Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Nik Sumarni
TINJAUAN PUSTAKA
Igun Winarno, Mohamad Sofyan Harahap
Pemantauan Tekanan Intra Kranial 101
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan
memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian
dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat
berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan
nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,
penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra
kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: The cytochrome P450 plays an important role in the metabolism of many
drugs, chemicals and carcinogens. CYP2C19 is often a major concern because of the high
difference in each individual and each population. Based on the capacity of CYP2C19 in
the metabolism sustrat, a person can be classified as extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) and poor metabolizers (PM). Which has the effect of
midazolam sedation, anxiolytic, and anterograde amnesia is metabolized through the
CYP2C19 enzyme. These drugs are often used as a premedication drug or as a co-
induction. In clinical practice that is common with the usual dose of midazolam, not all
patients show the expected effect. Therefore, the study of genetic influences on intravenous
midazolam biotransformation.
Objectives: Assess the effects of intravenous midazolam on the EM genotype, IM and PM
Methods: The study 24 patients undergoing elective surgery in the installation department
of the Central Surgical Dr Kariadi Semarang, inclusion and exclusion criteria, with ASA
physical status I. Previously people with an explanation of the procedures that will be
undertaken and expressed willingness in the sheet informed consent. Desain phase II
clinical trials research using cross sectional study to assess the effects of midazolam on the
body's metabolic functions. Allele / CYP2C19 polymorphisms were identified by PCR-
RFLP technique.
Results: The results showed the general characteristics of patients with no laboratory
abnormalities, had no complications or side effects of midazolam. Sedation score 5
minutes after administration of midazolam there were no significant differences between
men and women (3.3 ± 0.59), and found no significant association between age with the
sedation score (r = 0.250, P = 0.183). CYP2C19 genotype distribution was found
respectively 6 (20%) of EM, 16 (53.3%) IM and eight (26.7%) PM. These three genotypes
there were no significant differences by age, sex and sedation score.
Conclusion: There is no significant relationship between the scores of sedation with
genotypes EM, IM and PM of CYP2C19.
ABSTRAK
Latar Belakang: Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap
individu maupun tiap populasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam metabolisme
sustrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Midazolam yang mempunyai
efek sedasi, ansiolitik dan anterograde amnesia dimetabolisme melalui enzim CYP2C19.
Obat ini sering digunakan sebagai obat premedikasi ataupun sebagai koinduksi. Pada
praktek klinis sering dijumpai dosis midazolam yang lazim, ternyata tidak semua pasien
menunjukkan efek yang diharapkan. Diteliti seberapa besar pengaruh genetik terhadap
biotransformasi midazolam intravena.
Tujuan: Menilai efek midazolam intravena pada genotipe EM, IM dan PM
Metode: Penelitian pada 24 pasien yang menjalani bedah elektif di Instalasi Bedah Sentral
RSUP Dr Kariadi Semarang, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan status
fisik ASA I. Sebelumnya penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan
dijalani serta menyatakan kesediaannya dalam informed consent. Desain penelitian uji
klinik fase II ini menggunakan cross sectional untuk menilai efek midazolam terhadap
fungsi metabolisme tubuh. Alel/polimorfisme CYP2C19 diidentifikasi dengan tehnik PCR-
RFLP.
Hasil: Dari hasil penelitian menunjukkan karakteristik umum penderita tidak terdapat
kelainan laboratorium, tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap
midazolam. Skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam midazolam tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (3,3 ± 0,59), serta tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antar usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250 ;
P=0,183). Distribusi genotip CYP2C19 ditemukan masing-masing 6 (20%) EM, 16
(53,3%) IM dan 8 (26,7%) PM. Ketiga genotip tidak terdapat perbedaan yang bermakna
dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi.
Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan
genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.
PENDAHULUAN
Biotransformasi atau metabolisme obat
Dosis dan frekuensi yang diperlukan adalah proses perubahan struktur kimia
untuk mencapai kadar obat yang efektif obat yang terjadi dalam tubuh dan
dalam darah dan jaringan bervariasi dikatalisa oleh enzim. Pada proses ini
karena adanya perbedaan individu di molekul obat diubah menjadi lebih polar
dalam metabolisme dan eliminasi obat. (lebih mudah larut dalam air) dan kurang
Perbedaan ini ditentukan oleh faktor larut dalam lemak sehingga lebih mudah
genetik dan non genetik seperti umur, diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
jenis kelamin, fungsi hati, irama umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
sirkardian, suhu tubuh dan faktor-faktor biotransformasi sangat berperan dalam
nutrisi serta pemaparan bersamaan mengakhiri kerja obat. Akan tetapi, ada
terhadap induser dan inhibitor beberapa obat yang metabolitnya masih
metabolisme obat. Perbedaan individu mempunyai aktifitas farmakologik yang
dalam kecepatan metabolisme juga sama atau berbeda dengan obat asalnya
tergantung pada sifat obat sendiri. Jadi dan yang dapat menyebabkan efek toksik
dalam individu yang sama, kadar steady obat. Beberapa obat lain yang merupakan
state plasma dapat mencerminkan suatu calon obat (prodrug) justru diaktifkan
variasi yang sangat besar antara 2 sampai oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit
30 kali dalam metabolisme satu obat.1,2,3 yang aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut atau ekskresi
Sitokrom P450 berperan penting dalam yang mengakhiri kerjanya. 1,2,3,4,5
banyak metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi Pada tahun 1977, Kupfer dan kawan-
perhatian utama karena tingginya kawan melaporkan metabolisme
perbedaan di tiap individu stereooselektif dari mephentoin dan
maupunpopulasi. Berdasarkan kapasitas metabolit N-dimethyl pada hewan.6
CYP2C19 dalam memetabolisme Setelah itu ditemukan bahwa 4
substrat, seseorang dapat dikelompokkan hydroxilatixylate dari s-mephenytoin
sebagai extensive metabolizers (EM), bersifat polimorfik, sekitar 3% dari
intermediate metabolizer (IM) dan poor Kaukasian yang PM.
metabolizer (PM). Konsentrasi
cycloguanil yang merupakan metabolit Dua defek pada gen CYP2C19
dari proguanil, berbeda secara bermakna bertanggung jawab pada metabolisme
diantara ketiga grup berdasarkan jumlah yang buruk dari s-mephenytoin yang
dari alel mutan (Kruskal Wallis, P<0,05). diperlihatkan oleh Morais dan kawan-
Hasil ini menggambarkan hubungan kawan. Mutan M1 disebabkan oleh
antara genotip CYP2C19 dan G681A mutasi pada exon 5, yang
metabolisme proguanil, serta membentuk pada tempat penyambungan
4
peningkatan suatu efek dosis gen. yang menyimpang. Mutasi ini merusak
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Postoperative acute pain stimulates clinical pathophysiologic symptoms,
depress immune responses which leads to delayed wound healing process.
Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, proven good for pain control.
Angiogenesis plays an important role in wound healing. C-erbB-2 is a family of epidermal
growth factor receptor that becomes actively mitogenic when binds to EFGR ligand, and
stimulates cell proliferation. Levobupivacaine infiltration enhances c-erbB-2 expression,
leads to endothelial blood vessel proliferation and improves wound healing.
Objective: To prove the difference between histologic score of c-erbB-2, endothelial blood
vessel proliferation of the wound healing process with and without levobupivacaine
infiltration and to prove the correlation between c-erbB-2 and endothelial blood vessel
proliferation.
Methode: This study was an animal experimental study with randomized post test only
control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Groups I was
the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without
levobupivacain infiltration.Group III, rats that got incisions and levobupivacaine
infiltration every 8 hours for 24 hours. C-erbB-2 at the site of the wound was analized
using the histologic score from samples with immunohistochemistry staining and the
amount of AgNOR expressed by mAgNOR and pAgNOR. The samples were taken from
tissue biopsy on 5th day. Data were analyzed using Kruskal Wallis test. The correlation
between histologic score c-erbB-2 and the amount of AgNOR were analyzed using
Spearmans correlation test.
Results: This study showed that the tissue with levobupivacaine had higher c-erbB-2
histologic score (7,2±2,16 vs 9,9±1,29), and mAgNOR (5,94±0,15 vs 11,86±1,02), than
tissue without levobupivacaine that significantly different (p=0,015 and p=0,02). There
was a correltion between c-erbB-2 and mAgNOR (π=0,693).
Conclusions: The expressions levels c-erbB-2 and mAgNOR in levobupivacaine
infiltration group are higher than without levebupivacaine infiltration group. There is a
correlation between the c-erbB-2 and mAgNOR.
ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri akut paska bedah memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis,
menekan respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan
menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang efektif
mengurangi nyeri akut. Proses angiogenesis merupakan pilar utama penyembuhan luka.
C-erbB-2 adalah reseptor mitogenik yang ekspresinya pada endotel pembuluh darah bila
berikatan dengan ligand yang sesuai menyebabkan sel berproliferasi. Infiltrasi
levobupivakain akan meningkatkan ekspresi c-erbB-2 dan proliferasi sel endotel pembuluh
darah sehingga mempercepat penyembuhan luka.
Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan skor histologi c-erbB-2 dan proliferasi endotel
pembuluh darah antara tikus yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak pada
proses penyembuhan luka tikus Wistar.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test
only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3
kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisis subkutis tanpa infiltrsi levobupivakain,
kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain setiap 8 jam selama 24
jam.Ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR yang dihitung sebagai mAgNOR dan pAgNOR
pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan
secara imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari kelima. Data
dianalisis dengan uji beda Kruskal-wallis. Hubungan antara c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil: Rerata skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR pada kelompok infiltrasi
levobupivakain lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain, yaitu
untuk c-erbB-2 7,2±2,16 vs 9,9±1,29 dan mAgNOR 5,94±0,15 vs 11,86±1,02, dan secara
statistik berbeda bermakna (p=0,015 dan p=0,02). Hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR secara statistik bermakna (r=0,693;p=0,004). Pada pAgNOR tidak didapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok tersebut.
Simpulan: Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR
pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR pada proses penyembuhan luka.
Dokter bedah membuat luka pada tiap Banyak ditemukan permasalahan dalam
pembedahan. Pasca bedah luka ini penyembuhan luka, seperti waktu
mengakibatkan nyeri karena adanya penyembuhan yang lama, terutama bila
kerusakan jaringan. Nyeri akut sering terjadi penyembuhan secara sekunder.
menimbulkan keadaan yang tidak Nyeri menjadi stressor yang memicu
menguntungkan bagi penderita sepert timbulnya gejala klinis patofisiologis,
kegelisahan, perubahan hemodinamik, memicu modulasi respon imun, sehingga
gangguan pernafasan, retensi urin, ileus menyebabkan penurunan sistem imun
dan lain-lain.3,4 yang berakibat pemanjangan waktu
penyembuhan luka.1
Keadaan tersebut dapat menghambat
penyembuhan luka, mobilisasi yang Rasa nyeri merupakan salah satu
terganggu dan lama rawat di rumah sakit pencetus peningkatan hormon
bertambah. Luka pasca bedah di Inggris glukokortikoid. Infiltrasi anestetik lokal,
Raya, menghabiskan dana National dalam hal ini levobupivakain dapat
Health Services minimal sebesar 1 milyar mengurangi intensitas nyeri, sehingga
poundsterling setiap tahunnya.3,4 menurunkan sekresi hormon
glukokortikoid dan menghilangkan salah
Pada proses penyembuhan luka satu faktor penghambat penyembuhan
pembentukan dan perkembangan luka.5,6
pembuluh darah atau angiogenesis
merupakan hal yang sangat penting. Tepi Di tingkat sel proses angiogenesis
sel endotel pembuluh darah mengalami merupakan faktor yang penting dalam
proliferasi cepat, terjadi pertumbuhan penyembuhan luka. Proses ini merupakan
tunas baru dari endotel pembuluh darah proliferasi endotel yang terus menerus
yang sudah ada, membentuk jaringan membentuk jaringan vaskuler yang
vaskularisasi baru.1 menunjang semua kebutuhan sel selama
fase penyembuhan luka.1 Banyak faktor
Terdapat sejumlah faktor sistemik dan mempengaruhi proses proliferasi endotel
lokal yang mengganggu penyembuhan ini, baik faktor eksogen maupun endogen.
luka. Faktor lokal yang berpengaruh Salah satu faktor endogen yang
terhadap penyembuhan luka antara lain mempengaruhi proliferasi sel adalah
infeksi, faktor mekanik, benda asing, Epidermal Growth Factor (EGF).7
macam, lokasi dan ukuran besarnya
luka.3 Faktor sistemik yang C-erbB-2 adalah glikoprotein yang lebih
mempengaruhi penyembuhan luka antara dari 50% strukturnya sama dengan
lain nutrisi, status metabolik, status reseptor EGF.7 Bila sel mengekpresikan
sirkulasi darah dan hormon reseptor ini dan kemudian reseptor
3
glukokortikoid. berikatan dengan ligan yang cocok
(epidermal growth factor receptor
dan n<30. Selanjutnya dilakukan uji beda dalam bentuk table dan grafik. Analisis
non parametrik untuk 3 variabel (c-erb- data menggunakan program SPSS 11.0
B2 dan mAgNOR dan pAgNOR) for windows.10
menggunakan uji Kruskal Wallis. Uji
beda parametrik untuk 2 variabel berskala HASIL
rasio (c-erbB-2) menggunakan Pada penelitian ini dilakukan pengujian
independent sample t-test. efek perlakuan terhadap ekspresi c-erb-2
dan nilai AgNOR (mAgNOR dan
Untuk menilai hubungan (c-erbB-2) pAgNOR) pada hari ke lima. Hasilnya
terhadap nilai AgNOR (mAgNOR dan adalah sebagai berikut :
pAgNOR) digunakan uji korelasi yang Dari tabel 1 untuk uji homogenitas nilai
sesuai dengan uji non parametrik dengan rerata berat badan pada ketiga kelompok
n<30 yaitu uji Spearman (apabila uji berbeda tak bermakna (p=0,847). Berarti
normalitas data hasilnya normal). Dengan ketiga kelompok berasal dari populasi
batas derajat kemaknaan p ≤ 0,05 dengan yang homogen sehingga layak untuk
95% interval kepercayaan. Penyajian dibandingkan.
berlebihan seperti yang terjadi pada daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi
pertumbuhan tumor. levobupivakain. Hal ini berarti
proliferasi endotel pembuluh darah
Uji korelasi terhadap c-erbB-2 dan meningkat akibat dari infiltrasi
mAgNOR menunjukkan adanya levobupivakain
hubungan yang kuat, karena c-erbB-2
merupakan upregulator angiogenesis. Terdapat hubungan antara skor histologi
Korelasi c-erbB2 dengan pAgNOR tidak c-erbB-2 dan mAgNOR yang secara
menunjukkan adanya hubungan, juga statistik bermakna. Perlu dilakukan
antara mAgNOR dan pAgNOR.Ini penelitian yang melihat langsung
mungkin karena sifat proliferasi sel yang perbedaan proses penyembuhan luka
normal tinggi tidak kearah yang pada yang diinfiltrasi levobupivakain
berlebihan. dengan yang tidak. Pada pengecatan
AgNOR untuk melihat proliferasi pada
Pengamatan secara makroskopis endotel pembuluh darah untuk mendapat
mengenai jaringan luka dapat dilakukan hasil terbaik dapat dilakukan pemilihan
dengan pengambilan biopsi jaringan blok parafin dengan pengecatan
dengan waktu yang berbeda, sehingga hematoksilin eosin terlebih dahulu.
dapat dibandingkan yang diinfiltrasi
levobupivakain dengan yang tidak. DAFTAR PUSTAKA
Dengan demikian hasil yang diperoleh 1. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology
dapat menyeluruh. basic of disease. 6thed. Philadelphia:WB
Saunders Co, 1999.p. 21-20.
2. Constantinnides P. General pathobiology.
Dari hasil penelitian ini maka dalam 1sted. Connecticut: Appleton and
aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal Lange,1994.p. 173-81.
levobupivakain dapat dijadikan alternatif 3. Mast AB. Normal wound healing. In:
untuk mengendalikan nyeri akut paska Achauer B M, Eriksson E. eds. Plastic
surgery, indications, operations and
bedah sehingga penyembuhan luka dapat
outcomes. St Louis: Mosby, 2000.p. 37-53.
lebih baik. 4. Pedersen D. Accelerated surgical stay
programe. Annals of surgery 1994; 219:
SIMPULAN 374-81.
Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 5. Bardram L, Funch-Jensen P, Crawford ME,
Kehlet H. Recovery after laparoscopic
yang diinfiltrasi levobupivakain lebih
colonic surgery with epidural analgesia and
tinggi daripada kelompok yang tidak early oral nutrition and mobilitation. Lancet
diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti 1995; 345: 763-4.
ekspresi c-erbB-2 meningkat akibat dari 6. Webster EL, Torpy DJ, Elenkov IJ,
infiltrasi levobupivakain. Chrousos GP. Corticotropin releasing
hormone and inflammation. Annals of the
New York Academy of Sciences 1998; 840:
Nilai mAgNOR kelompok yang 21-32.
diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Succinylcholine is commonly used for intubating fascilitation in emergency
and day-case anesthesia. Most occured side effects of succinylcholine is fasciculation,
myalgia, and elevation of blood creatine phosphokinase level. Atracurium, like other
depolarizing muscle relaxants, had been proved as a gold standard for pretreatment
againts these side effects. Midazolam, that has been known as popular premedication drug,
has not been studied most for these utilities yet.
Objective: The aim of this study was to prove that pretreatment with midazolam 0,03
mg/Kg or atracurium 0,05 mg/Kg could reduce fasciculation, myalgia and elevation of
CPK level following succinylcholine administration.
Method: This study was designed as double blind randomly clinical trial on 54 patients
underwent elective surgery, 16–40 years age. ASA I-II and fullfill the inclusion criterias.
Before pretreatment drug had beengiven, a blood sample for preinduction creatine
phosphokinase level measurement were taken. Patients was divided into three groups of
pretreatment drugs, receiving midazolam 0,03 mg/Kg, atracurium 0,05 mg/Kg and NaCl
0,9% (control group). Three minutes later, anesthesia was induced with thiopentone 4-5
mg/Kg and succinylcholine 1,5 mg/Kg. Fasciculations were scored followed by intubation.
Twenty four hours after operation, myalgias were scored and a blood sample for post
operation CPK level measurement were taken. Statisticsl analysis were performed by
Anova-post hoc Bonferroni test, chi square – Wilcoxon Signed Ranks test and Spearman
correlation test.
Result: The characteristic features of the three groups are similar. Threre are significantly
reduction of fasciculation incidence (p<0,01), myalgia incidence (p<0,01) and CPK level
elevation in atracurium group (p<0,05). In midazolam group, myalgia incidence is
significantly reduced (p<0,01) but CPK level is only slight reduced (p=0,086) and there is
no reduction of fasciculation incidence (p=0,125). The only significant correlation proved
is between myalgia and CPK level elevation (corr.coef = 0,334; p = 0,013).
Conclusions : Atracurium is proved to be effective for pretreatment againts fasciculation,
myalgia and elevation of CPK level. Midazolam is as effective as atracurium to reduce
myalgia, less effective to reduce CPK level and not effective to reduce fasciculation.
Keywords : pretreatment, fasciculation, myalgia, CPK elevation, succinylcholine.
ABSTRAK
Latar Belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan
pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping
yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase
(CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai
baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer
sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment.
Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium
0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin.
Metode: Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54
penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan
memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan
darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi
menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03
mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit
kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin
1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh
empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk
pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji
Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji
korelasi dari Spearman.
Hasil: Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada
kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p<0,01 ), mialgia ( p<0,01 )
dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase yang bermakna ( p<0,05 ). Pada kelompok
midazolam terjadi penurunan kejadian mialgia yang bermakna ( p<0,01 ), sedikit
kenaikan kadar kreatin fosfokinase ( p=0,086 ) dan tidak terjadi penurunan kejadian
fasikulasi (p=0,125). Pada uji korelasi tehadap tiga variabel terikat hanya tampak
korelasi bermakna antara mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (koef.kor =
0,034; p = 0,013).
Kesimpulan: Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi,
mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya
dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk
mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah
fasikulasi.
rumah sakit sebelum 24 jam pasca dan CWL. Jenis operasi ginekologi
operasi (operasi medis wanita/ MOW). meliputi ooforektomi, miomektomi, dan
kistektomi. Sedangkan jenis operasi
PEMBAHASAN digestif meliputi appendiktomi dan
Data–data karakteristik demografi (umur, herniorafi.
jenis kelamin, dan tingkat pendidikan), Pada tabel 3 terlihat prosentase skor
kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan, fasikulasi berat kelompok atrakurium dan
lama operasi dan jenis operasi dapat midazolam lebih rendah daripada
dilihat pada tabel-tabel berikut. Jenis kelompok kontrol. Uji kai kuadrat
operasi yang termasuk THT adalah terhadap perbedaan skor fasikulasi antara
tonsilektomi, polipektomi, etmoidektomi ketiga kelompok menunjukkan
Tabel 2. Lama dan jenis operasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol
Variabel p
(n=18) (n=18) (n=18)
Lama Operasi (menit) 52,00 (SB 24,22) 52,22 (SB 32,67) 56,72 (SB 22,85) 0,839*
Jenis Operasi :
THT 5 (27,8%) 6 (33,3%) 5 (27,8%)
Eksisi Biopsi FAM 5 (27,8%) 5 (27,8%) 6 (33,3%)
Ginekologi 4 (22,2%) 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0,992
MOW 2 (11,1%) 3 (16,7%) 3 (16,7%)
Digestif 2 (11,1%) 2 (11,1%) 1 (5,6%)
*
)uji Anova = berbeda tak bermakna ; **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna
Dari data karakteristik tersebut terlihat Hasil uji hipotesis ini menunjukkan
adanya perbedaan yang tidak bermakna bahwa prosentase skor mialgia berat pada
(p > 0,05) pada seluruh variabel di ketiga kelompok atrakurium dan secara
kelompok penelitian. statistik tidak bermakna. Perbedaan
prosentase skor fasikulasi berat antara
Data hasil penilaian skor fasikulasi dapat kelompok atrakurium dan midazolam
dilihat pada tabel 3. Adanya perbedaan secara statistik bermakna.
yang bermakna (p < 0,05). Untuk
mencari dimana letak perbedaannya, Data hasil pengukuran skor mialgia dapat
analisis dilanjutkan dengan uji Wilcoxon dilihat pada tabel 5. Midazolam lebih
Signed Ranks (non parametrik) dengan rendah secara amat bermakna daripada
hasil pada tabel 4. kelompok kontrol. Perbedaan prosentase
skor mialgia berat antara kelompok
Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa atrakurium dan midazolam secara
meskipun prosentase skor fasikulasi berat statistik tidak bermakna. Pada tabel 5
kelompok atrakurium dan midazolam terlihat bahwa prosentase skor mialgia
lebih rendah daripada kelompok kontrol, berat pada kelompok atrakurium dan
perbedaan ini hanya bermakna pada midazolam lebih rendah daripada
kelompok atrakurium, sedangkan pada kelompok kontrol.
kelompok midazolam kuadrat terhadap
perbedaan skor mialgia antara ketiga Data pengukuran kadar kreatin
kelompok penelitian menunjukkan fosfokinase pra perlakuan, pasca
adanya perbedaan yang bermakna perlakuan dan perbedaan (kenaikan)
(p<0,05). diantara pra dan pasca perlakuan dapat
dilihat pada tabel 7. Terlihat bahwa
kenaikan kadar kreatin fosfokinase pada sehingga dilanjutkan dengan uji Post hoc
kelompok midazolam maupun atrakurium Bonferroni pada tabel 8.
lebih rendah daripada kelompok kontrol.
Uji Anova terhadap perbedaan kadar Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa
kreatin fosfokinase darah akibat perbedaan kenaikan ini pada kelompok
suksinilkolin. Diantara tiga akibat atrakurium secara statistik bermakna,
(variabel terikat) pemberian suksinilkolin sedangkan pada kelompok midazolam
ada korelasi antara mialgia dengan tidak bermakna. Perbedaan kenaikan
kenaikan kadar fosfokinase antara ketiga kadar kreatin fosfokinase antara
kelompok menunjukkan adanya kelompok atrakurium dan midazolam
perbedaan yang bermakna (p = 0,013) tidak bermakna secara statistik.
Tabel 8. Uji Post hoc Bonferroni perbedaan kadar kreatin fosfokinase antar kelompok
Kel.Atrakurium – Kel.Kontrol – Kel.Kontrol –
Perbedaan Kadar CK
Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Midazolam
Beda Rerata 20,00 83,72 63,67
p(2 ekor) 1,000 0,014* 0,086
*
)berbeda bermakna
PENELITIAN
ABSTRACT
Background:Succinylcholine is the only one muscle relaxant with rapid action and short
duration, but it has some side effects, such as increasing of intraocular pressure.
Precurarisation with non depolarizing muscle relaxants could prevent this but may
increase the succinylcholine dose. Magnesium sulphate works competitively in the
neuromuscular junctionon prejunctionaly site.
Purpose: To proof that magnesium sulphate pretreatment to prevent has the same
efficiency with atracurium in preventing the increased of intraocular pressure caused by
succinylcholine administration.
Methods : The study was clinical trial stage II, with double blind randomized controlled
trial. The number of samples was 54 patients divided into 2 groups; Group I :threated with
magnesium sulphate 40 m/kg intravenously in l0 minutes, 3 minutes before inductin. Group
II : administrationNaCl20 in in l0 ml, subsequently atracurium 0,05 ml/kg in 3 ml, 3
minutes before induction, in l0minutes, 13 minutes before induction, subsequently NaCl 3
ml, 3 minutes before induction.
Results: There was no increased in intraoccular pressurc 2 minutes after succinylcholine
administration both groups. But there was a decreased in intraoccular pressure on both
goups. There was, no Siqnificant change of intraoccular pressure in both groups after
sucynilcholine administration
Conclusion: There was no intraocular prcssure increase after
succinylcholineadministration in patients treated by magnesium sulphate, and atracurium.
There was no significant difference in the change of intraocular pressure after
pretreatment with magnesium sulphate and also atracurium.
ABSTRAK
Latar belakang : Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi
kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan
intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan
peningkatan dosis suksinilkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada
neuromuscular junction menduduki prejunctional site.
Fasikulasi adalah kontraksi otot rangka Tetapi pemberian obat pelumpuh otot
secara cepat terus menerus (tetanik), tidak golongan non depolarisari sebelum
sinkron disebabkan oleh depolarisasi pemberian suksinilkolin untuk mencegah
yang terus-menerus, akibat ikatan kenaikan tekanan intraokuler
suksinilkolin dengan reseptor membran menyebabkan peningkatan jumlah
post sinap.7 Fasikulasi ini menyebabkan suksinilkolin yang dibutuhkan untuk
efek samping yang tidak diinginkan relaksasi sampai antara 50-90%.15,19
seperti kenaikan kadar kalium, Sedangkan menurut Bartkowski dan
peningkatan tekanan intrakranial, Savarese, pemberian prekurarisasi dengan
kenaikan tekanan intragastrik dan makurium dan pelumpuh otot non
7
kenaikan tekanan infaokuler. Berbagai depolarisasi lainnya mengakibatkan
metode dan jenis obat telah diteliti perlambatan mula kerja dan penurunan
sebagai pretreatment untuk mencegah kualitas (kondisi intubasi) blok
atau mengurangi efek samping akibat neuromuskuler oleh suksinilkolin,
pemberian suksinilkolin, diantaranya sehingga dosis suksinilkolin harus
8,9
adalah: magnesium, golongan NSAID, ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB
benzodiazepin, obat pelumpuh otot menjadi 1,5 mg/kgBB, yang juga berarti
golongan non depolarisasi kalsium dan akan menaikkan resiko komplikasinya.6,19
magnesium.10,11
Efek magnesium pada neuromuscular
Efek suksinilkolin yang menaikkan junction adalah ion magnesium bekerja
tekanan intraokuler membatasi secara kompetitif dengan ion kalsium
penggunaannya terutama pada pasien untuk menduduki prejunctional site.
dengan trauma tembus mata dan operasi Magnesium memblok pelepasan kalsium
mata yang akan membuka bilik oleh retikulum sarkoplasma sehingga
anterior.12,13,14 Kenaikan tekanan menyebabkan penutupan kanal kalsium20,
intraokuler setelah pemberian masing-masing ion bekerja secara
suksinilkolin disebabkan karena efek antagonis satu sama lain, ion magnesium
langsung dari kontraksi (fasikulasi) otot yang tinggi akan menghambat pelepasan
ekstraokuler,13,14 dan mungkin karena asetilkolin sedangkan ion kalsium yang
dilatasi sementara dari pembuluh darah tinggi akan meningkatkan pelepasan
koroid.15 asetilkolin dari presinaptic nerve
terminal.
Berbagai jenis obat pelumpuh otot
golongan non depolarisasi telah diteliti Diketahui juga bahwa ion magnesium
untuk mencegah timbulnya efek samping memiliki efek inhibisi pada
akibat pemberian suksinilkolin mulai dari postjunctional potential dan
tubokurarin, galamin, pankuronium, mengakibatkan turunnya eksitabilitas
alkuronium, atrakufium, vekuronium, membran pada serat-serat otot.20 Namun,
okuronium hingga mivakurium.16,17,18 sampai saat ini secara langsung belum
Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung, Tekanan Intraokuler
Sebelum Anestesi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
Kelompok Kelompok
Perlakuan Kontrol
No. Variabel Uji statistik P
(Magnesium) (Atracurium)
(n=27) (n=27)
1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884
2. TDD 69,85±13,03 68,70±12,04 Indepen t test 0,730
3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515
4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953
5. TIO 15,14±1,39 14,19±1,43 Indepen t test 0,685
Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan
Intraokuler Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
Kelompok Kelompok
Perlakuan Kontrol Uji
No. Variabel P
(Magnesium) (Atracurium) Statistik
(n=27) (n=27)
1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884
2. TDD 69,85±13,03 65,70±12,04 Indepen t test 0,230
3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515
4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953
5. TIO 12,88±0,95 12,41±1,00 Indepen t test 0,085
Tabel 4. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan
Intraokuler Setelah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
Kelompok Kelompok
Perlakuan Kontrol Uji
No. Variabel p
(Magnesium) (Atracurium) Statistik
(n=27) (n=27)
1. TDS 127,70±14,49 134,22±19,49 Indepen t test 0,169
2. TDD 78,19±11,26 82,37±14,26 Indepen t test 0,237
3. TAR 95,11±12,60 100,15±15,86 Indepen t test 0,202
4. LJ 91,85±3,63 94,48±11,87 Indepen t test 0,356
Mann-Whitney
5. TIO 16,21±1,46 17,16±1,45 0,024
test
Tabel 5. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok
Magnesium dan Atrakurium
TIO Setelah
TIO Sebelum
No. Variabel Pemberian Uji Statistik P
Anestesi
Suksinilkolin
1. Magnesium 15,14±1,39 12,88±0,95 Pair t test 0,000
2. Atracurium 14,19±1,43 12,41±1,00 Pair t test 0,000
Tabel 6. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Sesudah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan
Atrakurium
TIO Sebelum TIO Setelah
No. Variabel Uji Statistik P
Anestesi Intubasi
1. Magnesium 15,14±1,39 16,21±1,46 Pair t test 0,000
2. Atracurium 14,19±1,43 17,16±1,45 Pair t test 0,000
Dari tabel 3 kita ketahui bahwa setelah (p> 0,05) antara kelompok magnesium
diberikan suksinilkolin tekanan darah dan atrakurium, sehingga kedua
diastolik, TAR, laju jantung, dan kelompok. Dari tabel 6 kita lihat bahwa,
tekanan intaokuler tidak tedapat pada kelompok magnesium, tekanan
perbedaan bermakna antara kelompok intraokuler sebelum dan setelah intubasi,
magnesium dan atracurium (p>0,05). mengalami kenaikan yang bermakna (p<
0,05). Demikian juga pada kelompok
Dari tabel 5 kita lihat bahwa pada atrakurium, tekanan intraokuler settelah
kelompok magnesium, tekanan intubasi bila dibandingan dengan nilai
intraokuler dan setelah pemberian tekanan intraokuler sebelum anestesi
suksinilkolin mengalami penurunan yang mengalami kenaikan secara bermakna
bermakna. Demikian juga pada (p<0,05).
kelompok atracurium, tekanan intraokuler
setelah suksinilkolin bila dibandingkan PEMBAHASAN
dengan nilai tekanan intraokuler sebelum Untuk karakteristik subyek kedua
mengalami penurunan secara bermakna kelompok penelitian, yaitu jenis kelamin,
(p < 0,05). Tekanan intraokuler (tabel 2), umur, dan Body Mass Index (BMI),
tidak terdapat perbedaan yang bermakna setelah diuji beda tidak terdapat
dan mengurangi kualitas relaksasi saat okuler ini secara statistik bermakna
intubasi.22 karena nilai p<0,05. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena, peningkatan tekanan
Pada tabel 5 tekanan intraokuler pada intraokuler bisa dicegah dengan
kelompok magnesium dan atrakurium pemberian pretreatment magnesium
setelah pemberian suksinilkolin tidak sulfat atau atrakurium, sedangkan
mengalami peningkatan. Pemberian pemberian propofol sebelum
suksinilkolin seharusnya meningkatkan suksinilkolin menyebabkan penurunan
tekanan intraokuler sebesar 10-20 tekanan intraokuler.
mm/Hg. Tetapi hal tersebut tidak terjadi
pada pasien dalam penelitian ini, karena Propofol menyebabkan relaksasi otot-otot
pemberian pretreatment obat pelumpuh ekstraokuler, memperbaiki aliran humor
otot non depolarisasi seperti atrakurium aqueous menyebabkan penurunan
yang bekerja pada reseptor nikotinik tekanan darah, sehingga menyebabkan
kolinergik prejunctional dapat mencegah penurunan tekanan intraoluler.10,12 Pada
terjadinya fasikulasi karena suksinilkolin tabel 8, tekanan intraokuler setelah
tanpa mernpengaruhi kerja antagonis intubasi mengalami kenaikan bermakna
suksinilkolin pada reseptor kolinergik dibandingkan dengan sebelum anestesi,
post sinap.22 Fasikulasi inilah yang akan pada kelompok magnesium maupun pada
menyebabkan kenaikan tekanan kelompok atracurium. Hal ini karena
12,13
intraokuler. Demikian pretreatment intubasi akan menyebabkan kenaikan
dengan magnesium akan mencegah tekanan intra okuler lewat peningkatan
terjadinya kenaikan tekanan intra okuler penganuh saraf simpatis. Sedangkan
karena suksinilkolin, karena ion pretreatment dengan magnesium tidak
magnesium yang bekerja secara sepenuhnya mampu menekan gejolak
kompetitif dengan ion kalsium untuk intubasi.10,12,21
menduduki prejunctional site, akan
memblok pelepasan kalsium oleh SIMPULAN
retikulum sarkoplasma sehingga Tidak ada kenaikan tekanan intraokuler,
menyebabkan penutupan kanal kalsium.20 sebelum perlakuan dan setelah pemberian
suksinilkolin pada kelompok magnesium
Hal ini akan menghalangi aksi agonis dari dan atrakurium. Tidak ada perbedaan
suksinilkolin pada reseptor nikotinik yang bermakna antara nilai tekanan
prejunctional pada neuromuscular intaokuler kelompok magnesium dan
junction, sehingga akan mencegah kelompok atracurium, setelah pemberian
timbulnya fasikulasi.11,22 Pada tabel 5 suksinilkolin. Magnesium sulfat dapat
ini juga kita lihat bahwa, tekanan digunakan sebagai alternatif pretreatment
intraokuler setelah pemberian untuk mencegah kenaikan tekanan
suksinilkolin justru mengalami intraokuler akibat pemberian
penurunan. Penurunan nilai tekanan intra suksinilkolin. Pretreatment dengan
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Treatment of patients with increased intra-cranial pressure in the pressure began with
monitor with invasive and non invasive way before the management of surgical and non
surgical. It was instrumental in the field of management of anesthesia for intra-cranial
pressure lowering to keeping the airway, keeping the emotional stability of patients with
sedation drugs and anelgetik, the use of drugs and inhalation agents that do not affect
intra-cranial pressure and cope with the effects that arise later.
ABSTRAK
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan
memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian
dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat
berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan
nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,
penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra
kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita bahwa papil edem ditemukan pada
dengan gejala tumor otak dan 80% anak dengan tumor otak.
biasanya disertai dengan nyeri e. Gejala lain yang ditemukan:
kepala. Muntah tersering adalah False localizing sign: yaitu parese
akibat tumor di fossa posterior. N.VI bilateral/unilateral, respons
Muntah tersebut dapat bersifat ekstensor yang bilateral,
proyektil atau tidak dan sering tidak kelainann mental dan gangguan
disertai dengan perasaan mual serta endokrin
dapat hilang untuk sementara waktu. Gejala neurologis fokal, dapat
c. Kejang ditemukan sesuai dengan
Kejang umum/fokal dapat terjadi lokalisasi tumor.
pada 20-50% kasus tumor otak, dan
merupakan gejala permulaan pada
lesi supratentorial pada anak Pengukuran Tekanan Intra Kranial
sebanyak 15%. Frekwensi kejang Walaupun tidak ada data dari percobaan
akan meningkat sesuai dengan random, secara umum telah diterima
pertumbuhan tumor. Pada tumor di bahwa pemantauan dan pengobatan
fossa posterior kejang hanya terlihat agresif pada peningkatan TIK dapat
pada stadium yang lebih lanjut. meminimalis iskemik sekunder dan
Schmidt dan Wilder (1968) meningkatkan outcome. Sehingga,
mengemukakan bahwa gejala kejang penggunaan peralatan intra kranial untuk
lebih sering pada tumor yang pengukuran TIK secara kontinyu menjadi
letaknya dekat korteks serebri dan praktek standar dalam merawat pasien
jarang ditemukan bila tumor terletak neurologi yang mempunyai masalah
dibagian yang lebih dalam dari dengan peningkatan TIK. Peralatan ini
himisfer, batang otak dan difossa meliputi kateter intraventrikuler,
posterior. subarachnoid bolt, epidural systems dan
d. Papil edema peralatan fiberoptic intraparenchymal.
Papil edem juga merupakan salah Kateter ventrikulostomi umumnya
satu gejala dari tekanan tinggi intra dijadikan gold standard untuk
kranial. Karena tekanan tinggi intra pemantauan ICP. Kateter jenis ini
kranial akan menyebabkan oklusi mempunyai kelebihan tambahan yaitu
vena sentralis retina, sehingga dapat menjadi drainage CSF untuk
terjadilah edem papil. Barley dan menurunkan ICP.2,9
kawan-kawan, mengemukakan
Gambar : Teknik insersi ventriculostomi (A) trepination (B) durotomy (C) Pemasangan kanul Ventricular
(D) Terowongan subcutaneous kateter
epidural, dan kejang fokal. Selain itu yang biasanya menempatkan ujung distal
dapat terjadi penumbatan pada dari sensor fiber optik 10 hingga 15 mm
tubingnya, sehingga rekaman yang ke dalam parenkim otak. Alat fiber optik
diperoleh berkurang atau hilang. yang baru dikembangkan dapat
Memang salah satu kelemahan baut mengukur perubahan jumlah cahaya yang
Richmond adalah mudahnya tersumbat dipantulkan sebuah tekanan sensitive
oleh debris luka, darah dan atau dura.9 diafragma yang berada di ujung alat,
kemudian nilai tekanan ditampilkan oleh
Monitor Tekanan Intra kranial sebuah alat digital. Kabel keluaran dapat
Epidural juga digunakan untuk mengirimkan data
Dua tipe monitor ICP epidural telah ke monitor ruang operasi atau unit rawat
dikembangkan. Satu menggunakan intensif diaman akan tampak gelombang
sensivitas tekanan membran yang kontak ICP.
dengan dura, sedang yang satu lagi
menggunakan sensivitas perubahan Sebagai perbandingan terhadap
tekanan udara yang merubah bentuk ventrikulostomi, monitor Camino lebih
dura. Meskipun resiko infeksi otak lebih mudah dimasukkan dan probe
rendah karenapenempatannya di intraparenkim mempunyai ukuran
ekstradura, akan tetapi ada beberapa diameter lebih kecil, sehingga kerusakan
kerugian termasuk kesulitan tehnik, neulorogis jarang terjadi. Keuntungan
perdarahan, kalibrasi yang sulit setelah alat ini adalah infeksi minimal dan
penempatan baut, dan ketidakmampuan kebocoran serta sumbatan kateter tidak
untuk drainase CSF untuk terapi.9 terjadi. Sebagai tambahan, kesalahan
akibat salah posisi tranduser juga
Monitor Tekanan Intra kranial minimal. Kerugian utama alat ini adalah
Intraparenkim tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat
Alat intraparenkhym misalnya monitor ini dimasukkan, kemungkinan bergeser
ICP Camino ( Camino Laboratories, San juga ada yang mengharuskan
Diego, California USA) menggunakan penggantian probe fiber optik dalam
kateter yang dimasukkan kedalam kondisi steril. Keterbatasan yang
substansia grissea sehinga dapat bermakna dari alat ini adalah tidak
mengukur secara langsung tekanan mampu digunakan sebagai terapi
jaringan otak. drainase CSF.
Sisi frontal kanan biasanya dipilih Pada kondisi trauma, ketika ICP
sebagai tempat insersi, dan karena insersi meningkat dan ventikel terdesak, hanya
intraventrikuler (yang menggunakan titik sebagian kecil jalan keluar CSF yang
Kocher) tidak diperlukan, maka sisi terlihat selama penempatan
lateral frontal secara kosmetika dapat ventrikulostomi. Hal ini terjadi pada
digunakan. Setelah dilakukan trepanasi, ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila
batangan berulir dimasukkan ke tidak dikenali lagi, kateter mungkin saja
tengkorak sampai plastic batas berhenti, tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin
dimana ujungnya berada 1-2 mm dilakukan rekanulasi ventrikel. Pada
dibawah lapisan dalam tengkorak. kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan
Setelah membuat sebuah lubang kecil di monitor kedua misalnya Camino harus
dura, sensor fiber optic dikalibrasi ditempatkan untuk memantau ICP.
kemudian dimasukkan sampai tanda 5 Ketika kateter itraventrikuler mulai
cm sejajar dengan bagian atas batang, mendrainase CSF yang bertumpuk dalam
ventrikel, salah satu dari dua monitor menghilang dan pulsasi arteri menjadi
tersebut dapat ditarik tergantng pada lebih jelas.
situasi klinis.9
Pada tahun 1960, lundberg melaporkan
Bentuk gelombang Tekanan Intra hasil pemantauan ICP secara langsung
kranial dengan menggunakan ventrilkulotomi
Bentuk gelombang ICP yang normal pada 143 pasien. Dia menyebutkan
adalah pulsatil dan sejalan dengan irama patofisiologi dan tanda klinis yang
jantung. Tetapi nilai dasar akan naik bermakna dari tiga gelomang patologis
turun sesuai dengan siklus pernapasan ICP yang ditandai dengan gelombang A,
(seperti yang terjadi pada semua bentuk gelombang B, dan gelombang C.
gelombang yang fisiologis). Fluktuasi
normal gelombang ICP dikarakteristikan Gelombang Lundberg A, juga dikenal
mempunyai tiga puncak tekanan. Yang dengan gelombang plateu dicirikan
pertama, merupaakn puncak paling tinggi dengan elevasi tajam ICP samapi >50
(P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai
ditransmisikan menuju parenkim otak 20 menit diikuti penurunan mendadak ke
dan CSF. Puncak yang kedua (P2) level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru
diterjemahkan sebagai gelombang tidal akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul
atau rebound dan komplien reflek intra gelombang A. Gelombang A ini akan
kranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper muncul lagi dengan meningkatkan
selalu lebih rendah dari P2, dan disebut frekuensi, durasi, dan amplitude dan
gelombang dikrotik mewakili pulsasi sering terjadi pada peningkatan simultan
vena yang ditransmisikan menuju otak. dari tekanan arteri rerata. Lundberg
Pada kondisi komplien otak normal mengenali gelombang ini sebagai
besarnya gelombang adalah kecil, pertanda ICP tidak terkontrol, yang
sedangkan pada otak yang ketat, mungkin dihasilkan dari sebuah
perubahan tekanan yang diikuti dengan kelelahan kapasitas buffering dan
perubahan volume adalah besar. komplien intrakranial.
mungkin saja mewakili status preterminal digunakan untuk mengukur TIK melalui
dan kadang terlihat pada puncak fontanel terbuka. Sistem serat optik
gelombang plateu. Sama seperti digunakan ekstra kutaneus. Dengan
gelombang B, mereka bersifat sugesti manual merasakan pada tepi kraniotomi
tapi bukan patognominis akan atau defek tengkorak jika ada fraktur.
peningkatan ICP.
MANAJEMEN PENINGKATAN
Akhir-akhir ini ditekankan pada TEKANAN INTRA KRANIAL
pengenalan dini serta pengobatan yang Hipertensi intra kranial adalah besarnya
berhasil akan peningkatan ICP. Oleh TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur
karena itu, gelombang patologis lain hipertensi intrakranial didefinisikan
Lundberg (A, B, C) jarang terlihat. sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg
Namun ketika mereka terlihat pada dan menetap lebih dari 20 menit.
pasien yang telah diintervensi terapeutik, Peningkatan progresif dari batas ini atau
maka mereka diramalkan mempunyai TIK yang terus menerus >20 mmHg,
outcome yang buruk. disarankan untuk melakukan
pemeriksaan dan penanganan.
Metode non invasif Peningkatan progresif dari TIK dapat
Penurunan status neurologi klinis mengindikasikan memburuknya
dipertimbangkan sebagai tanda hemoragik/hematoma, edema,
peningkatan TIK, Bradikardi, hidrosefalus, atau kombinasinya dan
peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi merupakan indikasi diakukannya
pupil normalnya dianggap tanda pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus
peningkatan TIK. Transkranial dopler, menerus TIK akan memperparah resiko
pemindahan membran timpani, teknik terjadinya cedera sekunder (komplikasi)
ultrasound time of fligh” sedang berupa iskemik dan/atau herniasi.2
dianjurkan. Beberapa peralatan
pada pasien dewasa yang mengalami diteliti pada pasien neurosurgical, profil
cedera kepala dengan terapi propofol >5 farmakologikalnya menunjukkan bahwa
mg/kg/jam. Baik pada anak-anak maupun obat ini mungkin berguna sebagai sedatif
dewasa, insidensi sebenarnya pada pada kelompok pasien ini. Ketika dipakai
sindrom ini belum diketahui dan dalam bentuk infus 0,6 mg/kg/jam,
patofisiologinya masih belum jelas. Akan sebagian besar pasien akan tersedasi
tetapi, menyebabkan angka kematian dengan baik tetapi terstimulasi dengan
yang tinggi pada anak-anak, dan data depresi nafas yang minimal. Hal ini
yang didapat dari penelitian klinik (saat menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
ini belum dipublikasikan), sehingga saat akan menurunkan TIK, meskipun
ini pemberian infus propofol tidak penurunan CBF tidak sesuai dengan
direkomendasikan. penurunan metabolism serebral.
Penelitian kami menunjukkan bahwa
Pada dewasa, jika terdapat indikasi autoregulasi dan reaktivitas CO2 tidak
bahwa keuntungan pemakaian propofol mempengaruhi dosis sedatif
lebih besar dari pada resikonya dan dexmedetomidine (data tidak
sebaiknya tetap diberikan pada pasien di dipublikasikan).
ruang neurointensive care unit. Akan
tetapi, pemakaian infus berkepanjangan Pada iskemik eksperimental
lebih dari satu minggu dengan dosis lebih menunjukkan penurunan jumlah neuron
dari 5 mg/kg/jam, tidak diperbolehkan yang rusak pada iskemik global
dan harus segera dihentikan untuk sementara (transient) pada gerbil (tikus
mencegah resiko terjadinya asidosis atau mencit) dan menyebabkan iskemik
disfungsi jantung. Sebagai tambahan, serebral pada tikus. Mekanisme kerja
propofol dosis tinggi akan menyebabkan diperkirakan melalui penurunan release
hipotensi, sehingga sering mengharuskan (pelepasan) norepinephrine. Serta
pemakaian vasopressor untuk membantu tampaknya memacu pemecahan
memperbaiki tekanan darah.2 glutamine melalui proses metabolism
oksidatif pada astrosit, maka penurunan
Etomidate availabilitas glutamine sebagai prekursor
Meskipun etomidate dulunya dipakai neurotoksik glutamate. Sampai saat ini
sebagai obat sedatif, tidak boleh belum ada penelitian yang meneliti
diberikan melalui infus karena akan tentang pemakaian obat sedatif pada unit
menghambat sintesis kortikosteroid yang perawatan neurointensif, tetapi
diproduksi oleh kelenjar adrenal. Hal ini kekurangan signifikan yaitu depresi
menyebabkan depresi kardiovaskuler pernafasan membuatnya terjadi pada
yang lebih rendah dibandingkan propofol pemberian sedatif yang tepat pada pasien
atau barbiturate dan dan telah dipakai yang bisa bernafas spontan dengan
sebagai dosis intermiten pada pasien compliance intra kranial yang jelek.2
yang kurang stabil. Obat ini dapat
mereduksi TIK dengan efeknya pada Barbiturate
CBF dan CBV.2 Barbiturate menurunkan TIK dengan cara
menekan metabolisme cerebral dan
Dexmedetomidine CBF. Keduanya dilakukan secara
Dexmedetomidine adalah obat golongan langsung dan dengan cara mengurangi
agonis selektif reseptor alpha-2 dan telah aktivitas kejang. Baik pentobarbital dan
terbukti dapat dipakai obat sedative pada thiopental, keduanya telah digunakan
pasien jantung di ICU. Meskipun belum untuk menginduksi koma barbiturate.
Pada pasien dengan edema cerebral pada akut. Dalam praktek, ketika diindikasikan
kedua himisfer, mungkin memerlukan dengan tepat, PEEP sampai dengan 10
bilateral kraniektomi. Jarang sekali, mmHg jarang menyebabkan peningkatan
pengangkatan jaringan yang telah rusak TIK yang signifikan. Bagaimanapun
atau lobektomi mungkin dilakukan juga, tetaplah bijaksana untuk memonitor
sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi respons TIK terhadap PEEP pada pasien,
intra kranial pada kebanyakan kasus khususnya ketika menggunakan PEEP >
berat hipertensi intra kranial. Prosedur ini 10 mmHg.2
tampak efektif untuk trauma cedera
kepala, sebaik untuk pembengkakan DAFTAR PUSTAKA
sekunder pada stroke atau subarachnoid
1. Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and
hemoragik. Sebuah percobaan Intrakranial Dynamics : Pemantauan and
multicenter dalam rangka menilai management of intrakranial pressure, In :
keuntungan kraniektomi dekompresi Critical Care Neurology and Neurosurgery,
sebagai pengobatan awal untuk trauma ed. Suarez J I, New Jersey : 2004, 100-47
cedera kepala akan menetapkan peran 2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Neurophysiology & Anesthesia, in Clinical
kraniektomi dekompresi di masa depan Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,
sebagai pengobatan definitif untuk 3. Anne J. Moore, David W. Newell.
hipertensi intra kranial.2,4,6 Neuroanesthesia and Neurosurgical Intensive
Care, In : Neurosurgery Principles and
Penggunaan Positive End-expiratory Practise. London : Springer 2005. p 104 – 71.
4. Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular
Pressure pada pasien dengan Blocking Agent ; Still Valueble to Treat
peningkatan TIK Intrakranial Hypertension, In : Proceeding
Penderita pada peningkatan tekanan Book 9th National Congress of Indonesian
intrakranial sampai terjadinya hipertensi Society of Anesthesiology, ed. Nasution A
intrakranial sering jatuh pada keadaan H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 57-
46
gagal nafas sampai pada penggunaan 5. Seubert C N, Mahla M E, Neurologic
ventilator mekanik. Tiga puluh enam Pemantauan, In : Miller‟s Anesthesia
persen penderita dengan cedera otak Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier :
yang disertai koma, datang dalam 2010,
keadaan hipoksia dan gagal nafas yang 6. Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical
Anesthesia, In : Miller‟s Anesthesia Seventh
membutuhkan ventilator mekanik.4 Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
Positive end-expiratory pressure (PEEP) 7. Drummond J C, Patel P M, Cerebral
berulang kali digunakan untuk Physiology and the Effects of Anesthetic
meningkatkan oksigenasi pada pasien Drugs, In : Miller‟s Anesthesia, 7th Edition,
dengan respiratory distress syndrome ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
8. Kincaid MS, Lam AM, General
atau kehilangan volume paru akibat Considerations : Neurophysiologic
berbagai penyakit paru. Secara teori, hal Pemantauan, In : Handbook of
ini dapat meningkatkan tekanan Neuroanesthesia, 4th Edition, ed. Newdield
intratoraks, yang mana akan menghalangi P, Cotrell J E, Lippincott Williams &
aliran vena dari kepala yang Wilkins : 2007, P 57-37
9. Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C:
menyebabkan peningkatan TIK. Pemantauan Considerations for Trauma and
Bagaimanapun juga, hal ini hanya Critical Care ; Neurological Pemantauan, In :
nampak relevan secara klinis jika pasien Trauma Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson
mempunyai compliance intratoraks yang CW, Grande MC, Hoyt DB, Informa Healt
baik dan compliance intra kranial yang care, New York : 2007, 204-125
10. Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken
buruk. Keamanannya baru-baru ini V, Struys MM, Influence Of An Increased
didemonstrasikan pada pasien stroke Intrakranial Pressure On Cerebral And
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Change in the cerebral blood flow having the regulations vidual considering so great role
of the brain for the life . Factors that might affect the regulation of the flow of blood to the
brain one of them was the actions and anesthetic drugs during anesthesia . To avoid gord
bad that might happen need to learn about auto regulation cerebral blood well . The use of
medicinal also need to consider . Operation to head takes time relative long operasi than
the others .
The brain of a distinctive have the ability to regulate the flow of blood against :
1. The activity of functional and metabolic ( flow metabolism coupling and metabolic
regulation )
2. The change in pressure perfusi perssure autoregulation.
3. Oxygen saturation is change or carbon dioxide of the arteries
Besides the bloodstream the brain can change through a direct influence of relations
between the special centers in the brain and the blood vessels ( neurogenic regulation )
Changes in the flow of blood to the brain having the risk of fatal in determining the
prognosis . Death caused by the most aneurisma from arteri breakage in the brain and
hurt the head caused by a traffic accident . A diagnosis aneurisma difficult or too late to be
known . A doctor well ektra to the heart of hearts anesthetic in patients with the monitor
hemodynamic and maintaining hemodynamic not experienced that the high risk to avoid
the rupture of aneurysm.
ABSTRAK
Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar
peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran
darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk
menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi
darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi
dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.
Otak mempunyai kemampuan yang khas untuk mengatur aliran darah terhadap :
1. Aktivitas fungsional dan metabolic (flow metabolism coupling and metabolic
regulation).
2. Perubahan pada tekanan perfusi (perssure autoregulation)
3. Perubahan kandungan oksigen atau karbondioksida dari arteri.
Selain itu aliran darah otak dapat berubah melalui pengaruh langsung dari hubungan
antara pusat-pusat khusus di otak dan pembuluh darah (Neurogenic Regulation).
Perubahan aliran darah ke otak memiliki resiko yang fatal dalam menentukan prognosis.
Kejadian kematian paling banyak disebabkan aneurisma dari arteri yang pecah didalam
otak serta cidera kepala yang disebabkan suatu kecelakaan lalu lintas. Diagnosis
Aneurisma sulit dilakukan atau terlambat untuk diketahui. Seorang dokter anestesi dituntut
ektra hati hati dalam membius pasien dengan cara memantau hemodinamik dan menjaga
hemodinamik tidak mengalami gejolak yang tinggi untuk menghindari resiko pecahnya
aneurisma.
Defisiensi Sirkulasi Cerebral dunia, berkisar dari 1.1 sampai 92.3 per
100.000 orang. Insidens terendah pada
a. Aneurisma Arteri (1,3,7,,8) Timur pertengahan dan tertinggi pada
Pembuluh darah intracranial bersandar Jepang, Australia dan Scandinavia
dalam ruang subarachnoid, memberikan terutama Finlandia, dimana insiden
perforasi kecil pembuluh darah. sebanyak tiga kali di seluruh dunia.
Perdarahan dari pembuluh darah ini atau Tingkat spesifik usia untuk SAH
dari suatu aneurisma yang diasosiasikan tampaknya lebih tinggi pada mereka yang
terjadi secara primer kedalam ruang ini, berasal dari ras Afro karibian dibanding
berakibat SAH. Aneurisma cerebral Kaukasia. Tampaknya ada
adalah penyebab tersering Sub Arachnoid kecenderungan pada wanita dengan
Hemorarge (SAH) spontaneus, dengan laporan rasio laki-laki dibanding wanita
malformasi arterivenous perkiraan sekitar sekitar 1 : 1,8.(8)
6%, walaupun penyebab lain termasuk
trauma dan tumor. Aneurisma adalah pelebaran atau
menggelembungnya dinding pembuluh
Kejadian SAH aneurisma mempunyai darah, yang didasarkan atas hilangnya
insiden tahunan 10-20 per 100.000, dua lapisan dinding pembuluh darah,
meningkat secara konsisten dengan usia yaitu tunika media dan tunika intima,
sampai decade 60, dengan insiden sehingga menyerupai tonjolan/ balon.
tertinggi 55-60 tahun. Terdapat variasa Dinding pembuluh darah pada aneurisma
bermakna dalam insiden SAH di seluruh
ini biasanya menjadi lebih tipis dan hepatitis dan sirosis hati atau
mudah pecah. Sebenarnya aneurisma emfisema paru.
dapat terjadi di pembuluh darah mana Malformasi arteri venous (AVM)
saja di tubuh kita. Apabila aneurisma ini suatu hubungan abnormal antara
terjadi pada pembuluh darah otak, arteri dan vena
gejalanya dapat berupa sakit kepala yang Koarktasio aorta atau penyempitan
hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai aorta (arteri utama keluar dari
atau tidak disertai dengan muntah. jantung)
Komplikasi dari aneurisma dapat Sindrom Ehlers Danlos-gangguan
menyebabkan terjadinya pecahnya jaringan penghubung (umumnya
pembuluh darah di otak, yang juga jarang)
dikenal dengan stroke. Riwayat keluarga dengan aneurisma
Sebagian besar kejadian aneurisma aorta Wanita
adalah kongenital dan ditemukan pada Displasia fibromuskular-penyakit
dasar otak biasanya pada sirkulus wilisi, arterial, penyebab tidak diketahui,
aneurisma biasanya asimptomatik sampai yang paling sering sering
menjadi besar dan melibatkan banyak mempengaruhi arteri medium dan
jaringan disekitarnya seperti menekan besar pada wanita muda sampai usia
kiasma optikus dan biasanya ditandai pertengahan.
dengan nyeri kepala hebat. Teleangiectasia hemorrhagic
herediter, gangguan genetik
Tanda-tanda terjadinya aneurisma adalah pembuluh darah cenderung
peningkatan tekanan intrakranial yang membentuk pembuluh darah yang
cepat dengan tanda khas adalah sakit kurang kapiler suatu arteri dan vena.
kepala, mual,muntah, kekakuan dileher Sindrom Klinefelter, suatu kondisi
serta kesadaran yang berkabut. genetik pada pria dimana ekstra
kromosom X.
Aneurisma intrakranial sering ditemukan Sindrom Noonan, gangguan genetik
ketika terjadi ruptur yang dapat yang menyebabkan perkembangan
menyebabkan perdarahan dalam otak atau abnormal banyak bagian dan sistem
pada ruang subarahnoid, sehingga dari tubuh.
menyebabkan perdarahan subarahnoid.
PCD-Polycystic Kidney Disease,
Perdarahan subarahnoid dari suatu ruptur
gangguan genetik dengan
atau aneurisma otak dapat menyebabkan
karakteristik pertumbuhan banyak
terjadinya stroke hemoragik, kerusakan
kistik berisi cairan dari ginjal, PCKD
dan kematian otak(3).
adalah penyakit medis paling umum
Faktor risiko turunan diasosiasikan diasosiasikan dengan aneurisma
dengan formasi aneurisam dapat sakular.
termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi : Sclerosis Tuberous, tipe sindrom
neurokutaneus yang dapat
Defisiensi alfa glukosidase- defisiensi menyebabkan tmor tumbuh dalam
parsial atau lengkap enzim lisosomal, otak, sumsum tulang belakang, organ
alfa glukosidase. Enzim ini penting dan tulang.
untuk memecah glikogen dan
mengubahnya menjadi glukosa. Faktor risiko didapat diasosiasikan
Defisiensi alfa 1 antitripsin, suatu dengan pembentukan aneurisma
penyakit herediter yang menuju pada termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi:
KLASIFIKASI
Pembagian aneurisma adalah sebagai
berikut :
1. Kongenital (aneurisma sakuler) 4.9%
2. Aneurisma mikotik (septik) 2,6%
3. Aneurisma arteriosklerotik
4. Aneurisma traumatik 50-76,8%