Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TERAPI OBAT PADA KASUS DEMAM

Disusun oleh :
Ocha Tri Hani, S.KH B9404211014
Kelompok C PPDH Periode I 2021/2021

Dibimbing oleh :
Prof. Dr. Dra. Apt. Ietje Wientarsih, M,Sc.

BAGIAN RESEPTIR DAN APLIKASI OBAT


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
PENDAHULUAN

Demam merupakan sebuah proses alamiah yang timbul sebagai mekanisme


pertahanan tubuh terhadap patogen, namun terkadang suhu yang terlalu tinggi
seringkali menjadi suatu dilema sendiri yang menimbulkan adanya kerusakan pada
beberapa jaringan maupun sel seperti sel-sel otak. Demam terjadi karena
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh Interleukin-
1 (IL-1). Terdapat berbagai variasi kisaran suhu normal pada hewan, hewan
dinyatakan demam apabila suhu tubuh 39,0 °C atau lebih tinggi (O’Grady et al.
2008) .
Demam memiliki dasar etimologis dalam bahasa Latin, yang berarti 'panas',
dan pireksia berasal dari bahasa Yunani 'pyr', yang berarti api atau demam.
Beberapa sumber menggunakan istilah tersebut secara bergantian, sedangkan yang
lain menyatakan 'demam' berarti peningkatan suhu yang disebabkan oleh aktivitas
pirogen termoregulasi pada hipotalamus pada kasus sepsis dan kondisi inflamasi
(Macallan 1999, Ogina 2011) .
Tatalaksana terapi demam yang sering digunakan yaitu pemberian
antipiretik seperti parasetamol atau ibuprofen. Beberapa studi menemukan bahwa
penggunaan metode kombinasi antipiretik memberikan efek antipiretik yang lebih
tinggi, namun hal ini belum dapat direkomendasikan karena belum ada studi
mengenai keamanannya. Metode kompres hangat juga dapat diberikan sebagai
terapi tambahan untuk membantu menurunkan demam pada anak. Penggunaan
antipiretik sesuai dosis yang direkomendasikan ditambah dengan kompres hangat
sudah terbukti lebih efektif untuk menurunkan demam pada anak terutama di 30
menit pertama ( Carlson et al 2018) .

Tujuan

Makalah ini bertujuan mengetahui dan mengenal jenis obat-obatan apa saja
yang dapat digunakan untuk mengatasi demam pada hewan kecil.

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai obat apa


saja yang dapat diberikan pada penanganan demam pada hewan kecil.

FAKTOR PREDISPOSISI

Sepsis merupakan faktor penyebab demam dengan presentase 74% pada


pasien rawat inap sedangkan faktor lain yang juga bisa menyebabkan demam adalah
kasus Inflamasi, autoimun, pengaruh endokrin, dan reaksi obat. Demam neurogenik,
dan demam yang berhubungan dengan endokrinopati juga bisa menimbulkan gejala
demam akan tetapi sangat jarang terjadi.
1. Sepsis
Demam pirogenik adalah respons umum terhadap sepsis pada pasien
yang sakit kritis, dan timbulnya demam terjadi melalui beberapa mekanisme.
Interaksi pirogen eksogen (misalnya mikroorganisme) atau pirogen
endogen (misalnya interleukin (IL)-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF)-α)
dengan organum vasculosum lamina terminalis (OVLT) menyebabkan
produksi demam. Pirogen eksogen dapat merangsang produksi sitokin, atau
dapat bertindak langsung pada OVLT (Dinarelo 2004).
2. Inflamasi
Demam yang terkait dengan peradangan mungkin dimediasi dengan
cara yang mirip dengan sepsis seperti dijelaskan di atas. Peradangan kronis
dapat merusak compensatory anti-inflammatory response syndrome
(CARS) (Dinarelo 2004).
3. Demam akibat obat (Young et al. 2012).
Penyebab demam yang diinduksi obat atau agen farmakologis yang
dapat menyebabkan demam terdiri dari beberapa mekanisme patofisiologi
diantaranya adalah gangguan mekanisme fisiologis kehilangan panas dari
perifer, gangguan pengaturan suhu pusat, kerusakan langsung pada jaringan,
stimulasi respon imun, atau sifat pirogenik obat (Young et al. 2012).
4. Endokrin
Insufisiensi adrenal jarang berhubungan dengan demam, tetapi
hipertermia mungkin berhubungan dengan patologi yang mendasarinya;
autoimunitas menyumbang sebagian besar insufisiensi primer selain itu bisa
juga dikarenakan proses malignansi, atau proses infeksi.
Hipertiroidisme dikaitkan dengan hipertermia karena pasien dengan
kadar tiroid dalam tubuh tinggi memiliki suhu tubuh rata-rata 38,0 - 41 °C.
Mekanisme termogenesis masih tidak jelas, berdasarkan pandangan klasik
bahwa metabolisme jaringan perifer yang meningkat dan pesat akan
meningkatkan suhu (Young et al. 2012).

MEKANISME KERUSAKAN AKIBAT DEMAM

Sebagian besar pasien pulih sepenuhnya setelah periode hipertermia, tetapi


pasien yang terpapar suhu yang lebih tinggi dan untuk jangka waktu yang lebih
lama lebih berisiko mengalami komplikasi, yang dapat menyebabkan kegagalan
multi-organ dan kematian dalam kasus-kasus ekstrem. Salah satu risiko dari
hipertermia adalah terjadinya heatstroke. Kondisi Heartstrok adalah bentuk paling
parah dari penyakit demam dengan tingkat kematian hingga 58-64% (Atar et al.
2003) Kerusakan multi-organ yang disebabkan oleh demam diantaranya:

1. Saluran Pencernaan
Aliran darah ke saluran gastrointestinal berkurang apabila suhu di
atas 40 °C. Hipertermia menyebabkan terjadinya kerusakan membran sel,
mendenaturasi protein, dan dapat meningkatkan stres oksidatif. Hal ini
menyebabkan hilangnya kontraktilitas GI dan meningkatkan potensi
endotoksemia, yang memulai pelepasan sitokin pro-inflamasi yang
mengarah ke kaskade inflamasi sistemik (Walter dan Jumma 2016).
2. Ginjal
Laju filtrasi glomerulus berkurang setelah peningkatan 2 °C dari
kondisi normal dan akan terus memburuk bila suhu terus meningkat.
Konsentrasi plasma kreatinin dan urea akan mengalami peningkatan.
Berdasarkan studi morfologi menunjukkan adanya dilatasi kapiler
glomerulus, perdarahan ke dalam interstitium, dan stasis vaskular pada
pembuluh darah kecil dan besar akibat adanya peningkatan suhu (Nishoika
et al. 2002).
3. Sistem kardiovaskular
Pada fase akut hipertermia pasien cenderung mengalami hipotensi,
dengan sirkulasi hiperdinamik dan curah jantung yang tinggi. Hipotensi
mungkin merupakan kombinasi dari redistribusi darah, dan vasodilatasi
yang diinduksi oksida nitrat. Elektrokardiogram pada heatstroke dan MH
dapat menunjukkan berbagai kelainan, termasuk cacat konduksi, perubahan
QT dan ST, kelainan gelombang T, dan aritmia ganas (Atar et al. 2003).
4. Otak
Disfungsi neurologis dan kognitif dapat terjadi secara akut setelah
episode hipertermia dan dapat menyebabkan kerusakan kronis, Mekanisme
patofisiologi dianggap serupa dengan yang dijelaskan di atas, tetapi, selain
itu, integritas BBB terganggu sehingga memungkinkan translokasi racun
sistemik memasuki sirkulasi serebral. Jika gejala neurologis gagal membaik
setelah episode akut, disfungsi serebelar mendominasi (Walter dan Jumma
2016).
5. Disfungsi hati
Disfungsi hati sering terjadi. Pada suhu di atas 40 °C, peningkatan
plasma aspartate transaminase (AST) dan alanine transaminase (ALT)
diamati dan kerusakan hepatoseluler. Mekanisme Mirip dengan perubahan
histologis pada organ lain, dilatasi pembuluh darah kecil dan besar terlihat,
dengan stasis dan perdarahan. Penurunan aliran darah hati juga terlibat.
Disfungsi hati dapat terus memburuk bahkan setelah penghentian
hipertermia (Deja et al. 2010)
6. Sistem hemostatik
Koagulopati sering terjadi, dengan tiingkat insidensi sebesar 45%
pada heatstroke klasik, dan mungkin berkontribusi pada disfungsi multi-
organ pada hipertermia. Trombositopenia, peningkatan produk degradasi
fibrin plasma, waktu pembekuan yang lama, dan perdarahan spontan sering
terlihat. Ini mungkin mencerminkan disfungsi hati, karena koagulopati
jarang terjadi tanpa gangguan hati dan untuk sementara terkait dengan
perubahan fungsi hati. Hipertermia menghambat agregasi trombosit, yang
menjadi semakin jelas pada suhu yang lebih tinggi, dan mungkin mulai
terjadi pada suhu 38 °C. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC) juga
dapat didorong oleh pelepasan komponen seluler pro-koagulan dari otot
yang rusak (Dihel et al. 2000)

TREATMENT

Nama generik : Paracetamol


Bentuk sediaan : Tablet, kaplet, sirop
Dosis : Anjing 10-15 mg/kg PO, s8j
Mekanisme : Farmakologi paracetamol memiliki efek inhibisi sintesis
prostaglandin di jaringan dan sistem saraf pusat.
Indikasi : meredakan gejala demam dan nyeri bebagai penyakit seperti
demam dengue tifoid, infeksi saluran kemih, ostearthritis, sakit
kepala, nyeri pasca operasi,
Kontraindikasi : pemberian pada kucing, hipersensitif terhadap obat, penyakit
hepar.
Efek Samping : potensi efek ginjal, gangguan hati, gangguan gastrointestinal,
dan hematologi. Dosisi tinggi bisa menyebabkan
keratoconjungtivitis sicca
Contoh sedian

*(Plumb 2018)

Nama generik : Aspirin


Bentuk sediaan : Tablet, kaplet, sirop
Dosis : 5-10 mg/kg BB
Mekanisme : Aspirin bekerja melalui inhibisi enzim siklooksigenase 1 dan
2 (COX-1 dan COX-2) secara ireversibel, sehingga
menurunkan produksi prostaglandin dan derivatnya, yaitu
thromboxan A2. Efek yang diperoleh adalah efek antipiretik,
antiinflamasi, dan antiplatelet.
Indikasi : Indikasi utama aspirin (asam asetilsalisilat) saat ini adalah
pada sindroma koroner akut dan stroke. Sebagai analgesik dan
antipiretik
Kontraindikasi :pasien dengan gangguan lambung, gangguan perdarahan, dan
gangguan ginjal.
Efek Samping  perdarahan dan toksisitas saluran cerna. Perdarahan
dapat terjadi di mana saja karena obat ini memengaruhi
agregasi platelet.
 eksaserbasi penyakit saluran napas. Intoksikasi salisilat
akibat aspirin juga dapat terjadi, namun lebih jarang
dibandingkan pada kasus penggunaan asam salisilat.
Contoh sedian

: *(Plumb 2018)

Nama generik : Ibuprofen


Bentuk sediaan : sirop, tablet, kaplet
Dosis : 2,5-4mg/kg BB s12j PO
Mekanisme : kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik dan
antipiretik adalah dengan cara inhibisi pada jalur produksi
prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan
prostaglandin I2 (PGI2), yang bertanggungjawab dalam
mencetuskan rasa nyeri, inflamasi dan demam. Ibuprofen
menghambat aktivitas enzim siklooksigenase I dan II, sehingga
terjadi reduksi pembentukan prekursor prostaglandin dan
tromboksan. Selanjutnya, akan terjadi penurunan dari sintesis
prostaglandin, oleh enzim sintase prostaglandin.
Indikasi : antiinflamasi untuk rheumatoid arthritis, osteoarthritis, gout,
dan juvenile rheumatoid arthritis. Ibuprofen juga diberikan
sebagai terapi simtomatik untuk meredakan nyeri dan demam
pada berbagai kondisi, termasuk untuk dismenore primer.
Kontraindikasi : Hipersensitifias, hindari pada pasien asma, infark miokard,
atau orang dengan faktor risiko kejadian kardiovaskular
Efek Samping :
Contoh sedian

: *(Plumb 2018)

Nama generik : Naproxen


Bentuk sediaan : tablet
Dosis : 1-3 mg/kg s24j PO (anjing dan kucing)
Mekanisme : mencegah ikatan arakidonat melalui hambatan secara
kompetitif isoenzim cyclooxygenase (COX), baik COX-1
maupun COX-2. Sehingga naproxen akan menghambat sintesa
prostaglandin dan tromboksan yang menimbulkan respon
fisiologis berupa rasa nyeri
Indikasi : gangguan muskuloskeletal, seperti arthritis rheumatoid,
osteoarthritis, spondylitis ankylosing, tendinitis, bursitis dan
gout akut. Selain itu, dapat juga untuk penanganan nyeri ringan
sampai sedang, demam, dan penanganan dismenore primer
Kontraindikasi : Hipersensitifitas, angguan fungsi jantung, gastrointestinal,
ginjal, dan hati yang berat
Efek Samping : Meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular trombotik,
seperti infark miokard dan stroke. Naproxen juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya gangguan gastrointestinal,
termasuk ulserasi, perdarahan, dan perforasi.
Contoh sedian

: *(Plumb 2018)

Nama generik : Ketoprofen


Bentuk sediaan : tablet, suspensi
Dosis : 1 mg/kg bb s24j PO, 2 mg/kg SC, IM, IV (anjing dan kucing)
Mekanisme : Ketoprofen sebagai antiinflamasi nonsteroid yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien.
Indikasi : terapi simtomatik untuk berbagai kondisi, di antaranya untuk
osteoartritis, reumatoid artritis, dismenorea, dan manajemen
nyeri akut. Sebagai NSAID, obat ini memiliki efek terapi
antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik.
Kontraindikasi : pasien risiko kejadian kardiovaskular, dan gangguan
gastrointestinal
Efek Samping : infark miokard dan stroke, serta kejadian gastrointestinal
seperti perdarahan akibat ulkus pada saluran cerna.
Contoh sedian

: *(Plumb 2018)

Nama generik : Diklofenak


Bentuk sediaan : tablet, sirop
Dosis : 3mg/kg BB s12j PO (anjing)
Mekanisme : suatu zat inhibitor siklooksigenase, dari kelas asam fenil
asetat, derivat asam benzen asetat, yang bekerja menghambat
sintesis hormon prostaglandin sehingga menghasilkan efek
antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik.
Indikasi : Sebagai obat memiliki efek terapi antiinflamasi, analgesik,
dan antipiretik.
Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap obat ini, asthma, gangguan
gastrointestinal, seperti terjadi ulserasi, perdarahan lambung,
atau ulkus peptikum.
Efek Samping : nyeri ulu hati, perdarahan, atau perforasi gastrointestinal
Contoh sedian

: *(Plumb 2018)
Nama generik : Meloxicam
Bentuk sediaan : sirop, tablet
Dosis : 0,05-0,2 mg/kg bb s24j (anjing dan kucing)
Mekanisme : penghambat siklooksigenase (Cox-1 dan Cox-2), yang ampuh
memblokir pembentukan prostaglandin penting pada jalur
nyeri dan inflamasi. Menghasilkan efek antiinflamasi,
analgesik, dan antipiretik.
Indikasi : terapi simtomatik untuk berbagai kondisi, di antaranya untuk
osteoartritis, reumatoid artritis, dan manajemen nyeri akut.
Sebagai NSAID, obat ini memiliki efek terapi antiinflamasi,
analgesik, dan antipiretik.
Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap meloxicam, pasien dengan
gangguan kardiovaskuler, gastrointestinal, renal, dan
kebuntingan.
Efek Samping : Mual, muntah diare, perut kembung
Contoh sedian

: *(Plumb 2018)
SIMPULAN
Demam merupakan mekanisme pertahan adaptif dari tubuh , akibat adanya
aktivitan patologi, seperti infeksi, inflamasi, interaksi obat dan gangguan hormonal.
Demam juga memiliki dampak diantaranya menyebabkan gangguan multi-organ
seperti gastrointestinal, kardiovaskular, ginjal, hati, otak dan sistem hemostatik.
Gejala demam dapat diatasi dengan obat obatan yang mampu menghambat
pembentukan protaglandin yang memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan
analgesik.

DAFTAR PUSTAKA
Atar S, Rozner E, Rosenfeld T. 2003. Transient cardiac dysfunction and
pulmonary edema in exertional heat stroke. Mil Med. 7(1):168-671.
Carlson C, Kurnia B, Widodo AD. 2018. Tatalaksana terkini demam pada
anak. Jurnal Kedokteran Meditek. 24(1): -
Deja M, Ahlers O, Macguill M, Wust P, Hildebrandt B, Riess H. 2010.
Changes in hepatic blood flow during whole body hyperthermia. Int J
Hyperthermia. 26(2):95–100.
Diehl KA, Crawford E, Shinko PD. 2000. Alterations in hemostasis
associated with hyperthermia in a canine model. Am J Hematol.
64:262–270.
Dinarello CA. Infection, fever, and exogenous and endogenous pyrogens:
some concepts have changed. J Endotoxin Res.10(4):201–222.
Macallan DC. Hyperthermia and pyrexia: Oxford Textbook of Critical Care.
Oxford(UK): OUP.
Nishioka Y, Miyazaki M, Kubo S, Ozono Y, Harada T, Kohno S. 2002. Acute
renal failure in neuroleptic malignant syndrome. Ren Fail. 24(4):539–
543.
O’Grady NP, Barie PS, Bartlett JG. 2008. Guidelines for evaluation of new fever
in critically ill adult patients. Crit Care Med. 36(4):1330–1349.
Ogoina D. 2011. Fever, fever patterns and dseases called “fever”-A review. Journal
of Infection and Public Health.. 4(3): 108-124.
Plumb DC. 2018. Plumb’s Veterinary Drug HandBook 9th ed . Minesota(US):
PharmaVet Publishing.
Walter EJ, Jumms SH. 2016. The pathophysiologycal basis and consequence
of fever. Crit Care. 20(2): 200-214.
Young PJ, Saxena M, Beasley R, et al. Early peak temperature and mortality
in critically ill patients with or without infection. Intensive Care Med.
38(2): 437–444.

Anda mungkin juga menyukai