Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

DEXMEDETOMIDINE OR PROPOFOL FOR SEDATION IN


MECHANICALLY VENTILATED ADULTS WITH SEPSIS

Disusun oleh :
Afifah Humairah Putri Hasya 1102018192
Al Gholarizmi Mulyakusumah 1102018138
Anisa Aliya Nurdin 1102018054
M. Alfi Ilham Ramadhan 1102018004
Zouvry Imam Tharsyah 1102018007

Pembimbing:
dr. Mega Ayu Marina S.A Sp.An MARS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 13 JUNI - 15 JULI 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, 


Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Jurnal Reading yang berjudul “The effect of dexmedetomidine versus propofol in
traumatic brain injury: evaluation of some hemodynamic and intracranial pressure changes”
Penulisan dan penyusunan laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Anestesi RSUD Kabupaten Bekasi. 
Selain itu, tujuan lainnya adalah sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi
pembaca,terutama pengetahuan mengenai Ilmu Anestesi, semoga dapat memberikan manfaat.
Penulisan laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Maka dari itu,
perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Mega Ayu Marina S.A., Sp.An MARS selaku kepala SMF dan konsulen dalam Ilmu
Anestesi yang telah memberikan bimbingan serta arahannya sehingga penyusunan referat
ini dapat terselesaikan.
2. dr. Lira Panduwaty, Sp.An-KIC selaku konsulen dalam Ilmu Anestesi yang telah
memberikan bimbingan serta arahannya sehingga penyusunan referat ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di
masa mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik sekarang maupun
di hari yang akan datang. Aamiin.
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.
Kabupaten Bekasi,         Juni 2022

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I

1.1 Abstrak

Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial merupakan konsekuensi utama dari
trauma otak cedera yang mempengaruhi hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai
kemanjuran dexmedetomidine sebagai tambahan untuk terapi sedatif konvensional (propofol)
dibandingkan dengan terapi sedatif konvensional saja pada pasien dengan cedera otak traumatis,
sehubungan dengan efeknya pada hemodinamik dan tekanan intrakranial. Uji klinis prospektif
acak terkontrol ini dengan 60 cedera otak traumatis dan gelisah. 

Pasien diacak menjadi tiga sama kelompok: dexmedetomidine diinfuskan dengan dosis
0,5 g/kg/jam selama 48 jam pada kelompok pertama, diinfuskan propofol 1% dalam dosis 4
mg/kg/jam selama 48 jam pada kelompok kedua, dan dexmedetomidine diinfuskan dengan dosis
0,2 g/kg/jam dan propofol diinfuskan dengan dosis 2 mg/kg/jam selama 48 jam pada kelompok
ketiga. Ekskursi dan komplikasi ICP dan CPP dinilai dalam 48 jam pertama. Berdasarkan hasil
penelitian jumlah kunjungan ICP dan CPP per hari tidak berbeda nyata antara ketiga kelompok.
Takikardia, bradikardia, dan hipertensi pada ketiga kelompok secara statistik tidak signifikan.
Mengenai hipotensi, ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara ketiga kelompok yang
diteliti. Dexmedetomidine atau kombinasinya dengan propofol sama efektifnya dengan propofol
saja pada TBI.

 1.2 Latar Belakang


TBI adalah masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di seluruh dunia dan
diperkirakan akan melampaui banyak penyakit sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan.
Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial terkait adalah penyebab langsung utama
konsekuensi dari TBI yang berkontribusi pada sebagian besar kematian dini. Peningkatan
tekanan intrakranial (ICP) dapat menghambat aliran darah serebral (CBF) dan menyebabkan
iskemia serebral dan derajat serta durasinya terkait dengan akibat dari TBI. Pencegahan dan
pengendalian peningkatan ICP dan pemeliharaan tekanan perfusi serebral (CPP) adalah tujuan
terapeutik mendasar setelah TBI. 

Kemanjuran dexmedetomidine untuk sedasi pada pasien ICU yang diintubasi sudah
mapan; namun, kegunaannya pada pasien dengan cedera otak traumatis (TBI) belum telah
dijelaskan secara komprehensif. Oleh karena itu, peneliti disini ingin melakukan Randomized
Controlled Trial untuk membandingkan untuk menilai kemanjuran dexmedetomidine sebagai
tambahan untuk terapi sedative konvensional (propofol) dibandingkan dengan terapi sedatif
konvensional saja pada pasien dengan cedera otak traumatis, sehubungan dengan efeknya pada
hemodinamik dan tekanan intrakranial.

1.3 Metode

Uji klinis prospektif acak terkontrol ini melibatkan 60 pasien cedera kepala dan dilakukan
di Unit Perawatan Intensif Trauma, Departemen Anestesi, dan Perawatan Intensif dan
Departemen Bedah Saraf, Rumah Sakit Universitas Assiut (Rumah Sakit Tersier tunggal) antara
Mei 2013 dan Mei 2017.

Pasien yang dialokasikan diacak, menggunakan tabel nomor acak yang dibuat program,
menjadi tiga kelompok; penyembunyian alokasi dilakukan dengan menggunakan amplop
tertutup rapat buram yang dibuka secara berurutan untuk setiap alokasi pasien. Kelompok
didasarkan pada jenis sedasi yang digunakan dalam ICU; pasien diacak menjadi tiga kelompok;

Kelompok Dexmedetomidine, diinfuskan dengan dosis awal 1 k/kg diikuti dengan infus
IV 0,4-1 k/kg/jam. Dexmedetomidine disediakan dalam botol 2 ml 100 g/ml; setiap botol
diencerkan dalam 48 mL salin normal dalam pompa jarum suntik untuk menghasilkan
konsentrasi akhir 4 g/ml dan diinfuskan selama 48 jam.

Kelompok propofol, dalam ampul 20-ml diadministrasikan sebagai pemuatan dosis 1


mg / kg diikuti dengan dosis pemeliharaan 1,5-4,5 mg/kg/jam dititrasi sampai efek yang
diinginkan. Propofol diinfuskan dalam pompa jarum suntik 50 ml selama 48 jam

Kelompok Dexmedetomidine + propofol, dexmedetomidine diinfuskan dalam dosis 0,2


g/kg/jam dan propofol diinfuskan dalam dosis 2 mg/kg/jam selama 48 jam. Agen sedatif dititrasi
untuk mencapai tujuan ICP<20 mmHg dan CPP>60 mmHg dengan pasien yang tenang
(mengendalikan agitasi, gelisah, dan kecemasan).

Kriteria inklusi untuk pasien dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ASA I-III,
pasien antara 18 dan 80 tahun, Glasgow coma scale (GCS) 8, pasien gelisah dan gelisah yang
membutuhkan sedasi dan tindak lanjut yang ketat, diagnosis TBI dengan CT atau postur
abnormal, dan penempatan monitor tekanan intrakranial atas kebijaksanaan staf bedah saraf
sebagai bagian dari standar perawatan.
Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis
saat masuk, blok AV dengan HR < 45/menit, dan ketidakstabilan hemodinamik sebelum masuk
yang parah. Untuk setiap pasien, demografi berikut: data dikumpulkan dari registri trauma: jenis
kelamin, usia, berat badan (kg), tinggi badan (cm), IMT, Skor Keparahan Trauma, dan GCS saat
masuk.

Di ICU, untuk menggambarkan perubahan fisiologis, parameter dasar diamati dan


dicatat, termasuk jantung (HR), sistolik, diastolik, dan tekanan darah arteri rata-rata, laju
pernapasan, dan oksimetri nadi (SpO2). Tekanan intrakranial (ICP) dipantau oleh
intraparenchymal kateter ditempatkan oleh ahli bedah saraf penulis menggunakan CODMAN®
Transduser ICP MICROSENSOR®. Yang disebutkan di atas parameter diukur pada 2, 4, 8, 12,
24, 36, dan 48 jam dari masuk ke ICU.

Data secara statistik dijelaskan dalam hal jangkauan, mean ± standar deviasi (± SD),
median, frekuensi (jumlah kasus), dan persentase bila sesuai. Perbandingan variabel kuantitatif
antar kelompok yang diteliti dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah. Adapun
sampel untuk membandingkan data kategorikal, chi-kuadrat (χ2) tes dilakukan. Nilai probabilitas
kurang dari 0,05 dianggap frekuensi relatif signifikan secara statistik. Semua perhitungan
statistik dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel versi 7 (Microsoft
Corporation, NY, USA) dan SPSS 20 (Paket Statistik untuk Ilmu Sosial; SPSS Inc., Chicago, IL,
USA) program statistik untuk Microsoft Windows.

1.4 Hasil & Pembahasan

1.5 Kesimpulan

Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dexmedetomidine atau kombinasi


dexmedetomidine dan propofol adalah  efektif dan aman pada pasien trauma kepala, dan semua
alternatif sama dalam hal derajat sedasi, efek pada tekanan intrakranial, dan tekanan perfusi
serebral. Insiden komplikasi dan hasil tidak berbeda secara signifikan antara semua kelompok
yang diteliti; meskipun ada beberapa hasil yang menyarankan bahwa dexmedetomidine mungkin
memiliki hasil yang lebih baik mengenai "onset dan durasi" delirium, temuan ini perlu studi
ukuran sampel yang lebih besar. Oleh karena itu, meskipun lebih besar seri diperlukan untuk
mengkonfirmasi hasil kami, kami menemukan bahwa dexmedetomidine adalah pilihan yang
harus diperhitungkan dalam manajemen integral pasien dengan TBI.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dexmedetomidine

Deksmedetomidin merupakan alpha 2 adenergic agonist yang selektif dan poten dengan
masa kerja lebih pendek dibandingkan klonidin. Obat golongan alpha 2 adenergic agonist dapat
mengurangi kebutuhan obat anestesi selama anestesi umum. Efek dari deksmedetomidin dapat
dipulihkan oleh alpha 2 adenergic blockers.

2.1.1 Farmakokinetik

Deksmedetomidin mengalami metabolisme cepat dengan proses konjugasi, N-


methylasi, dan hidroksilasi. Hasil metabolit akan diekskresikan melalui urine dan
empedu. Clearance deksmedetomidin cukup tinggi dan waktu paruh eliminasi pendek.
Terdapat peningkatan signifikan nilai konteks sensitif waktu paruh dari 4 menit setelah
10 menit infus hingga 250 menit setelah infus selama 8 jam, Deksmedetomidin
menghasilkan efeknya melalui aktivasi dari reseptor alfa 2 pada susunan saraf pusat.
Waktu eliminasi deksmedetomidin 2-6 jam dibandingkan klonidin 6-8 jam.
Deksmedetomidin sebagian besar berikatan dengan protein (>90%) dan dimetabolisme
secara ekstensif di hati.

2.1.2 Efek Pada Organ

Hipnosis terjadi diakibatkan stimulasi reseptor alfa 2 pada lokus seruleus dan efek
analgesia berasal dari level medula spinalis. Efek deksmedetomidin mempunyai kualitas
yang berbeda dibandingkan anestesi intravena lainnya, di mana efek obat ini lebih
mewakili status keadaan tidur fisiologis melalui aktivasi jalur tidur endogen.
Deksmedetomidin menurunkan aliran darah ke otak tapa perubahan yang signifikan pada
tekanan intrakranial maupun kebutuhan metabolik oksigen terhadap oksigen (cerebral
metabolic rate of oxygen, CMRO). Toleransi dan ketergantungan dapat terjadi akibat ini.
Walaupun dapat menyebabkan perubahan pada EEG, namun gambaran spike yang
berasal dari fokus kejang tidak ditekan sehingga deksmedetomidin dapat digunakan untuk
pasien epilepsi yang menjalani operasi.

Infus deksmedetomidin menurunkan tekanan darah sistemik dengan cara


menurunkan denyut jantung dan resistensi vaskular. Injeksi deksmedetoridin bolus akan
menimbulkan peningkatan sementara tekanan darah arteri sistemik dan penurunan detak
jantung. Secara klinis, penggunaan dosis inisial (0,5-1 ug. kg IV lebih dari 10 menit)
meningkatkan tahanan vaskular dan tekanan arteri namun tidak secara signifikan
menaikkan tahanan vaskular paru. Bradikardi atau hipotensi yang berhubungan dengan
infus kontinu perlu ditata laksana, Pasien geriatri dengan tekanan darah awal yang rendah
(tekanan arterial <70 mmHg) adalah faktor risiko ketidakstabilan hemodinamik selama
infus kontinu deksmedetomidin. Bila diberikan bersama dengan anestesi umum,
deksmedetomidin akan menurunkan kadar katekolamin plasma dan dapat meningkatkan
denyut jantung.

Deksmedetomidin akan menyebabkan penurunan volume tidal dan perubahan laju


napas pada sistem pernapasan. Respons ventilasi terhadap karbon dioksida terganggu
minimal, tetapi respons terhadap hipoksia turn ke level yang hampir sama dengan
propofol, Walaupun efek pada pernapasan ini ringan, obstruksi saluran napas atas akibat
dari sedasi sangat mungkin terjadi, Deksmedetomidin mempunyai efek sinergis ketika
dikombinasikan dengan obat sedasi hipnotis lainnya.

2.1.3 Kegunaan Klinis

Deksmedetomidin digunakan untuk sedasi selama prosedur intubasi trakea dan


ventilasi mekanis di ICU, Deksmedetomidin dapat mengurangi durasi ventilasi mekanis,
memperpendek masa rawat di ICU, dan meningkatkan kualitas tidur, Di kamar bedah,
deksmedetomidin dapat digunakan untuk sedasi selama anestesi regional atau saat
melakukan intubasi trakea sadar dengan bronkoskopi serta optik. Sebagai ajuvan anestesi
umum, deksmedetomidin dapat diberikan dengan dosis inisial 0,5-1 mcg/kgBB IV.

2.2 Propofol

2.2.1 Mekanisme Kerja

Propofol bekerja melalui fasilitias penghambatan neurotranimisi yang dimediasi


oleh reseptor GABA, Propofol meningkatkan afinitas reseptor GABA terhadap GABA.
Reseptor ini berpasangan dengan kanal klorida sehingga aktivasi reseptor GABA akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran sel saraf. Propofol (seperti anestesi umumnya)
juga diberikan dengan berbagai kanal ion dan reseptor. Efek propofol tidak dapat
dipulihkan dengan pemberian antagonis spesifik benzodiazepine seperti flumazenil.

2.2.2 Farmakokinetik

A. Absorbsi

Tersedia hanya dalam sediaan intravena yang digunakan untuk induksi


anastesi umum serta sedasi sedang hingga berat

B. Distribusi

Propofol mempunyai awitan yang cepat. Pulih sadardari dosis tunggal


bolus biasanya cepat karena waktu distribusi awal yang sangat pendek (2-8
menit). Gejala hangover jauh lebih ringan jika dibandingkan metoheksital,
tiopental, ketamin, ataupun etomidat sehingga sangat baik digunakan dalam
anestesi bedah rawat jalan. Dosis induksi yang lebih kecil direkomendasikan pada
pasien geriatri karena volume distribusinya yang rendah pada populasi ini. Pada
pemakaian propofol dengan menggunakan teknik Total Intravenous Anesthesia
(TIVA), usia merupakan faktor utama yang digunakan sebagai dasar perhitungan
laju infus propofol.

C. Biotransformasi

Clearance propofol lebih besar dibandingkan aliran darah hepatik


menunjukan propofol mengalami metabolisme ekstrahepatik selain metabolism
hepatik. Laju clearance yang tinggi berkontribusi terhadap cepatnya masa pulih
sadar pasca-pemberian infus kontinu propofol. Propofol akan dikonjugasi di hati
menghasilkan metabolisme inaktif yang dieleminasi melalui ginjal.
Farmakokinetik propofol tidak terpengaruh dengan obesitas, sirosis, atau gagal
ginjal. Penggunaan propofol kontinu untuk sedasi jangka panjang pada anak yang
sakit kritis atau pada remaja yang menjalani prosedur bedah saraf dapat
menimbulkan lipemia, asidosis metabolik, dan kematian sporadis disebut sebagai
propofol infusion syndrome.

D. Ekskresi

Metabolit propofol terutama diekskresikan melalui urine. Penyakit ginjal


stadium akhir tidak mempengaruhi clearance propofol.

2.2.3 Efek pada organ

A. Kardiovaskuler

Propofol mengakibatkan penurunan tekanan darah arteri akibat penurunan


tahanan vaskular sistemik yang disebabkan inhibisi aktivitas vasokonstriktor
simpatetik, preload, dan kontraktilitas jantung. Hipotensi yang terjadi setelah
induksi biasanya dipulihkan akibat stimulasi tindakan laringoskopi dan intubasi.
Hipotensi berat akibat pemberian propofol dapat terjadi pada pemberian dengan
dosis besar, injeksi yang terlalu cepat, dan pemberian pada pasien geriatri.
Propofol mengganggu respons barorefleks arteri pada hipotensi. Walaupun jarang,
penurunan pengisian jantung dapat memicu refleks vagal yang dimediasi oleh
refleks bradikardi. Perubahan detak jantung dan curah jantung bersifat sementara
dan tidak signifikan pada pasien yang sehat. Perubahan signifikan dapat terjadi
pada pasien dengan umur ekstrem, pasien yang mendapat pengobatan beta
adrenergic blocker, dan yang mempunyai gangguan fungi ventrikel. Walaupun
konsumsi oksigen miokard dan aliran koroner jantung biasanya menurun
dijumpainya produk laktat pada sinus koronarius beberapa pasien menunjukkan
propofol dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard
dan kebutuhan.

B. Respirasi

Propofol dapat menimbulkan depresi pernapasan, sehingga dapat dijumpai


apnea pasca-pemberian dosis induksi. Pada dosis subanatesia untuk sedasi sadar,
propofol menghambat hypnotic ventilator drice dan menekan respons pernapasan
terhadap hiperkarbia. arena efek yang dimilikinya, propofol hanya boleh
diberikan oleh tenaga yang terlatih. Propofol lebih menyebabkan depresi refleks
saluran napas dibandingkan tiopental sehingga dapat digunakan utnuk fasilitasi
intubasi, endoskopi, atau pemasangan sungkup laring tapa pelumpuh otot.
Walaupun propofol juga dapat menyebabkan pelepasan histamin, induksi dengan
propofol pada pasien asma dan non-asma menimbulkan insiden mengi yang lebih
rendah dibandingkan barbiturate dan etomidat.

C. Serebral

Propofol dapat menurunkan aliran darah ke otak,volume darah otak, dan


tekanan intrakranial. Pada pasien dengan tekanan intrakranial meningkat, propofol
dapat menyebabkan penurunan CPP sampai level kritis (<50 mmHg) jika tidak
disertai langkah-langkah untuk mempertahankan tekanan arteri pembuluh darah
rerata. Propofol dan thiopental mampu memberikan proteksi terhadap otak selama
iskemia fokal eksperimental. Propofol mempunyai efek antipruritus dan
antiemetik sehingga dapat menjadi pilihan untuk anestesi pada bedah rawat jalan.
Induksi biasanya disertai dengan fenomena eksitasi seperti kedutan otot,
pergerakan spontan, opistotonus, atau cegukan. Propofol juga mempunyai efek
antikonvulsan yang digunakan pada status epileptikus sehingga aman digunakan
untuk pasien epilepsi. Propofol juga mampu menurunkan tekanan bola mata.

2.2.4 Kegunaan Klinis

Nyeri akibat injeksi propofol adalah hal yang sering dikeluhkan oleh pasien. Agar
tidak terlalu nyeri, vena antekubital yang memiliki ukuran relatif besar dan laju aliran
yang cepat merupakan tempat pilihan utama untuk injeksi. Jika vena tangan yang dipilih
sebagai tempat penyuntikan, untuk mengurangi nyeri dapat diberikan injeksi lidokain 20-
40 mg IV disertai oklusi proksimal vena sekitar 15-60 detik sebelum propofol
diinjeksikan. Cara lain mengurangi nyeri penyuntikan adalah dengan premedikasi opioid,
lidokain dosis besar 40-100 mg IV tanpa disertai oklusi vena atau dengan mencampurkan
lidokain dan propofol sebagai campuran.

Propofol (1-2,5 mg/kg IV) adalah obat yang sering digunakan untuk induksi
anestesi. Dosis dikurangi pada pasien usia tua, pasien dengan fungsi kardiovaskular yang
menurun atau setelah premedikasi dengan benzodiazepin atau opioid. Pasien dengan
obesitas membutuhkan dosis yang lebih besar (2,5-3,5 mg /kgBB). Untuk mencegah
perubahan hemodinamik yang berat, bisa dilakukan teknik titrasi. Propofol dapat
digunakan sebagai bagian anestesi balans dengan kombinasi agen anestesi inhalasi,
nitrous oxide, sedative hipnotis, opioid, atau sebagai bagian dari teknik total anestesi
intravena, biasanya dengan opioid.

Propofol sering diberikan pada pasien yang menggunakan ventilator mekanis dan
untuk sedasi di ICU. Konsentrasi yang digunakan adalah 1-2 mcg/mL dengan kecepatan
25-75 mcg/kg/menit untuk terapi jangka pendek.' Dosis bolus atau infus dengan dosis
subanestetik (10-20 mg / IV atau 10-20 mcg/kg/menit) propofol dapat digunakan untuk
penatalaksanaan mual dan muntah pascabedah. Propofol dengan teknik total intravena
anestesi dibandingkan dengan anestesi volatile, lebih mengurangi angka kejadian PONV,
mencegah rawat tidak terencana, mencegah mual muntah pada saat selesai rawat, dan
mengurangi biaya anestesi pada bedah rawat jalan.

2.3 Traumatic Brain Injury (tambahin kalau kurang)

Setiap pasien trauma dengan tingkat kesadaran yang berubah harus dianggap memiliki
cedera otak traumatis (TBI) sampai terbukti sebaliknya. Kehadiran atau kecurigaan TBI
mengamanatkan perhatian untuk: mempertahankan tekanan perfusi serebral dan oksigenasi
selama semua aspek. Alat penilaian klinis yang paling andal dalam menentukan signifikansi TBI
pada pasien nonsedasi dan nonparalisis adalah Skala Koma Glasgow.

TBI dikategorikan sebagai primer atau sekunder. Cedera otak primer secara langsung
berhubungan dengan trauma. Empat kategori cedera otak primer terlihat:

(1) subdural hematom;

(2) hematoma epidural;

(3) perdarahan intraparenkim; dan

(4) nonfokal, cedera saraf difus yang mengganggu akson sistem saraf pusat. Cedera ini
berpotensi mengganggu aliran darah otak dan meningkatkan tekanan intrakranial (TIK).
Kematian yang terjadi segera setelah trauma kepala yang signifikan adalah biasanya
akibat cedera otak primer.

Cedera otak sekunder dianggap sebagai cedera yang berpotensi dapat dicegah. Hipotensi
sistemik (tekanan darah sistolik <90 mm Hg), hipoksia (PaO2 <60 mm Hg), hiperkapnia (PaCO2
>50 mm Hg), dan hipertermia (suhu >38,0°C) memiliki dampak negatif pada morbiditas dan
mortalitas setelah kepala cedera, kemungkinan karena kontribusi mereka untuk meningkatkan
edema serebral dan TIK. Hipotensi dan hipoksemia diakui sebagai kontributor utama untuk
pemulihan neurologis yang buruk dari TBI berat. Hipoksemia adalah yang paling parameter
penting yang berkorelasi dengan hasil neurologis yang buruk berikut: trauma kepala dan harus
dikoreksi sesegera mungkin. Hipotensi (tekanan darah arteri rata-rata <60 mm Hg) juga harus
diobati agresif dengan cairan, vasopresor, atau keduanya, di hadapan kepala terisolasi cedera.

A. Penatalaksanaan untuk Trauma Akut Kerusakan otak

Dengan tidak adanya bekuan intrakranial yang memerlukan evakuasi


bedah, tindakan medis intervensi adalah cara utama untuk mengobati peningkatan
TIK setelah kepala trauma. Tekanan perfusi serebral normal (CPP), perbedaan
antara mean tekanan arteri (MAP) dan ICP, kira-kira 80 sampai 100 mm Hg
(MAP- ICP = CPP).

Pemantauan ICP tidak diperlukan untuk kondisi sadar dan pasien waspada.
Selain itu, pasien yang sengaja diberi antikoagulan atau yang memiliki diatesis
perdarahan sebagai respons terhadap trauma seharusnya tidak memiliki
pemantauan ICP. Namun, monitor ICP harus ditempatkan ketika neurologis serial
pemeriksaan dan penilaian klinis tambahan mengungkapkan gangguan, atau
Ketika ada peningkatan risiko untuk peningkatan ICP. Pedoman Brain Trauma
Foundation saat ini merekomendasikan mempertahankan CPP antara 50 dan 70
mm Hg dan ICP kurang dari 20 mm Hg untuk pasien dengan cedera kepala berat.

Aliran darah serebral (CBF) berhubungan langsung dengan karbon


dioksida arteri konsentrasi. Saat kadar karbon dioksida arteri menurun, otak
terjadi vasokonstriksi, mengurangi CBF dan ICP. Sebaliknya, sebagai karbon
arteri kadar dioksida meningkat, terjadi vasodilatasi serebral, meningkatkan CBF
dan ICP.

Perubahan kadar karbon dioksida arteri memberikan respons CBF dan ICP
yang cepat, menjadikan hiperventilasi sebagai intervensi terapeutik yang efektif
dalam kasus-kasus peningkatan ICP terkait dengan TBI. Namun, hiperventilasi di
hadapan hipotensi sistemik, terutama pada hemodinamik tidak stabil, pasien
trauma perdarahan, meningkatkan risiko iskemia neurologis dan harus dihindari
sampai normotensi dipulihkan.

Terapi diuretik osmotik adalah terapi lain yang umum digunakan dan
diterima secara luas intervensi untuk mengurangi peningkatan ICP. Dosis manitol
intravena 0,25 hingga 1,0 g/kg berat badan efektif dalam menarik cairan
ekstravaskular dari jaringan otak ke dalam sistem vaskular, mengurangi edema
otak dan ICP. Karena ini Intervensi juga menginduksi diuresis cepat, osmolalitas
plasma dan serum elektrolit harus dipantau.

Koma barbiturat adalah intervensi untuk menurunkan laju metabolisme


serebral, aliran darah serebral, dan kebutuhan oksigen serebral untuk mengurangi
peningkatan ICP dan menekan laju metabolisme sel iskemik sampai perfusi
serebral membaik. Hipotensi umumnya dikaitkan dengan terapi ini, yang
membatasi penggunaannya pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil.
Vasopresor dapat digunakan untuk mempertahankan CPP antara 50 dan 70 mm
Hg dalam kasus tersebut. Dosis dari pentobarbital (lebih disukai daripada
thiopental) didasarkan pada elektroensefalografik (EEG) bukti penekanan
ledakan, ambang batas EEG untuk dikurangi secara maksimal tingkat
metabolisme serebral untuk oksigen dan glukosa.

Kristaloid lebih disukai untuk terapi cairan dengan adanya TBI terisolasi.
Meskipun penggunaan koloid mungkin tampak menguntungkan dalam mencegah
edema otak, dalam penelitian baru-baru ini resusitasi berbasis albumin setelah
TBI hampir dua kali lipat kematian. TBI sering dikaitkan dengan gangguan sawar
darah otak, dan pemberian albumin dalam situasi ini dapat menyebabkan edema
jaringan otak yang lebih besar dan TIK yang lebih tinggi, berkontribusi pada
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi.
BAB III

CRITICAL APPRAISAL

1. Apakah studi mempunya pertanyaan penelitian yang fokus dan jelas?


2. Apakah pemilihan peserta untuk intervensi dipilih secara acak?
3. Apakah semua peserta yang memasuki penelitian diperhitungkan pada bagian
kesimpulan?
4. • Apakah peserta 'blind' terhadap intervensi yang mereka berikan?

• Apakah peneliti 'blind' terhadap intervensi yang mereka berikan kepada peserta?

• Apakah orang-orang yang menilai/menganalisis hasil 'blind'?

1. Apakah kelompok penelitian uji coba serupa di awal penelitian?


2. Terlepas dari intervensi eksperimen, apakah setiap kelompok belajar menerima tingkat
peduli yang sama (yaitu, apakah mereka diperlakukan sama)?
3. Apakah efek intervensi dilaporkan secara komprehensif?
4. Apakah ketepatan dari perkiraan intervensi atau efek pengobatan dilaporkan?
5. Apakah manfaat dari intervensi eksperimen lebih besar daripada kerugian dan biaya
penelitian?
6. Bisakah hasilnya diterapkan ke populasi lokal Anda?
7. Akankah intervensi eksperimental memberikan nilai/hasil yang lebih besar bagi orang-
orang dalam perawatan Anda dibandingkan salah satu intervensi yang ada?

DAFTAR PUSTAKA
Rehatta, N. M., Hanindito, E., & Tantri, A. R. (2019). Anestesiologi dan Terapi Intensif: Buku
Teks Kati-Perdatin. Gramedia Pustaka Utama.
Butterworth, John, et al. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology, 6th Edition. 6th ed.,
McGraw Hill / Medical, 2018.

Anda mungkin juga menyukai