Anda di halaman 1dari 71

JAI

Volume I Nomor 02, Juli 2009

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia
melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi
(IDSAI) Jawa Tengah
JAI
Jurnal Anestesiologi Indonesia Sejawat terhormat,

Pelindung: Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini


 Dekan Fakultas Kedokteran memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Universitas Diponegoro
 Ketua Program Studi Anestesiologi Diantaranya adalah mengenai efek sedasi
dan Terapi Intensif FK UNDIP midazolam pada variasi genetika Cyp2c19, skor
 Ketua Ikatan Dokter Spesialis histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,
Anestesiologi dan Reanimasi pengaruh Suksinilkolin terhadap kadar Kreatin
Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa
Tengah
Fosfokinase dan pretreatment Magnesium Sulfat
untuk mencegah peningkatan TIO akibat
Ketua Redaksi: Suksinilkolin.
dr. Uripno Budiono, SpAn
Dua tinjauan pustaka, mengenai peningkatan
Wakil Ketua Redaksi: tekanan intrakranial dan regulasi aliran darah
dr. Johan Arifin, SpAn, KAP
serebral diharapkan menambah pengetahuan kita
Anggota Redaksi: dalam bidang anestesi.
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn Semoga bermanfaat.
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA Salam,
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Uripno Budiono, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn,
dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med

Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO

Seksi Usaha:
dr. Mochamat

Administrasi:
Maryani, Nik Sumarni

Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per


tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326) Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, hendaknya mencantumkan artikel tersebut
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346. sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal
Sukmiasi Sismadi, Uripno Budiono
Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena 65
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM
dan PM dari CYP2C19.

Curniawati Trisasi, Marwoto


Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah : Pada Infiltrasi 72
Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka
Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR pada
kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR pada
proses penyembuhan luka.

R. Cristianto Nugroho, Abdul Lian Siregar


Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar Kreatin 82
Fosfokinase Akibat Suksinilkolin
Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun
kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium
dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar
kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi.

Imam Suyuti, IGN Panji, Mohamad Sofyan Harahap


Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan 90
Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin
Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien
yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatment
atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan
intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.

TINJAUAN PUSTAKA
Igun Winarno, Mohamad Sofyan Harahap
Pemantauan Tekanan Intra Kranial 101
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan
memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian
dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat
berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan
nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,
penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra
kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.

Iwan Dwi Cahyono, Jati Listiyanto, Mohamad Sofyan Harahap


Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral 120
Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar
peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran
darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk
menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi
darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi
dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena

Sukmiasi Sismadi*, Uripno Budiono*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: The cytochrome P450 plays an important role in the metabolism of many
drugs, chemicals and carcinogens. CYP2C19 is often a major concern because of the high
difference in each individual and each population. Based on the capacity of CYP2C19 in
the metabolism sustrat, a person can be classified as extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) and poor metabolizers (PM). Which has the effect of
midazolam sedation, anxiolytic, and anterograde amnesia is metabolized through the
CYP2C19 enzyme. These drugs are often used as a premedication drug or as a co-
induction. In clinical practice that is common with the usual dose of midazolam, not all
patients show the expected effect. Therefore, the study of genetic influences on intravenous
midazolam biotransformation.
Objectives: Assess the effects of intravenous midazolam on the EM genotype, IM and PM
Methods: The study 24 patients undergoing elective surgery in the installation department
of the Central Surgical Dr Kariadi Semarang, inclusion and exclusion criteria, with ASA
physical status I. Previously people with an explanation of the procedures that will be
undertaken and expressed willingness in the sheet informed consent. Desain phase II
clinical trials research using cross sectional study to assess the effects of midazolam on the
body's metabolic functions. Allele / CYP2C19 polymorphisms were identified by PCR-
RFLP technique.
Results: The results showed the general characteristics of patients with no laboratory
abnormalities, had no complications or side effects of midazolam. Sedation score 5
minutes after administration of midazolam there were no significant differences between
men and women (3.3 ± 0.59), and found no significant association between age with the
sedation score (r = 0.250, P = 0.183). CYP2C19 genotype distribution was found
respectively 6 (20%) of EM, 16 (53.3%) IM and eight (26.7%) PM. These three genotypes
there were no significant differences by age, sex and sedation score.
Conclusion: There is no significant relationship between the scores of sedation with
genotypes EM, IM and PM of CYP2C19.

Keywords: Intravenous Midazolam, metabolism, CYP2C19

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 65


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap
individu maupun tiap populasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam metabolisme
sustrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Midazolam yang mempunyai
efek sedasi, ansiolitik dan anterograde amnesia dimetabolisme melalui enzim CYP2C19.
Obat ini sering digunakan sebagai obat premedikasi ataupun sebagai koinduksi. Pada
praktek klinis sering dijumpai dosis midazolam yang lazim, ternyata tidak semua pasien
menunjukkan efek yang diharapkan. Diteliti seberapa besar pengaruh genetik terhadap
biotransformasi midazolam intravena.
Tujuan: Menilai efek midazolam intravena pada genotipe EM, IM dan PM
Metode: Penelitian pada 24 pasien yang menjalani bedah elektif di Instalasi Bedah Sentral
RSUP Dr Kariadi Semarang, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan status
fisik ASA I. Sebelumnya penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan
dijalani serta menyatakan kesediaannya dalam informed consent. Desain penelitian uji
klinik fase II ini menggunakan cross sectional untuk menilai efek midazolam terhadap
fungsi metabolisme tubuh. Alel/polimorfisme CYP2C19 diidentifikasi dengan tehnik PCR-
RFLP.
Hasil: Dari hasil penelitian menunjukkan karakteristik umum penderita tidak terdapat
kelainan laboratorium, tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap
midazolam. Skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam midazolam tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (3,3 ± 0,59), serta tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antar usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250 ;
P=0,183). Distribusi genotip CYP2C19 ditemukan masing-masing 6 (20%) EM, 16
(53,3%) IM dan 8 (26,7%) PM. Ketiga genotip tidak terdapat perbedaan yang bermakna
dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi.
Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan
genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.

Kata Kunci : Midazolam intravena, metabolisme, CYP2C19

66 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN
Biotransformasi atau metabolisme obat
Dosis dan frekuensi yang diperlukan adalah proses perubahan struktur kimia
untuk mencapai kadar obat yang efektif obat yang terjadi dalam tubuh dan
dalam darah dan jaringan bervariasi dikatalisa oleh enzim. Pada proses ini
karena adanya perbedaan individu di molekul obat diubah menjadi lebih polar
dalam metabolisme dan eliminasi obat. (lebih mudah larut dalam air) dan kurang
Perbedaan ini ditentukan oleh faktor larut dalam lemak sehingga lebih mudah
genetik dan non genetik seperti umur, diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
jenis kelamin, fungsi hati, irama umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
sirkardian, suhu tubuh dan faktor-faktor biotransformasi sangat berperan dalam
nutrisi serta pemaparan bersamaan mengakhiri kerja obat. Akan tetapi, ada
terhadap induser dan inhibitor beberapa obat yang metabolitnya masih
metabolisme obat. Perbedaan individu mempunyai aktifitas farmakologik yang
dalam kecepatan metabolisme juga sama atau berbeda dengan obat asalnya
tergantung pada sifat obat sendiri. Jadi dan yang dapat menyebabkan efek toksik
dalam individu yang sama, kadar steady obat. Beberapa obat lain yang merupakan
state plasma dapat mencerminkan suatu calon obat (prodrug) justru diaktifkan
variasi yang sangat besar antara 2 sampai oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit
30 kali dalam metabolisme satu obat.1,2,3 yang aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut atau ekskresi
Sitokrom P450 berperan penting dalam yang mengakhiri kerjanya. 1,2,3,4,5
banyak metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi Pada tahun 1977, Kupfer dan kawan-
perhatian utama karena tingginya kawan melaporkan metabolisme
perbedaan di tiap individu stereooselektif dari mephentoin dan
maupunpopulasi. Berdasarkan kapasitas metabolit N-dimethyl pada hewan.6
CYP2C19 dalam memetabolisme Setelah itu ditemukan bahwa 4
substrat, seseorang dapat dikelompokkan hydroxilatixylate dari s-mephenytoin
sebagai extensive metabolizers (EM), bersifat polimorfik, sekitar 3% dari
intermediate metabolizer (IM) dan poor Kaukasian yang PM.
metabolizer (PM). Konsentrasi
cycloguanil yang merupakan metabolit Dua defek pada gen CYP2C19
dari proguanil, berbeda secara bermakna bertanggung jawab pada metabolisme
diantara ketiga grup berdasarkan jumlah yang buruk dari s-mephenytoin yang
dari alel mutan (Kruskal Wallis, P<0,05). diperlihatkan oleh Morais dan kawan-
Hasil ini menggambarkan hubungan kawan. Mutan M1 disebabkan oleh
antara genotip CYP2C19 dan G681A mutasi pada exon 5, yang
metabolisme proguanil, serta membentuk pada tempat penyambungan
4
peningkatan suatu efek dosis gen. yang menyimpang. Mutasi ini merusak

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 67


Jurnal Anestesiologi Indonesia

tempat pembelahan sel pada DNA Peningkatan konduksi klorida


melalui tes PCR yang dapat menyebabkan interaksi benzodiazepin
dikembangkan. Midazolam (8-chloro-6- dengan GABA yang menyebabkan
(2-fluorophenyl)-1-methyl-4Himidazol- peningkatan frekuensi kejadian
(1,5-a)(1,4) benzodiazepine) merupakan terbukanya saluran. Efek ini mungkin
benzodiazepine agonist yang mempunyai sebagian disebabkan oleh meningkatnya
sifat ansiolitik, sedatif, antikonvulsif dan afinitas untuk GABA.7,9
anterograd amnesia.7,8
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
Obat ini banyak digunakan perioperatif. pengaruh midazolam intravena pada efek
Sediaan komersial dibuffer pada pH 3,5 sedasi pasien dengan genotipe EM, IM
untuk menjaga kestabilan dalam air, dan PM.
potensinya 1,5 – 2 kali diazepam.
Midazolam pada pH netral dan basa METODE
larut dalam air dan dapat dicampur dalam Penelitian ini merupakan cross sectional
larutan infus seperti NaCl 0,9% atau yang akan menilai efek midazolam
glukosa 5% yang tetap stabil secara fisik terhadap fungsi metabolisme tubuh.
maupun kimiawi untuk 24 jam pada suhu Sampel penelitian merupakan penderita
kamar.8 yang menjalani operasi elektif dengan
anestesi umum. Di Instalasi Bedah
Asam gama-aminobutirat (GABA) adalah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.
penghambat neurotransmiter yang utama Diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan
pada SSP. Penelitian elektrofisiologi eksklusi dan drop out.
menunjukkan bahwa benzodiazepin Kriteria Inklusi : umur 16 sampai <40
menguatkan neurotransmisi GABAergik tahun (dewasa muda), BMI (Body Mass
pada semua tingkat neuroaksis, yang Index) 20-25Kg/m2, status fisik ASA I.
mencakup medula spinalis, hipotalamus, Kriteria Eksklusi : mengkonsumsi obat-
hipokampus, substansia nigra, korteks obatan yang dapat mempengaruhi
serebeli dan korteks serebri. metabolisme obat penelitian dalam 1
minggu preoperasi, tidak ada riwayat
Benzodiazepin tampaknya meningkatkan penyakit hati, gangguan metabolisme
efisiensi inhibisi sinaptik GABAergik tubuh dan sering terpapar pestisida.
(melalui membran hiperpolarisasi) yang Kriteria drop out : Penderita mengalami
menyebabkan penurunan kecepatan efek samping yang memerlukan terapi
pencetusan neuron yang krisis dalam sebelum dinilai.
banyak regio otak. Benzodiazepin tidak
menggantikan GABA, tetapi tampaknya Sampel yang diperlukan dalam penelitian
meningkatkan efek GABA tanpa aktivasi ini sebanyak 24 orang. Genotip
reseptor GABA secara langsung atau CYP2C19 diperiksa dengan
saluran klorida yang berhubungan. menggunakan teknik PCR-RFLP

68 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

(Polymerase chain reaction-restriction data komputer. Analisa data meliputi


length polymorphism). DNA diisolasi analisis deskriptif dan uji hipotesis
dari darah tepi dengan menggunakan menggunakan program SPSS 13.0.
teknik standar yang digunakan
dilaboratorium bioteknologi pusat HASIL
kegiatan penelitian UNHAS. Jumlah subjek penelitian 30 orang yang
terdiri dari 15 perempuan dan 15 laki-laki
Setelah mendapatkan informed consent, dengan berbagai jenis tindakan operasi.
subyek dipuasakan 6 jam sebelum operasi Tidak ditemukan kelainan laboratorium
dan dibawa keruang operasi tanpa jalur pada semua subjek penelitian. Usia rata-
intravena dan premedikasi. Setelah rata subjek penelitian 30,6 ±8,18 tahun,
sampai di ruang operasi dilakukan tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pemasangan jalur intravena sekaligus pada usia rata-rata antara perempuan
mengambil sampel darah sebanyak 10 cc (29,66 ± 7,04 tahun) dan laki-laki (31,53
dan infus NaCl 0,9%, kemudian dipasang ±9,34 tahun), (p>0,05). Semua subjek
monitor standar rutin dan diberikan yang mengikuti penelitian ini tidak
midazolam 0,07 mg/kgbb intravena mengalami komplikasi atau efek samping
bolus. Waktu pemberian midazolam terhadap midazolam.
disebut menit ke-0 dan pada menit ke-5
dinilai skor sedasi dengan 4 skala Nilai rata-rata skor sedasi 5 menit setelah
pengukuran seperti yang digunakan oleh pemberian midazolam 3,3 ± 0,59. Tidak
field et al (Field Score) 7-10. terdapat perbedaan yang bermakna nilai
skor sedasi pada perempuan (3,4 ±0,5)
Skor : dan laki-laki (3,2 ±0,67), (p<0,05). Tidak
1. Aktif (Alert/active) ditemukan hubungan yang bermakna
2. Bangun/tenang (Awake/calm) antara usia dengan nilai skor sedasi
3. Mengantuk, respon terhadap suara (r=0,250; P-0,183).
(drowsy but respon verbal)
4. Tertidur (asleep) Dari 30 subjek yang diteliti, ditemukan
distribusi genotip CYP2C19 masing-
masing 6 (20%) genotip extensive
Pasien kemudian diinduksi sementara itu
metabolizer (EM), 16 (53,3%)
sampel darah dimasukkan kedalam kotak
intermediate metabolizer (IM) dan 8
khusus sebagai transport dan dibawa ke
(26,7%) poor metabolizer (PM). Tidak
laboratorium biomolekuler untuk analisa
terdapat perbedaan yang bermakna antara
genetik tipe dari sitokrom P450 pasien
ketiga genotip tersebut dengan usia, jenis
termasuk poor/ normal/ extensive
kelamin maupun skor sedasi.
metabolism).

Data yang terkumpul selanjutnya diberi


kode, ditabulasi dan dimasukkan sebagai

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 69


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PEMBAHASAN bermakna antara skor sedasi dengan


Telah diteliti nilai skor sedasi pada 30 genotip PM dan EM dari CYP2C19
subjek yang mendapat 0,07 mg/kgBB belum dapat menyingkirkan peran faktor
midazolam intravena dikaitkan dengan farmakokinetik.
genotip dari CYP2CI9. Nilai skor sedasi
didasarkan atas respon kognitif subjek 5 Bila faktor farmakokinetik lebih
menit setelah diberikan midazolam berperan, maka penelitian ini
intravena. Nilai skor sedasi yang menghasilkan dua hal penting dalam
diperoleh pada penelitian ini berkisar 2 pemberian midazolam. Pertama,
sampai dengan 4. Variasi dalam nilai skor midazolam merupakan pilihan yang aman
sedasi setelah pemberian midazolam bagi subjek yang mempunyai genotip PM
dapat dijelaskan melalui 2 hal : variasi untuk CYP2C19, karena enzim ini bukan
kadar plasma midazolam (variasi merupakan jalur utama metabolisme
farmakokinetik) dan variasi dalam midazolam, tetapi menjadi jalur utama
sensitifitas terhadap midazolam (variasi metabolisme diazepam. Kedua,
farmakokinetik) diantara subjek yang pemberian midazolam bersama dengan
diteliti. obat-obat yang menghambat CYP3A4,
seperti diazepam, anti jamur dan opioid
Variasi skor sedasi pada penelitian ini akan mempunyai konsekuensi klinik
kemungkinan lebih disebabkan oleh yang perlu diwaspadai. Obat-obat di atas
faktor farmakodinamik dibandingkan akan menghambat aktifitas enzim
faktor farmakokinetik. Beberapa tersebut, sehingga kemampuannya untuk
penelitian sebelumnya telah memetabolisme midazolam akan
membuktikan bahwa orang dengan usia menurun. Konsekuensinya adalah
lanjut lebih sensitif terhadap efek sedasi memanjangnya amnesia dan terjadinya
benzodiazepin. Orang usia lanjut gangguan psikomotor.11
membutuhkan dosis lebih rendah
dibandingkan orang yang lebih muda SIMPULAN
untuk mencapai efek sedasi yang sama. Dari hasil penelitian ini, disimpulkan
Pada penelitian ini dapat dilihat pada dua bahwa tidak terdapat hubungan yang
subjek dengan usia muda (16 tahun) nilai bermakna antara nilai skor sedasi dengan
sedasinya hanya dua setelah pemberian genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.
midazolam. Ada tiga hal yang kemungkinan dapat
menjelaskan temuan tersebut. Pertama,
Walaupun faktor farmakodinamik kadar midazolam dalam plasma
dianggap lebih berperan dalam mengikuti model dua kompartemen dan
menentukan skor sedasi pada penelitian obat masih dalam fase distribusi, belum
ini, tidak berarti bahwa faktor berada dalam fase eliminasi, lima menit
farmakokinetik sama sekali tidak setelah pemberian intravena. Kedua,
berperan. Tidak adanya hubungan yang CYP2C19 bukanlah enzim utama yang

70 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

memetabolisme midazolam. Ketiga, geographical distributions of CYP2C19


faktor farmakodinamik lebih berperan alleles in the populations of southeast asia.
Adv Exp Med Biol. 2003.
dibandingkan faktor farmakokinetik,
5. Lamba JK, Dhiman RK, Kohli KK.
walaupun faktor ini tidak dapat CYP2C19 genetic mutations in North Indian.
diabaikan. Perlu dilakukan penelitian Clin Pharmacol Ther 2000; 68:328-35.
mengenai efek sedasi midazolam 6. Kimura M, leiri I, Mamiya K, Urae A,
dikaitkan dengan kadar midazolam dalam Higuchi S, Genetic Polymorphism of
cytochrome P450s, CYP2C19 and CYP2C9
darah. Selain itu untuk menilai apakah
in Japanese population. Ther Drug Monit
faktor farmakodinamik dan faktor 1998;20:243-7
farmakokinetik yang lebih berperan 7. Amrein R,Hetzel W, Allen SR. Co-induction
dalam efek sedasi midazolam. of Anaesthesia: The Rationale.Euro J of
Anaesth 1995;12:5-11.
8. Clarke RSJ. Intravenous Anaesthetic Agent:
DAFTAR PUSTAKA
Induction and Maintenance. In: Healy TEJ,
1. Holford NHG, Benet. LZ. Farmakokinetik &
Cohen PJ,eds. A Practice of Anaesthesia,
Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang
6thed London: Edward Arnold 1995: 91-101.
rasional & Waktu Kerja Obat. Dalam :
9. Collin VJ. Intravenous Anesthesia:
Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar &
Nonbarbiturates-Nonnarcotics. In: Collin VJ,
Klinik. Terjemahan Anwar Agus. Jakarta :
Ed. Principles of Anesthesiology, 3rd ed.
EGC, 1998 : 36-51)
Philadelphia: Lea and Febiger 1993: 756-63.
2. Correia MA. Biotransformasi Obat. Dalam :
10. Setiawat A, Setiabudy R. Adrenergik.
Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar
Dalam: Gan S. Farmakologi dan Terapi.
&Klinik. Terjemahan Anwar Agus, Jakarta :
Edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI
EGC, 1998 : 53-64)
1987: 49-63.
3. Setiawati A, Bustami ZS, Setiabudy R.
11. Hamaoka N, Oda I and Asada A.
Pengantar Farmakologi. Dalam : Gan S.
Cytochrome P4502B6 and 2C6 do not
Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta:
metabolize midazolam: kinetik analisis and
Bagian Farmakologi FKUI, 1987 : 49-63.
inhibition study with monoclonal antibodies.
4. Yusuf I, Djojosubroto MW, Ikawati Lum K,
Br J Anaesth 2001; 86:540-4.
Kaneko A, Marzuki M Ethnic and

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 71


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah: Pada Infiltrasi


Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka

Curniawati Trisasi*, Marwoto*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Postoperative acute pain stimulates clinical pathophysiologic symptoms,
depress immune responses which leads to delayed wound healing process.
Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, proven good for pain control.
Angiogenesis plays an important role in wound healing. C-erbB-2 is a family of epidermal
growth factor receptor that becomes actively mitogenic when binds to EFGR ligand, and
stimulates cell proliferation. Levobupivacaine infiltration enhances c-erbB-2 expression,
leads to endothelial blood vessel proliferation and improves wound healing.
Objective: To prove the difference between histologic score of c-erbB-2, endothelial blood
vessel proliferation of the wound healing process with and without levobupivacaine
infiltration and to prove the correlation between c-erbB-2 and endothelial blood vessel
proliferation.
Methode: This study was an animal experimental study with randomized post test only
control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Groups I was
the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without
levobupivacain infiltration.Group III, rats that got incisions and levobupivacaine
infiltration every 8 hours for 24 hours. C-erbB-2 at the site of the wound was analized
using the histologic score from samples with immunohistochemistry staining and the
amount of AgNOR expressed by mAgNOR and pAgNOR. The samples were taken from
tissue biopsy on 5th day. Data were analyzed using Kruskal Wallis test. The correlation
between histologic score c-erbB-2 and the amount of AgNOR were analyzed using
Spearmans correlation test.
Results: This study showed that the tissue with levobupivacaine had higher c-erbB-2
histologic score (7,2±2,16 vs 9,9±1,29), and mAgNOR (5,94±0,15 vs 11,86±1,02), than
tissue without levobupivacaine that significantly different (p=0,015 and p=0,02). There
was a correltion between c-erbB-2 and mAgNOR (π=0,693).
Conclusions: The expressions levels c-erbB-2 and mAgNOR in levobupivacaine
infiltration group are higher than without levebupivacaine infiltration group. There is a
correlation between the c-erbB-2 and mAgNOR.

Keywords: Levobupivacaine, c-erbB-2, AgNOR, wound healing.

72 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri akut paska bedah memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis,
menekan respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan
menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang efektif
mengurangi nyeri akut. Proses angiogenesis merupakan pilar utama penyembuhan luka.
C-erbB-2 adalah reseptor mitogenik yang ekspresinya pada endotel pembuluh darah bila
berikatan dengan ligand yang sesuai menyebabkan sel berproliferasi. Infiltrasi
levobupivakain akan meningkatkan ekspresi c-erbB-2 dan proliferasi sel endotel pembuluh
darah sehingga mempercepat penyembuhan luka.
Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan skor histologi c-erbB-2 dan proliferasi endotel
pembuluh darah antara tikus yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak pada
proses penyembuhan luka tikus Wistar.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test
only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3
kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisis subkutis tanpa infiltrsi levobupivakain,
kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain setiap 8 jam selama 24
jam.Ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR yang dihitung sebagai mAgNOR dan pAgNOR
pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan
secara imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari kelima. Data
dianalisis dengan uji beda Kruskal-wallis. Hubungan antara c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil: Rerata skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR pada kelompok infiltrasi
levobupivakain lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain, yaitu
untuk c-erbB-2 7,2±2,16 vs 9,9±1,29 dan mAgNOR 5,94±0,15 vs 11,86±1,02, dan secara
statistik berbeda bermakna (p=0,015 dan p=0,02). Hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR secara statistik bermakna (r=0,693;p=0,004). Pada pAgNOR tidak didapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok tersebut.
Simpulan: Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR
pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR pada proses penyembuhan luka.

Kata kunci : Levobupivakain, c-erbB-2, AgNOR, penyembuhan luka

PENDAHULUAN kerusakan jaringan, regenerasi sel


Penyembuhan luka adalah faktor penting parenkim, migrasi dan proliferasi sel
paska operasi yang selalu dihadapi dan parenkim, sintesis protein extra cellular
merupakan fenomena kompleks yang matrix (ECM), remodeling jaringan ikat
melibatkan berbagai proses meliputi dan komponen parenkim, kolagenasi dan
inflamasi akut menyusul terjadinya akuisisi kekuatan luka.1,2

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 73


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Dokter bedah membuat luka pada tiap Banyak ditemukan permasalahan dalam
pembedahan. Pasca bedah luka ini penyembuhan luka, seperti waktu
mengakibatkan nyeri karena adanya penyembuhan yang lama, terutama bila
kerusakan jaringan. Nyeri akut sering terjadi penyembuhan secara sekunder.
menimbulkan keadaan yang tidak Nyeri menjadi stressor yang memicu
menguntungkan bagi penderita sepert timbulnya gejala klinis patofisiologis,
kegelisahan, perubahan hemodinamik, memicu modulasi respon imun, sehingga
gangguan pernafasan, retensi urin, ileus menyebabkan penurunan sistem imun
dan lain-lain.3,4 yang berakibat pemanjangan waktu
penyembuhan luka.1
Keadaan tersebut dapat menghambat
penyembuhan luka, mobilisasi yang Rasa nyeri merupakan salah satu
terganggu dan lama rawat di rumah sakit pencetus peningkatan hormon
bertambah. Luka pasca bedah di Inggris glukokortikoid. Infiltrasi anestetik lokal,
Raya, menghabiskan dana National dalam hal ini levobupivakain dapat
Health Services minimal sebesar 1 milyar mengurangi intensitas nyeri, sehingga
poundsterling setiap tahunnya.3,4 menurunkan sekresi hormon
glukokortikoid dan menghilangkan salah
Pada proses penyembuhan luka satu faktor penghambat penyembuhan
pembentukan dan perkembangan luka.5,6
pembuluh darah atau angiogenesis
merupakan hal yang sangat penting. Tepi Di tingkat sel proses angiogenesis
sel endotel pembuluh darah mengalami merupakan faktor yang penting dalam
proliferasi cepat, terjadi pertumbuhan penyembuhan luka. Proses ini merupakan
tunas baru dari endotel pembuluh darah proliferasi endotel yang terus menerus
yang sudah ada, membentuk jaringan membentuk jaringan vaskuler yang
vaskularisasi baru.1 menunjang semua kebutuhan sel selama
fase penyembuhan luka.1 Banyak faktor
Terdapat sejumlah faktor sistemik dan mempengaruhi proses proliferasi endotel
lokal yang mengganggu penyembuhan ini, baik faktor eksogen maupun endogen.
luka. Faktor lokal yang berpengaruh Salah satu faktor endogen yang
terhadap penyembuhan luka antara lain mempengaruhi proliferasi sel adalah
infeksi, faktor mekanik, benda asing, Epidermal Growth Factor (EGF).7
macam, lokasi dan ukuran besarnya
luka.3 Faktor sistemik yang C-erbB-2 adalah glikoprotein yang lebih
mempengaruhi penyembuhan luka antara dari 50% strukturnya sama dengan
lain nutrisi, status metabolik, status reseptor EGF.7 Bila sel mengekpresikan
sirkulasi darah dan hormon reseptor ini dan kemudian reseptor
3
glukokortikoid. berikatan dengan ligan yang cocok
(epidermal growth factor receptor

74 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ligands), sel yang bersangkutan akan kelompok minimal 5 ekor, pada


mengalami proliferasi.8 penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan 15 ekor, masing-masing 5
Salah satu marker proliferasi sel adalah ekor untuk tiap kelompok (pemeriksaan
dengan pengecatan Argyrophilic hari ke5).9
Nucleolar Organizer Region (AgNOR),
dimana ekspresinya akan meningkat pada Randomisasi dilakukan dengan
fase G1 dari sel, dan mencapai mengelompokkan 15 ekor tikus secara
puncaknya pada saat transisi dari fase G1 random menjadi 3 kelompok, yaitu :
ke fase S, dan akan menurun pada fase  Kelompok 1 (K1 : tikus tanpa
G2.8 perlakuan) : 5 ekor tikus
 Kelompok 2 (K2 : infiltrasi tanpa
Berdasarkan penjelasan diatas anestetik lokal) : 5 ekor tikus
dirumuskan masalah sebagai berikut :  Kelompok 3 (K3 : dengan infiltrasi
Apakah infiltrasi levobupivakain anestetik lokal) : 5 ekor tikus
menyebabkan perbedaan ekspresi c-erbB-
2, proliferasi endotel pembuluh darah
pada proses penyembuhan luka tikus Penelitian dan pengumpulan data
Wistar. Penelitian ini bertujuan untuk dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada
membuktikan adanya hubungan proses tikus dan proses pengambilan jaringan
penyembuhan luka dengan pemberian dilakukan di Laboratorium Pusat Antar
infiltrasi levobupivakain. Universitas (PAU) Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Proses pembuatan
METODE preparat dan pewarnaan dilakukan di
Penelitian ini merupakan penelitian Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
eksperimental laboratorik dengan desain Kedokteran UNS Surakarta dan UNDIP
“Randomized post test only control group Semarang.
design”. Sampel penelitian adalah tikus
Wistar yang diperoleh dari Fakultas Setelah data terkumpul dilakukan data
peternakan UGM, Yogyakarta. Kriteria cleaning, coding dan tabulasi. Analisa
inklusi tikus Wistar betina keturunan data meliputi analisis deskriptif dalam
murni, belum pernah digunakan untuk bentuk rerata, standart deviasi, median
penelitian, umur 2 sampai 2,5 bulan, dan grafik dan uji hipotesis. Data
berat badan 250-300 gram, tidak terdapat dikumpulkan, diolah serta dinyatakan
kelainan anatomis. Kriteria ekslusi adalah dalam rerata ± simpang baku (mean ±
tikus sakit selama masa adaptasi, tikus SD) disertai kisaran (range). Dilakukan
mati selama masa adaptasi dan perlakuan. uji homogenitas menggunakan uji
Lavene. Distribusi data variabel c-erb-B2
Menurut WHO besar sampel hewan coba dan mAgNOR dan p AgNOR diuji
untuk penelitian jangka pendek tiap dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk
karena sesuai dengan uji non parametric

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 75


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dan n<30. Selanjutnya dilakukan uji beda dalam bentuk table dan grafik. Analisis
non parametrik untuk 3 variabel (c-erb- data menggunakan program SPSS 11.0
B2 dan mAgNOR dan pAgNOR) for windows.10
menggunakan uji Kruskal Wallis. Uji
beda parametrik untuk 2 variabel berskala HASIL
rasio (c-erbB-2) menggunakan Pada penelitian ini dilakukan pengujian
independent sample t-test. efek perlakuan terhadap ekspresi c-erb-2
dan nilai AgNOR (mAgNOR dan
Untuk menilai hubungan (c-erbB-2) pAgNOR) pada hari ke lima. Hasilnya
terhadap nilai AgNOR (mAgNOR dan adalah sebagai berikut :
pAgNOR) digunakan uji korelasi yang Dari tabel 1 untuk uji homogenitas nilai
sesuai dengan uji non parametrik dengan rerata berat badan pada ketiga kelompok
n<30 yaitu uji Spearman (apabila uji berbeda tak bermakna (p=0,847). Berarti
normalitas data hasilnya normal). Dengan ketiga kelompok berasal dari populasi
batas derajat kemaknaan p ≤ 0,05 dengan yang homogen sehingga layak untuk
95% interval kepercayaan. Penyajian dibandingkan.

Tabel 1. Data berat badan tikus


Kelompok
Variabel I II III P
Berat badan 255,0±10,00 255,4±9,48 257,0±8,72 0,874*
p<0,05
Data dinyatakan dalam rerata±simpang baku
*Uji homogenitas variasi

Tabel 2. Skor histologi c-erbB-2 pada hari ke 5


Skor histologi c-erbB-2
No.
K1 K2 K3
1. 3,4 7,4 10,7
2. 3,7 10,7 8,7
3. 3,0 8,7 10,9
4. 7,8 5,6 10,9
5. 6,4 4,0 8,3
Keterangan : Satuan dalam skor histologi

76 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) pada hari ke 5


Nilai AgNOR
No.
mAgNOR pAgNOR
K1.1 2,4 2
2 3,2 2
3 2,1 3
4 1,4 2
5 2,2 1
K2.1 5,7 3
2 6,0 2
3 6,1 4
4 5,9 1
5 6,0 2
K3.1 11,0 2
2 12,6 2
3 11,9 3
4 10,7 3
5 13,1 3
Keterangan :
mAgNOR : Nilai mean AgNOR
pAgNOR : Prosentase AgNOR

Tabel 4. Nilai rerata c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR


Variabel Kel N Rerata Simpang Baku Minimal Maksimal
c-erbB-2 K1 5 4,86 2,11 3,0 7,8
K2 5 7,28 2,61 4,0 10,7
K3 5 9,90 1,29 8,3 10,9
mAgNOR K1 5 2,26 0,65 1,4 3,2
K2 5 5,94 0,15 5,7 6,1
K3 5 11,86 1,02 10,7 13,1
pAgNOR K1 5 2,00 0,7 1,0 3,0
K2 5 2,40 1,14 1,0 4,0
K3 5 2,60 0,55 2,0 3,0

Nilai rerata C-erbB-2 pada kelompok Tanpa levobupivakain dan dengan


dengan infiltrasi levobupivakain (K3) levobupivakain berbeda bermakna
lebih tinggi dibandingkan dengan (p=0,015), uji beda mAgNOR berbeda
kelompok tanpa infiltrasi obat tersebut bermakna (p=0,002) dan uji beda
(K2). Nilai rerata mAgNOR pada pAgNOR berbeda tidak bermakna
kelompok dengan infiltrasi (p=0,453). Rerata dari kelompok dengan
levibupivakain (K3) lebih tinggi levobupivakain, lebih tinggi daripada
dibandingkan dengan kelompok tanpa kelompok tanpa levobupivakain. Hal ini
infiltrasi obat (K2). Nilai rerata pAgNOR menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2
pada kelompok dengan infiltrasi secara bermakna lebih banyak
levobupivakain (K3) lebih tinggi dari dibandingkan pada tikus tanpa infiltrasi
kelompok tanpa infiltrasi obat (K2). levobupivakain.

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 77


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 5. Uji Normalitas rerata c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR


Variabel P Uji
I II III
c-erbB-2 0,109 0,783 0,017 Shapiro-Wilk
mAgNOR 0,968 0,029 0,497 Shapiro-Wilk
pAgNOR 0,600 0,725 0,010 Shapiro-Wilk
Ket : p≥0,05 berarti distribusi data normal

Distribusi data c-erbB-2, mAgNOR dan dan mAgNOR dengan infiltrasi


pAgNOR diuji menggunakan uji levobupivakain akan meningkat. Pada
normolitas Shapiro-Wilk karena sesuai kelompok kontrol (K1) ekspresi c-erbB-2
untuk uji non parametrik, jumlah sampel dan mAgNOR lebih rendah dari
kecil < 30. Data c-erbB-2 pada kelompok kelompok tanpa levobupivakain.
1&2 terdistribusi normal (p=0,109 dan
p=0,783). Data mAgNOR pada Dari tabel hubungan c-erbB-2 terhadap
kelompok 1 terdistribusi normal mAgNOR mempunyai koefisien korelasi
(p=0,968). Data pAgNOR pada π =0,693 dan p=0,004. Hasil ini berarti
kelompok 1 dan 2 terdistribusi normal ada hubungan bermakna c-erbB-2 dengan
(p=0,600 dan p=0,725). mAgNOR. Hubungan c-erbB-2 terhadap
pAgNOR mempunyai koefisien korelasi
Dari tabel 6, menunjukkan skor histologi π=0,312. Hasil ini berarti tidak ada
c-erB-2 antara kelompok tanpa hubungan c-erbB-2 dengan pAgNOR.
Diketahui nilai rerata c-erbB-2 dan Hubungan mAgNOR terhadap pAgNOR
mAgNOR dengan levobupivakain (K3) koefisien korelasinya π=0,335 berarti
lebih besar daripada kelompok tanpa tidak ada hubungan antara mAgNOR
levobupivakain (K2). Hal ini dengan pAgNOR.
menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2

Tabel 6. Uji beda antara kelompok c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR


Kelompok
Varia-bel Uji P
I (n=5) II (n=5) III (n=5)
c-erbB-2 4,860±2,118 7,280±2,613 9,900±1,288 Kruskal-Wallis 0,015
11,860±1,02
mAgNOR 2,260±0,647 5,940±0,152 Kruskal-Wallis 0,002
0
pAgNOR 2,000±0,707 2,400±1,140 2,600±0,548 Kruskal-Wallis 0,453
p<0,05 : berbeda bermakna, data dinyatakan dalam rerata±simpang baku

Tabel 7. Analisis hubungan c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR


Korelasi Spearman [r] p
c-erbB-2 – mAgNOR 0,693 0,004
c-erbB-2 – pAgNOR 0,312 0,257
mAgNOR-pAgNOR 0,335 0,222
*p<0,05
[r] : koefisien korelasi rho

78 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PEMBAHASAN Pada penelitian ini mengambil biopsi


Dalam penelitian ini 15 ekor tikus betina jaringan pada luka yang dilakukan pada
galur Wistar dewasa dibagi dalam 3 hari kelima, karena proses angiogenesis
kelompok, kelompok 1 adalah kelompok menjadi sangat aktif pada saat ini.11
kontrol yang tidak diberi perlakuan
apapun, kelompok 2 dilakukan insisi Untuk uji homogenitas ketiga kelompok
pada punggung, kemudian disuntik dilihat dengan variabel yang dapat diukur
dengan alat suntik kosong dan kelompok yaitu berat badan, dimana didapat hasil
3 diinsisi pada punggung dan diinfiltrasi statistik berbeda tidak bermakna. Berarti
levobupivakain pada sekitar luka dan kedua kelompok berasal dari populasi
dilihat perbedaannya terhadap skor yang homogen, pada umumnya tikus
histologi c-erbB-2, mAgNOR dan berasal dari satu indukan dimana
pAgNOR setelah hari kelima. mempunyai karakteristik yang mirip.
Dalam hal ini faktor bias pada hewan
Kelompok kontrol bertujuan untuk coba dapat dihindari. Hasil penelitian
mengetahui apakah terdapat ekspresi c- menunjukkan adanya ekspresi c-erbB-2
erbB-2 dan apakah ada aktivitas pada endotel pembuluh darah kelompok
proliferasi sel endotel pembuluh darah kontrol yang tidak diberikan perlakuan
dalam keadaan tidak ada rangsangan pada apapun. Samarut J pada penelitiannya
tikus yang tidak dilakukan insisi pada reseptor membran sitokin dan reseptor
punggungnya. hormon inti pada leukemogenesis dan
diferensiasi hemopoetik memperlihatkan
Pada penelitian ini dilakukan penilaian reseptor c-erbB normal diperlukan dalam
terhadap ekspresi c-erbB-2 dan nilai mengontrol pembelahan sel progenitor
AgNOR dengan tujuan untuk melihat eritrositik.12
apakah infiltrasi levobupivakain
mempengaruhi ekspresi c-erbB-2, yang Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 3
merupakan up regulator dan lebih tinggi dari kelompok 2, hal ini
angiogenesis. Proses angiogenesis menunjukkan bahwa infiltrasi ekspresi c-
dimulai bila reseptor pada permukaan sel erbB-2 pada endotel pembuluh darah,
berikatan dengan ligan yang cocok yang sedangkan mAgNOR pada kelompok 3
bersifat mitogenik, baik yang bersifat juga lebih tinggi dari kelompok 2 dan
mengaktifkan tirosin kinase pada kelompok kontrol, hal ini menunjukkan
permukaan membran maupun yang non bahwa infiltrasi levobupivakain
tirosin kinase, mengirimkan sinyal ke inti meningkatkan aktivitas proliferasi sel
sel yang selanjutnya akan terjadi aktivitas endotel pembuluh darah. Pada kelompok
mitotik dalam inti sel. Inti sel endotel 3 pAgNOR berbeda tidak bermakna, hal
pembuluh darah yang sedang membelah ini dapat karena aktivitas angiogenesis
memberikan pulasan positif pada yang terjadi pada proses penyembuhan
pengecatan AgNOR. luka bukan merupakan proliferasi yang

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 79


Jurnal Anestesiologi Indonesia

berlebihan seperti yang terjadi pada daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi
pertumbuhan tumor. levobupivakain. Hal ini berarti
proliferasi endotel pembuluh darah
Uji korelasi terhadap c-erbB-2 dan meningkat akibat dari infiltrasi
mAgNOR menunjukkan adanya levobupivakain
hubungan yang kuat, karena c-erbB-2
merupakan upregulator angiogenesis. Terdapat hubungan antara skor histologi
Korelasi c-erbB2 dengan pAgNOR tidak c-erbB-2 dan mAgNOR yang secara
menunjukkan adanya hubungan, juga statistik bermakna. Perlu dilakukan
antara mAgNOR dan pAgNOR.Ini penelitian yang melihat langsung
mungkin karena sifat proliferasi sel yang perbedaan proses penyembuhan luka
normal tinggi tidak kearah yang pada yang diinfiltrasi levobupivakain
berlebihan. dengan yang tidak. Pada pengecatan
AgNOR untuk melihat proliferasi pada
Pengamatan secara makroskopis endotel pembuluh darah untuk mendapat
mengenai jaringan luka dapat dilakukan hasil terbaik dapat dilakukan pemilihan
dengan pengambilan biopsi jaringan blok parafin dengan pengecatan
dengan waktu yang berbeda, sehingga hematoksilin eosin terlebih dahulu.
dapat dibandingkan yang diinfiltrasi
levobupivakain dengan yang tidak. DAFTAR PUSTAKA
Dengan demikian hasil yang diperoleh 1. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology
dapat menyeluruh. basic of disease. 6thed. Philadelphia:WB
Saunders Co, 1999.p. 21-20.
2. Constantinnides P. General pathobiology.
Dari hasil penelitian ini maka dalam 1sted. Connecticut: Appleton and
aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal Lange,1994.p. 173-81.
levobupivakain dapat dijadikan alternatif 3. Mast AB. Normal wound healing. In:
untuk mengendalikan nyeri akut paska Achauer B M, Eriksson E. eds. Plastic
surgery, indications, operations and
bedah sehingga penyembuhan luka dapat
outcomes. St Louis: Mosby, 2000.p. 37-53.
lebih baik. 4. Pedersen D. Accelerated surgical stay
programe. Annals of surgery 1994; 219:
SIMPULAN 374-81.
Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 5. Bardram L, Funch-Jensen P, Crawford ME,
Kehlet H. Recovery after laparoscopic
yang diinfiltrasi levobupivakain lebih
colonic surgery with epidural analgesia and
tinggi daripada kelompok yang tidak early oral nutrition and mobilitation. Lancet
diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti 1995; 345: 763-4.
ekspresi c-erbB-2 meningkat akibat dari 6. Webster EL, Torpy DJ, Elenkov IJ,
infiltrasi levobupivakain. Chrousos GP. Corticotropin releasing
hormone and inflammation. Annals of the
New York Academy of Sciences 1998; 840:
Nilai mAgNOR kelompok yang 21-32.
diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi

80 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

7. Carpenter G, Cohen S. Epidermal growth


factor. J Biol Chem 1990; 265: 7709.
8. Angiogenesis and stromal markers in
experimental and laryngeal tumor
development. [editorial]. 2002. Available
from:URL:http://herkules.oulu.fi/isbn95142
69497/html/i251889.html
9. World Health Organization. Research
guidelines for evaluating the safety and
efficacy of herbal medicines. New York:
WHO Publications, 1993.p. 37-41.
10. Wasito R. Imunihistokimia. Dalam:
pedoman kuliah immuno-histopatologi.
DepDikbud. Proyek pengembangan pusat
fasilitas bersama antar uuniversitas.
Yogyakarta: PAU Bioteknologi-Universitas
Gajah Mada, 1991. Hal. 36-80.
11. Pettersson N, Berggren P, Larsson M, Jeff
R, Thomsen J. Pain relief by wound
infiltration with bupivacaine or high dose
rovacaine after inguinal hernia repair. Reg
Anesth Pain Med 1999; 24: 569-75.
12. Samarut J. Nuclear hormone receptors
cytokine membrane receptors in the control
of chicken hematopoietic differentiation and
leukemogenesis. 2004. Available from:
URL:http://www.scilet.com/bioandbiosafety
/pab/pababs4.html

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 81


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar


Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin

R. Cristianto Nugroho*, Abdul Lian Siregar*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Succinylcholine is commonly used for intubating fascilitation in emergency
and day-case anesthesia. Most occured side effects of succinylcholine is fasciculation,
myalgia, and elevation of blood creatine phosphokinase level. Atracurium, like other
depolarizing muscle relaxants, had been proved as a gold standard for pretreatment
againts these side effects. Midazolam, that has been known as popular premedication drug,
has not been studied most for these utilities yet.
Objective: The aim of this study was to prove that pretreatment with midazolam 0,03
mg/Kg or atracurium 0,05 mg/Kg could reduce fasciculation, myalgia and elevation of
CPK level following succinylcholine administration.
Method: This study was designed as double blind randomly clinical trial on 54 patients
underwent elective surgery, 16–40 years age. ASA I-II and fullfill the inclusion criterias.
Before pretreatment drug had beengiven, a blood sample for preinduction creatine
phosphokinase level measurement were taken. Patients was divided into three groups of
pretreatment drugs, receiving midazolam 0,03 mg/Kg, atracurium 0,05 mg/Kg and NaCl
0,9% (control group). Three minutes later, anesthesia was induced with thiopentone 4-5
mg/Kg and succinylcholine 1,5 mg/Kg. Fasciculations were scored followed by intubation.
Twenty four hours after operation, myalgias were scored and a blood sample for post
operation CPK level measurement were taken. Statisticsl analysis were performed by
Anova-post hoc Bonferroni test, chi square – Wilcoxon Signed Ranks test and Spearman
correlation test.
Result: The characteristic features of the three groups are similar. Threre are significantly
reduction of fasciculation incidence (p<0,01), myalgia incidence (p<0,01) and CPK level
elevation in atracurium group (p<0,05). In midazolam group, myalgia incidence is
significantly reduced (p<0,01) but CPK level is only slight reduced (p=0,086) and there is
no reduction of fasciculation incidence (p=0,125). The only significant correlation proved
is between myalgia and CPK level elevation (corr.coef = 0,334; p = 0,013).
Conclusions : Atracurium is proved to be effective for pretreatment againts fasciculation,
myalgia and elevation of CPK level. Midazolam is as effective as atracurium to reduce
myalgia, less effective to reduce CPK level and not effective to reduce fasciculation.
Keywords : pretreatment, fasciculation, myalgia, CPK elevation, succinylcholine.

82 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan
pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping
yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase
(CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai
baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer
sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment.
Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium
0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin.
Metode: Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54
penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan
memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan
darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi
menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03
mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit
kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin
1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh
empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk
pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji
Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji
korelasi dari Spearman.
Hasil: Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada
kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p<0,01 ), mialgia ( p<0,01 )
dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase yang bermakna ( p<0,05 ). Pada kelompok
midazolam terjadi penurunan kejadian mialgia yang bermakna ( p<0,01 ), sedikit
kenaikan kadar kreatin fosfokinase ( p=0,086 ) dan tidak terjadi penurunan kejadian
fasikulasi (p=0,125). Pada uji korelasi tehadap tiga variabel terikat hanya tampak
korelasi bermakna antara mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (koef.kor =
0,034; p = 0,013).
Kesimpulan: Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi,
mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya
dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk
mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah
fasikulasi.

Kata kunci: pretreatment, fasikulasi, mialgia, kenaikan CPK, suksinilkolin.

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 83


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN operasi serta pemberian obat sebelumnya


Suksinilkolin adalah obat pelumpuh otot (pretreatment).14,15
golongan depolarisasi yang saat ini masih
sering digunakan untuk fasilitas intubasi, Berbagai penelitian sebelumnya
terutama pada anestesi emergensi (rapid- menemukan bahwa ternyata antara
sequence induction) dan anestesi rawat fasikulasi otot dan mialgia paska operasi
jalan (ambulatory/ day case akibat pemberian suksinilkolin tidak
1,2,3,4
anesthesia). terdapat kaitan yang bermakna.8,12,16
Banyak jenis obat yang telah diteliti
Beberapa keuntungan pemberian untuk mencari upaya alternatif dalam
suksinilkolin untuk intubasi adalah mula mengurangi atau menghilangkan
aksi yang cepat, lama kerja yang pendek, fasikulasi otot dan mialgia paska
murah, dan mudah diperoleh serta suksinilkolin, diantaranya pretreatment
toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7 Efek dengan obat anestesi lokal, golongan
samping suksinilkolin meliputi fasikulasi NSAID, preparat kalsium, preparat
otot, disritmia jantung, hiperkalemia, magnesium, klorpromazin, vitamin,
reaksi anafilaktik, spasme otot masseter, golongan benzodiazepin dan yang paling
dan mialgia serta peningkatan tekanan populer adalah dengan pelumpuh otot
intragastrik, tekanan intraokuler dan non depolarisasi dosis kecil.9,10,13,17
tekanan intrakranial, hingga timbulnya
komplikasi serius berupa hipertermia Midazolam adalah obat golongan
maligna.1,4,6,7 benzodiazepin dengan potensial dua kali
lipat dari diazepam dan saat ini
Efek samping kerusakan otot yang merupakan obat yang paling sering
ditimbulkan akan disertai dengan digunakan dalam premedikasi.1,7 Di
perubahan biokimia berupa peningkatan Amerika Serikat pada tahun 1996- 1997,
kadar kalium, mioglobin dan kreatin lebih dari 75% premedikasi
fosfokinase darah.7,8,9,10 menggunakan midazolam 18.

Fasikulasi otot dan mialgia akibat Diazepam, generasi pendahulu


pemberian suksinilkolin merupakan midazolam, dua dasawarsa yang lalu
komplikasi yang sering dijumpai, dimana telah digunakan setidaknya pada dua
berbagai studi melaporkan kejadian penelitian sebagai obat pretreatment
mialgia paska suksinilkolin berkisar pencegah fasikulasi dan mialgia dengan
antara 2% hingga 89%.2,11,12,13 Frekuensi hasil cukup memuaskan, yaitu
17,19,20,21
dan beratnya komplikasi ini dipengaruhi mengurangi mialgia hingga 30%.
oleh berbagai faktor seperti umur, jenis
kelamin, latihan otot sebelumnya, Midazolam sendiri sejauh penelusuran
kelainan metabolit, merokok, lama dan kepustakaan oleh penulis, baru satu kali
jenis operasi, posisi pasien selama digunakan pada suatu penelitian yang

84 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

menyimpulkan bahwa midazolam tidak sebelum operasi, mendapat obat jenis


bermanfaat dalam mencegah mialgia, pretreatment lain 24 jam sebelum operasi,
kenaikan kadar mioglobin dan kenaikan posisi operasi direncanakan tidak
kadar kreatin fosfokinase darah.10 telentang. Sedangkan kriteria drop out
penelitian ini adalah lama operasi
METODE ternyata lebih dari 2 jam, lalu penderita
Penelitian ini dilaksanakan dalam ruang mengalami hipertermia maligna saat
lingkup anestesiologi, dan merupakan uji operasi, mendapat injeksi intramuskular
klinis tahap II fase 3, dirancang sebagai selama 24 jam paska operasi. Alokasi
uji klinis acak tersamar ganda (double penderita untuk ketiga kelompok
blind randomized controlled trial) yang penelitian dilakukan secara randomisasi
membandingkan 3 kelompok penelitian, sederhana. Jumlah sampel 3 kelompok
yaitu kelompok kontrol, kelompok adalah 45 orang, dan dengan
midazolam, dan kelompok atrakurium. memperhitungkan faktor koreksi drop out
Penelitian ini dilakukan dengan (diperkirakan 10%) maka jumlah sampel
rancangan pre test – post test control keseluruhan sebanyak 56 orang.
group design untuk variabel kadar kreatin
fosfokinase darah dan post test only
control group design untuk variabel skor HASIL
fasikulasi dan skor mialgia. Telah dilakukan penelitian pengaruh
pretreatment midazolam atau atrakurium
Populasi targetnya adalah penderita yang terhadap fasikulasi, mialgia, dan
mengalami operasi selektif dengan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah
anestesia umum di instalasi bedah sentral akibat suksinilkolin pada 56 orang
RS Dr Kariadi Semarang serta memenuhi penderita dengan status fisik ASA I – II
kriteria inklusi, eksklusi, dan drop out. yang dibagi menjadi 3 kelompok,
Kriteria inklusi disini meliputi : jenis masing-masing 19 orang penderita
kelamin laki-laki dan perempuan, umur kelompok midazolam (M) yang
16-40 tahun, status fisik ASA I-II, tidak mendapat pretreatment midazolam 0,03
memiliki kelainan neuromuskular dan mg/kgBB, 19 orang penderita kelompok
atau metabolik, 5 hari sebelumnya tidak atrakurium (A) yang mendapat
melakukan aktivitas lebih dari aktivitas pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB
harian, bukan penderita trauma, operasi dan 18 orang penderita kelompok kontrol
ortopedik atau kardiovaskular, tidak (K) yang tidak mendapat pretreatmnet
sedang hamil dan tidak merokok, serta (diberi NaCL 0,9%). Dua orang penderita
tidak ada kontraindikasi penggunaan dikeluarkan dari penelitian, yakni satu
obat-obat penelitian. Kriteria eksklusi orang dari kelompok midazolam karena
penelitian ini meliputi operasi yang lama operasi lebih dari dua jam (operasi
direncanakan lebih dari 2 jam, mendapat polipektomi + CWL) dan satu orang dari
injeksi intramuskular dalam 24 jam kelompok atrakurium karena pulang dari

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 85


Jurnal Anestesiologi Indonesia

rumah sakit sebelum 24 jam pasca dan CWL. Jenis operasi ginekologi
operasi (operasi medis wanita/ MOW). meliputi ooforektomi, miomektomi, dan
kistektomi. Sedangkan jenis operasi
PEMBAHASAN digestif meliputi appendiktomi dan
Data–data karakteristik demografi (umur, herniorafi.
jenis kelamin, dan tingkat pendidikan), Pada tabel 3 terlihat prosentase skor
kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan, fasikulasi berat kelompok atrakurium dan
lama operasi dan jenis operasi dapat midazolam lebih rendah daripada
dilihat pada tabel-tabel berikut. Jenis kelompok kontrol. Uji kai kuadrat
operasi yang termasuk THT adalah terhadap perbedaan skor fasikulasi antara
tonsilektomi, polipektomi, etmoidektomi ketiga kelompok menunjukkan

Tabel 1. Data karakteristik demografi, kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan


Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol
Variabel p
(n=18) (n=18) (n=18)
Umur (tahun) 28,72 (SB 8,42) 28,44 (SB 7,50) 29,00 (SB 7,81) 0,978*
Jenis Kelamin :
Laki – laki 4 (22,2%) 4 (22,2%) 4 (22,2%) 1,000*
Perempuan 14 (77,8%) 14 (77,8%) 14 (77,8%)
Tingkat Pendidikan :
Tak Tamat SD 1 (5,6%) 0 (0%) 0(0%)
Tamat SD 3 (16,7%) 5 (27,8%) 5 (27,8%)
Tamat SLTP 6 (33,3%) 5 (27,8%) 6 (33,3%) 0,662**
Tamat SLTA 6 (33,3%) 5 (27,8%) 7 (38,9%)
Tamat PT 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0 (0%)
Kadar CPK Awal 46,22 (SB 27,66) 49,83 (SB 28,45) 67,56 (SB 86,01) 0,462*
*
)uji Anova = berbeda tak bermakna ; **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna

Tabel 2. Lama dan jenis operasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol
Variabel p
(n=18) (n=18) (n=18)
Lama Operasi (menit) 52,00 (SB 24,22) 52,22 (SB 32,67) 56,72 (SB 22,85) 0,839*
Jenis Operasi :
THT 5 (27,8%) 6 (33,3%) 5 (27,8%)
Eksisi Biopsi FAM 5 (27,8%) 5 (27,8%) 6 (33,3%)
Ginekologi 4 (22,2%) 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0,992
MOW 2 (11,1%) 3 (16,7%) 3 (16,7%)
Digestif 2 (11,1%) 2 (11,1%) 1 (5,6%)
*
)uji Anova = berbeda tak bermakna ; **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna

Tabel 3. Skor fakulasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol


Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol p
0 (tidak ada) 0 (0,0 %) 13 (72,2 %) 0 (0,0 %)
1 (ringan) 9 (50,0 %) 5 (27,8 %) 4 (22,2 %)
2 (sedang) 3 (16,7 %) 0 (0,0 %) 6 (33,3 %) 0,000**
3 (berat) 6 (33,3%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)
Jumlah 18 (100.00 %) 18 (100,00 %) 18 (100,00 %)
**)
uji Kai kuadrat = berbeda bermakna

86 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Uji Wilcoxon Signed Ranks skor fasikulasi antar kelompok


Perbedaan Skor Kel. Atrakurium – Kel. Kontrol – Kel. Kontrol –
Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Midazolam
Z -3,464 -3,668 -1,536
p (2 ekor) 0,001* 0,000* 0,125
*
) berbeda bermakna

Tabel 5. Skor mialgia kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol


Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol P
0 (nihil) 10 (55,6 %) 10 (55,6 %) 0 (0,0 %)
1 (ringan) 6 (33,3 %) 8 (44,4 %) 6 (33,3%) 0,000**
2 (sedang) 2 (11,1%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)
3 (berat) 0 (0,0 %) 0 (0,0 %) 4 (22,2%)
**
) uji Kai kuadrat = berbeda bermakna

Kel.Atrakurium- Kel.Kontrol- Kel.Kontrol-


Perbedaan Skor Mialgia
Kel.Midazolam Kel. Atrakurium Kel.Midazolam
Z -3,720 -3,487
p(2 ekor) 0,480 0,000* 0,000*
*
) berbeda bermakna

Dari data karakteristik tersebut terlihat Hasil uji hipotesis ini menunjukkan
adanya perbedaan yang tidak bermakna bahwa prosentase skor mialgia berat pada
(p > 0,05) pada seluruh variabel di ketiga kelompok atrakurium dan secara
kelompok penelitian. statistik tidak bermakna. Perbedaan
prosentase skor fasikulasi berat antara
Data hasil penilaian skor fasikulasi dapat kelompok atrakurium dan midazolam
dilihat pada tabel 3. Adanya perbedaan secara statistik bermakna.
yang bermakna (p < 0,05). Untuk
mencari dimana letak perbedaannya, Data hasil pengukuran skor mialgia dapat
analisis dilanjutkan dengan uji Wilcoxon dilihat pada tabel 5. Midazolam lebih
Signed Ranks (non parametrik) dengan rendah secara amat bermakna daripada
hasil pada tabel 4. kelompok kontrol. Perbedaan prosentase
skor mialgia berat antara kelompok
Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa atrakurium dan midazolam secara
meskipun prosentase skor fasikulasi berat statistik tidak bermakna. Pada tabel 5
kelompok atrakurium dan midazolam terlihat bahwa prosentase skor mialgia
lebih rendah daripada kelompok kontrol, berat pada kelompok atrakurium dan
perbedaan ini hanya bermakna pada midazolam lebih rendah daripada
kelompok atrakurium, sedangkan pada kelompok kontrol.
kelompok midazolam kuadrat terhadap
perbedaan skor mialgia antara ketiga Data pengukuran kadar kreatin
kelompok penelitian menunjukkan fosfokinase pra perlakuan, pasca
adanya perbedaan yang bermakna perlakuan dan perbedaan (kenaikan)
(p<0,05). diantara pra dan pasca perlakuan dapat
dilihat pada tabel 7. Terlihat bahwa

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 87


Jurnal Anestesiologi Indonesia

kenaikan kadar kreatin fosfokinase pada sehingga dilanjutkan dengan uji Post hoc
kelompok midazolam maupun atrakurium Bonferroni pada tabel 8.
lebih rendah daripada kelompok kontrol.
Uji Anova terhadap perbedaan kadar Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa
kreatin fosfokinase darah akibat perbedaan kenaikan ini pada kelompok
suksinilkolin. Diantara tiga akibat atrakurium secara statistik bermakna,
(variabel terikat) pemberian suksinilkolin sedangkan pada kelompok midazolam
ada korelasi antara mialgia dengan tidak bermakna. Perbedaan kenaikan
kenaikan kadar fosfokinase antara ketiga kadar kreatin fosfokinase antara
kelompok menunjukkan adanya kelompok atrakurium dan midazolam
perbedaan yang bermakna (p = 0,013) tidak bermakna secara statistik.

Tabel 7. Kadar kreatin fosfokinase kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol


Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol p
Rerata SB Rerata SB Rerata SB
CPK pra perlakuan 46,22 27,66 49,83 28,45 67,55 86,01 0,462
CPK pasca perlakuan 97,00 53,07 80,56 70,56 182,00 141,36 0,006*
Perbedaan CPK 50,78 64,13 30,72 62,30 114,44 116,59 0,013*
*
)uji Anova = berbeda bermakna

Tabel 8. Uji Post hoc Bonferroni perbedaan kadar kreatin fosfokinase antar kelompok
Kel.Atrakurium – Kel.Kontrol – Kel.Kontrol –
Perbedaan Kadar CK
Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Midazolam
Beda Rerata 20,00 83,72 63,67
p(2 ekor) 1,000 0,014* 0,086
*
)berbeda bermakna

SIMPULAN dengan kenaikan kadar kreatin


Berdasarkan hasil penelitian dan fosfokinase darah.
pembahasan sebelumnya dapat ditarik Sesuai dengan kesimpulan di atas, kami
kesimpulan bahwa atrakurium (dosis 0,05 menyarankan agar atrakurium dapat
mg/kgBB) efektif digunakan sebagai dipergunakan sebagai pretreatment yang
pretreatment dalam mengurangi efektif dalam mencegah atau mengurangi
fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar
fosfokinase darah akibat suksinilkolin. kreatin fosfokinase darah akibat
Kemudian midazolam (dosis 0,03 pemberian suksinilkolin. Kemudian
mg/KgBB) sebagai pretreatment sama diharapkan dilakukan penelitian lebih
efektifnya dengan atrakurium dalam lanjut terhadap efektivitas midazolam
mengurangi mialgia akibat suksinilkolin, sebagai pretreatment dengan dosis lebih
tidak efektif dalam mengurangi fasikulasi besar, interval waktu pemberian lebih
akibat suksinilkolin, dan kurang efektif lama dan cara atau rute pemberian yang
dibandingkan atrakurium dalam berbeda (misalnya secara intramuskular
mengurangi kenaikan kadar kreatin yang biasa dilakukan dalam premedikasi)
fosfokinase darah, tidak ada korelasi serta dengan konfirmasi silang dari hasil
antara fasikulasi dengan mialgia, dan pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase
tidak ada korelasi antara fasikulasi agar hasilnya lebih sahih.

88 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA 12. Raman SK, San WM. Fasciculations,


myalgia and biochemical changes following
succinylcholine with atracurium and
1. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN.
lidocaine pretreatmnet. Can J Anesthesia
Lee‟s synopsis of anaesthesia. 12th ed.
1997; 44: 498 – 502.
Oxford : Butterworth Co, 174 – 99, 200 –
13. Cannon JE. Precurarization. Can J Anesth
28, 416 – 8.
1994; 41: 177 – 83.
2. Cartwright DP. Suxamethonium in day-case
14. Houghton IT, Aun CST, Gin T.
anesthesia. Br J Anesth 1993 ; 71(6) : Corr.
Suxamethonium myalgia: an ethnic
3. Alikhami S, Robert JT. Airway evaluation
comparison with and without pancuronium
and management. In : Hurford WE, Bailin
pretreatment. Anesthesia 1993; 48: 377 – 81.
MT, Davison JK, Haspel KL. Clinical
15. Brodsky JB, Ehrenwerth J. Postoperative
anesthesia procedures of the Massachusetts
muscle pain and suxamtethonium. Br J
General Hospital. 5th ed. Philadelphia :
Anesth 1980; 52: 215 – 8.
Lippincott-Raven, 1998 : 204 – 22.
16. Kahraman S, Ercan S, Aypar U, Erdem K.
4. Stacey MRW, Barclay K, Asai T, Vaughan
Effect of preoperative i.m. administration of
RS. Effects of magnesium sulphate on
diclofenac on
suxamethonium-induced complications
17. Pace NL. Prevention of succinylcholine
during rapid-sequence induction of
myalgias: a meta-analysis. Anesth Analg
anesthesia. Anesthesia 1995 ; 50 : 933 – 6.
1990; 70: 477 – 83.
5. Durant NN, Katz RL. Suxamethonium. Br J
18. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K.
Anesthesia 1982; 54: 195 – 205.
Role of Magnesium Sulphate in
6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller
Postoperative Analgesia. Anesthesiology
RD. Pharmacology of muscle relaxants and
1996; 84: 340-7.
their antagonists. Miller RD Anesthesia 5th
19. Koinig H, Wallner T, Marhofer P,
ed. Philadelphia : Churchill Livingstone,
Magnesium Sulphate Reduces Intra and
2000 : 412 – 90.
Postoperative Analgesic Requirements.
7. Stoelting RK. Pharmacology and Physiology
Anesthesia and Analgesia 1998; 87: 206-10.
in Anesthesic Practice 3rd ed. Philadelphia :
20. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith
Lippincott-Raven, 1999: 126 – 39, 182 –
OH. Perioperative Magnesium Infusion and
223, 748 – 51.
Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica
8. Maddieni VR, Mirakhur RK, Cooper AR.
Scandinavica 1997; 41: 1023-7.
Myalgia and biochemical changes following
21. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K,
suxamethonium after induction of anesthesia
Magnesium Sulphate does not Reduces
with thiopenton or propofol. Anesthesia 199;
Postoperative Analgesic Requierments.
48: 626 – 8.
Anesthesiology 2001; 95: 640-6.
9. McLouglin C, Elliot P, McCarty. Muscle
pains and biochemical changes following
suxamethonium administration after six
pretreatment regimens. Anesthesia 1992; 47:
202 – 6.
10. Laurence AS. Myalgia and biochemical
changes following intermittent
suxamethonium administration. Anesthesia
1987; 42: 503 – 10.
11. Ferres CJ, Mirakhur RK, Craig HJL.
Pretreatment with vecuronium as a
prophylactic againts post-suxamethonium
muscle pain. Br J Anesthesia 1983; 55: 735
– 41.

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 89


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan


Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin

Imam Suyuti*, IGN Panji*, Mohammad Sofyan Harahap *


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background:Succinylcholine is the only one muscle relaxant with rapid action and short
duration, but it has some side effects, such as increasing of intraocular pressure.
Precurarisation with non depolarizing muscle relaxants could prevent this but may
increase the succinylcholine dose. Magnesium sulphate works competitively in the
neuromuscular junctionon prejunctionaly site.
Purpose: To proof that magnesium sulphate pretreatment to prevent has the same
efficiency with atracurium in preventing the increased of intraocular pressure caused by
succinylcholine administration.
Methods : The study was clinical trial stage II, with double blind randomized controlled
trial. The number of samples was 54 patients divided into 2 groups; Group I :threated with
magnesium sulphate 40 m/kg intravenously in l0 minutes, 3 minutes before inductin. Group
II : administrationNaCl20 in in l0 ml, subsequently atracurium 0,05 ml/kg in 3 ml, 3
minutes before induction, in l0minutes, 13 minutes before induction, subsequently NaCl 3
ml, 3 minutes before induction.
Results: There was no increased in intraoccular pressurc 2 minutes after succinylcholine
administration both groups. But there was a decreased in intraoccular pressure on both
goups. There was, no Siqnificant change of intraoccular pressure in both groups after
sucynilcholine administration
Conclusion: There was no intraocular prcssure increase after
succinylcholineadministration in patients treated by magnesium sulphate, and atracurium.
There was no significant difference in the change of intraocular pressure after
pretreatment with magnesium sulphate and also atracurium.

Keywords: Succinylcholine atracurium, magnesium sulphate, intraocular pressure.

ABSTRAK
Latar belakang : Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi
kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan
intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan
peningkatan dosis suksinilkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada
neuromuscular junction menduduki prejunctional site.

90 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment magnesium sulfat sama baiknya dengan


pretreatment atracurium untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pemberian
suksinilkolin.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind
randomized controlled trial. Sampel 54 pasien, dibagi dalam 2 kelompok; kelompok I :
diberikan magnesium sulfat 40 mg/kg diencerkan sampai 20 ml, i.v dimasukkan dalam 10
menit, 13 menit sebelum induksi, dilanjutkan NaCl 3 ml 3 menit sebelum induksi. Kelompok
II (kontrol) : mendapatkan NaCl 20 ml dimasukkan dalam l0 menit, dilanjutkan
atracurium 0.05 mg/kg diencerkan sampai 3 ml, 3 menit sebelum induksi. Tekanan
intraokuler diukur sebelum perlakuan, 2 menit setelah pemberian suksinilkolin dan segera
setelah intubasi.
Hasil: Tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuler 2 menit setelah pemberian
suksinilkolin pada kelompok I maupun kelompok II, justru terjadi penurunan tekanan
intaokuler pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna, pada
perubahan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun
II.
Simpulan: Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin
pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat
pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan
tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.

Kata kunci : suksinilkotin, tekanan intraokuler, magnesium sulfat, atracurium.

PENDAHULUAN pada pasien dengan prediksi kesulitan


Suksinilkolin adalah satu-satunya obat intubasi.l,2,3,4
pelumpuh otot golongan depolarisasi,
yang digunakan dalam praktek klinik. Keuntungan lain penggunaan
Suksinilkolin merupakan satu-satunya suksinilkolin untuk fasilitas intubasi
obat anestesi dengan kejadian komplikasi adalah harganya murah, mudah diperoleh,
yang begitu tinggi yang masih tetap stabil disimpan dalam suhu kamar serta
digunakan sampai saat ini, karena obat ini toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7 Efek
mempunyai onset yang cepat dan durasi samping suksinilkolin adalah fasikulasi
kerja yang sangat singkat walaupun hal otot disritmia jantung hiperkalemia
ini tidak selalu menguntungkan.1,2,3 reaksi anafilaktik spasme otot masseter,
Penggunaan suksinilkolin hanya untuk mialgia, peningkatan tekanan intragastrik
fasilitas intubasi, terutama pada anestesi kenaikan tekanan intraokuler dan tekanan
keadaan darurat (rapid-sequence intrakranial, sampai komplikasi serius
induction), anestesi rawat jalan berupa hipertermi maligna. 1,4,6,7
(ambulatory/day-case anaesthesia), dan

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009 91


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Fasikulasi adalah kontraksi otot rangka Tetapi pemberian obat pelumpuh otot
secara cepat terus menerus (tetanik), tidak golongan non depolarisari sebelum
sinkron disebabkan oleh depolarisasi pemberian suksinilkolin untuk mencegah
yang terus-menerus, akibat ikatan kenaikan tekanan intraokuler
suksinilkolin dengan reseptor membran menyebabkan peningkatan jumlah
post sinap.7 Fasikulasi ini menyebabkan suksinilkolin yang dibutuhkan untuk
efek samping yang tidak diinginkan relaksasi sampai antara 50-90%.15,19
seperti kenaikan kadar kalium, Sedangkan menurut Bartkowski dan
peningkatan tekanan intrakranial, Savarese, pemberian prekurarisasi dengan
kenaikan tekanan intragastrik dan makurium dan pelumpuh otot non
7
kenaikan tekanan infaokuler. Berbagai depolarisasi lainnya mengakibatkan
metode dan jenis obat telah diteliti perlambatan mula kerja dan penurunan
sebagai pretreatment untuk mencegah kualitas (kondisi intubasi) blok
atau mengurangi efek samping akibat neuromuskuler oleh suksinilkolin,
pemberian suksinilkolin, diantaranya sehingga dosis suksinilkolin harus
8,9
adalah: magnesium, golongan NSAID, ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB
benzodiazepin, obat pelumpuh otot menjadi 1,5 mg/kgBB, yang juga berarti
golongan non depolarisasi kalsium dan akan menaikkan resiko komplikasinya.6,19
magnesium.10,11
Efek magnesium pada neuromuscular
Efek suksinilkolin yang menaikkan junction adalah ion magnesium bekerja
tekanan intraokuler membatasi secara kompetitif dengan ion kalsium
penggunaannya terutama pada pasien untuk menduduki prejunctional site.
dengan trauma tembus mata dan operasi Magnesium memblok pelepasan kalsium
mata yang akan membuka bilik oleh retikulum sarkoplasma sehingga
anterior.12,13,14 Kenaikan tekanan menyebabkan penutupan kanal kalsium20,
intraokuler setelah pemberian masing-masing ion bekerja secara
suksinilkolin disebabkan karena efek antagonis satu sama lain, ion magnesium
langsung dari kontraksi (fasikulasi) otot yang tinggi akan menghambat pelepasan
ekstraokuler,13,14 dan mungkin karena asetilkolin sedangkan ion kalsium yang
dilatasi sementara dari pembuluh darah tinggi akan meningkatkan pelepasan
koroid.15 asetilkolin dari presinaptic nerve
terminal.
Berbagai jenis obat pelumpuh otot
golongan non depolarisasi telah diteliti Diketahui juga bahwa ion magnesium
untuk mencegah timbulnya efek samping memiliki efek inhibisi pada
akibat pemberian suksinilkolin mulai dari postjunctional potential dan
tubokurarin, galamin, pankuronium, mengakibatkan turunnya eksitabilitas
alkuronium, atrakufium, vekuronium, membran pada serat-serat otot.20 Namun,
okuronium hingga mivakurium.16,17,18 sampai saat ini secara langsung belum

92 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

diketahui efek pretreatment magnesium 5. Menderita trauma mata


sulfat terhadap kenaikan tekanan 6. Kelainan ginjal
intraokuler karena pemberian 7. Terdapat kontra indikasi terhadap
suksinilkolin. obat-obat yang dipakai dalam
penelitian
METODE Alokasi penderita untuk kedua kelompok
Penelitian ini dilaksananakan dalam penelitian dilakukan secara random
ruang lingkup anestologi, penelitian ini sederhana dengan consecutive sampling
memerlukan waktu sekitar 10 minggu (quota sampling). Membuat daftar urutan
dan dimulai sejak usulan ini disetujui. perlakuan (kontrol/perlakuan) sebanyak
Penelitian ini merupakan uji klinis tahap 54 pasien dengan menggunakan daftar
II dan dirancang sebagai uji klinis acak bilangan acak, nomer ganjil untuk
ganda (double blind randomized perlakuan dan genap untuk kontrol.
controlled trial) yang membandingkan 2
kelompok penelitian, yaitu kelompok Penelitian ini menggunakan metode
magnesium sulfat (I) dan atrakurium (II). double blinding. Penderita dipuasakan 6
Penelitian dengan rancangan pre-test jam sebelum operasi dan kebutuhan
post-test group design. cairan selama puasa dipenuhi dengan
pemberian infus ringer laktat sejak puasa.
Sampel kami adalah Penderita yang Di ruang perawatan penderita tidak
menjalani operasi elektif di Instalasi mendapatkan premedikasi, setelah
Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi sampai di ruang operasi dilakukan
Semarang serta memenuhi kriteria pemasangan monitor kemudian diukur
inklusi. tekanan darah (TD), tekanan arteri rerata
Kriteria inklusi : (TAR) dan laju jantung (LJ) sebagai data
1. Pasien yang menjalani operasi dengan dasar pada penelitian ini. Salah satu mata
anestesi umum pasien ditetesi pantokain l1%, ditunggu 1
2. Jenis kelamin laki - laki dan menit dan diukur tekanan intraokulernya
perempuan dengan tonometri dibantu oleh seorang
3. Usia 16-40 dokter spesialis Ilmu Penyakit Mata yang
4. Status fisik ASA I-II telah ditunjuk.
5. Pasien setuju diikutsertakan dalam
penelitian Penderita mendapat pretreatment masing-
Kriteria eksklusi : masing sesuai kelompok yang telah
1. Kelainan metabolisme (hiper- ditentukan secara acak sebelumnya.
paratiroid, hipoparatiroid, diabetes Kelompok I diberikan MgSO4 40% 40
melitus) mg/kgBB diencerkan sampai 20 ml,
2. Hipertensi diberikan dalam waktu l0-13 menit
3. Kelainan otot sebelum induksi, kemudian diberikan
4. Menderita glaukoma NaCl 3 ml, 3 menit sebelum induksi.

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


93
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kelompok II diberikan NaCl 20 ml dalam 3. Analisis statistik selanjutnya akan


10 menit, 13 menit sebelum induksi, menguji perbedaan tekanan intraokuler
kemudian diberikan atracurium 0,05 sebelum dan sesudah pemberian
mg/kgBB, 3 menit sebelum induksi. suksinilkolin, pada kelompok
Setelah 3 menit, pada kelompok I dan II magnesium dan atracurium dengan
dilakukan induksi dengan propofol 1% menggunakan Paired t-test (bila
secara titrasi intravena (2-2,5 mg/kgBB) distribusi normal) atau Wilcoxon Rank
dengan kecepatan 0,5 cc/detik. Setelah Sum test (bila distribusi tidak normal).
reflek bulu mata hilang, diikuti 4. Kemudian akan diuji perbedaan
pemberian suksinilkolin 1 mg/kgBB perubahan tekanan intraokuler antara
intravena dalam l0 detik. Dua menit kelompok I, II dengan menggunakan
kemudian peneliti pembantu mengukur independent t-test (bila disribusi
kembali tekanan introkuler dengan alat normal) atau menggunakan Mann-
tonometri yang telah disiapkan, kemudian Whitney U test (bila disribusi tidak
dilakukan intubasi endotrakea. Satu menit normal).
setelah intubasi, tekanan infaokuler
diukur kembali, TD, TAR dan LJ dicatat HASIL
siap dilakukan pengukuran tekanan Subyek penelitian ini adalah penderita
intraokuler. yang menjalani operasi atau tindakan
bedah elektif dengan anestesi umum di
Analgetik digunakan tramadol 2 Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr.
mg/kgBB intravena dan sebagai rumatan Kariadi Semarang. Jumlah subyek
anestesi digunakan isofluran, O2 : N2O penelitian 54 orang, yang terbagi
(50%:50%) dan trakrium hingga selesai. menjadi dua kelompok yaitu kelompok
Data yang terkumpul akan dilakukan magnesium dan kelompok atrakurium,
editing, coding dan dimasukkan ke dalam dengan masing-masing 27 orang tiap
file kemudian dilakukan cleaning. kelompok.
Setelah itu dilakukan analisis statistik
sebagai berikut: Subyek penelitian ini terdiri dari 26 laki-
1. Dilakukan analisis deskriptif dengan laki dan 28 perempuan. Pada kelompok
menghitung nilai mean±SD untuk nilai magnesium, subyek perempuan lebih
tekanan intraokuler (bila distribusi banyak daripada laki-laki, yaitu 48% laki-
normal). Namun, bila distribusi tidak laki dan 52% perempuan 52%.
normal akan dihitung mediannya. Sedangkan pada kelompok atracurium
Hasil disusun dalam bentuk tabel. terdiri dari 48% laki-laki dan 52%
2. Analisis bivariate akan menguji perempuan.
komparabilitas karateristik (umur,
jenis kelamin, kelainan metabolik, dll) Dari tabel 1, bisa kita lihat, rerata umur
menurut kelompok perlakuansesuai dan rerata Body Mass Indeks (BMI)
dengan skala pengukuran variabel. kelompok magnesium dan kelompok

94 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

atrakurium tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Dengan demikian, kedua


yang bermakna. kelompok ini layak untuk dibandingkan.
Dari tabel 4 setelah dilakukan intubasi,
Untuk variabel tekanan darah sistolik, tekanan darah sistolik & diastolik, TAR
diastolik dan TAR antara kelompok dan jantung tidak terdapat perbedaan
magnesium dan atracurium tidak ada yang bermakna antara kelompok
perbedaan yang bermakna. Sedangkan magnesium dan (p>0,05). Sedangkan
tekanan irtraokuler antara kelompok tekanan intraokuler antara kelompok
magnesium dan atracurium sebelum magnesium dan atracurium terdapat
perlakuan juga tidak pada perbedaan perbedaan bermakna (p>0,05)

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian


Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
No. Variabel (Magnesium) (Atracurium) Uji statistik P
(n=27) (n=27)
1. Umur (tahun) 32,33±9,60 33,41±6,91 Uji-t 0,639
Jenis kelamin
2.
(%)
- Laki-laki 48,1 48,1 Mann-Whitney 1
- Perempuan 51,9 51,9
3. BMI 21,96±2,39 21,81±2,04 Uji-t 0,808

Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung, Tekanan Intraokuler
Sebelum Anestesi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
Kelompok Kelompok
Perlakuan Kontrol
No. Variabel Uji statistik P
(Magnesium) (Atracurium)
(n=27) (n=27)
1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884
2. TDD 69,85±13,03 68,70±12,04 Indepen t test 0,730
3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515
4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953
5. TIO 15,14±1,39 14,19±1,43 Indepen t test 0,685

Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan
Intraokuler Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
Kelompok Kelompok
Perlakuan Kontrol Uji
No. Variabel P
(Magnesium) (Atracurium) Statistik
(n=27) (n=27)
1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884
2. TDD 69,85±13,03 65,70±12,04 Indepen t test 0,230
3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515
4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953
5. TIO 12,88±0,95 12,41±1,00 Indepen t test 0,085

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


95
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan
Intraokuler Setelah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
Kelompok Kelompok
Perlakuan Kontrol Uji
No. Variabel p
(Magnesium) (Atracurium) Statistik
(n=27) (n=27)
1. TDS 127,70±14,49 134,22±19,49 Indepen t test 0,169
2. TDD 78,19±11,26 82,37±14,26 Indepen t test 0,237
3. TAR 95,11±12,60 100,15±15,86 Indepen t test 0,202
4. LJ 91,85±3,63 94,48±11,87 Indepen t test 0,356
Mann-Whitney
5. TIO 16,21±1,46 17,16±1,45 0,024
test

Tabel 5. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok
Magnesium dan Atrakurium
TIO Setelah
TIO Sebelum
No. Variabel Pemberian Uji Statistik P
Anestesi
Suksinilkolin
1. Magnesium 15,14±1,39 12,88±0,95 Pair t test 0,000
2. Atracurium 14,19±1,43 12,41±1,00 Pair t test 0,000

Tabel 6. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Sesudah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan
Atrakurium
TIO Sebelum TIO Setelah
No. Variabel Uji Statistik P
Anestesi Intubasi
1. Magnesium 15,14±1,39 16,21±1,46 Pair t test 0,000
2. Atracurium 14,19±1,43 17,16±1,45 Pair t test 0,000

Dari tabel 3 kita ketahui bahwa setelah (p> 0,05) antara kelompok magnesium
diberikan suksinilkolin tekanan darah dan atrakurium, sehingga kedua
diastolik, TAR, laju jantung, dan kelompok. Dari tabel 6 kita lihat bahwa,
tekanan intaokuler tidak tedapat pada kelompok magnesium, tekanan
perbedaan bermakna antara kelompok intraokuler sebelum dan setelah intubasi,
magnesium dan atracurium (p>0,05). mengalami kenaikan yang bermakna (p<
0,05). Demikian juga pada kelompok
Dari tabel 5 kita lihat bahwa pada atrakurium, tekanan intraokuler settelah
kelompok magnesium, tekanan intubasi bila dibandingan dengan nilai
intraokuler dan setelah pemberian tekanan intraokuler sebelum anestesi
suksinilkolin mengalami penurunan yang mengalami kenaikan secara bermakna
bermakna. Demikian juga pada (p<0,05).
kelompok atracurium, tekanan intraokuler
setelah suksinilkolin bila dibandingkan PEMBAHASAN
dengan nilai tekanan intraokuler sebelum Untuk karakteristik subyek kedua
mengalami penurunan secara bermakna kelompok penelitian, yaitu jenis kelamin,
(p < 0,05). Tekanan intraokuler (tabel 2), umur, dan Body Mass Index (BMI),
tidak terdapat perbedaan yang bermakna setelah diuji beda tidak terdapat

96 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

perbedaan yang bermakna antara kedua saat Rapid-squence induction dengan


kelompok penelitian (Tabel 1). Sehingga suksinilkolin pada pasien dengan trauma
kelompok magnesium dan atrakurium ini mata tembus.21
layak untuk dibandingkan.
Sakuraba dkk (2006) dalam penelitiannya
Demikian juga, setelah dilakukan juga mendapatkan bahwa pretreatment
analisis statistik variabel tekanan darah dengan magnesium sulfat 40 mg/kgBB,
sistolik dan diastolik tekanan arteri rata- 1,5 menit sebelum pemberian
rata, laju jantung dan tekanan subsinikolin lebih efektif untuk menekan
sebanding sebelum diberikan perlakuan. kejadian fasikulasi karena suksinilkolin,
Pada tabel 3 nilai tekanan intraokuler dibandingkan dengan prekurarisasi
setelah pemberian suksinilkolin pada vecuronium 0,02 mg/kg BB, 3 menit
kelompok magnesium dan atrakurium sebelum pemberian suksinilkolin.
tidak ada perbedaan yang bermakna Kejadian fasikulasi inilah yang akan
(p>0,05). Berarti bahwa pretreatment menaikkan tekanan intraokuler, akibat
dengan magnesium sulfat dapat kontraksi otot-otot ekstraokuler.
mencegah kenaikan tekanan intraokuler Sehingga pretreatment dengan
karena suksinilkolin sebaik pretreatment magnesium sulfat sebelum pemberian
dengan atrakurium. Hal ini sesuai suksinilkolin diharapkan mampu
dengan pendapat Rushman, dkk bahwa mencegah kenaikan tekanan intraokuler
prekurarisasi tiga menit sebelum induksi lebih baik.
anestesi dengan pelumpuh otot non
depolarisasi termasuk atracurium, Pada tabel 4 kita lihat bahwa setelah
vecuronium dan pelumpuh otot yang lain intubasi tekanan darah sistolik, diastolik
akan mencegah kenaikan tekanan tekanan arteri rerata dan laju jantung
intraokuler karena efek samping antara kelompok magnesium dan
suksinilkolin. atrakurium tidak ada perbedaan
bermakna. Tetapi tekanan intraokuler
Demikian juga penelitian yang dilakukan antara kelompok magnesium dan
SK Raman dan kawan-kawan, atrakurium ada perbedaan bermakna
mendapatkn bahwa precurarisasi dengan dimana pada kelompok atrakurium
atracurium 0,05 mg/kgBB, tiga menit tekanan intraokuler lebih tinggi. Hal ini
sebelum pemberian suksinilkolin dapat kemungkinan karena pretreatment
mencegah kejadian fasikulasi sampai dengan magnesium sebelum intubasi bisa
kurang lebih 60% yang akan mencegah mengurangi gejolak intubasi karena bisa
kenaikan tekanan intraokuler karena menekan kenaikan kadar kortisol saat
suksinilkolin. Sedangkan Libonati dan intubasi. Sedangkan pretreatment dengan
kawan-kawan menggunakan pretreatment atrakurium sebelum pemberian
pelumpuh otot non depolarisasi untuk suksinilkolin akan memperlambat onset
mengontrol kenaikan tekanan intraokuler

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


97
Jurnal Anestesiologi Indonesia

dan mengurangi kualitas relaksasi saat okuler ini secara statistik bermakna
intubasi.22 karena nilai p<0,05. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena, peningkatan tekanan
Pada tabel 5 tekanan intraokuler pada intraokuler bisa dicegah dengan
kelompok magnesium dan atrakurium pemberian pretreatment magnesium
setelah pemberian suksinilkolin tidak sulfat atau atrakurium, sedangkan
mengalami peningkatan. Pemberian pemberian propofol sebelum
suksinilkolin seharusnya meningkatkan suksinilkolin menyebabkan penurunan
tekanan intraokuler sebesar 10-20 tekanan intraokuler.
mm/Hg. Tetapi hal tersebut tidak terjadi
pada pasien dalam penelitian ini, karena Propofol menyebabkan relaksasi otot-otot
pemberian pretreatment obat pelumpuh ekstraokuler, memperbaiki aliran humor
otot non depolarisasi seperti atrakurium aqueous menyebabkan penurunan
yang bekerja pada reseptor nikotinik tekanan darah, sehingga menyebabkan
kolinergik prejunctional dapat mencegah penurunan tekanan intraoluler.10,12 Pada
terjadinya fasikulasi karena suksinilkolin tabel 8, tekanan intraokuler setelah
tanpa mernpengaruhi kerja antagonis intubasi mengalami kenaikan bermakna
suksinilkolin pada reseptor kolinergik dibandingkan dengan sebelum anestesi,
post sinap.22 Fasikulasi inilah yang akan pada kelompok magnesium maupun pada
menyebabkan kenaikan tekanan kelompok atracurium. Hal ini karena
12,13
intraokuler. Demikian pretreatment intubasi akan menyebabkan kenaikan
dengan magnesium akan mencegah tekanan intra okuler lewat peningkatan
terjadinya kenaikan tekanan intra okuler penganuh saraf simpatis. Sedangkan
karena suksinilkolin, karena ion pretreatment dengan magnesium tidak
magnesium yang bekerja secara sepenuhnya mampu menekan gejolak
kompetitif dengan ion kalsium untuk intubasi.10,12,21
menduduki prejunctional site, akan
memblok pelepasan kalsium oleh SIMPULAN
retikulum sarkoplasma sehingga Tidak ada kenaikan tekanan intraokuler,
menyebabkan penutupan kanal kalsium.20 sebelum perlakuan dan setelah pemberian
suksinilkolin pada kelompok magnesium
Hal ini akan menghalangi aksi agonis dari dan atrakurium. Tidak ada perbedaan
suksinilkolin pada reseptor nikotinik yang bermakna antara nilai tekanan
prejunctional pada neuromuscular intaokuler kelompok magnesium dan
junction, sehingga akan mencegah kelompok atracurium, setelah pemberian
timbulnya fasikulasi.11,22 Pada tabel 5 suksinilkolin. Magnesium sulfat dapat
ini juga kita lihat bahwa, tekanan digunakan sebagai alternatif pretreatment
intraokuler setelah pemberian untuk mencegah kenaikan tekanan
suksinilkolin justru mengalami intraokuler akibat pemberian
penurunan. Penurunan nilai tekanan intra suksinilkolin. Pretreatment dengan

98 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

magnesium dan atrakurium masih belum 9. Mcloughlin C, Elliot P, McCarthy G,


mampu sepenuhnya mencegah Mirakhur RK. Muscle pains andbiochemical
changes following suxamethonium
peningkatan tekanan intraokuler setelah
adminisnation after sixpreteafrnent regimens,
intubasi sehingga diperlukan penambahan Anaesthesi; 1997: 202-6.
obat-obat lain. 10. Laurence AS. Myalgia and biochemical
changes following intermitentsuxamethonium
DAFTAR PUSTAKA administration. Anaesthesi a 1997 ;42: 503-
10.
1. Rusman GB, Davies NJH, Cashman JN.
11. Cannon JE. Precuraritation. Can J Anaesth
Lee's synopsis of anaesthesia. 12th ed.Oxford:
1994;41: 177-83.
Butterworth Co; 1999, l7-99
12. Morgan GE, Mikhail MS.Anesthesia for
2. Cartwright DP. Suxamethonium. In: Day-
Ophtalmic Surgery In : Clinicalanesthesiol
case anaesthesia. Br J Anaesth 1998;
2nd. ed. New York : Mc Graw Hill ; 2000 ,
71(6):200-28.
397 -8.
3. Aliktrani S, Roberts JT. Airway evaluation
13. Donlon JV. Anesthesia for eye, ear, nosq and
and management. ln: Hurford WE,Bailin MT,
throat surgery.In : Miller RD ( editor).
Davison JK, Haspel KL, Rosow C (eds).
Anesthesia. 5thed. Philadelphia: Churchill
Clinical anesthesiaprocedures of the
th Livingstone; 2000, 2176-8.
Massachusetts General Hospital. 5 ed.
14. Miller RD. Obat pelemas otot. Dalam
Philadelphia :Lippincoff-Raven; I 998,
Karzung BG (editor). Farmakologi dasardan
20+22.
klinik. Terjemahan AnwarAgoes. Jakarta:
4. Stacey MRW, Barclay K Asai T, Vauglran
EGC; 1998,423-34.
RS. Effects of magnesium sulphate
15. Fenes CJ, Mirakhur RK, Craig FIJL, Browne
onsuxametonium-induced complications
ES, Clarke RSJ. Meatment withvecuronium
during squence induction of
as a prophylactis against post-
anaesthesiaAnaesthesi a 1999; 50: 933-6.
suxarnethonium muscle pain. Br JAnaesth
5. Durant NN ,KatzRL. Suxamethonium. Br J
1993; 55: 735-41.
Anaesth 1992; 54: 195-205.
16. Bennetts FE, Khalil KI. Reduction of post-
6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller
suxamethonium pain by pretreatmentwith
RD. Pharmacology of muscle relanantsand
four nondepolarizing agents. Br J anaesth
their antagonists. In: Miller RD (ed).
1987;53: 53-16
Anesthesia 56 ed. Philadelphia :Churchill
17. McCoy EP, Connoly FM, Mirakhur RK,
Livingstone ; 2000, 412-90.
Loan PB, Paxton LD. Nondepolarizing
7. Stoelting RK. Neuromuscular bloking drugs.
neuromuscular blocking drugs and train of-
In: Pharmacology and physiolory innesthetic
four trade. Can J Anaesth l997 42:213-6.
practice. 3rd. Philadelphia : Lippincott-Raven;
18. Pace NL. Prevention of succinylcholine
1999, 126-39.
myalgias: a meta-analysis. Anesth
8. Sakuraba S, Serita R, Kosugi S, at al.
Analg990;70: 477-83.
Pretreatrnent with m sulphate is
19. Dube L, Granry JC. The therapeutic use of
associatedwith less succinylcholine- induced
magnesium in anesthesiology,intensive care
fasciculation and subsequent
and emergency medicine : a review.
trachealintubation-induced hemodynamic
Neuroanesthesia and IntensiveCare. Canadian
changes than precurarization with
Journal of Anesthesia 2003; 50:73246.
vecuroniumduring rapid sequence induction.
20. Coetzeein. EI, Dommisse J, Anthony J. A
2006. Available from
randomized controller fiial of intra venous
:http://cat.inist.frl?aModelraffi cheN&cpsidp
magnesium sulphate venus placebo the
18187504.
management of women with severe pre-

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


99
Jurnal Anestesiologi Indonesia

eclampsia. Br J Obstet Gynaecol 198; 105:


300-3.
21. Libonati MM, Leahy JJ, Ellison N. The use
of succinylcholine in open eyesurgery.
Anesthesiology 1995; 62: 63-40.
22. Bennetts FE, Khalil LI. Reduction of post
suxamethonium pain by pretreahtentwith four
nondepolarizing agents. Br J Anaesth
1997;53: 531

100 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Pemantauan Tekanan Intra Kranial

Igun Winarno*, Sofyan Harahap*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Treatment of patients with increased intra-cranial pressure in the pressure began with
monitor with invasive and non invasive way before the management of surgical and non
surgical. It was instrumental in the field of management of anesthesia for intra-cranial
pressure lowering to keeping the airway, keeping the emotional stability of patients with
sedation drugs and anelgetik, the use of drugs and inhalation agents that do not affect
intra-cranial pressure and cope with the effects that arise later.

ABSTRAK
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan
memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian
dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat
berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan
nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,
penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra
kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.

PENDAHULUAN penanganan segera agar penderita tidak


jatuh dalam keadaan yang lebih buruk.
Ruang di dalam kepala dibatasi oleh Tiga puluh enam persen penderita
struktur yang kaku, semua kompartemen dengan cedera otak yang disertai koma,
intra kranial ini tidak dapat datang dalam keadaan hipoksia dan gagal
dimampatkan, hal ini dikarenakan nafas yang membutuhkan ventilator
volume intra kranial yang konstan mekanik.
(Hukum Monro-Kellie). Oleh karena itu
bila terdapat kelainan pada salah satu isi Pengertian tentang tekanan intra kranial
yang mempengaruhi peningkatan volume bagi seorang ahli anestesi sangat penting
didalamnya akan terjadi peningkatan untuk mendasari terapi kelainan yang
tekanan intra kranial setelah batas terjadi. Ruang intra kranial merupakan
kompensasi (compliance) terlewati. struktur yang kaku dengan total volume
yang tetap, meliputi otak (80%), darah
Tekanan intra kranial normal berkisar (12%), dan CSS (8%). Tengkorak dan
pada 8-10 mmHg untuk bayi, nilai kanalis vertebralis membentuk
kurang dari 15 mmHg untuk anak dan perlindungan yang kuat terhadap otak,
dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 medulla spinalis, cairan serebrospinal
mmHg dan sudah menetap dalam waktu (LCS), dan darah. Semua kompartemen
lebih dari 20 menit dikatakan sebagai intra kranial ini tidak dapat
hipertensi intra kranial. Efek dimampatkan, hal ini dikarenakan
peningkatan tekanan intra kranial volume intra kranial adalah sangat
sangatlah kompleks, oleh karena itu perlu konstan (Hukum Monro-Kellie).1-5,9,l0,12

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


101
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penambahan volume dari suatu TEKANAN INTRA KRANIAL


kompartemen hanya dapat terjadi jika
terdapat penekanan (kompresi) pada Anatomi dan fisiologi Cerebral
kompartemen yang lain. Satu-satunya Orang dewasa normal menghasilkan
bagian yang memiliki kapasitas dalam sekitar 500 mL cairan serebrospinal
mengimbangi (buffer capacity) adalah (CSF) dalam waktu 24 jam. Setiap saat,
terjadinya kompresi terhadap sinus kira-kira 150 mL ada di dalam ruang
venosus dan terjadi perpindahan LCS ke intra kranial. Ruang intradural terdiri
arah aksis lumbosakral. Ketika dari ruang intraspinal ditambah ruang
manifestasi di atas sudah maksimal maka intra kranial. Total volume ruang ini pada
terdapat kecenderungan terjadinya orang dewasa sekitar 1700 mL, dimana
peningkatan volume pada kompartemen sekitar 8% adalah cairan serebrospinal,
(seperti pada massa di otak) akan 12% volume darah, dan 80% jaringan
menyebabkan peningkatan tekanan intra otak dan medulla spinalis. Karena
kranial (ICP/TIK).2,3,4 kantung dura tulang belakang tidak selalu
penuh tegang, maka beberapa
Peningkatan tekanan intra kranial (TIK) peningkatan volume ruang intradural
akan menurunkan perfusi serebral dan dapat dicapai dengan kompresi terhadap
menyebabkan komplikasi iskemia pembuluh darah epidural tulang
sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral belakang . Setelah kantung dural
Perfusion Pressure (CPP), peningkatan sepenuhnya tegang, apapun penambahan
tekanan intra kranial bila gagal dalam volume selanjutnya akan meningkatkan
mempertahankannya dapat menyebabkan salah satu komponen ruang intra
terjadinya herniasi. Meskipun batasan kranial yang harus diimbangi dengan
yang pasti tidak ditemukan, tetapi penurunan volume salah satu komponen
peningkatan TIK > 30 mmHg berkaitan yang lain. Konsep ini dikenal dengan
dengan peningkatan resiko herniasi fisiologi otak dari doktrin Monro-
trantentorial atau herniasi batang otak. Kellie.1-10
Maka pemantauan dengan pengukuran
dan penanganan TIK adalah hal yang Pertambahan volume dari suatu
penting. Banyak faktor yang dapat kompartemen hanya dapat terjadi jika
mempengaruhi tekanan intra kranial terdapat penekanan (kompresi) pada
diantaranya : peningkatan volume kompartemen yang lain. Satu-satunya
jaringan didalammnya, peningkatan bagian yang memilik kapasitas dalam
aliran darah ke otak, kelainan dari aliran mengimbangi (buffer capacity) adalah
cairan, dan penambahan efek massa. 1- terjadinya kompresi terhadap sinus
3,5,9 venosus dan terjadi perpindahan LCS ke
arah aksis lumbosakral. Ketika
Disamping pengetahuan tentang tekanan manifestasi di atas sudah maksimal maka
intra kranial, pemahaman tentang terdapat kecenderungan terjadinya
bagaimana cara mengatasinyapun sangat peningkatan volume pada kompartemen
perlu untuk diketahui. Oleh karena itu (seperti pada massa di otak) akan
pada tulisan ini akan membahas tentang menyebabkan peningkatan tekanan
3
pengukuran tekanan intra kranial, efek intrakranial (ICP/TIK).
peningkatan dan pengelolaannya, serta
kepentingannya dalam anestesi. V CSF + V darah+ Votak = V konstan

102 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

sudah menetap dalam waktu lebih dari 20


menit dikatakan sebagai hipertensi intra
kranial.4 Tekanan intra kranial akan
mempengaruhi tekanan perfusi cerebral
(CPP / Cerebral perfusion pressure).
CPP dapat dihitung sebagai selisih
selisih antara rerata tekanan arterial
Gambar : Skema jalan terjadinya herniasi : (1) (MAP) dan tekanan intra kranial
subfalcine (2) transtentorial (3) cerebral (4) (ICP/TIK). 4,6,9,10,12
transcalvarial CPP = MAP – ICP atau MAP –JVP
(dari Fisman RA : Brain Edema. N Engl Neo 293: JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai
706-7111)
ketika cranium sedang terbuka (saat
operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan
Jadi dengan peningkatan patologis pada
pada tekanan intra kranial akan
satu komponen, sedikitnya salah satu dari
mempengaruhi tekanan perfusi cerebral,
yang lain harus turun untuk menjaga
dimana ini akan berakibat terjadinya
volume konstan. Jika komponen yang
iskemia otak. 2,3,5 Pada pasien dengan
mengakomodasi penurunan volume sama
cedera medulla spinalis, tekanan perfusi
dengan volume yang ditambah, maka
pada medulla spinalis dapat dihitung
tekanan tidak berubah Yang paling
dengan selisih antara MAP dan tekanan
efektif dan yang merupakan kompensasi
LCS. Meskipun sebagian besar pasien
awal adalah perpindahan CSF dari ruang
cedera medulla spinalis menunjukkan
kranial ke dalam ruang spinal (terjadi
gambaran lesi komplit, gangguan
kompresi vena epidural), diikuti oleh
anatomi jarang ditemukan, dan menjaga
reabsorpsi CSF di vili arakhnoid (proses
perfusi tetap adekuat adalah penting
kompensasi ini tidak cepat). Saat ICP
untuk mempertahankan fungsi medulla
naik, tingkat produksi CSF mulai
spinalis pada daerah proksimal dari
menurun,sehingga ikut membantu
tempat cederanya.9
kompensasi. Kompensasi utama kedua
adalah perpindahan volume darah intra
Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil
kranial ke sinus-sinus vena. Kompensasi
dari volume otak, keadaan ini tidak akan
terakhir, otak itu sendiri dapat
cepat menyebabkan peningkatan tekanan
dikompresi untuk mengkompensasi
intra kranial. Sebab volume yang
peningkatan volume. Hal ini
meninggi ini dapat dikompensasi dengan
ditunjukkan pada kasus hidrosefalus
memindahkan cairan serebrospinalis dari
akut, di mana otak dikompresi oleh CSF
ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan
yang menyebabkan pembesaran
disamping itu volume darah intra kranial
ventrikel, atau pada kasus hematoma
akan menurun oleh karena berkurangnya
epidural akut, ketika otak secara akut
peregangan durameter. Hubungan antara
dikompresi dan terdistorsi oleh massa
tekanan dan volume ini dikenal dengan
hematoma. 1,3,9
complience. Jika otak, darah dan cairan
serebrospinalis volumenya terus menerus
Nilai normal TIK masih ada perbedaan
meninggi, maka mekanisme penyesuaian
diantara beberapa penulis, dan bervariasi
ini akan gagal dan terjadilah tekanan
sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg
tinggi intra kranial. 1,2,5,6,9
masih dianggap normal untuk bayi, nilai
kurang dari 15 mmHg masih dianggap
Pendapat lain dikatakan bahwa
normal untuk anak dan dewasa,
komplians intra kranial ditentukan
sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


103
Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan pengukuran perubahan TIK Mekanisme kompensasi mayor yaitu (1)


terhadap respon perubahan volume intra perpindahan awal CSS dari kranial ke
kranial. Normalnya, peningkatan volume kompartemen spinal, (2) peningkatan
pada awalnya terkompensasi baik. absorpsi CSS, (3) penurunan produksi
Setelah batas optimal tercapai, maka CSS, (4) penurunan volume darah
peningkatan yang berlanjut akan serebral total (terutama vena).2
menyebabkan peningkatan TIK.

Gambar : hubungan tekanan intrakranial dan volume6

Gambar : Patofisiologi dari tekanan intra kranial


Gambar ini menunjukkan bagaimana cara peningkatan volume dari beberapa atau kempat bagian didalam
kepala-darah, cairan cerebro spinal, cairan (interstitial atau intracellular) dan sel-akan menigkatkan tekanan
intra kranial dan kerusakan saraf. Tanda * ini potensial dibawah control ahli anestesi 6

Gambaran Klinis Kenaikan Tekanan dan dengan demikian mempertinggi


Intra Kranial lagi tekanan intra kranial. Juga
Kenaikan tekanan intra kranial sering lonjakan tekanan intra kranial sejenak
memberikan gejala klinis yang dapat karena batuk, mengejan atau
dilihat seperti :1,6 berbangkis akan memperberat nyeri
a. Nyeri Kepala kepala. Pada anak kurang dari 10-12
Nyeri kepala pada tumor otak tahun, nyeri kepala dapat hilang
terutama ditemukan pada orang sementara dan biasanya nyeri kepala
dewasa dan kurang sering pada anak- terasa didaerah bifrontal serta jarang
anak. Nyeri kepala terutama terjadi didaerah yang sesuai dengan lokasi
pada waktu bangun tidur, karena tumor. Pada tumor didaerah fossa
selama tidur PCO2 arteri serebral posterior, nyeri kepala terasa
meningkat sehingga mengakibatkan dibagian belakang dan leher.
peningkatan dari serebral blood flow b. Muntah

104 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Muntah dijumpai pada 1/3 penderita bahwa papil edem ditemukan pada
dengan gejala tumor otak dan 80% anak dengan tumor otak.
biasanya disertai dengan nyeri e. Gejala lain yang ditemukan:
kepala. Muntah tersering adalah  False localizing sign: yaitu parese
akibat tumor di fossa posterior. N.VI bilateral/unilateral, respons
Muntah tersebut dapat bersifat ekstensor yang bilateral,
proyektil atau tidak dan sering tidak kelainann mental dan gangguan
disertai dengan perasaan mual serta endokrin
dapat hilang untuk sementara waktu.  Gejala neurologis fokal, dapat
c. Kejang ditemukan sesuai dengan
Kejang umum/fokal dapat terjadi lokalisasi tumor.
pada 20-50% kasus tumor otak, dan
merupakan gejala permulaan pada
lesi supratentorial pada anak Pengukuran Tekanan Intra Kranial
sebanyak 15%. Frekwensi kejang Walaupun tidak ada data dari percobaan
akan meningkat sesuai dengan random, secara umum telah diterima
pertumbuhan tumor. Pada tumor di bahwa pemantauan dan pengobatan
fossa posterior kejang hanya terlihat agresif pada peningkatan TIK dapat
pada stadium yang lebih lanjut. meminimalis iskemik sekunder dan
Schmidt dan Wilder (1968) meningkatkan outcome. Sehingga,
mengemukakan bahwa gejala kejang penggunaan peralatan intra kranial untuk
lebih sering pada tumor yang pengukuran TIK secara kontinyu menjadi
letaknya dekat korteks serebri dan praktek standar dalam merawat pasien
jarang ditemukan bila tumor terletak neurologi yang mempunyai masalah
dibagian yang lebih dalam dari dengan peningkatan TIK. Peralatan ini
himisfer, batang otak dan difossa meliputi kateter intraventrikuler,
posterior. subarachnoid bolt, epidural systems dan
d. Papil edema peralatan fiberoptic intraparenchymal.
Papil edem juga merupakan salah Kateter ventrikulostomi umumnya
satu gejala dari tekanan tinggi intra dijadikan gold standard untuk
kranial. Karena tekanan tinggi intra pemantauan ICP. Kateter jenis ini
kranial akan menyebabkan oklusi mempunyai kelebihan tambahan yaitu
vena sentralis retina, sehingga dapat menjadi drainage CSF untuk
terjadilah edem papil. Barley dan menurunkan ICP.2,9
kawan-kawan, mengemukakan

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


105
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar : Metode pemantauan TIK

Bagaimanapun juga, penggunaan kateter pengaruh general anestesi. Sebagai


fiberoptik intraparenkim dapat tambahan, beberapa senter melakukan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi pemantauan TIK post-operasi secara
bila dibandingkan alat lainnya. Monitor rutin mengikuti prosedur major
subarachnoid sebaiknya ditempatkan neurosurgical. Satu-satunya
pada sisi yang sama dengan sisi lesi kontraindikasi pemantauan TIK adalah
untuk menghindari ketidakakuratan adanya koagulopati yang tidak
karena ada perbedaan tekanan antara dua terkoreksi.2 Terlepas dari alat
himisfer. Perekaman dan penampilan pemantauan ICP, terkait dengan jumlah
gelombang tekanan tranduced ICP secara alat maka pemeriksaan neurologis jangan
komputerisasi dengan penggunaan pernah digantikan, bahkan ketika
monitor bedside pasien yang paling pemeriksaan tersebut terbatas akibat
multimodal saat ini menjadi standar : sesuatu misalnya koma atau sedasi.9
gelombang tekanan „real-time‟ dan
analisis beberapa trend tekanan dapat Ventrikulostomi
ditampilkan dan dibandingkan dengan Kateter intraventrikel yang selain
tanda monitor lainnya seperti tekanan digunakan untuk pemantauan ICP juga
darah sistemik atau central venous berfungsi untuk terapi drainase CSF.
pressure (CVP). 2 Kateter intraventrikel merupakan metode
standar emas pemantauan ICP.
Pada umumnya, pemantauan TIK Digunakan pertama kali tahun 1960.
diindikasikan pada semua pasien yang Sebuah kateter plastic dimasukkan ke
koma dengan cedera kepala , dan pada ventrikel lateral dan dihubungkan dengan
pasien dengan penurunan status tranduser eksternal. Kateter intraventrikel
neurologi dengan CT-Scan abnormal. mengukur ICP dan juga sebagai terapi
Seperti yang telah disebutkan di atas, drainase CSF. Hal ini direkomendasikan
banyak pertimbangan dibutuhkannya sebagai monitor awal, setelah terjadi
pemantauan TIK pada pasien cedera trauma pada pasien untuk mengantisipasi
kepala sedang yang membutuhkan peningkatan ICP. Pada kondisi trauma,
perpanjangan prosedur operasi di bawah ukuran ventrikel sering mengecil

106 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

berbanding terbalik degan peningkatan usaha yang ketiga maka tehnik


ICP, menyebabkan insersi kateter alternative pemantauan ICP harus dicoba
ventrikel secara blind lebih sulit. Bila untuk menguangi terjadinya komplikasi
ventrikel tidak dapat dikanulasi pada terkait percobaan pemasangan berulang.9

Gambar : Teknik insersi ventriculostomi (A) trepination (B) durotomy (C) Pemasangan kanul Ventricular
(D) Terowongan subcutaneous kateter

Gambar : Pendekatan pungsi ventricular

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


107
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar : Cara baut Richmond

Kebanyakan ahli bedah saraf Pada kondisi trauma kami


merekomendasikan tempat insersi merekomendasikan satu sampai dua
melalui pendekatan frontal, parasagital menit untuk mendrainase ketika ICP > 20
pada titik Kocher (2-3 cm lateral dari mmHg, kemudian kateter diklemp lagi
midline dan di anterior sutura koronal). bila sudah tidak digunakan sebagai drain.
Meskiun pendekatan yang lain masih Hal ini memunkinkan CSF membentuk
ada, akan tetapi pedekatan frontal ventrikel serta dapat mengukur ICP.
menawarkan hasil yang baik yaitu akses
mudah pada kornu frontalis dari sistem Baut Richmond
ventrikel lateral, meminimalkan Baut Richmond (subdural-subarakhnoid)
keterlibatan jaringan otak sebagai jalan biasanya terdiri atas sekrup berongga
masuk kateter, dan memfasilitasi yang ujungnya melewati dura dan masuk
perawatan ketika pasien terlentang di 1-2 mm dibawah lapisan dalam
tempat tidur. Tapi familiaritas para ahli tengkorak dan menempati/menempel
bedah terhadap pendekatan insersi pada arakhnoid yang menutupi
merupakan hal terpenting. permukaan otak. Jika baut terletak terlalu
superficial, maak ada resiko salah
Potensi masalah akibat ventrikulostomi posisi/longgar dan kehilangan tekanan.
adalah sumbatan,salah meletakkan Tetapi bila terlalu dalam maka
kateter ke dalam struktur yang permukaan otak dapat penetrasi menuju
menyebabkan kerusakan jaringan otak, kea rah herniasi masuk ke dalam sekrup
hematoma intraserebral, perdarahan berongga dan menyumbat proses sistem.
intraentrikuler, dan infeksi. Robabilitas
akan tersumbatnya kateter ventrikel Keuntungan baut Richmond adalah
meningat bila kateter tersebut dibiarkan kemudahan insersi dan penetrasi yang
terbuka saat ventrikel dalam kondisi sedikit terhadap jaringan otak. Tetapi
sedang kolaps. Pada kondisi ini tidak dilain sisi, baut Richmond tidak bias
dapat digunakan untuk memonitor ICP digunakan untuk menurunkan ICP
ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka dengan cara drainase, dapat
yang saat itu berfungsi sebagai drain. menyebabkan infeksi, perdarqahan

108 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

epidural, dan kejang fokal. Selain itu yang biasanya menempatkan ujung distal
dapat terjadi penumbatan pada dari sensor fiber optik 10 hingga 15 mm
tubingnya, sehingga rekaman yang ke dalam parenkim otak. Alat fiber optik
diperoleh berkurang atau hilang. yang baru dikembangkan dapat
Memang salah satu kelemahan baut mengukur perubahan jumlah cahaya yang
Richmond adalah mudahnya tersumbat dipantulkan sebuah tekanan sensitive
oleh debris luka, darah dan atau dura.9 diafragma yang berada di ujung alat,
kemudian nilai tekanan ditampilkan oleh
Monitor Tekanan Intra kranial sebuah alat digital. Kabel keluaran dapat
Epidural juga digunakan untuk mengirimkan data
Dua tipe monitor ICP epidural telah ke monitor ruang operasi atau unit rawat
dikembangkan. Satu menggunakan intensif diaman akan tampak gelombang
sensivitas tekanan membran yang kontak ICP.
dengan dura, sedang yang satu lagi
menggunakan sensivitas perubahan Sebagai perbandingan terhadap
tekanan udara yang merubah bentuk ventrikulostomi, monitor Camino lebih
dura. Meskipun resiko infeksi otak lebih mudah dimasukkan dan probe
rendah karenapenempatannya di intraparenkim mempunyai ukuran
ekstradura, akan tetapi ada beberapa diameter lebih kecil, sehingga kerusakan
kerugian termasuk kesulitan tehnik, neulorogis jarang terjadi. Keuntungan
perdarahan, kalibrasi yang sulit setelah alat ini adalah infeksi minimal dan
penempatan baut, dan ketidakmampuan kebocoran serta sumbatan kateter tidak
untuk drainase CSF untuk terapi.9 terjadi. Sebagai tambahan, kesalahan
akibat salah posisi tranduser juga
Monitor Tekanan Intra kranial minimal. Kerugian utama alat ini adalah
Intraparenkim tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat
Alat intraparenkhym misalnya monitor ini dimasukkan, kemungkinan bergeser
ICP Camino ( Camino Laboratories, San juga ada yang mengharuskan
Diego, California USA) menggunakan penggantian probe fiber optik dalam
kateter yang dimasukkan kedalam kondisi steril. Keterbatasan yang
substansia grissea sehinga dapat bermakna dari alat ini adalah tidak
mengukur secara langsung tekanan mampu digunakan sebagai terapi
jaringan otak. drainase CSF.

Sisi frontal kanan biasanya dipilih Pada kondisi trauma, ketika ICP
sebagai tempat insersi, dan karena insersi meningkat dan ventikel terdesak, hanya
intraventrikuler (yang menggunakan titik sebagian kecil jalan keluar CSF yang
Kocher) tidak diperlukan, maka sisi terlihat selama penempatan
lateral frontal secara kosmetika dapat ventrikulostomi. Hal ini terjadi pada
digunakan. Setelah dilakukan trepanasi, ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila
batangan berulir dimasukkan ke tidak dikenali lagi, kateter mungkin saja
tengkorak sampai plastic batas berhenti, tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin
dimana ujungnya berada 1-2 mm dilakukan rekanulasi ventrikel. Pada
dibawah lapisan dalam tengkorak. kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan
Setelah membuat sebuah lubang kecil di monitor kedua misalnya Camino harus
dura, sensor fiber optic dikalibrasi ditempatkan untuk memantau ICP.
kemudian dimasukkan sampai tanda 5 Ketika kateter itraventrikuler mulai
cm sejajar dengan bagian atas batang, mendrainase CSF yang bertumpuk dalam

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


109
Jurnal Anestesiologi Indonesia

ventrikel, salah satu dari dua monitor menghilang dan pulsasi arteri menjadi
tersebut dapat ditarik tergantng pada lebih jelas.
situasi klinis.9
Pada tahun 1960, lundberg melaporkan
Bentuk gelombang Tekanan Intra hasil pemantauan ICP secara langsung
kranial dengan menggunakan ventrilkulotomi
Bentuk gelombang ICP yang normal pada 143 pasien. Dia menyebutkan
adalah pulsatil dan sejalan dengan irama patofisiologi dan tanda klinis yang
jantung. Tetapi nilai dasar akan naik bermakna dari tiga gelomang patologis
turun sesuai dengan siklus pernapasan ICP yang ditandai dengan gelombang A,
(seperti yang terjadi pada semua bentuk gelombang B, dan gelombang C.
gelombang yang fisiologis). Fluktuasi
normal gelombang ICP dikarakteristikan Gelombang Lundberg A, juga dikenal
mempunyai tiga puncak tekanan. Yang dengan gelombang plateu dicirikan
pertama, merupaakn puncak paling tinggi dengan elevasi tajam ICP samapi >50
(P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai
ditransmisikan menuju parenkim otak 20 menit diikuti penurunan mendadak ke
dan CSF. Puncak yang kedua (P2) level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru
diterjemahkan sebagai gelombang tidal akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul
atau rebound dan komplien reflek intra gelombang A. Gelombang A ini akan
kranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper muncul lagi dengan meningkatkan
selalu lebih rendah dari P2, dan disebut frekuensi, durasi, dan amplitude dan
gelombang dikrotik mewakili pulsasi sering terjadi pada peningkatan simultan
vena yang ditransmisikan menuju otak. dari tekanan arteri rerata. Lundberg
Pada kondisi komplien otak normal mengenali gelombang ini sebagai
besarnya gelombang adalah kecil, pertanda ICP tidak terkontrol, yang
sedangkan pada otak yang ketat, mungkin dihasilkan dari sebuah
perubahan tekanan yang diikuti dengan kelelahan kapasitas buffering dan
perubahan volume adalah besar. komplien intrakranial.

Selain mempunyai karakter tiga puncak, Gelombang Lundberg B juga dikenal


gelombang ICP yang terjadi sesuai siklus pulsasi tekanan, dicirikan dengan
jantung, perubahan tambahan pada peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam
semua nilai dasar yang terjadi akan waktu 30 detik sampai 2 menit.
mengubah komplien intra kranial. Lebih Gelombang ini bervariasi sesuai tipe
lanjut lagi, perubahan dasar terkait periode napas dan lebih sering terlihat
ventilasi adalah sebagai berikut: pada pada kondisi peningkatan ICP dan
napas spontan, inhalasi menurunkan penurunan komplien intrakranial.
tekanan intrathorakal dan menaikkan Sebagai catatan bahwa hubunan ini tidak
drainase vena (menurunkan ICP). semuanya konsisten dan mewakili
Dimana ekshalasi menyebabkan temuan kualitatif selama peningkatan
penurunan outflow vena dari cranium ICP.
sehingga ICP meningkat. Sebaliknya
akan terjadi bila digunakan ventilasi Gelombang Lundberg C, merefleksikan
tekanan positif. Bila ICP meningkat dan gelombang arteri Traube-Hering yang
komplien serebral menurun (dengan ditandai peningkatan ICP berbagai
berbagai penyebab), komponen vena variasi dengan frekuensi empat sampai
delapan kali per menit. Gelombang ini

110 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

mungkin saja mewakili status preterminal digunakan untuk mengukur TIK melalui
dan kadang terlihat pada puncak fontanel terbuka. Sistem serat optik
gelombang plateu. Sama seperti digunakan ekstra kutaneus. Dengan
gelombang B, mereka bersifat sugesti manual merasakan pada tepi kraniotomi
tapi bukan patognominis akan atau defek tengkorak jika ada fraktur.
peningkatan ICP.
MANAJEMEN PENINGKATAN
Akhir-akhir ini ditekankan pada TEKANAN INTRA KRANIAL
pengenalan dini serta pengobatan yang Hipertensi intra kranial adalah besarnya
berhasil akan peningkatan ICP. Oleh TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur
karena itu, gelombang patologis lain hipertensi intrakranial didefinisikan
Lundberg (A, B, C) jarang terlihat. sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg
Namun ketika mereka terlihat pada dan menetap lebih dari 20 menit.
pasien yang telah diintervensi terapeutik, Peningkatan progresif dari batas ini atau
maka mereka diramalkan mempunyai TIK yang terus menerus >20 mmHg,
outcome yang buruk. disarankan untuk melakukan
pemeriksaan dan penanganan.
Metode non invasif Peningkatan progresif dari TIK dapat
Penurunan status neurologi klinis mengindikasikan memburuknya
dipertimbangkan sebagai tanda hemoragik/hematoma, edema,
peningkatan TIK, Bradikardi, hidrosefalus, atau kombinasinya dan
peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi merupakan indikasi diakukannya
pupil normalnya dianggap tanda pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus
peningkatan TIK. Transkranial dopler, menerus TIK akan memperparah resiko
pemindahan membran timpani, teknik terjadinya cedera sekunder (komplikasi)
ultrasound time of fligh” sedang berupa iskemik dan/atau herniasi.2
dianjurkan. Beberapa peralatan

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


111
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penanganan Konvensional Peningkatan TIK 2


P Penanganan konvensional
1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena
2. Peningkatan MAP (jika perlu)
3. Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-tanda herniasi
4. Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20 mg (jika perlu).
Pertahankan z Osmolalitas serum <320.
5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika memungkinkan.
6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan.
7. Pemberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau propofol
8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan
9. Mempertahankan normovolemia.
P Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan konvensional)
1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C
2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau barbiturate
3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2)
4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor kadar natrium
5. Serum
P Penanganan ekstrim
1. Kraniektomi dekompresi
2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi

Penurunan Volume Darah Serebral


Elevasi Kepala Hiperventilasi
Elevasi kepala pada tempat tidur dengan Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF
membentuk sudut 20−30° menurunkan terhadap PaCO2, hiperventilasi dapat
ICP dengan mengoptimalkan aliran balik menurunkan CBF dan disertai penurunan
vena (venous return). Akan tetapi, pada volume darah serebral (CBV),
pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan mendadak
menyebabkan penurunan dari CPP. Jika (akut) dari TIK. Meskipun penurunan
keadaan normovolemi dipertahankan, mendadak TIK dan perbaikan CPP secara
elevasi sampai 30° telah terbukti teoritis diharapkan, dan hiperventilasi
menurunkan TIK tanpa mempengaruhi telah dipakai sejak dahulu sebagai
CPP atau CBF pada pasien cedera modalitas terapi, tetapi pada beberapa
kepala.2 tahun terakhir ini kekhawatiran akan
terjadinya iskemik serebral telah
Perawatan seharusnya dilakukan untuk berkurang dengan penggunaan metode
mencegah obstruksi pada venous return ini.
serebral dengan cervical collars atau
memasang endotrakeal tube (ET) dan Penelitian tentang CBF telah
menjaga kepala tetap berada pada posisi menunjukkan bahwa meskipun
netral. Pada pasien dengan autoregulasi “hiperventilasi sedang” dapat meningkat
serebralnya terjaga (stabil), peningkatan pada regio otak dengan CBF dibawah
MAP akan menyebabkan vasokonstriksi ambang batas iskemik. Penurunan
kompensatorik dengan disertai konsentrasi oksigen vena jugularis
penurunan ICP. Hal ini dapat dicapai (SjvO2) dan jaringan otak PO2 (PbrO2)
dengan mempertahankan kondisi yang telah berulang kali dibuktikan pada
normovolemia dan infus phenylephrine penelitian terhadap pasien dengan cedera
1-10 g/kg/menit, atau norepineprine 0,05- kepala. Terlebih lagi, satu-satunya
0,22 g/kg/menit.2 penelitian kontrol random tentang

112 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

modalitas terapi, hiperventilasi profilatik mengukur respon CBF terhadap


telah ditunjukkan berkaitan dengan efek hiperventilasi.2
merugikan yang ada. Maka Brain
Trauma Foundation Guidelines Mempertahankan Tekanan Darah
menyatakan bahwa hiperventilasi Pada pasien dengan autoregulasi yang
seharusnya tidak dipakai sebagai intak dan penurunan compliance intra
managemen pada pasien dengan cedera kranial, penurunan tekanan darah
kepala, kecuali jika terdapat monitor sistemik akan menyebabkan vasodilatasi
yang mampu mendeteksi adanya iskemik kompensatorik dan peningkatan CBV.
serebral tersedia (CBF, SjvO2 or PbrO2). Hal ini akan semakin menurunkan CPP,
dengan efek “spiraling downhill” dan
Sebagai tambahan, karena normalisasi penurunan progresif perfusi serebral. Hal
pH dari cairan serebrospinal, efikasi dari sebaliknya, pasien dengan autoregulasi
hiperventilasi pada CBF, CBV, dan TIK serebral yang terganggu dapat
mengalami penurunan setelah 24 jam. menunjukkan peningkatan TIK dengan
Akan tetapi, selain penelitian ini, peningkatan tekanan darah. Karena itulah
pendapat tentang hiperventilasi masih tidak mungkin memprediksi ada atau
kontroversial. Di sini jelas terlihat bahwa tidaknya autoregulasi, tetapi penting
PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan untuk mendapat gambaran tentang respon
penurunan CBF, menyebabkan CBF TIK.2
berada pada batas atau di bawah anbang
batas iskemik, bukti pasti tentang Reduksi Massa pada Otak
iskemik masih kurang. Dengan memakai Karena adaya sawar darah otak (blood-
positron emission tomography, Diringer brain barrier), yang relatif impermiabel
et al. tidak dapat mendemonstrasikan terhadap ion natrium dan klorida,
adanya penurunan metabolisme serebral perpindahan air keluar dan masuk sel
atau perubahan pada rasio piruvat-laktat otak terutama tergantung pada gradien
dengan hiperventilasi akut, menyatakan osmotik. Obat diuretik osmotik yang
bahwa rendahnya kadar metabolism basal efektif dipakai untuk mengatasi
(basal metabolic rate) pada pasien cedera peningkatan TIK adalah manitol 20%.
kepala secara bertentangan melindungi Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg, bekerja
pasien ini dari rendahnya CBF. dengan onset yang cepat, tetapi
puncaknya didapat dalam 30 menit dan
Maka selama kita menunggu bukti yang berakhir setelah 90 menit. Sedangkan
pasti dari hiperventilasi, PaCO2 diuretik „loop‟ yaitu furosemide akan
dipertahankan pada 35-40 mmHg. Pada meningkatkan kerja manitol, juga dapat
situasi akut dimana terdapat ancaman memberikan efek langsung menurunkan
atau terjadinya herniasi otak, TIK dan sering digunakan sebagai terapi
hiperventilasi PaCO2 dipertahankan pada adjuvant (tambahan). Efek manitol
kisaran 20–30 mmHg. Akan tetapi, hal terhadap hemodinamik adalah kompleks
ini seharusnya dilihat sebagai dengan mereduksi resistensi vaskuler
penanganan sementara sambil menunggu sistemik, lalu diikuti dengan ekspansi
penanganan definitif. Untuk volume intravaskuler yang dapat disertai
maintenance, PaCO2 harus dijaga pada hipertensi sistemik.
30-35 mmHg. CT Xenon dan SPECT
(single-proton emission computed Pasien dengan fungsi jantung yang jelek
tomography) dapat berguna untuk dapat terjadi edema pulmo akut pada
pemberian infus manitol. Dengan onset

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


113
Jurnal Anestesiologi Indonesia

diuresis, penyusutan volume daripada resiko pneumonia dan infeksi.


intravaskuler yang terjadi akan Akan tetapi, gambaran efikasi pemberian
meyebabkan hipotensi jika pemberian steroid pada cedera medulla spinalis,
cairan penggantinya tidak adekuat. pemakaian methylprednisolon dosis
Komplikasi dari terapi manitol adalah tinggi pada cedera kepala harus diteliti
overload cairan, dehidrasi dan gagal lebih lanjut dan dilakukan penelitian
ginjal. Selama pemberian terapi manitol, randomized yang melibatkan 20.000
elektrolit, dan osmolalitas cairan harus pasien dengan metode ini.2
diawasi secara berkala, osmolalitas
serum tidak boleh lebih dari 320 mOsm. Reduksi Volume LCS
Meskipun mekanisme utama dari Dua puluh lima persen pasien dengan
mannitol berdasarkan gradien osmotik, perdarahan subaraknoid yang berasal dari
hal ini juga menyebabkan refleks rupture aneurisma akan berkembang
vasokonstriksi dan menurunkan produksi menjadi hidrosefalus akut dengan
LCS. Pasien yang tidak bisa ditangani peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi
dengan manitol sering memberi respon dengan drainase kontrol LCS merupakan
terhadap pemberian infus salin hipertonik terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa
(3% atau 7,5%). Meskipun beberapa pasien ini terkadang membutuhkan shunt
penelitian membuktikan efikasi infus ventrikulo-peritoneal (VP-shunt).
salin hipertonik, tetapi belum ada Pemasangan drainase pada daerah
penelitian randomized tentang subaraknoid lumbal juga dapat
penggunaan salin hipertonik dan adanya menurunkan LCS, tetapi dapat
komplikasi hipertensi intra kranial meningkatkan resiko herniasi otak. Hal
“rebound” (munculnya hipertensi intra ini kurang berguna pada pasien cedera
kranial setelah efek terapi ini habis). 2 kepala, karena ventrikel sering tertekan
sehingga membuat drainase sulit masuk
Pada pasien edema vasogenik yang ke ventrikel dan menjadi kurang efektif.2
sering terjadi pada pasien dengan tumor,
efektif jika diberikan steroid dan Pengaruh obat-obat anestesi :
dexamethasone 10 mg yang diberikan Anestesi inhalasi :
setiap 6 jam. Secara umum pemberian Isoflurane : banyak digunakan dalam
steroid merupakan kontraindikasi pada neuroanestesi, dapat meningkatkan aliran
pasien dengan cedera kepala dan tidak darah otak (ADO) namun tidak terlalu
efektif pada pasien dengan perdarahan besar, MAC 1 tidak mempengaruhi
subaraknoid atau stroke iskemik. Pada tekanan LCS, menurunkan metabolism
pasien dengan cedera medulla spinalis, otak (CMRO2), efek meningkatkan TIK
pemberian methylprednisolon dosis dapat dikompensasi dengan
tinggi telah terbukti memperbaiki hiperventilasi.4
fungsinya jika diberikan dalam 8 jam.
Sevoflurane : pada MAC 1 tidak
Pada beberapa pusat, dikatakan bahwa mempengaruhi tekanan intrakranial,
dalam 3 jam, pasien ini diberikan namum akan menurunkan tekanan darah.
methylprednisolon 30 mg/kg bolus, lalu Secara umum efek ADO dan CMRO2
dilanjutkan 5,4 g/kg selama 24 jam dan sama dengan isoflurane.4
selama 48 jam jika terjadi dalam 3-8jam
(NACIS III). Meskipun kemajuan yang
terjadi sedikit dan beberapa keraguan
apakah keuntungannya lebih besar

114 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Anestesi intravena : Propofol


Sedasi dan Paralisis Obat sedasi yang menurunkan TIK
Sedasi yang adekuat adalah penting bagi melalui efek terhadap metabolisme
semua pasien dengan peningkatan TIK serebral dan CBF seperti pada sebagian
untuk mengurangi agitasi (kondisi besar obat anestesi intravena lainnya
gelisah) dan gerakan-gerakan pasien serta kecuali ketamine. Semuanya memiliki
untuk mempermudah toleransi terhadap efek depresan susunan saraf pusat,
ET (endotrakeal tube). Batuk atau menyebabkan dosis ini berkaitan dengan
sumbatan pada ET atau selama penurunan tingkat kesadaran dan tingkat
trakeobronkial suction dapat metabolisme. Propofol memiliki profil
meningkatkan TIK. Paralisis metabolik dan vaskuler yang mirip
neuromuskular secara efektif dapat dengan barbiturate, menyebabkan dosis
dicegah dengan cara pemberian obat ini yang berkaitan dengan penurunan
tetapi ini dapat menghambat pemeriksaan metabolisme serebral dan disertai
neurologik yang dilakukan untuk penurunan CBF, menyebabkan
memonitor kondisi pasien. Sebagai penurunan TIK pada pasien melalui
tambahan, blokade farmakologi yang aktivitas metabolisme serebral. Akan
dilakukan terus menerus dapat tetapi, pada beberapa penelitian tentang
menyebabkan miopati dan paralisis penurunan CBF sebanding dengan
persisten. Pemberian obat penghambat penurunan metabolisme.
neuromuscular (NBMs) hanya dipakai
pada pasien yang mendapat sedasi Profil farmakokinetiknya dengan waktu
adekuat dengan tujuan untuk mencegah paruh yang pendek, membuat obat ini
paralisis saat pasien yang sadar. Dosis cocok dipakai sebagai obat sedatif pada
intermiten dan pemberian secara pasien neurosurgical, memungkinkan
periodik, disertai dengan pemantauan penilaian neurologis yang cepat dalam
seksama terhadap derajat blokade waktu 2-3 jam setelah penghentian
neuromuskuler, sebaiknya dilakukan pemberian obat ini melalui infus dengan
untuk memungkinkan penilaian dosis biasa (50-150 µg/kg/menit).
2
neurologic secara teratur. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
propofol sangat baik dipakai dalam
Pelumpuh otot non depolarisasi menurunkan TIK meskipun beberapa
pankuronium dan vekuronium tidak penelitian gagal menunjukkan perbaikan
mempengaruhi juga ADO, laju outcome neurologiknya. Pada pemberian
metabolism terhadap oksigen dan dosis tinggi (>300 µg/kg/menit), dapat
tekanan tekanan intrakranial. dipakai untuk menginduksi koma
Pankuronium meningkatkan laju nadi dan farmakologik dengan burst-supresi pada
tekanan darah sehingga tidak electroencephalogram untuk
menguntungkan pada hipertensi kranial, mendapatkan supresi metabolisme
sebaliknya vekuronium tidak maksimal untuk mengontrol TIK.
menyebabkan histamine release, tidak
menyebabkan peningkatan laju nadi dan Pada anak-anak, ketika dipakai infus
tekanan darah. Sedang atracurarium kontinyu dalam periode lama, dilaporkan
mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK bahwa propofol sering menyebabkan
dan hasil metabolismenya laudanosine sindrom metabolik yang ditandai dengan
akan melewati sawar otak dan dapat asidosis, rhabdomiolisis, gagal jantung,
menyebabkan kejang.4 dan tingginya angka kematian. Saat ini,
sidrom serupa juga dilaporkan terjadi

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


115
Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada pasien dewasa yang mengalami diteliti pada pasien neurosurgical, profil
cedera kepala dengan terapi propofol >5 farmakologikalnya menunjukkan bahwa
mg/kg/jam. Baik pada anak-anak maupun obat ini mungkin berguna sebagai sedatif
dewasa, insidensi sebenarnya pada pada kelompok pasien ini. Ketika dipakai
sindrom ini belum diketahui dan dalam bentuk infus 0,6 mg/kg/jam,
patofisiologinya masih belum jelas. Akan sebagian besar pasien akan tersedasi
tetapi, menyebabkan angka kematian dengan baik tetapi terstimulasi dengan
yang tinggi pada anak-anak, dan data depresi nafas yang minimal. Hal ini
yang didapat dari penelitian klinik (saat menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
ini belum dipublikasikan), sehingga saat akan menurunkan TIK, meskipun
ini pemberian infus propofol tidak penurunan CBF tidak sesuai dengan
direkomendasikan. penurunan metabolism serebral.
Penelitian kami menunjukkan bahwa
Pada dewasa, jika terdapat indikasi autoregulasi dan reaktivitas CO2 tidak
bahwa keuntungan pemakaian propofol mempengaruhi dosis sedatif
lebih besar dari pada resikonya dan dexmedetomidine (data tidak
sebaiknya tetap diberikan pada pasien di dipublikasikan).
ruang neurointensive care unit. Akan
tetapi, pemakaian infus berkepanjangan Pada iskemik eksperimental
lebih dari satu minggu dengan dosis lebih menunjukkan penurunan jumlah neuron
dari 5 mg/kg/jam, tidak diperbolehkan yang rusak pada iskemik global
dan harus segera dihentikan untuk sementara (transient) pada gerbil (tikus
mencegah resiko terjadinya asidosis atau mencit) dan menyebabkan iskemik
disfungsi jantung. Sebagai tambahan, serebral pada tikus. Mekanisme kerja
propofol dosis tinggi akan menyebabkan diperkirakan melalui penurunan release
hipotensi, sehingga sering mengharuskan (pelepasan) norepinephrine. Serta
pemakaian vasopressor untuk membantu tampaknya memacu pemecahan
memperbaiki tekanan darah.2 glutamine melalui proses metabolism
oksidatif pada astrosit, maka penurunan
Etomidate availabilitas glutamine sebagai prekursor
Meskipun etomidate dulunya dipakai neurotoksik glutamate. Sampai saat ini
sebagai obat sedatif, tidak boleh belum ada penelitian yang meneliti
diberikan melalui infus karena akan tentang pemakaian obat sedatif pada unit
menghambat sintesis kortikosteroid yang perawatan neurointensif, tetapi
diproduksi oleh kelenjar adrenal. Hal ini kekurangan signifikan yaitu depresi
menyebabkan depresi kardiovaskuler pernafasan membuatnya terjadi pada
yang lebih rendah dibandingkan propofol pemberian sedatif yang tepat pada pasien
atau barbiturate dan dan telah dipakai yang bisa bernafas spontan dengan
sebagai dosis intermiten pada pasien compliance intra kranial yang jelek.2
yang kurang stabil. Obat ini dapat
mereduksi TIK dengan efeknya pada Barbiturate
CBF dan CBV.2 Barbiturate menurunkan TIK dengan cara
menekan metabolisme cerebral dan
Dexmedetomidine CBF. Keduanya dilakukan secara
Dexmedetomidine adalah obat golongan langsung dan dengan cara mengurangi
agonis selektif reseptor alpha-2 dan telah aktivitas kejang. Baik pentobarbital dan
terbukti dapat dipakai obat sedative pada thiopental, keduanya telah digunakan
pasien jantung di ICU. Meskipun belum untuk menginduksi koma barbiturate.

116 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Barbiturate biasanya digunakan untuk diakui hipotermi dan secara randomized


pasien hipertensi intra kranial yang sukar hipotermi, mempunyai hasil yang lebih
disembuhkan. Sama halnya dengan baik daripada mereka yang dibuat
sedatif lainnya, penggunaan thiopental normotermi .Untuk saat ini, pengobatan
berhubungan dengan hipotensi sistemik hipotermi sebaiknya digunakan sebagai
dan sebaiknya hanya digunakan pada tambahan yang efektif dan berguna untuk
pasien normovolemik. Dua percobaan mengontrol TIK.2,4,6
randomized controlled telah menilai
manfaat thiopentone untuk mengobati Pencegahan kejang
kenaikan TIK pada pasien cedera kepala. Kejang terjadi pada sekitar 15-20%
penderita cedera otak dan berkorelasi
Percobaan yang pertama menunjukkan dengan beratnya cedera. Kejang akan
bahwa penurunan TIK secara signifikan meningkatkan CMRO2 dan TIK, namun
lebih besar terjadi pada grup yang diobati tidak ada hubungannya dengan
dengan barbiturate, namun tanpa kemunculan kejang dini dengan keluaran
perbaikan outcome dalam jangka defisit neurologis. Suatu penelitian
panjang. Percobaan kedua menemukan menyatakan bahwa fenitoin efektif untuk
bahwa TIK terkontrol pada kira-kira mencegah kejang dalam satu minggu
sepertiga grup yang diobati, dan pada pertama pasca cedera, sehingga terapi
pasien yang berespons, terdapat profilaksisnya hanya diberikan sampai
perbaikan outcome dalam jangka hari ke tujuh.4
panjang. Hal ini mungkin akibat
pelepasan dari cerebral metabolic rate Nyeri
terhadap konsumsi oksigen dari CBF dan Pada keadaan nyeri pasca trauma ataupun
merupakan sebuah indikator prognosis pada keadaan lainnya ini akan
yang buruk.2 meningkatkan TIK, oleh karena itu
Pada kepustakaan lain disebutkan perhatian terhadap nyeri dan kenyamanan
tiopental menurunkan ADO dan CMRO2 penderita sangatlah perlu untuk
yang setara pada isolektrik pada EEG, diperhatikan. Narkotik salah satu anti
efek lain membuang radikal bebas, nyeri yang kuattidak mempunyai efek
stabilisasi membrane, menurunkan CPP terhadap CMRO2 dan ADO, namun pada
dan antikonvulsan.4 beberapa penderita dapat menyebabkan
peningkatan TIK.4
Hipotermi
Hipotermi menurunkan metabolisme Kraniektomi Dekompresi
cerebral dan CBF, dengan menghasilkan Kraniektomi dekompresi (decompressive
penurunan CBV dan TIK. Hal itu dapat craniectomy) diindikasikan untuk pasien
juga menjadi neuroprotektif dengan yang mempunyai peningkatan TIK dan
mengurangi pelepasan eksitotoksik asam sulit disembuhkan dengan pengobatan
amino. Walaupun pada awalnya medikal. Pada pasien dengan
dilaporkan secara antusias bahwa pembengkakan unilateral yang mengikuti
pengobatan dengan moderat hipotermi evakuasi hematoma atau reseksi tumor,
pada suatu percobaan single-center, hemikraniektomi atau pemindahan
sebuah multi-center, percobaan sejumlah besar flap kranial dengan
randomized controlled tidak dapat penambalan duramater, telah sukses
menunjukkan beberapa efek yang menurunkan ICP.
menguntungkan , walaupun sejumlah
pasien berumur kurang 45 tahun, yang

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


117
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pada pasien dengan edema cerebral pada akut. Dalam praktek, ketika diindikasikan
kedua himisfer, mungkin memerlukan dengan tepat, PEEP sampai dengan 10
bilateral kraniektomi. Jarang sekali, mmHg jarang menyebabkan peningkatan
pengangkatan jaringan yang telah rusak TIK yang signifikan. Bagaimanapun
atau lobektomi mungkin dilakukan juga, tetaplah bijaksana untuk memonitor
sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi respons TIK terhadap PEEP pada pasien,
intra kranial pada kebanyakan kasus khususnya ketika menggunakan PEEP >
berat hipertensi intra kranial. Prosedur ini 10 mmHg.2
tampak efektif untuk trauma cedera
kepala, sebaik untuk pembengkakan DAFTAR PUSTAKA
sekunder pada stroke atau subarachnoid
1. Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and
hemoragik. Sebuah percobaan Intrakranial Dynamics : Pemantauan and
multicenter dalam rangka menilai management of intrakranial pressure, In :
keuntungan kraniektomi dekompresi Critical Care Neurology and Neurosurgery,
sebagai pengobatan awal untuk trauma ed. Suarez J I, New Jersey : 2004, 100-47
cedera kepala akan menetapkan peran 2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Neurophysiology & Anesthesia, in Clinical
kraniektomi dekompresi di masa depan Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,
sebagai pengobatan definitif untuk 3. Anne J. Moore, David W. Newell.
hipertensi intra kranial.2,4,6 Neuroanesthesia and Neurosurgical Intensive
Care, In : Neurosurgery Principles and
Penggunaan Positive End-expiratory Practise. London : Springer 2005. p 104 – 71.
4. Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular
Pressure pada pasien dengan Blocking Agent ; Still Valueble to Treat
peningkatan TIK Intrakranial Hypertension, In : Proceeding
Penderita pada peningkatan tekanan Book 9th National Congress of Indonesian
intrakranial sampai terjadinya hipertensi Society of Anesthesiology, ed. Nasution A
intrakranial sering jatuh pada keadaan H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 57-
46
gagal nafas sampai pada penggunaan 5. Seubert C N, Mahla M E, Neurologic
ventilator mekanik. Tiga puluh enam Pemantauan, In : Miller‟s Anesthesia
persen penderita dengan cedera otak Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier :
yang disertai koma, datang dalam 2010,
keadaan hipoksia dan gagal nafas yang 6. Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical
Anesthesia, In : Miller‟s Anesthesia Seventh
membutuhkan ventilator mekanik.4 Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
Positive end-expiratory pressure (PEEP) 7. Drummond J C, Patel P M, Cerebral
berulang kali digunakan untuk Physiology and the Effects of Anesthetic
meningkatkan oksigenasi pada pasien Drugs, In : Miller‟s Anesthesia, 7th Edition,
dengan respiratory distress syndrome ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
8. Kincaid MS, Lam AM, General
atau kehilangan volume paru akibat Considerations : Neurophysiologic
berbagai penyakit paru. Secara teori, hal Pemantauan, In : Handbook of
ini dapat meningkatkan tekanan Neuroanesthesia, 4th Edition, ed. Newdield
intratoraks, yang mana akan menghalangi P, Cotrell J E, Lippincott Williams &
aliran vena dari kepala yang Wilkins : 2007, P 57-37
9. Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C:
menyebabkan peningkatan TIK. Pemantauan Considerations for Trauma and
Bagaimanapun juga, hal ini hanya Critical Care ; Neurological Pemantauan, In :
nampak relevan secara klinis jika pasien Trauma Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson
mempunyai compliance intratoraks yang CW, Grande MC, Hoyt DB, Informa Healt
baik dan compliance intra kranial yang care, New York : 2007, 204-125
10. Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken
buruk. Keamanannya baru-baru ini V, Struys MM, Influence Of An Increased
didemonstrasikan pada pasien stroke Intrakranial Pressure On Cerebral And

118 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Systemic Haemodynamics During


Endoscopic Neurosurgery: an animal model,
British Journal of Anaesthesia 102 (3): 361–
8 (2009)
11. Steiner LA, Andrews PJ. Pemantauan the
injured brain: ICP and CBF. British Journal
of Anaesthesia 97 (1): 26–38 (2006)

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


119
Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral


Iwan Dwi Cahyono*, Jati Listiyanto*, Mohammad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Change in the cerebral blood flow having the regulations vidual considering so great role
of the brain for the life . Factors that might affect the regulation of the flow of blood to the
brain one of them was the actions and anesthetic drugs during anesthesia . To avoid gord
bad that might happen need to learn about auto regulation cerebral blood well . The use of
medicinal also need to consider . Operation to head takes time relative long operasi than
the others .
The brain of a distinctive have the ability to regulate the flow of blood against :
1. The activity of functional and metabolic ( flow metabolism coupling and metabolic
regulation )
2. The change in pressure perfusi perssure autoregulation.
3. Oxygen saturation is change or carbon dioxide of the arteries

Besides the bloodstream the brain can change through a direct influence of relations
between the special centers in the brain and the blood vessels ( neurogenic regulation )
Changes in the flow of blood to the brain having the risk of fatal in determining the
prognosis . Death caused by the most aneurisma from arteri breakage in the brain and
hurt the head caused by a traffic accident . A diagnosis aneurisma difficult or too late to be
known . A doctor well ektra to the heart of hearts anesthetic in patients with the monitor
hemodynamic and maintaining hemodynamic not experienced that the high risk to avoid
the rupture of aneurysm.
ABSTRAK
Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar
peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran
darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk
menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi
darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi
dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.
Otak mempunyai kemampuan yang khas untuk mengatur aliran darah terhadap :
1. Aktivitas fungsional dan metabolic (flow metabolism coupling and metabolic
regulation).
2. Perubahan pada tekanan perfusi (perssure autoregulation)
3. Perubahan kandungan oksigen atau karbondioksida dari arteri.

Selain itu aliran darah otak dapat berubah melalui pengaruh langsung dari hubungan
antara pusat-pusat khusus di otak dan pembuluh darah (Neurogenic Regulation).
Perubahan aliran darah ke otak memiliki resiko yang fatal dalam menentukan prognosis.
Kejadian kematian paling banyak disebabkan aneurisma dari arteri yang pecah didalam
otak serta cidera kepala yang disebabkan suatu kecelakaan lalu lintas. Diagnosis

120 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Aneurisma sulit dilakukan atau terlambat untuk diketahui. Seorang dokter anestesi dituntut
ektra hati hati dalam membius pasien dengan cara memantau hemodinamik dan menjaga
hemodinamik tidak mengalami gejolak yang tinggi untuk menghindari resiko pecahnya
aneurisma.

PENDAHULUAN terjadinya kerusakan jaringan yang


ireversibel.
Otak membutuhkan metabolisme yang
lebih tinggi dibanding organ tubuh yang Otak mempunyai kemampuan yang khas
lain, otak menerima 14% aliran darah untuk mengatur aliran darah terhadap :
dari pompa jantung, sebanyak 700
ml/menit darah dipompakan keotak, 1. Aktivitas fungsional dan metabolic
sebanyak 20% kebutuhan oksigen (flow metabolism coupling and
diambil oleh otak. Tingkat aliran darah metabolic regulation).
serebral (Cerebral Blood Flow). Harga 2. Perubahan pada tekanan perfusi
CBF sebagian besar ditentukan oleh (perssure autoregulation)
tingkat metabolisme dan konsumsi 3. Perubahan kandungan oksigen atau
oksigen otak, metabolism otak karbondioksida dari arteri.
cenderumg menurun pada saat terjadi Selain itu aliran darah otak dapat berubah
hipotermi.1,2,3 melalui pengaruh langsung dari hubungan
antara pusat-pusat khusus di otak dan
CBF pada orang dewasa adalah sekitar 50 pembuluh darah (Neurogenic
mL/100 g / menit sedangkan pada anak- Regulation).2
anak adalah sekitar 95 mL/100 g / menit,
yang lebih tinggi daripada orang dewasa. Otak mendapat aliran darah dari 2 pasang
Sebaliknya, bayi memiliki CBF sedikit arteri yaitu arteri carotis interna dan arteri
lebih rendah daripada orang dewasa (40 vertebralis keempat arteri saling terbebas
mL/100 g / menit). Medula spinalis (MS) dan beranastomose menjadi sirkulus
memiliki aliran darah rata-rata 60 arteri Willisi dan arteri Basilaris sistem
mL/100 g / menit dan 20 mL/100 g / ini diikuti oleh arteri-arteri serebri
menit .1,4 propria.3

Otak sebagai organ pengatur tubuh Darah kapiler memasuki vena-vena


memiliki bagian terkompleks dan sangat meninggalkan otak melalui vena interna
terorganisasi sehingga membutuhkan dan vena externa yang mengalir melalui
aliran darah yang baik. Karena cadangan sinus-sinus duralis besar, dari sinus-sinus
energi didalam otak tidak dapat besar melaluai vena jugularis interna,
diabaikan, aliran darah yang cukup vena anonymae dan vena kava superior
diperlukan untuk menyediakan substrat- kemudian menuju ke atrium kanan.
substrat penghasil energi dan untuk Keadaan lingkungan ikut mempengaruhi
membersihkan produk-produk dari regulasi darah ke otak, perubahan pola
metabolisme sel. Otak sangat sensitif makan berakibat terjadi perubahan
pada penurunan aliran darah. komposisi darah serta mempengaruhi
Berkurangnya aliran darah yang hebat viskositas darah, perubahan tekanan
dapat menyebabkan gejala neurolofis darah ke otak dapat memicu terjadinya
dalam beberapa detik. Gangguan aliran proses iskemik otak maupun pecahnya
darah yang kontinyu dapat menyebabkan pembuluh darah otak. 3

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


121
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Dalam tulisan ini akan membahas melembabkan gelombang nadi yang


mengenai aneurisma yang terjadi intra datang, kemudian menyusuri tepi lateral
cerebral dan tindakan anestesi yang dapat dari medula oblogata. Diantara ponto
dilakukan. meduler arteri vertebralis bergabung
menjadi arteri basilaris .3
Peredaran Darah Arteri Otak
Sirkulus Arteri Willisi
Aa Karotis Interna Setelah memasuki rongga subarakhnoid,
Arteri-arteri ini merupakan lanjutan dari a. Karotis interna berlanjut ke posterior
dari arteri karotis komunis, yang berasal dibawah saraf optik dan kemudian kearah
dari batang brakiosefalik yang berada lateral, setinggi kiasma optikum membuat
pada sisi kiri dari arcus aorta. Pada sudut belokan memasuki fisura sylvii,
daerah kartilago tyroid arteri karotis pada putaran ini memberikan cabang a.
komunis terbagi menjadi 2 yaitu arteri Komunikans Poterior yang bergabung
karotis eksterna yang bertugas memberi dengan a. Serebri posterior membentuk
darah daerah leher, wajah dan regio bersama dengan a. Basilaris menjadi
fronto temporalis dari kranium. sirkulus wilis.3,5,6
Sedangkan arteri karotis interna berjalan
menuju kanalis karotikus kemudian Aa Serebri Propria
memberikan cabang kecil pada dasar Merupakan percabangan kecil dari a
telinga, dan daerah pada kelenjar hipofise komunikans posteior yang mendarahi
dan juga mencabang menjadi arteri tuber sinerium, korpus mamilare,
oftalmika untuk mendarahi seluruh bola sepertiga anterior talamus, sub talamus
mata dan dasar bola mata. 3 dan sebagian dari kapsula intern.3

Aa Vertebralis Arteri Serebri Anterior


Arteri ini merupakan cabang pertama dari Setelah keluar a karotis interna a cerebri
arteri subklavia memasuki tengkorak anterior memberikan cabang menjadi a
melalui ruang antara sendi atlanto rekurens, memberikan perdarahan pada
ocipitalis tepi lateral foramen magnum. kiasma optikus dan saraf optikus. A
Sebelum memasuki kranium arteri cerebri anterior memiliki 5 cabang besar
vertebralis membentuk siphon seperti yaitu orbitalis, frontopolaris, perikalosal,
huruf S yang mungkin bertujuan kaloso marginalis dan parietalis.3

Gambar 2. Perjalanan arteri menuju otak (Peter Duus)

122 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1. Sirkulus dari Willisi dan cabang cabangnya (Peter Duus)

Arteri Serebri Media sebagian dari pons juga talamus juga


A carotis interna memberikan cabang memberikan perdarahan untuk ventrikel
menjadi a cerbri anterior dan cerebri ketiga.3
media, cabang ini membemberikan darah
hampir semua putamen dan nukleus Peredaran Darah Vena
kaudatus, sepertiga palidum dan segmen
Darah kapiler yang memasuki vena-vena,
dorsal dari palidum, segmen dosrsal dari
meninggalkan otak melalui vena interna
kapsula interna berjalan antara putamen
dan eksterna yang mengalir ke sinus-
dan nukleus kaudatus.
sinus duralis besar, dari sinus-sinus darah
Cabang a serebri media sering menjadi kembali ke jantung melalui vena jugularis
sumber dari hematom hipertensi. Arteri interna, vena brakhiosefalika, vena cava
ini bertanggung jawab untuk seluruh superior dan sebagian kecil melaluai
regio dari lobus frontalis, parietalalis dan canalis spinalis, vena-vena tersebut antara
temporalis. Jika arteri ini rusak atau lain ;
terjadi perdarahan menimbulkan tanda-
a. V.v Superior dorsal
tanda afasia motorik dan sensorik,
b. V.v serebri media
aleksia, agrafia, apraksia, akalkulia dan
c. V.v Serebri inferior
gangguan citra tubuh.3
d. V.v Serebri anterior
Arteri Serebri Posterior
Merupakan cabang akhir dari a.basilaris Bersama-sama vena-vena ini membentuk
kadang-kadang merupakan perpanjangan vena magna dari galen yang merupakan
dari a.karotis interna. Pembuluh darah ini vena terbesar dan mengalir kedalam sinus
bertanggung jawab pada otak tengah, rectus, kemudian bermuara ke vena cava
superior melalui vena jugularis interna.3

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


123
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 3. Aliran Darah Vena(Color Atlas of Neurology)

Defisiensi Sirkulasi Cerebral dunia, berkisar dari 1.1 sampai 92.3 per
100.000 orang. Insidens terendah pada
a. Aneurisma Arteri (1,3,7,,8) Timur pertengahan dan tertinggi pada
Pembuluh darah intracranial bersandar Jepang, Australia dan Scandinavia
dalam ruang subarachnoid, memberikan terutama Finlandia, dimana insiden
perforasi kecil pembuluh darah. sebanyak tiga kali di seluruh dunia.
Perdarahan dari pembuluh darah ini atau Tingkat spesifik usia untuk SAH
dari suatu aneurisma yang diasosiasikan tampaknya lebih tinggi pada mereka yang
terjadi secara primer kedalam ruang ini, berasal dari ras Afro karibian dibanding
berakibat SAH. Aneurisma cerebral Kaukasia. Tampaknya ada
adalah penyebab tersering Sub Arachnoid kecenderungan pada wanita dengan
Hemorarge (SAH) spontaneus, dengan laporan rasio laki-laki dibanding wanita
malformasi arterivenous perkiraan sekitar sekitar 1 : 1,8.(8)
6%, walaupun penyebab lain termasuk
trauma dan tumor. Aneurisma adalah pelebaran atau
menggelembungnya dinding pembuluh
Kejadian SAH aneurisma mempunyai darah, yang didasarkan atas hilangnya
insiden tahunan 10-20 per 100.000, dua lapisan dinding pembuluh darah,
meningkat secara konsisten dengan usia yaitu tunika media dan tunika intima,
sampai decade 60, dengan insiden sehingga menyerupai tonjolan/ balon.
tertinggi 55-60 tahun. Terdapat variasa Dinding pembuluh darah pada aneurisma
bermakna dalam insiden SAH di seluruh

124 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ini biasanya menjadi lebih tipis dan hepatitis dan sirosis hati atau
mudah pecah. Sebenarnya aneurisma emfisema paru.
dapat terjadi di pembuluh darah mana  Malformasi arteri venous (AVM)
saja di tubuh kita. Apabila aneurisma ini suatu hubungan abnormal antara
terjadi pada pembuluh darah otak, arteri dan vena
gejalanya dapat berupa sakit kepala yang  Koarktasio aorta atau penyempitan
hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai aorta (arteri utama keluar dari
atau tidak disertai dengan muntah. jantung)
Komplikasi dari aneurisma dapat  Sindrom Ehlers Danlos-gangguan
menyebabkan terjadinya pecahnya jaringan penghubung (umumnya
pembuluh darah di otak, yang juga jarang)
dikenal dengan stroke.  Riwayat keluarga dengan aneurisma
Sebagian besar kejadian aneurisma aorta  Wanita
adalah kongenital dan ditemukan pada  Displasia fibromuskular-penyakit
dasar otak biasanya pada sirkulus wilisi, arterial, penyebab tidak diketahui,
aneurisma biasanya asimptomatik sampai yang paling sering sering
menjadi besar dan melibatkan banyak mempengaruhi arteri medium dan
jaringan disekitarnya seperti menekan besar pada wanita muda sampai usia
kiasma optikus dan biasanya ditandai pertengahan.
dengan nyeri kepala hebat.  Teleangiectasia hemorrhagic
herediter, gangguan genetik
Tanda-tanda terjadinya aneurisma adalah pembuluh darah cenderung
peningkatan tekanan intrakranial yang membentuk pembuluh darah yang
cepat dengan tanda khas adalah sakit kurang kapiler suatu arteri dan vena.
kepala, mual,muntah, kekakuan dileher  Sindrom Klinefelter, suatu kondisi
serta kesadaran yang berkabut. genetik pada pria dimana ekstra
kromosom X.
Aneurisma intrakranial sering ditemukan  Sindrom Noonan, gangguan genetik
ketika terjadi ruptur yang dapat yang menyebabkan perkembangan
menyebabkan perdarahan dalam otak atau abnormal banyak bagian dan sistem
pada ruang subarahnoid, sehingga dari tubuh.
menyebabkan perdarahan subarahnoid.
 PCD-Polycystic Kidney Disease,
Perdarahan subarahnoid dari suatu ruptur
gangguan genetik dengan
atau aneurisma otak dapat menyebabkan
karakteristik pertumbuhan banyak
terjadinya stroke hemoragik, kerusakan
kistik berisi cairan dari ginjal, PCKD
dan kematian otak(3).
adalah penyakit medis paling umum
Faktor risiko turunan diasosiasikan diasosiasikan dengan aneurisma
dengan formasi aneurisam dapat sakular.
termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi :  Sclerosis Tuberous, tipe sindrom
neurokutaneus yang dapat
 Defisiensi alfa glukosidase- defisiensi menyebabkan tmor tumbuh dalam
parsial atau lengkap enzim lisosomal, otak, sumsum tulang belakang, organ
alfa glukosidase. Enzim ini penting dan tulang.
untuk memecah glikogen dan
mengubahnya menjadi glukosa. Faktor risiko didapat diasosiasikan
 Defisiensi alfa 1 antitripsin, suatu dengan pembentukan aneurisma
penyakit herediter yang menuju pada termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi:

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


125
Jurnal Anestesiologi Indonesia

 Usia (tidak lebih dari 40 tahun) tengkorak, kurang lebih 90%


 Konsumsi alkohol merupakan aneurisma sakuler.
 Aterosclerosis, suatu pembentukan Berdasarkan diameternya aneurisma
plak (terbuat dari deposit substansi sakuler dapat dibedakan atas:
lemak, kolesterol, sisa produk seluler, Aneurisma sakuler kecil dengan diameter
kalsium dan fibrin) pada lapisan < 1 cm.
dalam arteri.
 Aneurisma sakuler besar dengan
 Kebiasaan merokok
diameter antara 1- 2.5 cm.
 Penggunaan obat-obat terbatas seperti
 Aneurisma sakuler raksasa dengan
kokain dan amfetamin
diameter > 2.5 cm.
 Hipertensi (tekanan darah tinggi)
 Aneurisma tipe disekting ( < 1% ).
 Trauma (luka) pada kepala
 Infeksi

KLASIFIKASI
Pembagian aneurisma adalah sebagai
berikut :
1. Kongenital (aneurisma sakuler) 4.9%
2. Aneurisma mikotik (septik) 2,6%
3. Aneurisma arteriosklerotik
4. Aneurisma traumatik 50-76,8%

Laporan otopsi insidensi aneurisma


kongenital sebesar 4.9%-20% yang terdiri
dari 15% multiple dan 85% soliter.
Lokasi aneurisma kongenital dilaporkan :
85-90% pada bagian depan sirkel wylisii; Gambar 4. Tipe aneurisma
30--40% pada arteri carotis interna; 30- (NeurosurgeryPrinciples and Practice)
40% di a. cerebri anterior/communicans
anterior; 20 30% di a. cerebri media; 10-
15% di a. vertebro-basilaris.
Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat
dibedakan:

 Aneurisma tipe fusiform (5–9%).


Penderita aneurisma ini mengalami
kelemahan dinding melingkari
pembuluh darah setempat sehingga
menyerupai badan botol.
 Aneurisma tipe sakuler atau
aneurisma kantong (90–95%). Pada
aneurisma ini, kelemahan hanya pada
satu permukaan pembuluh darah
sehingga dapat berbentuk seperti Gambar 5. Frekuensi Lokasi dari Aneurisma
kantong dan mempunyai tangkai atau serebral Kongenital (Peter Duus)
leher. Dari seluruh aneurisma dasar

126 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Bagaimana suatu aneurisma cerebralis mengguankan lapangan magnet untuk


didiagnosis? mendeteksi perubahan kecil dalam
Suatu aneurisma cerebralis sering jaringan otak yang membantu
ditemukan setelah ruptur atau pada menglikasikan dan mendiagnosis
kesempatan selama pemeriksaan stroke.8
diagnostik seperti computed tomography  Magnetic Resonance Angiography
(CT Scan), magnetic resonance imaging (MRA), suatu prosedural non invasif
(MRI) atau angiografi yang dilakukan yang menggunakan kombinasi
untuk kondisi lain. magnetic resonance teknologi (MRI)
dan kontras intravena (IV) untuk
Sebagai tambahan untuk melengkapi menggambarkan pembuluh darah.
riwayat medis dan pemeriksaan fisik, Kontra menyebabkan pembuluh darah
prosedur diagnostik untuk aneurisma terlihat opak pada gambar MRI,
cerebralis dapat termasuk memungkinkan pemeriksa untuk
menggambarkan pembuluh darah
 Digital subtraction angiography
yang dievaluasi.8
(DSA), menyediakan gambaran
pembuluh darah dalam otak untuk
mendeteksi masalah dengan aliran
darah. Prosedural meliputi Penanganan untuk aneurisma
pemasangan suatu kateter (tube kecil cerebralis
dan tipis) kedalam arteri pada kaki
dan melewati sampai pembuluh darah Penanganan spesifik untuk aneurisma
dalam otak. Suatu kontras disuntikkan cerebralis akan ditentukan oleh dokter
melalui kateter dan gambaran X-ray berdasar pada :
diambil pada pembuluh darah.8
 Computed tomography scan (CT atau  Usia, kesehatan keseluruhan dan
CAT scan), suatu prosedural riwayat medis
diagnostik image yang menggunakan  Keparahan kondisi
kombinasi X ray dan teknologi  Tanda dan gejala
komputer untuk menghasilkan  Toleransi untuk obat-obatan tertentu,
gambaran cross sectional ( sering prosedural atau terapi
disebut potongan) baik horisontal  Harapan untuk kondisi terjadi saat ini
maupun vertikal pada tubuh. Suatu  Pendapat sendiri atau referensi
CT scan menunjukkna gambar detail
setiap bagian tubuh termasuk tulang,
otot, lemak dan organ. CT Scan lebih
detail dibanding X ray keseluruhan
dan dapat digunakan untuk
mendeteksi abnormalitas dan
membaantu mengidentifikasikan
lokasi atau tipe stroke. 8
 Magnetic Resonance Imaging (MRI),
suatu prosedural diagnostik yang
menggunakan suatu kombinasi
magnet besar, frekuensi radio dan
suatu komputer untuk menghasilkan
gambaran detail organ dan struktur Gambar 6. Aneurisma kantong
dalam tubuh. Suatu MRI (NeurosurgeryPrinciples and Practice)

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


127
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Berdasar pada situasimu, dokter akan  Endovaskular coiling atau coil


membuat rekomendasi untuk intervensi embolisasi
yang tepat. Apa pun intervensi yang Endovaskular coiling adalah teknik
dipilih, perhatian utama adalah untuk invasif minimal, yang berarti insisi
mengurangi resiko perdarahan pada tengkorak kepala tidak
subarachnoid, baik secara initial atau pun dibutuhkan untuk menangani
episode perdarahan berulang. aneurisma cerebralis. Lebih jauh,
suatu kateter dimasukkan dari
pembuluh darah naik menuju
pembuluh darah dalam otak.
Fluoroskopi ( tipe spesial X ray sama
dengan „film” X ray) digunakan
untuk memandu kateter menuju
kepala dan masuk dalam aneurisma.8

Saat kateter pada tempatnya,


gulungan platinum sangat kecil
dimasukkan melalui kateter ke dalam
aneurisma. Gulungan platinum kecil,
Gambar 7. Metode craniotomi dengan klip yang tampak dengan X ray,
(NeurosurgeryPrinciples and Practice) menggambarkan bentuk dari
aneurisma. Aneurisma dengan coil
Banyak faktor dipertimbangkan ketika
menjadi tersumbat (embolisasi),
membuat keputusan penanganan untuk
mencegah ruptur. Prosedur ini
aneurisma cerebralis. Ukuran dan lokasi
dilakukan baik dengan anestesi umu
aneurisma, hadir atau absennnya gejala,
atau lokal. 8,9
usia pasien dan kondisi medis dan hadir
atau absennya faktor resiko lainnya untuk
ruptur aneurisma harus dipertimbangkan.
Pada beberapa kasus, aneurisma tidak
diobati tapi pasien akan secara ketat
diawasi oleh dokter. Pada kasus lain,
penanganan bedah dapat menjadi
indikasi.
Terdapat dua penanganan bedah primer
untuk aneurisma cerebralis:

 Open Kraniotomi (surgical clipping)


Prosedur ini meliputi bedah
Gambar 8. Terapi Aneurisma dengan metode
pengangkatan bagian tengkorak otak.
sumbat balon (NeurosurgeryPrinciples and
Dokter menemukan aneurisma dan Practice)
menempatkan suatu metal klip
sepanjang leher aneurisma untuk Dolikoektasia Arterial
mencegah aliran darah masuk Istilah yang mewakili suatu kesatuan
kantung aneurisma. Sekali klipping penyakit dari arteri yang lebih besar (
selesai, tulang tengkorak disatukan mencakup arteri intrakranial ) ditandai
kembali.8 dengan elongasi dan distensif progresif
secara bertahap dari arteri arteri yang

128 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

disebabkan oleh perubahan dalam penurunan CBF. Jika


jaringan elastik, biasanya penyakit hiperventilasi dijaga selama 6
multiple sklerosis.3 sampai 8 jam, pH kembali normal
karena transportasi dan CBF
Regulasi CBF(1) bikarbonat kembali ke tingkat pre-
1. Metabolisme daerah otak bergantung hyperventilation. Demikian,
pada penumpukan metabolit. hiperventilasi hanya berguna
Timbunan metabolit menyebabkan untuk jangka waktu yang singkat .
dilatasi lokal dari aliran darah tepi b. Jika hiperventilasi dihentikan
atau kecil di otak. Penyebab tiba-tiba, menyebabkan
mekanisme ini secara pasti belum peningkatan CO2 ke tingkat
diketahui, ini mungkin disebabkan normal, akan terjadi pengurangan
oleh penumpukan K atau H di sekitar HCO3, menyebabkan asidosis.
cairan ekstraselular arteriola. Agen Peningkatan CBF Ini bisa
lain yang dapat mempengaruhi menjadi masalah kritis ketika
metabolisme termasuk nitrous oxide hiperventilasi digunakan untuk
(NO), kalsium, adenosin, dan mengurangi tekanan intrakranial
eikosanoid seperti tromboksan dan (ICP).
prostaglandin. Kombinasi faktor- c. Ada kemungkinan bahwa
faktor ini akan memberikan hiperventilasi ekstrem ke tingkat
kontribusi metabolism otak.4 di bawah 20 mm Hg dapat
2. NO adalah vasodilator yang menyebabkan iskemia karena
dikeluarkan secara lokal oleh sel vasokonstriksi dan hiperventilasi
endotel pembuluh darah. Vasodilatasi di bawah 30 mm Hg ini tidak
ini penting bagi peraturan vaskular dianjurkan .
seluruh tubuh, tetapi peran yang tepat 4. Autoregulasi memungkinkan CBF
NO dalam mengendalikan CBF masih tetap konstan jika tekanan perfusi
harus ditentukan. Kemungkinan serebral (CPP) bervariasi antara 50
menjadi regulator penting CBF dan 150 mm Hg. Tanda-tanda iskemia
setempat, mungkin dengan serebral terlihat di bawah 50 mm Hg,
mempengaruhi mikro sirkulasi otak di atas 150 mm Hg gangguan dari
.1,4 sawar darah otak dan edema serebral
3. Karbon dioksida (CO2) dapat dapat terjadi. Penyesuaian aliran
meningkatkan vasodilatasi dan perubahan tekanan mendadak
meningkatkan CBF. CO2 yang memerlukan waktu antara 30-180
terhidrasi dengan bantuan enzym detik. Mekanisme autoregulasi belum
karbonat anhydrase yang mengarah sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin
kepada peningkatan keasaman. dipengaruhi kombinasi efek termasuk
Penurunan pH diperkirakan myogenik dan faktor-faktor
menyebabkan vasodilatasi. Ketika metabolik.
CO2 yang dibelah dua 40-20 mm Hg, a. Myogenik merupakan aktivitas
maka CBF berkurang kira-kira otot-otot dinding pembuluh darah
setengah .1 Ada beberapa hal yang terjadi akibat peningkatan tekanan
dapat menyebabkan perubahan CBF dalam pembuluh darah, ketika
antara lain ; dinding pembuluh darah ditarik,
a. Hiperventilasi menyebabkan karena akan dengan peningkatan
pengurangan CO2, peningkatan tekanan darah, otot polos
pH, dan dengan demikian kontraksi, menyebabkan

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


129
Jurnal Anestesiologi Indonesia

vasokonstriksi yang mengurangi meningkatkan aliran darah dengan


aliran. hal ini menyebabkan aliran menurunkan viskositas darah.
darah meningkat karena 8. Keadaan Hipotermia menyebabkan
meningkatnya tekanan dan metabolisme saraf menurun dan
mengakibatkan sedikit perubahan dengan demikian mengurangi CBF
dalam aliran darah. sedangkan hipertermia memiliki efek
b. Teori metabolik menyatakan sebaliknya.
bahwa tekanan berkurang 9. Tingkat metabolisme neuron yang
menyebabkan penurunan aliran mengelilingi mikrovascular daerah
dan mengurangi penumpukan mengatur aliran darah. Jika aktivitas
metabolit. Penumpukan metabolit neuron ini meningkat, tingkat
dan penurunan pH lokal metabolisme mereka meningkat, dan
menyebabkan vasodilatasi lokal aliran darah ke daerah itu meningkat
dan dengan demikian peningkatan untuk memenuhi kebutuhan oksigen
aliran darah kembali normal.1,4,7 dan glukosa. hal ini telah
c. Autoregulasi dapat terganggu oleh dimanfaatkan menggunakan
hipoksia, iskemia, hypercapnia, tomografi emisi positron untuk
trauma, dan agen anestesi pemetaan aktivitas fungsional otak.
tertentu.1,4
d. Pasien dengan hipertensi kronis
memiliki autoregulatory DAFTAR PUSTAKA
pergeseran kurva ke kanan. 1. Philippa Newfield MD, James E. Cottrell
Mereka mungkin menunjukkan MD. Physiology and Metabolism of the Brain
tanda-tanda iskemia akibat and Spinal Cord in Handbook of
penurunan tekanan aliran darah Neuroanesthesia.4th ed. Lippincott Williams
dibandingkan pasien dengan & Wilkins; 2007.1-20
2. Iskandar J(2003). CONTROL OF
normotensi. CEREBRAL BLOOD FLOW ( Digitized by
5. Tekanan parsial oksigen (PaO2) hanya USU digital library.from
berpengaruh sedikit terhadap CBF http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
bila turun sampai jatuh di bawah 50 iskandar%20japardi56.pdf, 6 juni 2009
mmHg. Pada titik ini peningkatan 3. Peter Duus. Teleensefalon atau korteks
serebral dalam diagnosis topic Neurologi
dramatis dalam aliran darah dengan anatomi, fisiologi, tanda dan gejala. Edisi 2;
lebih penurunan PaO2 terjadi. Karena Jakarta: EGC; 1996. 310-334
oksigen kapasitas darah tinggi, kritis 4. Cerebral Blood Flow. From
penurunan kandungan oksigen dalam http://www.vascularneurosurgery.com/cbf.ht
darah mungkin tidak terjadi sampai ml, 25 september 2009
5. Raymond D. Adams, M.A., M.D. Maurice
Pao2 turun di bawah ambang batas Victor, M.D. Allan H. Ropper, M.D.
sebesar 50 mm Hg. Disturbances of CSF Circulation
6. Faktor neurogenik termasuk andIntracranial Pressure in PRINCIPLES OF
adrenergik, cholinergic, dan sistem NEUROLOGY, 6th ed. New York;
serotonergik juga mempengaruhi McGRAW-HILL;1998. 261-267
6. Reinhard Rohkamm, M.D. Fundamentals in
CBF. Pengaruh terbesar mereka Color Atlas of Neurology, Stuttga,
adalah pada pembuluh darah lebih Grammlich, Pliezhausen; 2004. 10-22
besar. 7. Intracranial Pressure and Cerebral Blood
7. Hematokrit mengubah viskositas Flow, World Federation of Societies of
darah dan dengan demikian dapat AnaesthesiologistsWWW implementation by
the NDA Web Team, Oxford, from
mempengaruhi aliran darah. http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_
Hematokrit yang rendah dapat 015.htm#cbf, 25 oktober 2009

130 Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


Jurnal Anestesiologi Indonesia

8. Philippa Newfield, James E,


Cottrel.Anesthetic Management of
intracranial aneurysms in Handbook of
Neuroanesthesia, 4th ed,San Francisco,
Lipincott wiliams & wilkins, 2007
9. Joan P. Grieve and Neil D. Kitchen,
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage in
Neurosurgery Principles and Practice,
london, Springer, 2005;315-33

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009


131

Anda mungkin juga menyukai