Anda di halaman 1dari 21

JUDUL PENULIS

: Prehospital Hypertonic Saline Resuscitation of Patients With Hypotension and Severe Traumatic Brain Injury : D. James Cooper, BMBS, MD; Paul S. Myles, MBBS, MD; Francis T. McDermott, MBBS, MD; Lynette J.Murray, BAppSci; John Laidlaw, MBBS; Gregory Cooper; Ann B. Tremayne; Stephen S. Bernard, MBBS; Jennie Ponsford, MA, PhD.

PUBLIKASI : 17 Maret 2004 DESAIN SUMBER ABSTRAK Konteks Resusitasi prehospital dengan menggunakan HyperTonic Saline (HTS) pada pasien dengan traumatic brain injury (TBI) telah diketahui dapat meningkatkan survival sedangkan HTS dapat meningkatkan outcome neurologis belum diketahui. Tujuan Untuk mengetahui apakah resusitasi prehospital dengan HTS intravena dapat meningkatkan outcome neurologis jangka panjang pada pasien dengan TBI berat dibandingkan dengan resusitasi dengan cairan konvensional. Desain, Tempat, dan Pasien Double-blind, randomized controlled trial dari 229 pasien dengan TBI dalam keadaan koma (skor Glasgow Coma Scale, <9) dan hipotensi (tekanan darah sistolik, <100 mmm Hg). Pasien mengikuti penelitian antara 14 Desember 1998 dan 9 April 2002, di Melbourne, Australia. Intervensi Pasien ditentukan secara acak untuk mendapat infus intravena cepat 250 mL dari saline 7,5% (n= 114) atau 250 mL Ringers Lactate Solution (n= 115; kontrol) ditambah dengan cairan intravena konvensional sesuai dengan prosedur resusitasi dan dilakukan oleh paramedis. Pemberian terapi secara blind. Pengukuran Outcome Fungsi neurologis saat 6 bulan setelah trauma, diukur menggunakan Glasgow Outcome Score (GOSE). Hasil Didapatkan outcome 226 (99%) dari 229 pasien yang memenuhi syarat. Karakteristik dasar tiap grup adalah sama. Pada saat masuk rumah sakit, rata-rata level Na 149 mEq/L untuk pasien HTS sedangkan 141 mEq/L untuk grup kontrol (P<0,001). Proporsi pasien yang bertahan dan dipulangkan sama di kedua grup (n=63 (55%) pada grup HTS dan n=57 1 : A Randomized Controlled Trial : www.jama.ama-assn.org/content/291/11/1350.full.pdf

(50%) pada grup kontrol; p=0,32); saat 6 bulan, survival rate n=62 (55%) pada grup HTS dan 53 (47%) pada grup kontrol (P=0,23). Saat 6 bulan, median (interquartile range) GOSE adalah 5 (36) pada grup HTS sedangkan 5 (5-6) pada grup kontrol (P=0,45). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara outcome dari kedua grup (disabilitas sedang dan good outcome survivors (GOSE 5-8) (risk ratio, 0.99; 95% CI, 0.76-1.30; P=0.96) atau dengan pengukuran lain fungsi neurologis pasca trauma. Kesimpulan Pada studi ini, pasien dengan hipotensi dan TBI yang berat yang mendapat resusitasi prehospital dengan HTS memiliki fungsi neurologi 6 bulan pasca trauma hampir identik dengan pasien yang menerima cairan konvensional.

I.

LATAR BELAKANG
2

Traumatic Brain Injury (TBI) merupakan kejadian yang sering pada pasien dengan trauma berat dan seringkali diderita oleh lelaki dewasa muda. Meskipun dengan strategi manajemen terkini, pasien dengan TBI berat mempunyai angka mortalitas yang tinggi (31%49%) dan kebanyakan bertahan dengan disabilitas neurologis yang persisten. Ditemukan 80.00090.000 kasus di United States dapat bertahan dengan disabilitas jangka panjang setelah terjadinya trauma kepala. Sehingga, lifetime cost tiap pasien yang bertahan dengan disabilitas berat bahkan dapat melebihi US $2 juta. Setelah trauma kepala terjadi, secondary brain injury dapat terjadi akibat hypoxia, hipotensi, atau peningkatan tekanan intra-kranial (ICP) dan ini berhubungan dengan outcome neurologis yang lebih buruk. Pasien dengan hipotensi setelah TBI berat mempunyai 2 kali angka mortalitas dibandingkan dengan pasien normotensi. Maka dari itu, resusitasi agresif dengan cairan intravena direkomendasikan dalam guideline terkini untuk manajemen pasien dengan TBI berat. Terapi terhadap peningkatan tekanan intra-kranial pada pasien TBI juga dapat meningkatkan outcome. Pada studi sebelumnya terhadap unselected patient dengan trauma didapatkan bahwa pemberian HiperTonic Saline (HTS) intravena dapat meningkatkan tekanan darah dan menurunkan ICP (Intra Cranial Pressure) dibandingkan dengan resusitasi cairan isotonis. HTS juga dapat dikombinasikan dengan hypertonic colloid (biasanya dextran 70) untuk meningkatkan durasi efek. Meskipun, kombinasi tersebut lebih mahal dan dibandingkan terhadap 4 grup secara acak, angka survival tertinggi yaitu pada grup dengan pemberian HTS saja (HTS saja, 60%; HTS + Dextran 70, 56%; Ringer Lactate saja, 49%). Sebuah meta analisis terhadap pasien dengan TBI dari 8 randomized trial dengan pemberian resusitasi HTS-dextran tercatat meningkatkan survival dari 27% menjadi 38% (P = 0,48). Di Eropa, HTS-cairan koloid mempunyai kegunaan klinis sejak 1991 dan HTS-dextran diakui di 14 negara Eropa. HTS saline atau HTS-kolloid direkomendasikan dalam protokol resusitasi prehospital untuk pasien dengan trauma kepala. Brain Trauma Foundation Guidelines for Pre-hospital Management of Traumatic Brain Injury merekomendasikan HTS dengan atau tanpa dextran pada level operasi. Meskipun, tidak ada RCT prospektif yang membandingkan HTS dengan resusitasi cairan konvensional pada pasien dengan TBI. Resusitasi prehospital dengan HTS dapat menurunkan secondary brain injury dibandingkan protokol resusitasi standar saja. Peneliti melakukan double blind, RCT terhadap 3

resusitasi HTS dibandingkan dengan resusitasi cairan standar pada pasien dengan TBI yang berat untuk mengetahui apakah HTS dapat meningkatkan fungsi neurologis jangka panjang.

II.
A. Partisipan Penelitian

METODE

Double blind, randomized control trial dilakukan antara 14 Desember 1998 sampai 9 April 2002 di Melbourne, Australia. Daerah ini mempunyai populasi lebih dari 4 juta orang dan 4

mendapar fasilitas oleh Metropolitan Ambulance Service dan Rural Ambulance Victoria. Di daerah ini, paramedis dilatih advanced life support merawat pasien dengan trauma mayor berkelanjutan dengan menggunakan protokol berdasarkan Advanced Trauma Life Support Guidelines. Pasien dewasa dengan trauma mayor ditransportasikan melalui jalur ambulans ke salah satu dari 12 rumah sakit, atau dengan helikopter dan jalan ambulans ke suatu rumah sakit, didesain sebagai regional trauma center. Pasien diikutkan dalam studi ini jika selama prehospital semua kriteria ini terpenuhi: koma akibat trauma kepala tumpul, GCS < 9 (range, 3-15), dan hipotensi (tekanan darah sistolik, <100 mmHg). Pasien dengan trauma multisistem dapat dimasukkan. Pasien dieksklusikan jika dengan trauma penetrasi (tembus), usia < 18 tahun, hamil, tidak mempunyai akses intravena, mempunyai penyakit premorbid yang serius pada medical identification bracelet, oedem perifer, in close proximity to receiving hospital (scoop&run), absence sinus rhythm, atau cardiac arrest. B. Randomisasi dan Prosedur Penelitian Pasien secara acak ditentukan untuk menerima 250 mL infus intravena yaitu 7.5% saline (HTS) atau 250 mL Ringers Lactate Solution (kontrol) sebagai resusitasi cairan intravena standar. Volume ini dipilih karena merupakan volume maksimum dan konsentrasi HTS tersebut aman untuk diberikan sebagai resusitasi intravena selama prehospital melalui kateter perifer, yaitu 250 mL 7.5% saline. Semua publikasi randomized studies tentang resusitasi HTS dan HTSdextran pada pasien dengan trauma diuji dengan dosis yang sama. Cairan yang digunakan pada studi tersebut ditempatkan pada kantong 250 mL yang identik. Pasien, paramedis, tenaga kesehatan terlatih, dan koordinator penelitian blinded dalam memberikan terapi. Ambulans memindahkan pasien ke rumah sakit khusus, maka dari itu, alokasi juga ditentukan oleh rumah sakit. Secara berurutan diberi nomor, acak dengan sistem komputer, kantong intravena terlihat mirip, dipak, tiap ambulans terdapat 4 kantong intravena. Setelah tiap kantong sudah terpakai, paramedis mengepak nomor urutan kantong selanjutnya ke dalam box peralatan. Semua pasien dievaluasi dan diterapi oleh paramedis. Jika pasien yang ditemui memenuhi kriteria yang disyaratkan, nomor kantong cairan selanjutnya segera dimasukkan secepat mungkin. Paramedis memasukkan kristaloid, Ringers Lactate solution, atau cairan 5

koloid (Haemacell, Hoechst Marion Roussel, Australia), atau keduanya, tergantung prosedur yang sudah ditentukan. Prosedur tersebut merekomendasikan volume koloid atau kristaloid intravena adalah 10 mL/kg untuk hipotensi akibat trauma tumpul, dan perlu diulang jika hipotensi yang terjadi masih menetap setelah cairan dimasukkan. Setelah pasien dipulangkan, mereka melakukan perawatan selanjutnya ke tenaga medis secara tersebar dengan mendapatkan terapi mengikuti guideline dari Brain Trauma Foundation. C. Pengumpulan Data dan Penilaian Hasil Setelah tiap pasien mengikuti penelitian, postcard yang ditempelkan pada tiap kantong bertuliskan nomor studi dan detail demografi pasien, dilaporkan kepada pusat koordinator. Tiap pasien di follow up oleh koordinator penelitian di rumah sakit sampai 6 bulan setelahnya atau bahkan jika pasien sudah meninggal, jika memang akhirnya sudah meninggal sebelum 6 bulan tersebut. Semua data dicatat melalui Access database (Microsoft, Redmond, Wash). Data dikumpulkan secara prospektif meliputi karakteristik dasar, vital sign pasien, data laboratorium, dan semua kejadian yang berarti setelah pasien masuk rumah sakit. Pada pasien yang telah berada di rumah sakit, diperiksa dengan CT Scan dan dinilai keparahan penyakitnya oleh seorang dokter bedah syaraf, dimana blinded terhadap terapi yang diberikan dan menggunakan sistem skoring standard. Glasgow Outcome Scale (GOSE) merupakan metode yang paling banyak diterima untuk menganalisis outcome pada pasien dengan cedera kepala berat dan telah diaplikasikan dengan menggunakan sebuah kuesioner yang terstruktur serta skala point 8 (Extended Glasgow Outcome Scale / GOSE) dimana skor 1, mengindikasikan kematian; 2, vegetative; 3, ketidakmampuan berat pada ekstrimitas bawah; 4, ketidakmampuan berat pada ekstrimitas atas; 5, ketidakmampuan sedang ekstrimitas bawah; 6, ketidakmampuan sedang ekstrimitas atas; 7, pemulihan yang baik pada ekstrimitas bawah; 8, pemulihan yang baik pada ekstrimitas atas. Keuntungan dari penggunaan GOSE adalah simple, dikenal lebih luas, dan perbedaan disabilitas / ketidakmampuan memiliki fungsi yang berarti secara klinis. Interrater reliability dari wawancara terstruktur untuk GOS dan GOSE tinggi (k=0.89 dan k=0.85, respective). Pada 3 dan 6 bulan setelah cedera, seluruh pasien yang bertahan diwawancara oleh peneliti yang sama dimana setiap pasien dikunjungi secara individual. GOSE didata dengan menggunakan sistem skoring standard. 6 bulan setelah cedera dipertimbangkan sebagai waktu 6

penilaian yang optimal karena kebanyakan hasil neurologi telah memiliki hasil yang stabil dan tidak di follow up nya pasien tersebut dapat menjadi masalah di masa yang akan datang. Peneliti dilatih oleh seorang dokter bedah syaraf berpengalaman dan kepentingan untuk mempelajari commencement, interrater reliability skor outcome oleh peneliti dinilai kembali oleh dokter bedah syaraf untuk 10 pasien dan hasilnya baik (k=0.78; p=.001). Outcome sekunder termasuk ICP pertama dan cerebral perfusion pressure (CPP) dihitung setelah pemasangan kateter ICP; durasi elevasi ICP dan CPP inadekuat, oksigenasi yang buruk menunjukkan rasio PaO2/FiO2 yang rendah; serta durasi dari dukungan inotropic dan ventilasi mekanik. Dalam wawancara masing-masing pasien, peneliti juga menghitung Functional Independence Measure (rata-rata skor, 1-7), pengukuran yang telah divalidasi dari disabilitas pengukuran fisik dan kognitif independence adalah prediksi yang tinggi dari kebutuhan pasien terhadap supervisor dan asisten setelah TBI, dan Rancho Los Amigos score (18), yang mana pengukuran fungsi kognitif ada dalam 8 kategori yang sudah ditunjukkan dengan reliabilitas yang baik. D. Etika Penelitian Penelitian ini disetujui oleh human ethics committee terhadap 12 rumah sakit yang bersangkutan dan oleh komite medis Metropolitan Ambulance Service. Disediakan informed consent bagi pasien. Pasien yang terdaftar dalam studi oleh paramedis, informed consent tertunda selama partisipasi dan kelanjutan dalam penelitian ini didapat dari keluarga terdekat, sementara pasien dalam perawatan intensif. Jika pasien telah cukup pulih untuk memberikan informed consent tertulis untuk kelanjutan dalam penelitian ini, persetujuan pasien dapat diperoleh. Didukung juga oleh Alfred Hospital ethic commitee dan pengungkapan publik dari penelitian yang diterbitkan pada publik melalui media cetak dan saluran radio. Di Australia, National Health and Medical Research Council Guideline mendukung untuk menunggu persetujuan dalam penelitian klinis situasi darurat. Tidak ada peraturan ketat yang tidak membolehkan. E. Manajemen Penelitian Penelitian ini dikelola oleh sebuah komite pengarah yang terdiri dari ahli dalam perawatan intensif trauma, pengobatan darurat, bedah, bedah saraf, seorang manajer layanan ambulans metropolitan, neuropsikolog, statistik, dan manajer proyek. Situs peneliti utama 7

(termasuk DJC dan SSB) mengelola masalah studi lokal dan persyaratan etika. Sebuah analisis tunggal sementara (untuk keberhasilan) direncanakan setelah perekrutan 100 pasien, menggunakan GOSE 6 bulan sebagai ukuran hasil primer dan mencegah P< .001, menurut protokol penelitian. Setelah hasil akhir sementara direview, steering committee menyarankan untuk melanjutkan penelitian. F. Analisis Statistik Penelitian ini dirancang dengan kekuatan 80% untuk mendeteksi kenaikan 20% dalam 5 derajat GOS konvensional pada 6 bulan setelah cedera; peningkatan ini dianggap signifikan secara klinis. Dengan kesalahan tipe I .05, kesalahan tipe II .20, dan memungkinkan untuk pengujian nonparametrik, disediakan 220 pasien. Pengukuran outcome primer adalah GOSE saat 6 bulan. Pengukuran outcome sekunder meliputi serum natrium dan tekanan darah sistolik pada saat masuk rumah sakit, pengukuran awal ICP, angka kematian di rumah sakit, dan GOSE pada 3 bulan. Analisis data dengan menggunakan metode intention to treat, di mana semua pasien yang terdaftar dan yang memenuhi kriteria dimasukkan ke dalam analisis primer dan sekunder. Karakteristik dasar dari dua kelompok ditabulasi menggunakan ringkasan statistik yang sesuai. Analisis hasil primer pada 6 bulan GOSE dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil tambahan dinyatakan sebagai proporsi dengan nilai P atau rasio risiko (RR) dengan interval keyakinan 95% (CI). Variabel numerik yang diperkirakan distribusinya normal dirangkum sebagai mean (SD) dan kedua kelompok dibandingkan dengan t test; variabel yang tidak terdistribusi normal dirangkum sebagai median (kisaran interkuartil) dan kelompok ini dibandingkan dengan uji Mann-Whitney. Semua nilai P yang dilaporkan adalah 2-side dengan set 0,05 sebagai tingkat signifikansi. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS for Windows, versi 11.1 (SPSS Inc, Chicago, III). Dua subkelompok utama dengan waktu prehospital lebih pendek (<1 jam) dan derajat keparahan yang tidak berat ( GCS 5-8) juga diidentifikasi.

III.
A. Hasil

HASIL PENELITIAN DAN OUTCOMES

Sebanyak 262 pasien yang terdaftar dalam penelitian, termasuk 27 pasien yang kemudian dikeluarkan karena mereka tidak memenuhi kriteria awal penelitian (Gambar 1). Ini termasuk 9 9

pasien yang diukur satu skor GCS paramedis pra-rumah sakit, 1 pasien yang tekanan darah sistolik lebih dari 100 mm Hg, 8 pasien yang mengalami serangan jantung sebelum menerima cairan studi, 6 pasien dengan trauma tembus, dan 3 pasien yang tidak memiliki trauma. Selain itu, 6 pasien bertahan menolak persetujuan untuk berpartisipasi lebih lanjut dalam studi, akhirnya 229 pasien dipakai dalam penelitian ini, secara acak. Dua pasien yang menerima volume cairan yang salah, yaitu 1 pasien yang menerima dua kantong dan 1 pasien yang menerima cairan 125 mL, tetap dimasukkan dalam analisis hasil. Dari 229 pasien yang terdaftar dengan benar, 114 diacak dalam kelompok HTS dan 115 dalam kelompok kontrol. Kelompok perlakuan memiliki karakteristik awal yang setara (Tabel 1). Kebanyakan pasien dengan TBI masih muda (rata-rata [SD], 38 [19] tahun) dan laki-laki (66%). Skor GCS sebelum penelitian dan tekanan darah sistoliknya ekuivalen. Tidak ada perbedaan angka intubasi, waktu tindakan, atau waktu transportasi pada kedua kelompok. Jumlah cairan koloid dan cairan kristaloid yang ditambahkan ke dalam cairan studi ini (median, 1250 mL; Tabel 1) dan suhu tubuh pada saat kedatangan di rumah sakit (35 C) adalah sama pada kedua kelompok. Nilai median skor keparahan cedera dalam dua kelompok 38, yang menunjukkan cedera parah, dan skor maksimum cedera singkat (abbreviated) serupa pada kedua kelompok untuk nilai berkaitan dengan cedera kepala. Tidak ada perbedaan antara kelompok sehubungan dengan probabilitas kelangsungan hidup, yang diukur dengan Trauma Injury Severity Scale (TRISS, kisaran, 0% -100%). Pasien yang diterapi dengan HTS secara signifikan (P < .001) mengalami peningkatan natrium serum dan konsentrasi klorida dibandingkan dengan pasien yang menerima Ringer laktat selama masuk rumah sakit. Perbedaan ini muncul pada saat tiba di gawat darurat dan berlangsung selama sekitar 12 jam (Tabel 2 dan Gambar 2). Hipotensi pra-rumah sakit telah diperbaiki pada kedua kelompok setelah tiba di rumah sakit dan tidak ada perbedaan signifikan pada tekanan darah sistolik antara 2 kelompok tersebut (Tabel 2). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok sehubungan dengan ICP (P =. 08), CPP (P = .40), durasi CPP kurang dari 70 mm Hg (P =. 06), pertukaran gas (PaO2/FIO2 rasio), atau durasi ventilasi mekanis (Tabel 2). Durasi pemberian inotropik lebih singkat pada pasien yang menerima HTS daripada yang menerima larutan Ringer laktat (P =. 03).

10

11

B.

Outcome Hasil dari pasien ditunjukkan pada Tabel 3. Dari 229 pasien yang terdaftar dalam

penelitian ini, 8 (3,5%) meninggal sebelum sampai di RS dan 47 (21%) meninggal di IGD atau di ruang operasi. Sebanyak 174 pasien dirawat di unit perawatan intensif dan 120 pasien (53%) dipulangkan dari rumah sakit. Proporsi pasien yang masih hidup untuk dipulangkan dari rumah sakit adalah serupa pada kedua kelompok (n = 63 [55%] untuk HTS kelompok dan n = 57 [50%] untuk kontrol, P =. 32). Proporsi pasien bertahan hidup pada 6 bulan adalah n = 62 (55%) pada kelompok HTS dan n = 53 (47%) pada kelompok kontrol (P =. 23; RR, 1,17, CI 95%, 0,9 ke 1, 5).

12

GOSE pada saat 6 bulan pada tiap grup ditunjukkan pada Figure 3. Pada 6 bulan itu, total 2 pasien (1%) DO dan 1 pasien telah menarik persetujuan. Oleh karena itu, 228 pasien (116) dinilai untuk hasil neurologis pada 3 bulan dan 226 (115) pada 6 bulan setelah cedera. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua kelompok tersebut sehubungan dengan hasil akhir studi awal, GOSE, atau pengukuran status fungsional neurologis (Tabel 3) pada 3 atau 6 bulan setelah cedera. Terdapat tingkat perbedaan hasil yang memuaskan, didefinisikan dari hasil GOSE 5 atau lebih, untuk HTS vs kontrol (RR, 0,99, 95% CI, 0,76-1,30, P =. 96). Tingkat dapat beraktivitas kembali (rates of return to work) tidak berbeda signifikan antara kedua kelompok.

13

C.

Analisis Subgrup Dilakukan Exploratory Data Analyses (EDA) untuk mengidentifikasi sub-sub kelompok

yang mendapat keuntungan dari resusitasi dini dengan HTS, yang mengungkapkan tidak ada manfaat yang signifikan dari HTS untuk pasien dengan cedera otak yang kurang parah menurut skor GCS 5-8 (n = 101, P =. 48) untuk pasien dengan waktu lebih pendek (<60 menit, n = 95, P =. 26) atau lebih lama (>60 menit, n = 122, P =. 86) cedera pada waktu datang ke RS, atau untuk 14

pasien yang dirawat dengan cairan infus kristaloid saja ( n = 96, P =. 85), sehubungan dengan peningkatan skor GOSE 6 bulan setelah cedera.

IV.

PEMBAHASAN
15

Pada pasien dengan TBI berat dan hipotensi sangat terkait dengan prognosis yang buruk. Oleh karena itu, resusitasi dengan cairan intravena yang efektif harus meningkatkan perfusi serebral, pengurangan cedera otak sekunder, dan meningkatkan hasil neurologis. Meskipun peran terapi cairan intravena dalam pengobatan pra-rumah sakit trauma masih kontroversial, pedoman saat ini menyarankan bahwa hipotensi harus segera dikoreksi pada pasien dengan TBI berat. Namun, pilihan cairan masih kontroversial. Pada pasien yang kritis, systematic review telah melaporkan resusitasi cairan koloid dan terapi albumin berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Pada pasien dengan trauma mayor, systematic review lain menyatakan bahwa resusitasi koloid berkaitan dengan hasil yang merugikan. Pada pasien dengan trauma, sangat memungkinkan pemberian resusitasi cairan pra-rumah sakit menggunakan kristaloid hipertonik. Sebuah meta-analisis pasien dengan TBI berat dari uji coba secara acak dari HTSdekstran untuk resusitasi trauma pra-rumah sakit melaporkan peningkatan dalam kelangsungan hidup 11% dibandingkan dengan resusitasi cairan standar. Selanjutnya, tidak ada efek samping dari HTS yang terdeteksi lebih dari 600 pasien trauma yang menerima HTS pra-rumah sakit, clinical trial. Sehingga, HTS dan HTS-dekstran direkomendasikan untuk resusitasi awal pada pasien dengan hipotensi dan trauma, terutama mereka dengan trauma kepala. Walaupun dengan double-blind, randomized trial, tentang resusitasi intravena prehospital dengan HTS dibandingkan dengan cairan resusitasi standar pada 229 pasien dengan TBI berat dan hipotensi memiliki kecenderungan kecil untuk hidup yang lebih besar pada pasien dengan terapi HTS, hasil neurologis 6 bulan setelah cedera yang identik. Kedua kelompok penelitian menerima volume cairan prehospital yang sama dalam studi ini (median, 1250 mL). Hal ini karena paramedis melakukan resusitasi cairan pada tingkat maksimum volume tanpa tahu jenis cairan yang diberikan selama periode pra-rumah sakit. Pasien pada kedua kelompok juga menerima volume koloid serupa (median, 500 ml untuk pasien dengan HTS dan 250 mL untuk kontrol; Tabel 1). Karena HTS memperluas volume intravaskular 4 sampai 10 kali lebih besar dari volume infus, diharapkan HTS secara signifikan akan meningkatkan CPP pada pasien dengan TBI berat. Namun, hipotensi telah dikoreksi sebelum tiba di rumah sakit pada kedua kelompok tersebut. Meskipun resusitasi HTS cenderung memiliki protokol yang lebih cepat, resusitasi konvensional juga efektif untuk resusitasi prarumah sakit pada pasien ini. HTS intravena juga menurunkan ICP pada pasien dengan TBI dalam penelitian ini, ICP lebih rendah saat pertama kali diukur di rumah sakit untuk pasien dengan HTS 16

daripada kelompok kontrol. Penurunan ini tidak signifikan (P =. 08), mungkin karena hipertensi intrakranial biasanya tidak bermasalah pada jam-jam pertama setelah TBI. Interpretasi hasil ICP dan CPP terbatas karena pasien yang membaik dengan cepat atau kematian yang cepat tidak mungkin untuk melakukan pengukuran ICP. Dua subgroup utama juga diteliti. Pertama, total waktu pra-rumah sakit yang relatif panjang (rata-rata 60 menit) dan telah dinyatakan bahwa HTS lebih cepat waktu untuk melakukan resusitasi sehingga memperpendek waktu prehospital daripada resusitasi kristaloid isotonik. Analisis pasien dengan waktu pra-rumah sakit yang singkat, bagaimanapun, tidak menunjukkan manfaat dalam kelompok ini. Kedua, beberapa pasien dengan GCS rendah memiliki lesi primer yang berat dengan sedikit perbaikan atau tidak ada pemulihan dan resusitasi cairan serebral terbaik mungkin bermanfaat bagi pasien hanya dengan cedera otak primer yang tidak berat. Namun, analisis subkelompok pada pasien dengan cedera otak kurang berat (GCS kisaran skor, 5-8) tidak mendukung hipotesis ini. Penelitian ini memiliki sejumlah kekuatan. Uji coba dilakukan secara acak saat awal resusitasi pada pasien pra-rumah sakit dengan HTS pada hipotensi dengan TBI berat. Alokasi dilakukan tersembunyi dan paramedis, pasien, dokter dan penilai hasil yang blind dengan tugas pengobatan. Perlakuan acak bertingkat melalui ambulans dan penerimaan di RS untuk meminimalkan perbedaan manajemen antar rumah sakit. Sehingga, karakteristik dasar seimbang antara kedua kelompok. Tidak seperti kebanyakan studi tentang TBI, DO pasien pada 6 bulan adalah hanya 1%. Akhirnya, penelitian ini adalah penelitian pertama yang melakukan resusitasi cairan pra-rumah sakit untuk mengukur jangka panjang fungsi neurologis sebagai hasil primer pada pasien dengan TBI. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, tidak seperti beberapa studi sebelumnya, HTS digabung tidak dengan dekstran. Penelitian ini dirancang untuk menguji HTS saja, karena penelitian acak sebelumnya menyatakan keuntungan yang lebih besar untuk pasien trauma dengan resusitasi HTS saja (tanpa dekstran). Meta-analisis terkini melaporkan peningkatan mortalitas setelah resusitasi koloid, terutama pada pasien dengan trauma dan juga tampak sedikit keuntungan dari penambahan dekstran ketika paramedis memilih pemberian dengan cairan koloid. Akhirnya, penambahan dekstran untuk HTS meningkatkan biaya dan risiko terhadap potensi reaksi yang merugikan.

17

Kedua, penelitian ini hanya melibatkan 229 pasien. Namun, studi itu memiliki kekuatan 80% untuk mengidentifikasi perubahan 1 derajat di GOSE setelah HTS. Perbedaan ini mempunyai arti klinis yang signifikan dalam hal kualitas jangka panjang kualitas hidup. Fungsi neurologis juga tidak berbeda antara kelompok. Ketiga, populasi penelitian sebagian besar (90%) termasuk pasien dengan trauma multisistem. Pasien dengan cedera kepala tersembunyi dapat merespon secara berbeda dibandingkan pasien dengan beberapa luka-luka. Namun, dalam kedua kelompok studi, kelangsungan hidup secara signifikan lebih baik (hidup rata-rata, 60%), yang memprediksi probabilitas kelangsungan hidup dihitung dengan menggunakan TRISS (mean TRISS, 45%). Hal ini menunjukkan bahwa paramedis dan protokol rumah sakit, termasuk resusitasi cepat cairan prahospital, adalah baik atau lebih baik dari protokol standar. Kami menemukan bahwa pemberian HTS prehospital dan protokol resusitasi konvensional saja dapat memperbaiki pasien hipotensi dengan TBI. Pada system trauma dengan protokol resusitasi paramedis yang efektif, pemberian HTS pra-rumah sakit tidak meningkatkan fungsi jangka panjang neurologis dibandingkan dengan resusitasi cairan konvensional.

V.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fearnside MR, Cook RJ, McDougall P, McNeil RJ. The Westmead Head Injury Project outcome in severe head injury: a comparative analysis of prehospital, clinical and CT variables. Br J Neurosurg. 1993; 7:267-279. 18

2. Khan F, Baguley IJ, Cameron ID. Rehabilitation after traumatic brain injury. Med J Aust. 2003;178:290-295. 3. Chesnut RM, Marshall LF, Klauber MR, et al. The role of secondary brain injury in determining outcome from severe head injury. J Trauma. 1993;34: 216-222. 4. Hunt J, Hill D, Besser M, West R, Roncal S. Outcome of patients with neurotrauma: the effect of a regionalized trauma system. Aust N Z J Surg. 1995; 65:83-86. 5. US National Institutes of Health. Rehabilitation of persons with traumatic brain injury: NIH Consensus Statement 1998. Available at: http://consensus.nih .gov/cons/109/109_intro.htm. Accessibility verified February 20, 2004. 6. Wood RL, McCrae JD, Wood LM, Merriman RM. Clinical and cost effectiveness of postacute neurobehavioural rehabilitation. Brain Injury. 1999;13:69-88. 7. Wald SL, Shackford SR, Fenwick J. The effect of secondary insults on mortality and long term disability after severe head injury in a rural region without a trauma system. J Trauma. 1993;34:377-381. 8. Bullock RM, Chesnut RM, Clifton GL, et al. Management and prognosis of severe traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2000;17:449-553. 9. Dubick M, Wade C. A review of the efficacy and safety of 7.5% NaCl/6% dextran 70 in experimental animals and in humans. J Trauma. 1994;36:323-330. 10. Mattox KL, Manningas PA, Moore EE, et al. Prehospital hypertonic saline dextran infusion for post traumatic hypotension: the USA Multicentre Trial. Ann Surg. 1991;213:482-491. 11. Vassar MJ, Fischer RP, OBrien PE, et al, for the Multicenter Group for the Study of Hypertonic Saline in Trauma Patients. A multicenter trial for resuscitation of injured patients with 7.5% sodium chloride: the effect of added dextran 70. Arch Surg. 1993;128: 1003-1011. 12. Wade C, Grady J, Kramer G, et al. Individual patient cohort analysis of the efficacy of hypertonic saline/ dextran in patients with traumatic brain injury and hypotension. J Trauma. 1997;42:S61-S65. 13. Kramer GC. Hypertonic resuscitation: physiologic mechanisms and recommendations for trauma care. J Trauma. 2003;54:S89-S99. 14. Svensen CH. Hypertonic solutions: an update. In: Trauma Care: Journal of the International Trauma Anaesthesia and Critical Care Society. Baltimore, Md: ITACCS World Headquarters; 2002:6-1. 19

15. Gabriel EJ, Ghajar J, Jogada A, Pons PT, Scalea T. Guidelines for the Pre-Hospital Management of Traumatic Brain Injury. New York, NY: Brain Trauma Foundation; 2000:7-49. 16. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support Program. 7th ed. Chicago, Ill: American College of Surgeons Committee; 2003. 17. Jennett B, Bond M. Assessment of outcome after severe brain damage: a practical scale. Lancet. 1975; 1:480-484. 18. Marshall LF, Marshall SB, Klauber MR, et al. The diagnosis of head injury requires a classification based on computed axial tomography. J Neurotrauma. 1992; 9:S287-S291. 19. Teasdale GM, Pettigrew LEL, Wilson JT, Murray G, Jennett B. Analyzing outcome of treatment of severe head injury: a review and update on advancing the use of the Glasgow Outcome Scale. J Neurotrauma. 1998;15:587-597. 20. Wilson JT, Pettigrew LEL, Teasdale GM. Structured interviews for the Glasgow Outcome Scale: guidelines for their use. J Neurotrauma. 1998;15:573-585. 21. Pettigrew LE, Wilson JT, Teasdale GM. Reliability of ratings on the Glasgow Outcomes Scales from in-person and telephone structured interviews. J Head Trauma Rehabil. 2003;18:252-258. 22. Dodds TA, Martin DP, Stolov WC, Deyo RA. A validation of the Functional Independence Measure and its performance among rehabilitation inpatients. Arch Phys Med Rehabil. 1993;74:531-536. 23. Corrigan JD, Smith-Knapp K, Granger CV. Validity of the functional independence measure for persons with traumatic brain injury. Arch Phys Med Rehabil. 1997;78:828-834. 24. Hagen C. Language cognitive disorganisation following closed head injury: a conceptualisation. In: Trexler L, ed. Cognitive Rehabilitation: Conceptualisation and Intervention. New York, NY: Plenum; 1982: 131-151. 25. Gouvier W, Blanton P, LaPorte K, Nepomuceno C. Reliability and validity of the Disability Rating Scale and the Levels of Cognitive Functioning Scale in monitoring recovery from severe head injury. Arch Phys Med Rehabil. 1987;68:94-97. 26. National Statement on Ethical Conduct in Research Involving Humans. Canberra, Australia: Commonwealth of Australia; 1999. Available at: http: //www.health.gov.au/nhmrc/publications/pdf/e35 .pdf. Accessibility verified February 13, 2004.

20

27. Boyd C, Tolson M, Copes W. Evaluating trauma care: the TRISS method. J Trauma. 1987;27:370-378. 28. Liberman M, Mulder D, Sampalis J. Advanced or basic life support for trauma: meta-analysis and critical review of the literature. J Trauma. 2000;49:584-599. 29. Schierhout G, Roberts I. Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions in critically ill patients: a systematic review of randomised trials. BMJ. 1998; 316:961-964. 30. Cochrane Injuries Group. Albumin reviewers: human albumin administration in critically ill patients: systematic review of randomised controlled trials. BMJ. 1998;317:235-240. 31. Choi PT-L, Yip G, Quinone JG. Crystalloids vs colloids in fluid resuscitation: a systematic review. Crit Care Med. 1999;27:200-210. 32. Worthley L, Cooper D, Jones N. Treatment of resistant intracranial hypertension with hypertonic saline. Neurosurgery. 1988;68:478-481.

21

Anda mungkin juga menyukai