Anda di halaman 1dari 9

Daftar singkatan:

RCT, random clinical trial = uji klinis acak

TTM, targeted temperatur management = manajemen suhu tubuh bertarget

ROSC, return of spontaneous circulation = kembalinya sirkulasi spontan (paska resusitasi)

Pendahuluan

Efek proteksi dari hipotermia telah dipelajari sejak 1950an namun dilupakan hampir 20 tahun hingga
akhirnya dipopulerkan lagi sebagai metode terapi. Hasil eksperimen menunjukkan beberapa
mekanisme efek neuroprotektif sebagai berikut:

 Menurunkan laju metabolisme otak, sehingga mengembalikan keseimbangan dengan aliran


darah pada jaringan otak yang rusak
 Menurunkan tekanan intrakranial
 Mengurangi proses apoptosis melalui jalur caspase, serta mengurangi nekrosis
 Menurunkan pelepasan laktat dan glutamat, kedua metabolit ini menganggu homeostasis
kalsium
 Menurunkan respon inflamasi jaringan otak dan SIRS
 Menghambat produksi radikal bebas
 Membatasi permeabilitas membran pada kondisi iskemia otak

Berdasarkan hal ini, penggunaan terapi hipotermia menjadi populer pada pasien dengan kerusakan
otak agar dapat membatasi perluasan kerusakan jaringan otak. Hal ini dapat dicapai dengan
beberapa metode, yang dikenal manajemen suhu bertarget (targeted temperature
management/TTM) sebagai intervensi untuk mencapai suhu tubuh yang diinginkan per individu.

Level suhu tubuh yang diinginkan dapat berbeda-beda tergantung situasi. TTM dapat digunakan
untuk mencegah demam, menjaga normotermia, atau menurunkan suhu inti tubuh. TTM digunakan
di ICU secara luas sebagai lini pertama neuroprotektif. Namun, indikasi TTM masih berbeda-beda
menurut evidence-based dan literatur inhomogen dan saling kontradiksi. Studi ini bertujuan
melakukan analisis sitematis literatur yang ada.

Metode

Pedoman ini dibuat oleh para ahli dari French Intensive Care Society dan French Society of
Anesthesia. Kelompok ini menentukan kekuatan rekomendasi literatur dengan formulasi PICO
(Patient Intervention Comparison Outcome), dianalisis dengan metode GRADE. Penilaian kualitas
dari evidence yan ada dibagi menjadi:

 High-quality evidence: penelitian lanjutan tidak akan banyak merubah kepercayaan dan efek
yang diprediksi dari penelitian sebelumnya
 Moderate-quality evidence: penelitian lanjutan mungkin akan memiliki pengaruh pada
kepercayaan dan efek yang diprediksi dari penelitian sebelumnya
 Low-quality evidence: penelitian lanjutan sangat mungkin akan merubah kepercayaan dan
efek yang diprediksi dari penelitian sebelumnya
 Very low-quality evidence: efek yang diprediksi dari penelitian sebelumnya sangat tidak
memungkinkan untuk terjadi

Level rekomendasi dibagi menjadi dua:


 Rekomendasi kuat: berupa rekomendasi (Grade 1+) atau tidak direkomendasikan (Grade 1-)
 Rekomendasi lemah: berupa anjuran (Grade 2+) atau tidak dianjurkan (Grade 2-)

Kekuatan rekomendasi ditentukan beberapa faktor dan tervalidasi dengan voting, kriterianya
sebagai berikut:

 Estimasi dari efek


 Kekuatan evidence
 Keseimbangan dari efek yang diinginkan dan efek yang tidak diinginkan
 Penilaian dan preferensi dari personel yang terlibat (pasien, dokter)
 Biaya

Voting dari panel diperlukan setidaknya 50% yang mendukung dan maksimal 20% yang menolak
opini yang dijabarkan; agar dapat dijadikan rekomendasi. Rekomendasi kuat diperoleh jika panel
setidaknya 70% setuju dengan opini yang dijabarkan.

Hasil

Lingkup rekomendasi

Tim panel berjumlah 50 ahli dan 2 koordinator untuk membahas TTM dan implikasi klinisnya pada 5
jenis situasi di ICU: henti jantung, cedera kepala traumatik, stroke, keruasakan otak
(meningitis/kejang), dan shock. Database literatur diperoleh dari PubMed dan Cochrane dari January
2005 hingga Juni 2015, literatur diekstensi hingga 1995 jika publikasi jurnal minimal pada periode
bersangkutan.

Panel menghasilkan 30 rekomendasi: 3 rekomendasi kuat (Grade 1), 13 anjuran lemah (Grade 2),
dan 14 opini ahli. Voting 100% dari panel diperoleh setuju terhadap 30 rekomendasi yang dibahas.

TTM setelah henti jantung

R1.1 Panel merekomendasikan penggunaan TTM untuk meningkatkan luaran neurologis pada
pasien yang mendapat resusitasi pada kasus henti jantung di luar rumah sakit dengan irama
shockable (VF/VT tanpa nadi) dan pasien yang tetap koma setelah kembalinya sirkulasi spontan
(ROSC)

(Grade 1+)

Rasionalisasi: Tujuh meta analisis dan 4 review sistematis membahas TTM setelah henti jantung,
namun dari penelitian tersebut tidak mengindentifikasi secara terpisah pasien dengan irama henti
jantung shockable vs non-shockable. Dua studi lain menjabarkan analisis irama shockable pada
pasien dan penggunaan TTM sangat dianjurkan pada kelompok ini. Hal ini dikarenakan adanya
perbaikan luaran neurologis pada kasus henti jantung di luar rumah sakit pada pasien dengan irama
shockable. Beberapa studi tidak disertakan dalam analisis ini: (1) TTM trial, dikarenakan tidak adanya
kelompok tanpa kontrol suhu tubuh; (2) Penelitian mengenai hemofiltrasi dan TTM vs hemofitrasi
saja; (3) uji coba klini yang menilai TTM sebelum tiba di rumah sakit. Sedangkan penelitian lain
mendukung penggunaan TTM, meskipun level evidence nya rendah. Pedoman internasional sangat
merekomendasikan penggunaan TTM pada pasien dengan irama shockable pada kasus henti jantung
di luar rumah sakit untuk meningkatkan luran neurologis.

R1.2 Panel menganjurkan penggunaan TTM untuk meningkatkan luaran neurologis pasien dengan
irama non-shockable (asistol/PEA) pada kasus henti jantung di luar rumah sakit dan pasien yang
tetap koma setelah ROSC
(Grade 2+)

Rasionalisasi: Studi yang ada sama dengan rasionalisasi 1.1 ditambah dengan 1 meta analisis yang
membahas pasien dengan irama non-shockable. Studi ini menunjukkan penurunan mortalitas di
rumah sakit pada pasien yang mendapat TTM: RR 0,86 (95% CI 0,76-0,99), namun tidak ada
perbedaan luaran neurologis: RR 0,96 (95% CI 0,92-1,02). Satu RCT (n=30) yang membandingkan
pasien yang mendapat TTM dan tidak, didapatkan hasil tidak ada perbedaan pada kedua kelompok.
Sebagian besar studi yang ada tidak menunjukkan perbedaan antara dua kelompok. Meskipun ada
studi yang tetap mendukung TTM digunakan pada kelompok pasien ini, namun sebagian besar tidak
melaporkan perbaikan luaran klinis. Dikarenakan prognosis yang buruk pada populasi henti jantung
irama non-shockable dan minimnya terapi alternatif lain, panel ahli memutuskan TTM dapat
dipertimbangkan pada kelompok pasien ini.

R1.3 Panel menganjurkan TTM untuk meningkatkan angka survival dan luaran neurologis yang
lebih baik pada pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit dan yang tetap koma setelah
ROSC.

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Belum ada publikasi RCT mengenai pasien dengan henti jantung di rumah sakit. Dari 4
studi yang mencakup pasien henti jantung di luar dan di dalam rumah sakit, hasil studi menunjukkan
TTM dapat menguntungkan, dapat pula tidak memberikan benefit.

R1.4 Panel menganjurkan suhu target TTM antara 32-36°C untuk memingkatkan angka survival
dan luaran neurologis setelah henti jantung

(Grade 2+)

Rasionalisasi: Dua studi dengan evidence based yang tinggi dan hasil konsisten direview untuk
menghasilkan anjuran ini. Satu RCT (n=939) melaporkan tidak ada perbedaan angka survival dan
luaran neurologis pada TTM suhu 33°C vs TTM suhu 36°C. Hasil serupa juga diperoleh dari meta
analisis, dimana pada meta analisis ini mencakup 6 RCT dengan tingkat suhu yang berbeda-beda dan
menyimpulkan strategi TTM pada suhu <34°C dapat meningkatkan luaran dibanding tanpa TTM. Satu
RCT suhu 32°C vs 34°C tidak dibahas karena masalah sampel yang kecil (n= 36). Terdapat studi
retrospektif yang menyatakan luaran yang lebih baik pada TTM 32-34°C vs spontan normotermia
dibawah 37,5°C. Studi post hoc pada TTM trial menyatakan kemungkinan perburukan luaran dengan
TTM 33°C pada pasien dengan shock. Secara keseluruhan, target temperatur berkisar 32-36°C,
meskipun sulit mendefinisikan temperatur optimal pada rentang ini.

R1.5 Panel tidak menyarankan memulai TTM dengan infus normal saline dingin dalam volume
besar selama evakuasi pasien ke rumah sakit setelah henti jantung

(Grade 2-)

Rasionalisasi: Beberapa studi melaporkan pemberian infus dengan cairan dingin di luar rumah sakit
tidak memperbaiki luaran, baik pemberian cairan intra resusitasi maupun saat ROSC. Pada satu RCT,
infus normal saline dingin (4°C) dalam jumlah besar meningkatkan resiko henti jantung ulangan dan
edema paru. Pengaruh tercapainya target suhu yang lebih cepat akan dibahas pada poin lain (R6.1).
Jika terjadi hipertermia setelah ROSC kapanpun waktunya akan memberikan luaran buruk.

R1.1 Pediatrik - Anak dengan koma setelah resusitasi baik di luar dan di dalam rumah sakit
dengan irama shockable maupun non-shockable, panel merekomendasikan penggunaan TTM untuk
menjaga normotermia agar luaran neurologis lebih baik
(Opini ahli)

R1.2 Pediatrik - Anak dengan koma setelah resusitasi baik di luar dan di dalam rumah sakit
dengan irama shockable maupun non-shockable, tidak disarankan mengunakan TTM dengan target
suhu 32-34°C

(Grade 2-)

Rasionalisasi: Studi pada 270 anak dengan henti jantung dl luar rumah sakit menunjukan tidak ada
perbedaan angka survival dan luaran neurologis pada kelompok yang mendapat TTM suhu 33°C vs
TTM 36-37,5°C selama 5 hari. Kasus henti jantung pada anak terutama diakibatkan hipoksia (72%),
hal ini menjelaskan perbedaan hasil penelitian dibandingkan pasien dewasa. Bahkan pada studi
terbaru, TTM <32°C dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas. Meskipun hipotermia masih
direkomendasikan pada 2010, studi terbaru oleh International Liaison Committee on Resuscitation
(ILCOR) tidak menganjurkan kondisi hipotermia pada anak yang koma setelah ROSC

TTM setelah cedera kepala traumatik

R2.1 Pada pasien dengan cedera kepala berat, dianjurkan TTM dengan suhu 35-37°C untuk
mengendalikan tekanan intrakranial

(Grade 2+)

Rasionalisasi: Studi oleh Puccio et al, pasien dengan TTM 36-36,5°C dalam 72 jam setelah cedera
kepala menunjukkan rerata tekanan intrakranial yang lebih rendah, episode TIK >25 mmHg minimal
dibandingkan pasien yang tidak mendapat TTM. Telaah penelitian menunjukkan korelasi antara suhu
tubuh inti, suhu otak, dan hipertensi intrakranial. Namun sejauh ini belum ada studi lanjutan.

R2.2 Pasien dengan cedera kepala berat, dianjurkan TTM dengan suhu 35-37°C untuk
meningkatkan angka survival dan luaran neurologis yang baik

(Grade 2+)

Rasionalisasi: Pada kasus CKB, hipertermia meningkatkan angka mortalitas, luaran neurologis buruk,
dan waktu rawat di ICU berkepanjangan. Suatu studi kohort pasien dengan cedera kepala dengan
TTM tidak menunjukkan perbaikan luaran neurologis dibanding pasien tanpa TTM. Belum ada
penelitian RCT yang menunjukkan TTM dapat memperbaiki luaran neurologis, menurunkan angka
mortalitas, atau lamanya masa rawat. Meskipun level evidence nya rendah, luaran buruk pada
hipertermia menjadi alasan panel mendukung anjuran menjaga suhu 35-37°C dengan TTM.

Studi dengan level evidence tinggi dan meta analisis pada dewasa dan anak diketahui bahwa tidak
ada benefit dari penggunaan TTM dengan target suhu 32-35°C dibandingkan normotermia pada
pasien CKB, baik pasien mengalami hipertensi intrakranial atau tidak.

R2.3 Pasien cedera kepala dengan hipertensi intrakranial yang refrakter terhadap terapi medis,
panel menganjurkan TTM 34-35°C untuk menurunkan TIK

(Grade 2+)

Rasionalisasi: Beberapa studi menunjukkan TTM pada suhu 34-35°C dapat menurunkan TIK,
meskipun efek ini tidak dikonfirmasi oleh dua penelitian lainnya, dan studi lain menyatakan terjadi
peningkatan TIK pada proses penghangatan kembali suhu tubuh. Polderman et al menunjukkan
terapi barbiturat dan hipotermia (n=64) lebih superior dibanding terapi tunggal barbiturat (n=72)
dalam menurunkan TIK serta dikaitkan dengan penurunan angka mortalitas. Trial Eurotherm, RCT
multicenter pada populasi cedera kepala dengan TIK > 20 mmHg, 195 pasien diberikan TTM vs 192
normotermia. Peningkatan TIK lebih mudah dikontrol pada pasien yang mendapat TTM (41 pasien
kontrol normotermia mendapat barbiturat). Telaah penelitian menunjukkan tidak ada benefit
menurunkan suhu dibawah 34°C. Pada 22 pasien CKB, Shiozaki et al menemukan hipertensi
intrakranial persisten pada suhu 34°C tidak akan dapat turun meskipun menurunkan temperatur
hingga 31°C. Dengan menggunakan monitoring multimodal, hipotermia dibawah 35°C tidak
memberikan keuntungan baik pada tekanan oksigen jaringan otak (PtiO2) atau biomarker
metabolisme otak dan strategi ini bersifat merugikan pada kedua parameter. TTM 32-35°C memiliki
efek samping seperti infeksi saluran napas, hal ini proporsional terhadap durasi dan level suhu
hipotermia.

Durasi hipotermia haruslah disesuaikan dengan hipertensi intrakranial, apakah persisten atau tidak.
Studi dari 215 pasien dengan CKB, durasi hipotermia selama 5 hari memiliki efek kontrol TIK dan
luaran neurologis yang lebih baik dibandinkan durasi selama 2 hari. Pada proses penghangatan
kembali pada pasien yang menjalani hipotermia selama 5 hari, efek peningkatan TIK (rebound) lebih
kecil dibandingkan jika durasi hipotermia hanya 2 hari. Meta analisis oleh McIntyre et al sejalan
dengan temuan ini.

Peningkatan TIK merupakan faktor penyebab luaran buruk pada pasien cedera kepala. Hipotermia
terapeutik untuk menurunkan TIK dapat memperbaiki luaran. Namun, studi Eurotherm
menunjukkan TTM juga memiliki efek buruk pada luaran neurologis 6 bulan paska rawat dengan OR
1,53 (1,02-2,30) (P=0,04); luaran berdasarkan Glasgow Outcome Scale Extended score menunjukkan
perbaikan 26% pada pasien TTM vs 37% pada pasien kontrol (P=0,03). Temuan ini disimpulkan
sebagai premis bahwa peningkatan TIK pada trial Eurotherm memiliki rentang nilai 20-30 mmHg
(peningkatan sedang) dan durasi hipotermia hanya 5 menit, serta hipotermia diberikan sebelum
penggunaan terapi osmotik.

R2.1 Pediatrik - Pada anak dengan CKB, disarankan TTM suhu normotermia

(Opini ahli)

R2.2 Pediatrik - Pada anak dengan CKB, tidak direkomendasikan TTM suhu 32-34°C

(Grade 1-)

Rasionalisasi: Penelitian menunjukkan hipotermia sedang (32-34°C) tidak memberikan keuntungan


pada pasien anak dengan cedera kepala. Studi post hoc oleh Hutchison et al menyatakan
peningkatan insidensi tekanan darah arterial yang rendah dan perfusi cerebri yang berkurang pada
pasien anak yang hipotermia (32-34°C). Studi retrospektif (n=117) pasien anak dengan CKB
mengidentifikasi hipertermia sebagai faktor pemburuk luaran (OR 4,7 CI 1,4-15,6; OR masa rawat
lama di PICU: 8,5, CI 2,8-25,6). TTM mungkin dapat menurunkan TIK serupa pada pasien dewasa.

TTM setelah stroke, perdarahan intracerebri, dan perdarahan subaraknoid

R3.1 Panel menganjurkan TTM normotermia selama fase awal stroke iskemik

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Hipertemia/demam merupakan komplikasi (>50%) pada pasien stroke akut dan
berhubungan dengan luaran fungsional yang buruk. Efikasi terapi hipotermia (33-35°C) berdasarkan
6 RCT pada pasien stroke belum terbukti manfaatnya. Saat ini sedang dilaksanakan dua uji klinis:
EuroHYP-1, meneliti manfaat hipotermia (34-35°C) selama 24 jam serangan stroke akut, dan ICTuS
2/3 yang meneliti terapi hipotermia intravaskuler aman diberikan bersamaan dengan terapi
trombolisis (rtPA)

Pengunaan rutin antipiretik direkomendasikan pada pasien dengan hipertermia, meskipun belum
ada bukti klinis yang mendukung terhadap luaran neurologis atau mortalitas. Meta analisis oleh
Ntaios et al menemukan tidak ada perbedaan luaran neurologis antara hipotermia dan hipertermia
(>38°C)

R3.2 Pasien koma dengan perdarahan intracerebri spontan, panel menyarankan TTM 35-37°C
untuk menurunkan TIK

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Studi observasional menunjukkan demam adalah tanda luaran neurologis yang buruk
setelah perdarahan intracerebri. Namun studi ini memiliki sampel sedikit dan bias metodologi. Dua
Penelitian observasional lain menunjukkan hipotermia 35°C selama 8-10 hari memiliki efek
menguntungkan pada edema otak dan TIK, luaran neurologis tidak berpengaruh. Studi case-control
TTM 37°C menunjukkan tidak ada efek terhadap luaran neurologis, justru memperpanjang durasi
ventilasi mekanik dan masa rawat di ICU pada pasien yang diterapi dengan TTM. Saat ini sedang
dilaksanakan uji klinis, CINCH trial, yang menilai efek hipotermia 35°C selama 8 hari pada pasien
dengan perdarahan intracerebri luas (25-64 mL)

R3.3 Pasien koma dengan perdarahan subaraknoid akibat ruptur aneurisma, panel menyarankan
pengunaan TTM untuk menurunkan TIK untuk meningkatkan luaran neurologis

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Studi observasional menunjukan bahwa demam merupakan prediktor luaran


neurologis buruk setelah perdarahan subaraknoid. Sebagian besar studi adalah observasional,
dengan sampel kecil dan bias metodologi. Studi ini menemukan penurunan TIK dan menyimpulkan
luaran neurologis dapat ditingkatkan dengan normotermia dan hipotermia (32-34°C) pada kasus
hipertensi intrakranial refrakter. RCT membandingkan normotermia (TTM 36,5°C) vs terapi
konvensional hipertermia >37,9°C: tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik pada subkelompok
dengan perdarahan subaraknoid.

R3.1 Pediatrik - Pada anak dengan perdarahan subaraknoid, panel menyarankan penggunaan
TTM antara 36-37,5°C untuk mengontrol TIK

(Rekomendasi Ahli)

Rasionalisasi: Belum ada RCT yang meneliti penggunaan TTM dan hipotermia terapeutik pada anak
dengan stroke , perdarahan intracerebri, dan/atau perdarahan subaraknoid. Penurunan TIK
dilaporkan pada satu laporan kasus dan pada studi reprospektif dimana kontrol demam dan
hipotermia terapeutik digunakan. TTM mungkin dapat menurunkan TIK pada anak dengan
perdarahan subaraknoid serupa dengan pasien dewasa

TTM setelah meningitis bakterial akut dan status epileptikus

R4.1 Pada pasien status epileptikus refrakter, panel menganjurkan TTM 32-35°C untuk
mengendalikan kejang

(Opini ahli)
Rasionalisasi: Studi eksperimental menunjukkan aktivitas antikonvulsi dari hipotermia pada pasien
dengan status epileptikus refrakter (yang bertahan lebih dari 24 jam) yang persisten setelah
pemberian maksimum obat antikonvulsi. RCT dan beberapa studi menemukan TTM (32-35°C) selama
24 jam berkaitan dengan kontrol kejang yang lebih baik dan tercapai pola burst-suppresion (supresi
ledakan gelombang tiba-tiba) pada EEG. Pada trial HYBERNATUS, progresi terjadinya status
epileptikus yang ditegakkan dengan EEG lebih rendah pada pasien kelompok hipotermia
dibandingkan kelompok kontrol (11 vs 22%; OR 0,4; 95% CI 0,20-0,79; P=0,009)

R4.2 Pada pasien koma dengan meningitis atau meningoensefalitis, panel tidak menyarankan
penggunaan TTM saat demam masih dapat ditoleransi pasien

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Belum ada penelitian intervensional yang menguji efek TTM dan pengaruhnya
terhadap luaran pasien dengan meningitis/meningoensefalitis. Saxena et al memperlihatkan bahwa
temperatur puncak saat 24 jam pertama masuk ICU tidak meningkatkan angka mortalitas pasien
dengan infeksi SSP, hal ini tentu tidak serupa dengan kasus stroke dan CKB. Menariknya, dalam
kondisi infeksi, luaran lebih baik jika suhu puncak berkisar 38-38,4°C (UK database) atau 39-39,4°C
(NZ/Australian database). Demam memiliki peran proteksi karena menghambat replikasi N.
meningitidis dan S. pneumoniae dan memudahkan dalam diagnosis infeksi. Penggunaan parasetamol
pada pasien sepsis dapat menurunkan suhu sebanyak 0,3°C, namun tidak mempengaruhi mortalitas
atau masa rawat di ICU

R4.3 Pasien koma dengan meningitis bakterial tanpa hipertensi intrakranial, panel menyarankan
normotermia untuk memperbaiki angka survival dan luaran neurologis

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Pasien ICU dengan meningitis bakterial rentan mengalami efek buruk dari hipotermia
(Mourvillier et al)

R4.4 Pasien koma dengan meningitis bakterial dan hipertensi intrakranial, panel menyarankan
TTM 34-36°C untuk memperbaiki angka survival dan luaran neurologis

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Pasien koma dengan meningitis bakterial dan hipertensi intrakranial, hipotermia dapat
menguntungkan saat pengukuran TIK non-invasif. Pada suatu laporan kasus, TTM pada suhu 35-36°C
dengan kombinasi tiopental dapat mengendalikan hipertensi intrakranial. Dua studi lain pada pasien
dengan ensefalitis viral berat dan hipertensi intrakranial, luaran lebih baik pada kondisi hipotermia.
Temuan serupa juga dilaporkan pada beberapa studi

R4.1 Pediatrik - Pada anak dengan status epileptikus, panel menyarankan TTM dengan target
normotermia untuk memperbaiki luaran

(Opini ahli)

Rasionalisasi: Studi hipotermia terapeutik pada anak dengan status epileptikus refrakter dan
ensefalitis amat sedikit yang dipublikasikan. Bukti klinis kurang untuk memformalkan rekomendasi.
Studi retrospektif pada 43 pasien anak heterogen (ensefalitis dan ensefalopati virus, hipertermia
mayor, shock, status epileptikus) membandingkan 16 pasien normotermia dan 27 pasien dalam
hipotermia terapeutik. Luaran neurologis pada 12 bulan paska rawat dtemukan skor lebih baik pada
pasien dengan hipotermia. Panel berpendapat mempertahankan suhu normotermia lebih tepat
diaplikasikan pada anak dengan status epileptikus

TTM setelah shock

R5.1 Panel tidak menganjurkan TTM dibawah 36°C pada pasien dengan shock kardiogenik

(Grade 2-)

Rasionalisasi: Ada 4 studi yang meneliti efek hipotermia sedang. Studi ini retrospektif, tidak
terkontrol, dan jumlah sampel kecil. Hipotermia terapeutik dapat saja diaplikasikan dan tidak
dikaitkan dengan peningkatan efek samping. Uji klinis sedang berjalan untuk meneliti hal ini (clinical
trial.gov – NCT01890317)

R5.2 Panel tidak menganjurkan TTM dibawah 36°C pada pasien dengan shock sepsis

(Grade 2-)

R5.3 Panel menganjurkan TTM normotermia pada pasien dengan shock sepsis

(Grade 2+)

Rasionalisasi: Dari 5 RCT, 3 diantaranya membandingkan NSAID vs placebo pada pasien tanpa
demam, 1 studi maembandingkan asetaminofen vs placebo pada pasien dengan demam. Penelitian
ini menunjukkan efek antipiretik untuk mengendalikan temperatur umumnya tidak memiliki efek
samping. Tidak ada perbedaan pada angka mortalitas, status hemodinamik, atau masa rawat di ICU.
1 studi lagi membandingkan TTM vs tanpa TTM (Schortgen et al) menemukan pada dukungan
vasopresor secara signifikan berkurang penggunaannya pada kelompok dengan TTM, juga
memendeknya durasi shock. Namun, tidak ada perbedaan angka mortalitas pada kedua kelompok.
Studi lain menyatakan TTM memperbaiki hemodinamik. Seluruh studi yang ada menyimpulkan TTM
dapat dilakukan pada pasien dengan shock sepsis dan tidak dikaitkan dengan efek samping.

Implementasi dan pemantauan TTM

R6.1 Panel merekomrendasikan penggunaan metode termukhtahir dengan pendinginan suhu


tubuh inti untuk optimalisasi TTM

(Grade 1+)

Rasionalisasi: Rekomendasi ini berdasarkan pasien paska henti jantung. Efikasi yang lebih baik dari
metode termutakhir (“servo-controlled”) terutama pada fase maintenance. Keuntungan metode ini
selama fase induksi TTM bervariasi bergantung pada suhu tubuh awal. Insiden pendinginan
berlebihan (overcooling/overshooting) bervariasi antara metode lanjutan dan dasar. Tanpa
memandang luaran neurologis, hasil dari analisis: 1 studi menunjukkan keuntungan metode servo-
controlled, 2 studi lainnya netral (memiliki efek positif dan negatif), dan 4 studi memiliki hasil
bervariasi. Secara keseluruhan, metode termutakhir dengan mengunakan alat dapat
mengoptimalkan TTM, namun pengaruhnya pada luaran angka survival dan neurologis belum
diketahui.

R6.2 Panel menganjurkan pengendalian proses penghangatan pasien (rewarming) yang mendapat
TTM

(Opini ahli)
Rasionalisasi: Dua RCT tidak menemukan perbedaan antara penghangatan terkendali dan
penghangatan pasif. Demam paska penghangatan tidak selalu dapat dihindari meskipun
menggunakan metode terkendali. Uji klinis tidak menemukan hubungan antara kecepatan
penghangatan dan luaran klinis. Pada cedera kepala dan stroke, penghangatan secara perlahan
menjadi penting untuk mencegah peningkatan TIK. Meskipun demikian, belum ada RCT yang
membahas detail topik peningkatan TIK pada proses penghangatan tubuh.

R6.3 Panel menganjurkan pengukuran suhu tubuh inti pada pasien yang mendapat terapi TTM

(Grade 2+)

Rasionalisasi: Suhu inti dapat diperoleh dari pengukuran di otak, selain itu dapat diperoleh dari
esofagus, vesika urinaria, rektum, nasofaring, membran timpani, dan kulit. Terdapat kesepakatan
bahwa lokasi anatomis tertentu (paru, esofagus, vesika urinaria, dan rektum) mencerminkan suhu
yang mendekati suhu inti, sedangkan pengukuran perifer (kulit dan membran timpani) memiliki
akurasi yang lebih buruk. Studi menunjukkan ada perbedaan hingga 1°C antara suhu inti dan suhu
pengukuran membran timpani.

R6.4 Panel menganjurkan deteksi komplikasi (sepsis, pneumonia, aritmia, hipokalemia) pada
pasien yang menjalani TTM

(Grade 2+)

Rasionalisasi: Meta analisis Xiao et al menemukan trend terapi TTM dengan insidensi komplikasi
berupa sepsis dan pneumonia. Hal serupa juga ditemukan pada studi observasional dengan jumlah
sampel besar.

Hipokalemia merupakan gangguan metabolik tersering yang dilaporkan pada pasien yang mendapat
terapi TTM. Dua studi melaporkan peningkatan insidensi hipokalemia yang juga ditemukan oleh Xiao
et al. Meta analisis ini menemukan pasien dengan terapi TTM beresiko mengalami aritmia

R6.1 Pediatrik - Panel menyarankan metode pendinginan dengan alat (servo-regulated) pada
pasien anak yang menjalani TTM

(Opini Ahli)

Rasionalisasi: Satu RCT menunjukkan metode pendinginan dengan alat lebih superior dalam
pemeliharaan hipotermia pada neonatus dengan asfiksia yang mendapat TTM. Neonatus dengan
alat servo-controlled dapat mendapat target suhu lebih baik saat tiba di rumah sakit: median 73%
(IQR 17-88) vs 0% 9 (IQR 0-52) P < 0,001). Target suhu lebih cepat tercapai (44 ± 31 vs 63 ± 37 menit,
P = 0,04) dan bahkan sudah tercapai saat transport pasien ke rumah sakit ( 80 vs 49%, P < 0,001).
Jumlah neonatus yang mencapai suhu target dalam waktu 1 jam lebih banyak pada kelompok servo-
controlled dibanding yang tidak (71 vs 20%, P < 0,001)

R6.2 Pediatrik - Panel menganjurkan pengukuran suhu inti pada anak yang mendapat terapi TTM

(Grade 2+)

Rasionaisasi: Beberapa studi membandingkan akurasi pengukuran suhu pada lokasi anatomis
berbeda. Studi prospektif (n=15), pengukuran perifer (axila, timpani, rektal, esofagus) dibandingkan
terhadap suhu tubuh inti. Dicapai kesepakatan bahwa pengukuran di esofagus lebih mendekati suhu
inti, sedangkan axila/timpani tidak disarankan untuk mengukur suhu inti.

Anda mungkin juga menyukai