Anda di halaman 1dari 7

Terapi Komplementer

Terapi Hipotermia pada pasien Cedera Otak


Traumatik (COT)

Dosen Pengampu: Ns. Tony Suharsono, M.Kep


Mata Kuliah Gawat Darurat Lanjut I

Oleh:

Oscar Ari Wiryansyah


NIM. 166070300111037

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

0
2017
Terapi Hipotermia pada pasien Cedera Otak Traumatik (COT)

1. Latar Belakang
Pasien dengan Cedera Otak Traumatik ini memiliki risiko hipertensi
intrakranial, secara nyata dipengaruhi oleh perubahan suhu tubuh karena aliran
darah otak (cerebral blood flow) akan meningkat seiring dengan peningkatan
suhu tubuh. Peningkatan volume darah otak yang dihubungkan dengan kenaikan
suhu tubuh akan meningkatkan tekanan intrakranial ICP (intracranial pressure)
dan menyebabkan otak berisiko terkena cedera lain. Karena itu, salah satu terapi
yang bisa dilakukan adalah terapi hipertermia, dilain sisi terdapat asumsi jika
hipertermia meningkatkan resiko kerusakan sel neuron dan menempatkan pasien
beresiko terjadinya cedera otak sekunder melalui adanya peningkatan ICP. Akan
tetapi, strategi managemen terapi klinis untuk praktisi sering tidak efektif dan
mungkin merupakan kontraindikasi pada pasien COT. Pengendalian normotermia
(pencegahan panas dengan pendinginan intravaskuler) efektif dalam mengurangi
panas dan beratnya cedera otak sekunder setelah cedera kepala berat akibat
dari penurunan tekanan intrakranial dan panas (1). Terapi Hipotermia (TH)
adalah pertolongan pertama untuk Cedera Otak Traumatik yang dikembangkan
dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mencapai keuntungan maksimum, terapi
hipotermi harus diberikan sesegera mungkin, langsung ke target suhu yang
diinginkan dan diberikan dalam jangka waktu lama hal ini dilakukan agar tidak
terjadinya peningkatan tekanan intracranial secara cepat yang dapat berdampak
pada kematian.
Hipotermia ringan telah terbukti protektif dalam berbagai model cedera
otak termasuk cedera otak traumatik. Pengetahuan yang lebih dalam tentang
mekanisme fisiopatologis yang terlibat dalam kejanggalan cedera otak dan
penyebab kerusakan otak sekunder mungkin memberi cara baru untuk
neuroproteksi sekunder (2). Penelitian single-center dan meta-analisis yang
terbaru tahun 2016 menunjukkan bahwa hipotermia terapeutik (TH), yang suhu
tubuh dipertahankan pada 32-35C, memberikan neuroproteksi yang signifikan
dan mengurangi hipertensi intrakranial sekunder setelah cedera otak traumatis
(3). Penulis memilih Terapi Hipotermia (TH) sebagai terapi komplementer untuk
Cedera Otak traumatik, karena TH bukan merupakan suatu pengobatan
farmakalogi dan dapat dilakukan oleh perawat saat melakukan penyelamatan
pasien dengan Cedera Otak Traumatik.

2. Manfaat
Terapi hipotermia (TH) memainkan peran penting dalam perlindungan
fungsional otak, jantung, hati, ginjal, dan organ vital lainnya pada pasien yang
menjalani resusitasi kardiopulmoner atau menderita kerusakan otak hipoksia-
iskemik dan kegagalan beberapa organ. Pada pasien terapi TH bisa
memperbaiki metabolisme energi seluler; Menurunkan tingkat metabolisme basal
jaringan dan organ tubuh, konsumsi oksigen dan energi, pembentukan radikal

1
oksigen dan kelebihan kalsium intraselular, memperbaiki nekrosis sel dan
apoptosis, mempromosikan pemulihan sinyal interselular, meringankan edema
serebral dan mengurangi tekanan intrakranial. Terapi TH secara signifikan dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien dan mengurangi tingkat kecacatan atau
kematian. Semakin dini terapi diberikan, semakin penting efek perlindungannya
(4).
Terapi hipotermia adalah cara baru untuk mengobati trauma
kraniocerebral dalam beberapa tahun terakhir, yang bertujuan untuk mengurangi
tingkat metabolisme dan konsumsi oksigen dasar jaringan otak dan mengurangi
pelepasan produk sampingan beracun sehingga dapat meringankan edema dan
menurunkan ICP dengan mempertahankan suhu tubuh pada suhu 32-34oC.
Setelah diobati dengan terapi bantu hipotermia ringan, tingkat metabolisme dan
tekanan intrakranial pasien dengan cedera craniocerebral menurun secara jelas,
perfusi aliran darah serebral mereka meningkat dengan jelas dan pelepasan
produk metabolik yang merugikan juga berkurang secara mencolok, yang
bermanfaat bagi pemulihan fungsi neurologis (5).

3. Tinjauan literature
Dalam penelitian oleh Max Andresen et al (2015), Hipotermia terapi, yang
baru-baru ini disebut target temperature management (TTM), adalah landasan
strategi neuroprotektif. Meskipun hipotermia menurunkan tingkat metabolisme
untuk mengembalikan suplai dan permintaan O2, ia memiliki efek spesifik pada
jaringan lainnya, seperti mengurangi sifat excitotoxicity, membatasi peradangan,
mencegah penipisan ATP, mengurangi produksi radikal bebas dan juga kelebihan
kalsium intraselular untuk menghindari apoptosis. Saat ini, hipotermia ringan
(33C) telah menjadi standar dalam perawatan pasca resusitasi dan asfiksia
perinatal. Namun, bukti menunjukkan bahwa hipotermia bisa bermanfaat pada
cedera neurologis, seperti stroke, perdarahan subarachnoid dan cedera otak
traumatis. Dalam penelitian ini membahas bukti dasar dan klinis yang
mendukung penggunaan hipotermia terapi dalam perawatan kritis untuk cedera
otak akut yang melampaui perawatan setelah serangan jantung, seperti stroke
iskemik dan hemoragik, perdarahan subarachnoid, dan cedera otak traumatis.
Penelitian ini juga memberikan gambaran umum tentang teknik dan protokol dan
konsekuensi patofisiologis hipotermia serta menyertakan pengalaman peneliti
untuk mengelola pasien dengan cedera otak akut yang diobati dengan
menggunakan hipotermia endovaskular (6). Penelitian lain tentang terapi
hipotermia yang dilakukan oleh Dewi Yuliani Bisri (2014) bahwa mekanisme
proteksi otak hipotermi adalah mengurangi kebutuhan metabolik, cerebral
metabolic rate for oxygen (CMRO2), eksitotoksisitas, menurunkan pelepasan
glutamat, menurunkan pembentukan radikal bebas, mengurangi pembentukan
edema, stabilisasi membran, memelihara adenosine triphosphate (ATP),
menurunkan influx Ca, dan tekanan intrakranial. Sedangkan komplikasi hipotermi
berat adalah pneumonia, sepsis, disritmia jantung, hipotensi, masalah
perdarahan dan menggigil. Temperatur ideal untuk hipotermia terapeutik adalah

2
35oC. Untuk menggunakan hipotermia sebagai neuroprotektor, diperlukan
mencapai keadaan hipotermi secepat mungkin setelah cedera dan pertahankan
pada level aman. Metode hipotermi terapeutik adalah pendinginan permukaan
tubuh, pendinginan endovaskuler, pendinginan kepala. Selama penghangatan
kembali pasien dengan hipertensi intrakranial telah diketahui bisa terjadi
peningkatan tekanan intrakranial selama pemanasan yang cepat. Dianjurkan
pemanasan lambat lebih dari 12 jam dengan kecepatan 0,1oC/jam. Sebagai
simpulan, hipotermi terapeutik masih kontroversi, tapi dalam situasi klinik
pertahankan suhu pasien 35oC dan harus dihindari temperatur lebih dari 37oC.
Untuk mencapai suhu inti 35oC dianjurkan digunakan metode pendinginan
permukaan tubuh (1).

4. Pembahasan
Teknik untuk menginduksi dan mempertahankan hipotermia dapat dibagi
menjadi dua jenis: metode pendinginan eksternal dan internal. Jenis pertama
mencakup penggunaan selimut pendingin, bungkus es, penggunaan alkohol,
perendaman air dingin, lavage lambung garam dingin, dan pendinginan lokal
menggunakan perangkat helm. Namun, terlepas dari sifat non-invasifnya, metode
ini memiliki beberapa kelemahan, seperti penerapan yang kompleks, terutama
pada pasien obesitas, persyaratan keperawatan tinggi, vasokonstriksi kulit yang
intens (menggigil), pencapaian yang lambat pada suhu yang diinginkan dan suhu
yang tidak menentu. Perangkat pendinginan permukaan lainnya memungkinkan
pertukaran panas oleh sirkulasi eksternal, dan menggunakan mekanisme suhu
kontrol umpan balik otomatis. Mengikuti jantung, penerapann itu tampak aman
dan efektif dalam menjaga suhu tubuh target (6). Tipe kedua mencakup metode
pendinginan internal yang menggunakan kateter vena sentral untuk memberikan
cairan dingin secara langsung untuk mengurangi suhu darah melalui konveksi.
Sebuah studi tunggal membandingkan tingkat pendinginan untuk metode
eksternal dan internal, yang menunjukkan tingkat 0,9 C / jam dan 4,8 C / jam,
masing-masing Hipotermia terinduksi dapat dipisahkan menjadi tiga fase: induksi,
perawatan dan rewarming, setiap fase menghasilkan beberapa perubahan pada
fisiologi normal, Dokter harus menyadari kejadian ketiga fase dan perbedaan
antar individu. Induksi hipotermia harus dimulai sesegera mungkin untuk
meminimalkan kerusakan neurologis. Mengkonversikan cairan dingin, misalnya,
Ringer Laktat > 25 ml / kg pada suhu 4 C, adalah metode termudah dan paling
efektif untuk menginduksi hipotermia. Selama hipotermia, suhu sentral pasien
harus dipantau secara ketat. Lokasi probe yang disukai adalah suhu otak atau
inti, seperti vena sentral, esofagus, timpani, nasofaring, kandung kemih dan
rectum (6).
Pengelolaan tradisional hipertermi setelah COT adalah dengan
memberikan antipiretik, selimut pendingin, ice packs, dan beberapa kasus
blockade neuromuskuler. Ada kekurangan dari evaluasi literatur tentang
efektivitas antipiretik tradisional seperti asetaminofen, paracetamol, aspirin, dan
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) untuk hipertermia akibat COT.

3
Induksi hipotermi dapat dilakukan dengan pendinginan permukaan (surface
cooling), endovascular cooling, selective head cooling. Surface cooling dapat
dilakukan dengan kantong es, helm, vests, mattresses, intravenous cooling,
intravascular cooling devices, selective brain cooling (pharyngeal). Pendinginan
intravena dilakukan dengan memberikan 2030 mL/kg larutan kristaloid (4 oC),
diberikan lebih dari 30 menit dan dengan teknik ini risiko terjadinya pneumonia
kecil. Surface cooling dilakukan dengan selimut dingin dan kantong es
merupakan metode yang sangat sederhana, dan butuh 3 jam untuk mencapai
target suhu, kebutuhan obat pelumpuh otot dan intubasi untuk melawan
vasokonstriksi dan menggigil. Endovascular cooling membutuhkan waktu yang
lebih singkat untuk mencapai temperatur target, tidak diperlukan pelumpuh otot
dan intubasi dan pengendalian menggigil. Head cooling adalah selective head
cooling dengan hipotermia sistemik ringan dan diberikan pada neonatal
ensephalopati. Lebih rendah temperatur, lebih dalam proteksi otak dengan
hipotermia, tapi dengan lebih rendahnya temperatur, efek samping akan
meningkat. Kedalaman optimal dari hipotermia terapeutik harus seimbang antara
proteksi otak maksimal dan efek samping yang minimal. Dari data eksperimental
dan pengalaman klinis, temperature optimal adalah dalam rentang 34oC dan
35oC (1).
Secara klinis penggunaan hipotermi pada pasien pascacedera otak
traumatik, stroke, aneurisma serebral mungkin mempunyai efek menguntungkan
dalam hal penurunan ICP dan kemungkinan proteksi otak. Akan tetapi, sampai
saat ini penelitian klinis belum membenarkan penggunaan hipotermi untuk
proteksi otak pada keadaan-keadaaan tersebut.Untuk mencapai keuntungan
maksimum, terapi hipotermi harus diberikan sesegera mungkin, langsung ke
target suhu yang diinginkan dan diberikan dalam jangka waktu lama. Pasien
yang menunjukkan respons terhadap teurapetik hipotermia adalah pasien usia
muda (<15 tahun) dan yang mengalami cedera kepala berat dengan GCS 4
sampai 7 saat masuk ke rumah sakit. Ada beberapa komplikasi serius dari
hipotermia yang membatasi efek menguntungkan dalam memelihara fungsi
neuron. Keadaan ini kebanyakan terjadi pada hipotermia berat dan sedang.
Komplikasi yang terjadi dapat mengenai sistem kardiovaskuler, gangguan
koagulasi, perlambatan metabolism obat, dan menggigil. Komplikasi
kardiovaskuler antara lain depresi miokardium, disritmia, hipotensi, dan perfusi
jaringan yang tidak adekuat. Untuk menghindari komplikasi sistemik akibat
pendinginan seluruh tubuh (total body cooling) peneliti-peneliti mencoba
melakukan pendinginan secara selektif hanya pada serebralnya saja. Alat-alat
pendinginan eksternal telah terbukti efektif dalam mendinginkan secara selektif
pada otak saja pada binatang kecil. Sayangnya, tidak berhasil dilakukan pada
binatang yang lebih besar. Penelitian lain menunjukkan kelambatan teknik ini
yaitu ketidak mampuan mencapai bagian otak yang dalam. Sebaliknya,
extracorporeal cerebral bypass hypothermia efektif untuk melakukan pendinginan
otak secara selektif, akan tetapi, teknik ini memerlukan heparin yang menjadi

4
sulit pada pasien trauma pembuluh darah, embolisasai, edema serebral idiopatik
dan telah ditinggalkan karena tidak praktis dan tidak aman (1).
5. Kesimpulan
Hipotermi terapeutik masih kontroversi, akan tetapi, dalam situasi klinik
pertahankan suhu pasien 35oC dan hindari suhu tubuh pasien lebih dari 37 oC,
lakukan terapeutik hipotermi minimal 5 hari, hal ini dilakukan agar tidak terjadinya
gangguan fungsional otak, meringankan edema serebral dan mengurangi
tekanan intrakranial. Terapi TH dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan
mengurangi tingkat kecacatan atau kematian pada pasien dengan Cedera Otak
traumatic (COT). Semakin dini terapi diberikan, semakin penting efek
perlindungannya., dan belum diketahui, dan sekarang penelitian yang lebih besar
sedang dilakukan.

5
Referensi
1. Bisri DY, Bisri T. Terapi Hipotermi setelah Cedera Otak Traumatik
Hypothermia Therapy after Traumatic Brain Injury. 3(3):18998.
2. Bao L, Xu F. Fundamental research progress of mild hypothermia in
cerebral protection. Springerplus [Internet]. 2013;2(1):306. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3710408&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
3. Zhu Y, Yin H, Zhang R, Ye X, Wei J. Therapeutic hypothermia versus
normothermia in adult patients with traumatic brain injury: a meta-analysis.
Springerplus [Internet]. 2016;5(1):801. Available from:
http://springerplus.springeropen.com/articles/10.1186/s40064-016-2391-2
4. Liu P, Yang R, Zuo Z. Application of a novel rectal cooling device in
hypothermia therapy after cerebral hypoxia-ischemia in rats. BMC
Anesthesiol [Internet]. 2016;16:77. Available from:
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?
T=JS&PAGE=reference&D=prem&NEWS=N&AN=27613331
5. Zhang C, Li J-M, Dou D-Z, Hu J-L. Clinical study on acute craniocerebral
injury treated with mild hypothermia auxiliary therapy. J Acute Dis
[Internet]. 2016;5(4):3114. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S2221618916300658
6. Andresen M, Gazmuri JT, Marn A, Regueira T, Rovegno M. Therapeutic
hypothermia for acute brain injuries. Scand J Trauma Resusc Emerg Med
[Internet]. 2015;23(1):42. Available from:
http://www.sjtrem.com/content/23/1/42

Anda mungkin juga menyukai