NIM : 2103277044
KELAS : 2A
ANALISA PICOT
1. Pengaruh Bridging Exercise Terhadap Spastisitas Pada Pasien Stroke Non Hemoragik
di Makassar
LINK JURNAL : https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Pengaruh+Bridging+Exercise+Terhadap+Spastisitas+Pada+Pas
ien+Pasca+Stroke+Non+Hemoragik+di+Makassar&btnG=#d=gs_qabs&t=1667797838983
&u=%23p%3DZlrcs_noKbkJ
Masalah yang ada di jurnal ini adalah spastisitas pasien pasca stroke
merupakan salah satu masalah pada pasien stroke karena dapat
menghambat aktivitas kesehariannya. Tujuan penelitian adalah untuk
P mengetahui pengaruh antara pemberian bridging exercise terhadap
(Populasi) spastisistas pada pasien pasca Stroke Non Hemoragik di Makassar.
Penelitian ini ada 17 responden yang diteliti di Rumah
Sakit Umum Daerah Daya Makassar, Klinik Phsysio Sakti dan Klinik
Medisakti pada pasien stroke Non Hemoragik yang mengalami spastisitas.
Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental dengan Desaign One
Group Pretest–Post Test untuk mengetahui perbedaan spastisitas sebelum
dan sesudah pemberian bridging exercise pada pasien pasca Stroke Non-
Hemoragik di Makassar. Bridging Exercise adalah salah satu latihan yang
dapat menurunkan spastisitas otot dan teknik latihan penguatan pada otot
paraspinal, quadrisep, hamstring dan gluteal. Bridging exercise juga
merupakan suatu bentuk latihan yang berfungsi untuk
pengutaan otot pelvic yang dapat diberikan pada penderita pasien Pasca
I Stroke
(Intervensi) Non-Hemoragik kerena mengalami gangguan kekuatan otot dan diterapi
sebanyak 6
kali yang diberikan 3 kali seminggu dengan dosis sehari yaitu 8 kali
repitisi, dan setiap
gerakan dilakukan selama 8 kali hitungan kemudian istirahat selama 2
detik. Jumlah penderita stroke yang datang berobat di Rumah Sakit Umum
Daerah Daya, Klinik Physio Sakti dan Klinik Medisakti selama penelitian
adalah 17 orang dengan pasien laki-laki sebanyak 12 (70.6 %) dan pasien
perempuan sebanyak 5 orang (29.4 %).
C Disarankan kepada peneliti lanjutan untuk meneliti pengaruh
(Comparation) bridging exercise terhadap penurunan spastisitas pada pasien pasca Stroke
Non
Hemoragik sebanyak 6 kali dengan sampel homogen dan jumlah sampel
yang lebih
banyak.
Hasil penelitian ini menujukan bahwa, setelah 6 kali pemberian bridging
exercise, penurunan spastisitas semakin nyata, 3 orang responden dengan
kategori Modified Skala Ashwort normal (17,6%), 12 orang responden
dengan kategori Modified Skala Ashwort sangat ringan (70,6%), dan 2
O orang responden dengan kategori Modified Skala Ashwort ringan (11,8%).
(Outcome) Pasien laki-laki sebanyak 12 orang (70.6%) dan pasien perempuan
sebanyak 5 orang (29.4%). Berdasarkan usia, sampel dalam penelitian
berumur anatara 38 tahun sampai 80 tahun, dengan rerata umur laki-laki 60
(SD=12.292) tahun dan rerata umur subjek perempuan 62.80 (SD=11.122)
tahun. Subjek tertua berusia 80 tahun sedangkan termuda berusia 38 tahun.
T Data dikumpulkan selama 1 bulan 9 hari (1 Oktober sampai 10 November
(Time) 2012)
2. Dukungan Keluarga Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Gagal
Jantug Kongestif di Rspad Gatot Soebroto
LINK JURNAL : https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Dukungan+Keluarga+Berhubungan+Dengan+Kepatuhan+Min
um+Obat+Pada+Pasien+Gagal+Jantung+Kongestif+Di+Rspad+Gatot+Soebroto&btnG=#
d=gs_qabs&t=1667797882969&u=%23p%3DnohJIf2K20IJ
Masalah yang ada di jurnal ini adalah Rehospitalisasi pasien gagal jantung
kongestif salah satu penyebabnya adalah karena ketidakpatuhan pasien
P dalam mengikuti program pengobatan terutama dalam kepatuhan minum
(Populasi) obat. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan cross-
sectional study. Sampel yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 80
orang pasien yang terdiagnosis gagal jantung kongestif.
Metode pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner.
Kepatuhan dalam minum obat dapat dicapai dengan dukungan keluarga
pasien dalam program pengobatan pasien dan rumah sakit dapat
menyediakan lembar kepatuhan minum obat yang harus diisi oleh pasien
I
atau keluarganya, kemudian perawat mengecek lembar kepatuhan tersebut
(Intervensi)
ketika pasien kontrol ke rumah sakit. Karakteristik pasien gagal jantung
kongestif di RSPAD Gatot Soebroto adalah mayoritas berusia 41-50 tahun,
berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan SMA, dan memiliki pekerjaan di
instansi swasta.
C Dalam jurnal yang saya ambil menunjukkan ada pembanding denga
(Comparation) penelitian sebelumnya, yaitu :
1. Benmardon Yulius (2019) menyatakan bahwa dukungan keluarga pada pasien
gagal jantung termasuk dalam kategori sedang, dan juga berhubungan dengan
kepatuhan dalam manajemen perawatan diri di rumah.
2. Bararah & Jauhar (2013) menyebutkan bahwa peningkatan harapan hidup
pasien gagal jantung dapat ditingkatkan dengan pemberian dukungan dari
keluarga dan pengobatan.
3. Nugroho (2015) menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang di rawat inap
kembali memiliki tingkat kepatuhan minum obat rendah (73,3%).
4. Efendi (2017) dukungan keluarga memberikan peranan penting dalam
memdorong dan memperkuat perilaku pasien dalam manajemen perawatan
sehari-hari pasien.
5. Hamzah & Widaryati (2017) laki-laki lebih beresiko tinggi dibanding dengan
perempuan karena pembuluh darah perempuan dilindungi oleh hormon
estrogen yang mampu meningkatkan rasio high density lipoprotein (HDL) dimana
HDL ini merupakan pelindung tubuh dari artheroclerosis.
Hasil analisa univariat karakteristik pasien gagal jantung kongestif di RSPAD Gatot
Soebroto ditunjukkan pada tabel 1 yaitu mayoritas pasien berusia 41 sampai 50
tahun sebanyak 29 orang (36,3%), berjenis kelamin laki-laki sebanyak 47 orang
(58,8%), berpendidikan SMA sebanyak 33 orang (41,30%), dan memiliki
O
pekerjaan swasta sebanyak 27 orang (33,7%). Hasil analisa bivariat antara varibel
(Outcome)
dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat ditunjukkan pada tabel 2 yang
menjelaskan bahwa 20 responden (58,8%) pasien memiliki tingkat dukungan
keluarga yang tinggi dengan kepatuhan minum obat tinggi pada pasien dengan
gagal jantung kongestif.
T Data dikumpulkan selama 4 bulan (bulan Mei sampai Agustus 2019)
(Time)
Masalah yang ada di jurnal ini adalah hemiparrese dextra E C merupakan masalah
P
pada pasien stroke karena dapat mengalami kelemahan sehingga tidak dapat di
(Populasi)
gerakkan dari kepala sampai kaki.
Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Post Stroke Hemiparrese Dextra
I e.c Non Hemoragik dalam peningkatan kekuatan otot, penurunan
(Intervensi) spastisitas, dan peningkatan fungsional dengan modalitas tens, infrared dan
terapi latihan berupa latihan active assisted, strengthening, stretching,
balance exercise dan gait exercise.
C
Tidak ada penatalaksanaan pembanding pada jurnal ini.
(Comparation)
O Hasil penelitian terapi sebanyak 9 kali dalam 3 minggu didapatkan hasil
(Outcome) peningkatan kekuatan otot berupa gerakan ankle T1:3 menjadi T3:3, gerakan
knee T1:3 menjadi T3:5, gerakan hip T1: 3 menjadi T3:5, gerakan wrist
T1:2 menjadi T3:3, gerakan elbow T1:3 menjadi T3:4, gerakan shoulder T1:2
menjadi T3:3 lalu penurunan spastisitas menggunakan skala aswort gerakan dorsi
fleksi ankle T1:2 menjadi T3: 1, gerakan fleksi knee T1:1 menjadi T3:0,
gerakan palmar fleksi T1:1 menjadi T3:0, dan gerakan fleksi shoulder T1:1
menjadi T3:0, serta peningkatan fungsional menggunakan index barthel dengan
hasil T1: skor 25 dengan intrepetasi ketergantungan berat menjadi T3: skor
70 dengan intrepetasi ketergantungan sedang.Hal ini menunjukan modalitas
fisioterapi menggunakan tens, infrared dan terapi latihan dapat meningkatkan
kekuatan otot, menurunkan spastisitas serta dapat meningkatkan kemampuan
fungsional pada penderita Post Stroke Hemiparrese Dextra e.c Non Hemoragik.
5. Study Kasus Gangguan Perfusi Jaringan Serebral Dengan Penurunan kesadaran Pada Klien
Stroke Hemoragik Setelah Diberikan Posisi Kepala Elevasi 30º
LINK JURNAL : https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Study+Kasus+Gangguan+Perfusi+Jaringan+Serebral+Dengan+Penuru
nan+kesadaran+Pada+Klien+Stroke+Hemoragik+Setelah+Diberikan+Posisi+Kepala+Elevasi+30%
C2%BA&btnG=#d=gs_qabs&t=1667798254346&u=%23p%3DeghJ3t2CZNoJ