Anda di halaman 1dari 16

EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM PENATALAKSANAAN

KASUS PADA PASIEN KRITIS BERBAGAI SISTEM

Disusun oleh :

Intan Fatimatuz Z. ( 120055 )


Juwita ( 120057 )
Leoni Erwanda ( 120058 )
Lita Eka Putri N ( 120059 )
Luluk Hikmah ( 120060 )

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO

SEMARANG

TAHUN AJARAN 2023 / 2024


EVIDENCE BASED PRACTICE

A. SISTEM NEUROLOGI
1. Judul artikel : Pengaruh Latihan Menelan Terhadap Kemampuan Menelan Pasien
Stroke Dengan Disfagia
2. Link artikel :
https://www.jurnal.upertis.ac.id/index.php/PSKP/article/download/628/317
3. Analisa PICOT :
a. Populasi : Populasi penelitian ini adalah pasien stroke di Rumah Sakit Stroke
Nasional Bukit Tinggi dengan menggunakan sampel berjumlah 50 orang
responden dengan pembagian 25 orang responden sebagao kelompok intervensi
dan 25 responden lagi sebagai kelompok kontrol.
b. Intervensi : Intervensi yang dilakukan pada Latihan menelan terhadap
kemampuan menelan terhadap pasien stroke dilakukan selama 7 hari berturut-
turut satu kali sehari.
c. C / adakah perbandingan kelompok : Berdasarkan perbandingan kelompok
responden pada laki-laki membawai 14 orang (56%) sedangkan responden
perempuan dibawahi 11 orang (44%).Berdasarkan kelompok intervensi terdapat
56% stroke hemoragik dan 44% dengan stroke iskemik,sedangkan pada kelompok
kontrol didapatkan 56% stroke iskemik dan sisanya stroke hemoragik.Rata-rata
kemampuan menelan selama 7 hari adalah 77,80 skor pada intervensi dan pada
kelompok mendapatkan skor 554,52.Selisih antara sebelum dan setelah intervensi
= 29,6 hal tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan dalam
melakukan menelan antara sebelum dan setelah melakukan menelan.
d. O / hasil penelitian : Rata-rata kemampuan menelan selama 7 hari adalah
77,80 skor pada intervensi dan pada kelompok mendapatkan skor 554,52.Selisih
antara sebelum dan setelah intervensi = 29,6 hal tersebut menunjukkan bahwa
adanya perbedaan yang signifikan dalam melakukan menelan antara sebelum dan
setelah melakukan menelan.
e. T / waktu : Latihan menelan dapat dilakukan selama 7 hari berturut-turut selama
1 kali sehari.
4. EBP Hasil :

Gambaran karakteristik responden pasien stroke dengan disfagia di Rumah Sakit Stroke
Nasional Bukit Tinggi( Desember 2019-januari 2020) : Rata-rata umur responden diatas
46 tahun ( 92% ) ,rata-rata jenis kelamin laki-laki (56% ) dan perempuan (44% ). Jenis
stroke iskemik( 56% ) dan stroke hemoragik sebanyak 44%. Rerata skor kemampuan
menelan pada pasien stroke dengan disfagia sebelum dilakukan latihan menelan yaitu
skor 48 kelompok intervensi dan skor 49 pada kelompok kontrol, sedangkan rata-rata
skor kemampuan menelan sesudah dilakukan latihan menelan yaitu skor 78 pada
kelompok intervensi dan 54 kelompok kontrol. Terdapat pengaruh latihan menelan
terhadap kemampuan menelan pada pasien stroke dengan disfagia dengan nilai t hitung
sebesar 12,25 lebih besar dari t tabel 2,013 serta nilai p-value 0,00. (A Reham, 2020)

5. Metode

Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi
dari bulan Desember 2019 sampai Januari 2020. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif, menggunakan desain penelitian Quasy Experimental, control group
pretest – postest design., Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive
sampling. Sampel berjumlah 50 orang responden dengan pembagian 25 orang responden
sebagai kelompok intervensi dan 25 orang responden lagi sebagai kelompok kontrol.
Jenis penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang timbul sebagai akibat dari
adanya perlakuan tertentu. Prosedur latihan tersebut dilakukan selama 7 hari berturut-
turut 1 kali sehari. Sebelum dan sesudah pelaksanaan latihan menelan, peneliti mengukur
menilai keadaan umum pasien untuk memastikan bahwa pasien dalam keadaan stabil.
Data di analisi menggunakan Uji t test secara komputerisasi.

6. Pembahasan

Berdasarkan distribusi responden pada tabel 1 dapat dijelaskan bahwa rerata umur
terbanyak terjadi pada usia > 46 tahun sebanyak 23 orang (92%) .Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyatsih (2009) tentang latihan menelan
pada pasien stroke dengan disfagia menyatakan bahwa dari 36 orang responden rerata
usia pasien adalah 46-65 tahun. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian oleh
Crary et al (2007) tentang disfagia, hasilnya adalah dari 59 orang responden rerata usia
pasien adalah 57-64 tahun. Berdasarkan distribusi responden pada tabel 1 dapat dijelaskan
bahwai 14 orang (56%) responden adalah laki-laki dan 11 orang (44%) perempuan.
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh MG Enny
Mulyatsih (2009) dari 36 responden ditemukan 60% adalah laki-laki . Hasil penelitian
oleh Butler et al (2009),ditemukan lebih banyak laki-laki yang mengalami disfagia, hal ini
diperkirakan karena secara anatomi faring laki-laki lebih panjang dan akan memanjang
seiring pertambahan usia dan juga laki-laki memiliki onset rileksasi sfingter esofagus atas
lebih lambat secara signifikan dibandingkan kelompok perempuan pada saat menelan
saliva.

Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa dari 50 responden, pada kelompok intervensi
terdapat 56% stroke hemoragik dan 44% dengan stroke iskemik, sedangkan pada
kelompok kontrol didapat 56 % sroke iskemik dan sisanya stroke hemoragik.Hasil
penelitian ini didukung ole penelitian yang dilakukan oleh Black and Hawks (2005)
bahwa sekitar 17% pasien mengalami stroke perdarahan sedangkan 83% diantaranya
merupakan stroke iskemik. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh MG Enny
Mulyatsih (2009) mengatakan bahwa jenis stroke perdarahan memiliki rerata status
menelan lebih rendah dibandingkan jenis stroke iskemik. Hasil penelitian ini pada tabel 2
ditemukan rerata skor kemampuan menelan sebelum dilakukan latihan menelan adalah 48
pada kelompok intervensi dan 54 pada kelompok kontrol, sedangkan pada table 4
ditemukan skor kemampuan menelan sesudah dilakukan latihan menelan selama tujuh
hari adalah 78 skor kelompok intervensi dan 55 pada kelompok kontrol. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Randa yaumul (2016) diperoleh hasil univariat, bahwa
skor kemampuan menelan sebelum dilakukan latihan menelan lebih rendah dari pada
setelah dilakukan latihan menelan yaitu rata-rata skor 60 sedangkan setelah dilakukan
latihan menelan menjadi skor 80. Dari hasil penelitian pada tabel 3 ditemukan Rerata skor
kemampuan menelan menelan sesudah dilakukan latihan menelan selama tujuh hari
adalah 77,80 skor kelompok intervensi dan 554,52 pada kelompok kontrol dengan selisih
antara sebelum dan setelah intervensi = 29,6 Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan kemampuan menelan antara sebelum dan setelah dilakukan latihan
menelan.
EVIDENCE BASED PRACTICE

B. SISTEM INTEGUMEN
1. Judul artikel : Pengaruh Senam Aerobik Terhadap Perubahan Kadar Gula Dalam
Darah Pada Pasien Diabertes Mellitus
2. Link artikel : http://ejournal.rajekwesi.ac.id/index.php/jurnal-penelitian-kesehatan/
article/view/170
3. Analisa PICOT :
a. Populasi : Populasinya adalah seluruh penderita diabetes mellitus di wilayah
kerja Puskesmas Nglumber yang mengikuti kegiatan Prolanis pada tahun 2017
sebanyak 47 orang.
b. Intervensi : Pengaruh senam aerobik terhadap perubahan kadar gula dalam darah
pada pasien diabetes mellitus.
c. C / adakah perbandingan kelompok : Berdasarkan perbandingan kelompok
responden berdasarkan umur terdapat 2,13% (60 tahun), 6,38% (30-39 tahun),
19,15% (61-69 tahun), 34,04% (40-49%), 38,3% (50-59 tahun). Sedangkan
responden berdasarkan jenis kelamin terdapat 21,3% laki-laki dan 78,7%
perempuan.
d. O / hasil penelitian : Penelitian ini terbukti ada pengaruh senam aerobik
terhadap perubahan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus di wilayah
kerja Puskesmas Nglumber Kepohbaru Bojonegoro Tahun 2017.
e. T / waktu : Penelitian dilakukan 1 minggu sekali selama 3 minggu

4. Metode
Jenis penelitian ini menggunakan pra eksperimental One group pre post test design.
Populasinya adalah seluruh penderita diabetes mellitus di wilayah kerja Puskesmas
Nglumber yang mengikuti kegiatan Prolanis pada tahun 2017 sebanyak 47 orang.
Sedangkan sampelnya 23 responden yang diambil melalui teknik Purposive Sampling.
Penelitian ini dilakukan 1 minggu sekali selama 3 minggu. Pengambilan data
menggunakan observasi, kemudian dilakukan editing, coding, scoring dan tabulasi
data yang dianalisis dengan menggunakan crosstab.
5. Hasil

Hasil penelitian pada 23 responden penderita Diabetes Mellitus menunjukkan bahwa


mayoritas responden sebelum dilakukan senam aerobik mengalami kenaikan kadar
gula darah yaitu sebanyak 23 responden (100%). Dan sesudah dilakukan senam
aerobik mayoritas responden mengalami penurunan kadar gula darah sebanyak 23
responden (100%). Sebelum dilakukan senam aerobik mayoritas kadar gula darah
pada 23 responden tinggi >200 mg/dl dengan rata-rata pada minggu pertama 272,78,
minggu kedua 270,13, dan minggu ketiga 257,22. Setelah dilakukan senam aerobik
mengalami penurunan dengan rata-rata pada minggu pertama yaitu 252,09, minggu
kedua 243,83, dan minggu ketiga 225,78.

6. Pembahasan

Kadar gula darah dikatakan terlalu tinggi jika melebihi angka 200 mg/dl, kondisi ini
disebut hiperglikemia. Kebanyakan kondisi ini di alami oleh penderita diabetes
mellitus yang tidak bisa menjalani gaya hidup sehat, misalnya terlalu banyak makan,
kurang berolahraga, atau lupa mengonsumsi obat diabetes atau insulin
(ALODOKTER. 2016). Diabetes Mellitus akan terawat baik apabila terdapat
keseimbangan yang baik antara diit, latihan fisik teratur setiap hari, dan kerja insulin;
latihan yang teratur merupakan komponen yang penting dalam pengobatan Diabetes
Mellitus.

Menurut penelitian Sari (2020), dengan melakukan senam secara teratur akan
memberikan beberapa manfaat diantaranya, mengontrol gula darah terutama bagi
penderita diabetes tipe 2. (Lubis & Kanzanabilla, 2021). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian PERKENI (2015) yang menyebutkan bahwa kegiatan jasmani
sehari-hari dan latihan secara teratur (3 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit)
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. (Ratnadewi & Suryaagussusilawaty, 2019)

Penurunan kadar gula darah ini disebabkan saat berolahraga atau senam, glukosa dan
lemak merupakan sumber utamanya. Setelah berolahraga atau senam selama 10
menit, dibutuhkan glukosa 15 kalinya dibandingkan pada saat istirahat. Sehingga
dapat diketahui bahwa salah satu penyebab tingginya kadar gula darah yaitu
pengaturan diit yang kurang, pengaturan pengobatan, serta latihan fisik atau olahraga
yang kurang. Aktivitas yang cukup yang diberikan kepada penderita diabetes mellitus
dapat mempengaruhi terjadinya penurunan kadar gula dalam darah. Aktivitas atau
latihan fisik yang dianjurkan salah satunya adalah senam aerobik yang dapat
digunakan untuk menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus.
EVIDENCE BASED PRACTICE

C. SISTEM RESPIRASI
1. Judul artikel : Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Perubahan Respirasi Rate Pada
Pasien Asma di Rumah Sakit Patut Patuh Patju Nusa Tenggara Barat
2. Link artikel : http://jkp.poltekkes-mataram.ac.id/index.php/bnj/article/view/657
3. Analisa PICOT :
a) Populasi :Populasi dalam penelitian ini adalah penderita asma yang menjalani
rawat jalan dan rawat inap di RSUD Patut Patuh Patju Nusa Tenggara Barat tahun
2018. Penentuan jumlah sampel minimal menggunakan teknik probabilitas
sampling dengan metode alokasi random sampling dan berdasarkan inklusi dan
eksklusi. kriteria sebanyak 30 responden yang dibagi menjadi 2 kelompok dengan
masingmasing 15 responden pada kelompok intervensi dan 15 responden pada
kelompok kontrol.
b) Intervensi : Intervensi keperawatan yang dilakukan dalam kutipan di atas adalah
fisioterapi dada. Fisioterapi dada merupakan teknik pernapasan perut yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kardiovaskular, meningkatkan
pengambilan oksigen oleh paru-paru, serta memperbaiki otot pernapasan dan pola
pernapasan pada pasien asma. Fisioterapi dada dilakukan melalui beberapa teknik,
seperti postural drainage, tepuk (perkusi dada), dan getaran pada dada. Teknik-
teknik ini membantu memperbaiki ventilasi paru-paru, memperbaiki drainase
lendir, serta membantu pasien mengontrol gejala asma seperti dispnea (kesulitan
bernafas) dan batuk.
Pemberian fisioterapi dada ini merupakan salah satu intervensi keperawatan yang
dapat membantu pasien asma dalam mengelola gejala dan meningkatkan kualitas
hidup. Selain pengobatan obat-obatan, nutrisi, dan faktor latihan juga memiliki
peran penting dalam pengobatan asma secara menyeluruh. Penerapan intervensi
keperawatan, seperti fisioterapi dada, didasarkan pada Behavioral System Model
yang dikembangkan oleh Dorothy E. Johnson. Model ini bertujuan untuk
mengembangkan fungsi perilaku manusia secara efektif dan efisien dengan
memperhatikan lingkungan dan masalah kesehatan yang ada.
c) C / adakah perbandingan kelompok : Asma telah menyerang lebih dari 5%
populasi dunia, dan beberapa indikator menunjukkan bahwa prevalensinya terus
meningkat. Prevalensi asma pada anak 8-10% dan pada dewasa 3-5%.
Peningkatan prevalensi diperkirakan karena asma yang tidak terdiagnosis, kualitas
udara yang buruk dan perubahan gaya hidup masyarakat. Masalah epidemiologi
mortalitas dan morbiditas asma masih cenderung tinggi, menurut World Health
Organization (WHO) bekerjasama dengan organisasi asma di dunia yaitu Global
Astma Network (GAN) memprediksikan bahwa jumlah penderita asma di dunia
akan mencapai 334 juta, diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat 400 juta
orang pada tahun 2025 dan terdapat 250 ribu kematian akibat asma pada orang
dewasa dan anak-anak. Asma di Indonesia termasuk dalam sepuluh besar penyakit
penyebab nyeri dan kematian. Dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah
265 juta pada tahun 2018, kejadian asma tertinggi dari hasil survei Riskesdas
tahun 2018 mencapai 4,8% dengan jumlah penderita terbanyak adalah perempuan
2,5% dan laki-laki sebanyak 2,3%. Sedangkan penderita asma di Nusa Tenggara
Barat pada tahun 2017 sebanyak 18.173 kasus dan jumlah penderita asma
terbanyak ada di Kabupaten Lombok Timur dengan jumlah kasus 8.499.
Berdasarkan data rekam medis RS Patut Patuh Patju, pada tahun 2016 terdapat
174 orang. Pada tahun 2017 tercatat terjadi peningkatan jumlah kasus asma
sebanyak 187 orang yang mengalami kekambuhan berulang.
d) O / hasil penelitian : Hasil uji one way manova pada tabel menunjukkan 4
adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol pada kombinasi dependen variabel, bila variable dependen diteliti secara
terpisah nilai respiration rate (RR) yang sama menunjukkan perbedaan yang
signifikan yang dapat diartikan sebagai fisioterapi dada memiliki pengaruh
terhadap perubahan nilai respirasi (RR) pada kelompok intervensi dibandingkan
dengan kelompok kotrol dengan nilai p 0,001 dimana p <0,05.
e) T / waktu : di RSUD Patut Patuh Patju Nusa Tenggara Barat tahun 2018

4. Metode
Jenis penelitian ini menggunakan True Experimental dengan rancangan Randomized
Pre Post Test Group Control Design. Peneliti menyusun dua kelompok yaitu
kelompok intervensi yang diberikan fisioterapi dada dengan nebulizer dan kelompok
kontrol hanya diberikan tindakan nebulizer. Pengukuran nilai respiration rate (RR)
responden menggunakan jam tangan dengan jarum detik / stopwatch yang dilakukan
selama satu menit (60 detik) sebelum dan sesudah tindakan terapi.
5. Hasil

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien asma, terdapat pengaruh


fisioterapi dada terhadap penurunan frekuensi pernafasan (respiration rate/RR).
Sebelum fisioterapi dada, nilai rata-rata RR pasien asma adalah 26,13. Setelah
diberikan fisioterapi dada yang meliputi postural drainage, perkusi dada, dan getaran,
nilai rata-rata RR turun menjadi 20,80. Terjadi penurunan sebesar 5,33 dalam nilai RR
setelah fisioterapi dada.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hasil uji statistik menunjukkan adanya
pengaruh fisioterapi dada terhadap penurunan frekuensi batuk pada anak dengan
bronkitis akut. Nilai signifikansi (p-value) yang diperoleh dari uji t berpasangan
adalah p < 0,05 (p = 0,012), dan hasil uji beda antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan menggunakan uji t independen juga menunjukkan hasil yang signifikan
dengan p < 0,05 (p = 0,0001) (Jubair, Taufiqurrahman, 2020)

6. Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan bahwa fisioterapi dada memiliki pengaruh positif


terhadap pasien asma dan anak dengan bronkitis akut. Fisioterapi dada, yang meliputi
teknik postural drainage, perkusi dada, dan getaran, dapat membantu mengurangi
gejala pernafasan seperti frekuensi pernafasan yang tinggi, batuk, dan kesulitan
bernapas.

Pada pasien asma, fisioterapi dada dapat memperbaiki otot pernapasan dan
memperbaiki pola pernapasan. Pasien asma sering mengalami kelemahan pada otot
pernapasan akibat seringnya timbulnya dispnea (kesulitan bernapas) dan keterbatasan
aktivitas. Fisioterapi dada yang tepat dapat membantu meminimalisir keluhan tersebut
dan memungkinkan pasien untuk beraktivitas dengan maksimal.

Selain itu, fisioterapi dada juga bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan


kardiovaskular dan pengambilan oksigen oleh paru-paru. Hal ini penting bagi pasien
asma karena mereka membutuhkan pasokan oksigen yang cukup agar tubuh dapat
berfungsi dengan baik. Fisioterapi dada juga melatih teknik pernafasan yang efektif,
yang merupakan penunjang penting dalam pengobatan asma. Pengobatan asma yang
berhasil tidak hanya bergantung pada obat-obatan yang dikonsumsi, tetapi juga
melibatkan faktor nutrisi, latihan, dan pernapasan yang efektif.

Hasil penelitian ini konsisten dengan Behavioral System Model yang dikembangkan
oleh Dorothy E. Johnson. Model ini menjelaskan bahwa perilaku manusia dipengaruhi
oleh subsistem seperti lingkungan dan masalah kesehatan. Fisioterapi dada merupakan
salah satu intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien asma
dalam mencapai kestabilan kesehatan.
EVIDENCE BASED PRACTICE

D. SISTEM
1. Judul artikel : PENGARUH TERAPI SLOW STROKE BACK MASSAGE (SSBM)
TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN STROKE NON
HEMORAGIK DI RUANG MELATI 4 RSUP. DR. SOERADJI TIRTONEGORO
KLATEN
2. Link artikel : http://jurnal.poltekkes-solo.ac.id/index.php/JKG/article/view/450
3. Analisa PICOT :
a. Populasi : Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah semua pasien
Stroke Non Hemoragik di Ruang Melati 4 RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
dalam 2 bulan pada tanggal 10 Mei 2016 sampai 25 Juni 2016 dengan jumlah
populasi sebanyak 32 orang.Sampel dalam Penelitian ini adalah pasien Stroke
Non Hemoragik di Ruang Melati 4 RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dalam
2 Bulan tanggal 10 Mei 2016 sampai 25 Juni 2016 sesuai dengan kriteria inklusi
dan Eksklusi.
b. Intervensi : Terapi slow stroke back massage (ssbm) terhadap perubahan tekanan
darah pada pasien stroke non Hemoragik
c. C / adakah perbandingan kelompok : rata-rata usia responden adalah 63
tahun dengan usia minimal 46 tahun dan usia maksimal 79 tahun. responden
menurut jenis kelamin perempuan berjumlah 14 responden (46,7%), dan laki-laki
berjumlah 16 responden (53,3%).
d. O / hasil penelitian : Tekanan darah diastolik sebelum Dan sesudah
dilakukan Terapi SSBM 0,003 (<0,05), sehingga dapat disimpulkan Bahwa ada
terdapat pengaruh terapi Slow Stroke Back Massage terhadap perubahan Tekanan
darah pada pasien Stroke Non Hemoragik
e. Time : Penelitian ini di laksanakan di Ruang Melati 4 RSUP. Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten dalam 2 bulan pada tanggal 10 Mei 2016 sampai 25 Juni 2016
4. Metode
Jenis penelitian ini termasuk dalam Jenis penelitian quasi eksperiment Dengan
rancangan One Group Pretestpostest Design, rancangan ini tidak ada Kelompok
pembanding (kontrol) dengan Mencakup pengaruh terapi Slow Stroke Back Massage
terhadap perubahan Tekanan darah pada pasien Stroke Non Hemoragik.Teknik
pengambilan sampel dalam Penelitian ini termasuk nonprobability Sampling dengan
teknik purposive Sampling. Purposive Sampling adalah Teknik penetapan sampel
dengan cara Memilih sampel diantara populasi sesuai Yang dikehendaki penulis
(tujuan/ masalah Dalam penelitian), sehingga sampel Tersebut dapat mewakili
karakteristik Populasi yang telah dikenal sebelumnya.
5. Hasil
nilai rata-rata tekanan darah responden sebelum dilakukan Terapi SSBM adalah
156,67/83,67 mmHg, dengan nilai tekanan darah minimal 140/70 mmHg, dan nilai
tekanan darah maksimal 200/100 mmHg. Sedangkan nilai rata-rata tekanan darah
responden setelah dilakukan Terapi SSBM adalah 129,67/78,67 mmHg, dengan nilai
tekanan darah minimal 100/700 mmHg, dan nilai tekanan darah maksimal 190/100
mmHg. diketahui bahwa terdapat selisih nilai mean antara tekanan darah sistolik dan
diastolik sebelum dan sesudah dilakukan terapi SSBM sebesar 27.00 dan
7.00.Sehingga penelitian ini menunjukkan terdapat perubahan yang signifikan antara
nilai tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum dan setelah dilakukannya terapi
SSBM pada pasien Stroke Non Hemoragik. tekanan darah sistolik
sebelum dilakukan terapi SSBM adalah 0,014 (ρ<0,05), nilai sig. tekanan darah
diastolik sebelum dilakukan terapi SSBM adalah 0,000 (ρ< 0,05), nilai sig. tekanan
darah sistolik setelah dilakukan terapi SSBM adalah 0,048 (ρ<0,05), dan nilai sig.
tekanan darah diastolik setelah dilakukan terapi SSBM adalah 0,000 (ρ<0,05). Maka
disimpulkan bahwa data tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum maupun setelah
dilakukan terapi SSBM tidak memiliki distribusi data yang normal.Tekanan darah
diastolik sebelum Dan sesudah dilakukan Terapi SSBM 0,003 (<0,05), sehingga dapat
disimpulkan Bahwa ada terdapat pengaruh terapi Slow Stroke Back Massage terhadap
perubahan Tekanan darah pada pasien Stroke Non Hemoragik.
6. Pembahasan

Karakteristik Responden Menurut Usia Dari hasil penelitian yang Dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pada Rata-rata usia 63 tahun responden rentan Mengalami
gangguan sistem persyarafan Stroke non hemoragik. Hasil penelitian ini Sesuai
dengan teori yang menyatakan Bahwa insiden stroke meningkat secara Eksponensial
dengan bertambahnya usia. Pada umumnya risiko terjadinya stroke Mulai usia 35
tahun dan akan meningkat Dua kali dalam dekade berikutnya. 40% Berumur 65 tahun
dan hampir 13% Berumur di bawah 45 tahun.
Karakteristik Responden Menurut Jenis KelaminDari hasil penelitian yang Dilakukan
dapat diketahui bahwa laki-laki Memiliki risiko lebih besar untuk terkena Gangguan
sistem persyarafan stroke non Hemoragik dibandingkan perempuan. Hal Ini
disebabkan oleh kecenderungan laki-Laki memiliki kebiasaan merokok. Merokok
dapat meningkatkan risiko Terjadinya stroke hampir dua kali lipat. Nikotin dan
karbondioksida yang ada Pada rokok menyebabkan kelainan pada Dinding pembuluh
darah penyempitan Dan pengerasan arteri di seluruh tubuh (termasuk yang ada di otak
dan jantung), Yang mana hal ini akan mendorong Terjadinya aterosklerosis,
mengurangi Aliran darah, dan menyebabkan darah Mudah menggumpal
(Lumbantobing, 2001).

Pengaruh Terapi SSBM Terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Pasien Stroke Non
Hemoragik Dari hasil penelitian dapat Disimpulkan bahwa terdapat perubahan Yang
signifikan antara nilai tekanan Darah sistolik dan diastolik sebelum dan Setelah
dilakukannya terapi SSBM pada Pasien Stroke Non Hemoragik. Hasil ini Dibuktikan
dengan uji Wilcoxon yang Menunjukkan terdapat pengaruh terapi Slow Stroke Back
Massage terhadap Perubahan tekanan darah pada pasien Stroke Non Hemoragik.
Stroke Non Hemoragik merupakan proses terjadinya Iskemia akibat dari adanya
emboli dan Thrombosis serebral. Penyebab stroke Secara umum adalah tekanan darah
tinggi Atau arteriosklerosis atau kedua-duanya (Muttaqin, 2008).

Hasil penelitian ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Retno & Dian (2011)
yang menunjukkan bahwa tekanan darah pada penderita hipertensi mengalami
penurunan signifikan setelah mendapatkan terapi Slow Stroke Back Massage.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Mohebbi (2014) menunjukkan bahwa setelah
intervensi Slow Stroke Back Massage pada pasien hipertensi terjadi penurunan
tekanan darah sistolik dan diastolik masing-masing 6.44 mmHg dan 4.77 mmHg
(ρ=0.001) pada kelompok intervensi dan 2.31 dan 1.51mmHg pada kelompok control
(ρ=0.001).
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, F., Nurfain, N., & Anggraini, V. (2018). Pengaruh Senam Aerobik Terhadap
Perubahan Kadar Gula Dalam Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus. … Kesehatan:
Jurnal Ilmiah …, 8(2), 11–16. http://ejournal.rajekwesi.ac.id/index.php/jurnal-
penelitian-kesehatan/article/view/170
A Reham, M. A. (2020). Pengaruh Latihan Shaker Pada Tingkat Disfagia Pada Pasien
Dengan Stroke Vaskuler Serebral. 11(1), 59–112.

Jubair, Taufiqurrahman, K. (2020). Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Perubahan Respirasi


Rate Pada Pasien Asma. Bima Nursing Journal, 2(1), 47–54. http://jkp.poltekkes-
mataram.ac.id/index.php/bnj/index

Lubis, R. F., & Kanzanabilla, R. (2021). Latihan Senam Dapat Menurunkan Kadar Glukosa
Darah pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II. Jurnal Biostatistik, Kependudukan, Dan
Informatika Kesehatan, 1(3), 177. https://doi.org/10.51181/bikfokes.v1i3.4649

Ratnadewi, & Suryaagussusilawaty. (2019). Efektivitas Senam Aerobik Terhadap Kontrol.


5(2), 91–95.

Sekar Pinasthika (2018). Pengaruh Terapi Slow Stroke Back Massage. Jurnal Keperawatan
Global. Volume 3. No. 1. 1-57.
http://jurnal.poltekkessolo.ac.id/index.php/JKG/article/view/450

Anda mungkin juga menyukai