.
BAB IV

KESIMPULAN

1. Penelitian ini termasuk valid karena dari 4 pertanyaan valid terdapat 3


jawaban yang sesuai dengan pertanyaan mengenai validitas.
2. Perkiraan prognostik pada penelitian ini mengenai efek hipertermia pada
stroke iskemik dan perdarahan intraserebral tergolong tepat karena
memiliki Confidence Interval sebesar 95%.
3. Penelitian ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari karena
pasien nya tidak begitu berbeda dari pasien Stroke Iskemik dan Perdarahan
Intraserebral pada umumnya yang dapat mengalami hipertermi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tomsick TA, Khatri P, Jovin T, Demaerschalk B, Malisch T, et al. (2010)


Equipoise among recanalization strategies. Neurology 74:1069–1076.
2. Katsuki H (2010) Exploring neuroprotective drug therapies for intracerebral
hemorrhage. J Pharmacol Sci 114:366–378.
3. Belur PK, Chang JJ, He S, Emanuel BA, Mack WJ (2013) Emerging
experimental therapies for intracerebral hemorrhage: targeting mechanisms of
secondary brain injury. Neurosurg Focus 34:E9.
4. Castillo J, Martinez F, Leira R, Prieto JMM, Lema M, et al. (1994) Mortality
and Morbidity of Acute Cerebral Infarction Related to Temperature and Basal
Analytic Parameters. Cerebrovasc Dis 4: 66–71.
5. Den Hertog HM, van der Worp HB, van Gemert HM, Algra A, Kappelle LJ,
et al. (2011) An early rise in body temperature is related to unfavorable
outcome after stroke: data from the PAIS study. J Neurol 258: 302–307.
6. Balami JS, Buchan AM (2012) Complications of intracerebral haemorrhage.
Lancet Neurol 11:101–118.
7. Blanco M, Campos F, Rodrı´guez-Ya´n˜ez M, Arias S, Ferna´ndez-Ferro J, et
al. (2012) Neuroprotection or increased brain damage mediated by
temperature in stroke is time dependent. PLoS One 7: e30700.
8. Campos F, Blanco M, Barral D, Agulla J, Ramos-Cabrer P, et al. (2012)
Influence of temperature on ischemic brain: basic and clinical principles.
Neurochem Int 60: 495–505.
9. Rincon F, Lyden P, Mayer SA (2013) Relationship between temperature,
hematoma growth, and functional outcome after intracerebral hemorrhage.
Neurocrit Care 18: 45–53.
10. Campos F, Pe´rez-Mato M, Agulla J, Blanco M, Barral D, et al. (2012)
Glutamate excitoxicity is the key molecular mechanism which is influenced
by body temperature during the acute phase of brain stroke. PLoS One 7:
e44191.
11. Castillo J, Da´valos A, Noya M (1997) Progression of ischaemic stroke and
excitotoxic aminoacids. Lancet 349:79–83.
12. Qureshi AI, Ali Z, Suri MF, Shuaib A, Baker G, et al. (2003) Extracellular
glutamate and other amino acids in experimental intracerebral hemorrhage: an
in vivo microdialysis study. Crit Care Med 31:1482–1489.
13. Lee ST, Chu K, Jung KH, Kim J, Kim EH, et al. (2006) Memantine reduces
hematoma expansion in experimental intracerebral hemorrhage, resulting in
functional improvement. J Cereb Blood Flow Metab 26:536–544.
14. Reith J, Jørgensen HS, Pedersen PM, Nakayama H, Raaschou HO, et al.
(1996) Body temperature in acute stroke: relation to stroke severity, infarct
size, mortality, and outcome. Lancet 347: 422–425.
15. Leira R, Rodrı´guez-Ya´n˜ez M, Castellanos M, Blanco M, Nombela F, et al.
(2006) Hyperthermia is a surrogate marker of inflammation-mediated cause
of brain damage in acute ischaemic stroke. J Intern Med 260: 343–349.
16. Adams HP Jr, Bendixen BH, Kappelle LJ, Biller J, Love BB, et al. (1993)
Classification of subtype of acute ischemic stroke. Definitions for use in a
multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org 10172 in Acute Stroke
Treatment. Stroke 24: 35–41.
17. Sims JR, Gharai LR, Schaefer PW, Vangel M, Rosenthal ES, et al. (2009)
ABC/ 2 for rapid clinical estimate of infarct, perfusion, and mismatch
volumes. Neurology 72: 2104–2110.
18. Rodrı´guez-Ya´n˜ez M, Sobrino T, Arias S, Va´zquez-Herrero F, Brea D, et
al. (2011) Early biomarkers of clinical-diffusion mismatch in acute ischemic
stroke. Stroke 42: 2813–2818.
19. Campos F, Sobrino T, Ramos-Cabrer P, Castillo J (2012) Oxaloacetate: a
novel neuroprotective for acute ischemic stroke. Int J Biochem Cell Biol.
44:262–265.
20. Balami JS, Buchan AM (2012) Complications of intracerebral haemorrhage.
Lancet Neurol 11:101–118.
21. Abilleira S, Montaner J, Molina CA, Monasterio J, Castillo J, et al. (2003)
Matrix metalloproteinase-9 concentration after spontaneous intracerebral
hemorrhage. J Neurosurg 99: 65–70.
22. Silva Y, Leira R, Tejada J, Lainez JM, Castillo J, et al. (2005) Molecular
signatures of vascular injury are associated with early growth of intracerebral
hemorrhage. Stroke 36: 86–91.
23. Li N, Liu YF, Ma L, Worthmann H, Wang YL, et al. (2013) Association of
molecular markers with perihematomal edema and clinical outcome in
intracerebral hemorrhage. Stroke 44: 658–663.
24. Belur PK, Chang JJ, He S, Emanuel BA, Mack WJ (2013) Emerging
experimental therapies for intracerebral hemorrhage: targeting mechanisms of
secondary brain injury. Neurosurg Focus 34:E9.

Anda mungkin juga menyukai