LAPORAN KASUS
ABSTRAK
Telah dilakukan manajemen akhir hayat pada pada seorang perempuan usia 63 tahun, dengan diagnosis
ROSC pascahenti jantung, edema serebri difus, asidosis metabolik, anemia, dan hipoalbumin yang dirawat
di ICU.
Keadaan akhir hayat ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda kematian batang otak dan kegagalan
fungsional berupa kegagalan usaha nafas yang menetap pada pasien yang dapat menyebabkan kematian
pada hari ke-3 perawatan. Dokter menjelaskan tentang kondisi akhir hayat pasien berupa tanda-tanda
kematian batang otak, prognosis dan kemungkinan yang akan terjadi dan keputusan yang harus diambil
keluarga mengenai keadaan akhir hayat pada pasien. Keluarga memutuskan menerima kondisi pasien,
meminta untuk meneruskan bantuan yang sekarang diberikan namun tidak melakukan pertolongan
lanjut jika kondisi memburuk. Rohaniwan melakukan pendampingan berupa bimbingan rohani, konseling
spiritual akhir hayat, bimbingan ibadah dan doa untuk pasien. Belum ada komunikasi yang intensif antara
tim medis tentang kondisi akhir hayat pada pasien.
Pendampingan dilakukan sampai saat kematian dengan mengundang keluarga, tidak melakukan resusitasi
jantung paru sesuai permintaan keluarga dan menyatakan kematian pasien di hadapan keluarga.
ABSTRACT
An end-of-life care was performed to a 63 years old woman who was admitted in the ICU with ROSC post
cardiac arrest, diffuse cerebral edema, metabolic acidosis, anemia and hipoalbumin.
End-of-life condition was showed with symptoms of brain-stem death and functional impairment of
breathing effort that persisted at third day of care. Physician explained to patient’s family about end-of-life
condition, prognose, probability, and a desicion making that would had to make. Family decided to accept
this condition, wish to continue medication but not to resuscitate if patient’s condition became worst. A
chaplain gave spiritual care, end-of-life counceling, and praying to patient. Unfortunately, there was no
intensive communication among medical teams about end-of-life condition.
Patient care was underwent until the time of death with permitted family at patient’s bedside, not gave
cardiopulmonal resuscitation as family’s wishes and pronaounced death in front of family.
51
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 2, Maret 2015
52
Manajemen Akhir Hayat pada Pasien Kritis dI ICU
hipoalbuminemi (2,9) dan hasil analisis gas darah mg/12jam), manitol (125 mg/6jam), omeprazol
menunjukkan asidosis metabolik berat (pH : 7,01; (40 mg/24jam), fentanyl kontinu (0,5 mcg/kg/jam)
pO2 : 95,9; pCO2 : 66,7; HCO3 : 16,6; BE : -24; SO2 dan norepinefrin dosis titrasi. Pasien direncanakan
: 99,8; AaDO2 : 398,8). Dari pemeriksaan CT scan untuk monitoring dan stabilisasi kardiorespirasi.
kepala didapatkan edema serebri difus dan tidak Selain perawatan oleh dokter ICU, pasien juga
tampak perdarahan atau massa intrakranial. dirawat bersama dengan dokter saraf, bedah saraf
Pasien kemudian dipindahkan ke ICU dengan dan penyakit dalam.
kesadaran koma, tekanan darah 130/70 mmHg, Keluarga pasien diberikan edukasi oleh dokter
laju nadi 116 x/mnt, kecepatan respirasi 14 x/mnt ICU tentang penyakit yang diderita pasien meliputi
on bagging dan suhu tubuh 36,7 C. Pemeriksaan penyebab, tanda, gejala, indikasi perawatan
kepala didapatkan konjunctiva anemis, pupil ICU dan prognosis. Keluarga juga dijelaskan
isokor diameter 3/3 mm, refleks cahaya +/+, refleks tentang tindakan medis yang akan dilakukan dan
kornea +/+. Pemeriksaan thoraks didapatkan komplikasi yang mungkin akan terjadi.
vesikuler ka=ki, rhonki -/- , wheezing -/-. Abdomen Pada perawatan hari ke-3 didapatkan
dan ekstremitas tidak didapatkan kelainan. Pasien hilangnya refleks batang otak. Kesadaran pasien
dirawat dengan masalah aktif ROSC pascahenti koma dengan GCS E1M1VT, pupil isokor diameter
jantung, edema serebri difus, anemia, leukositosis, 4/4 mm, refleks kornea -/-, refleks cahaya -/-,
hipoalbuminemi dan asidosis metabolik berat. gag reflex (-), doll’s eye (-). Dilakukan edukasi
Pasien dipasang monitor EKG, pengukur tentang tanda-tanda kematian batang otak
tekanan darah non invasif dan pulse oxymetri. kepada keluarga, prognosis dan keputusan yang
Pasien diposisikan supine head up 30 derajat, harus diambil. Setelah melakukan rapat internal,
pemasangan ventilator dengan mode PSIMV keluarga memutuskan menerima kondisi pasien,
(FiO2 50%, Pc 15, RR 14, PEEP 5), terapi cairan meminta untuk meneruskan bantuan hidup
maintenans dan pemasangan NGT. Dilakukan yang sudah diberikan namun menolak untuk
pemeriksaan laboratorium lengkap, AGD dan foto dilakukannya pertolongan lanjut jika kondisi
ronsen. Terapi medikamentosa yang diberikan memburuk mendekati kematian.
adalah cefotaxim (1 gr/12jam), citicholin (250
53
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 2, Maret 2015
Pada perawatan hari ke-4 kondisi pasien penyakit atau kegagalan fungsional yang menetap
semakin memburuk. Dilakukan edukasi akhir dan fluktuatif, 2) gejala tersebut didasari oleh
hayat pada keluarga berupa penjelasan tentang penyakit yang ireversibel dan dapat menyebabkan
kondisi hemodinamik yang turun, kesempatan kematian.2, 10
untuk mendoakan dan penawaran pendampingan Pada pasien ini keadaan akhir hayat
rohaniawan. Rohaniawan melakukan pendam- ditunjukkan dengan hilangnya refleks batang
pingan berupa bimbingan rohani, konseling otak pada hari ke-3 perawatan. Terjadi kegagalan
spiritual akhir hayat, bimbingan ibadah dan doa fungional berupa kegagalan usaha nafas yang
kepada pasien. menetap pada pasien yang dapat menyebabkan
Pukul 10.00 hemodinamik pasien tidak stabil kematian.
dengan bradikardi 38 x/mnt, tekanan darah tidak
terukur, SpO2 tidak terbaca. Atas kesepakatan
dengan keluarga, tidak dilakukan resusitasi lebih 2. Pengelolaan Gejala dan Pelayanan Paliatif
lanjut pada pasien. Pasien kemudian dinyatakan Banyak gejala nyata yang dapat terlihat pada
meninggal di hadapan keluarga. kondisi akhir hayat, dan gejala tersebut harus
cepat dikenali. Gejala nyata tersebut meliputi,
C. PEMBAHASAN namun tidak terbatas pada : nyeri, sesak nafas,
1. Mengenali Kondisi Akhir Hayat sekresi berlebihan, depresi dan dimensia. Nyeri
Penting bagi seorang dokter ICU untuk merupakan gejala yang ditakutkan pasien,
mengenali kondisi akhir hayat pada pasien. Hal sehingga manajemen nyeri yang baik dan agresif
ini menjadi penting bukan hanya karena dokter akan memberikan ketenangan. Lebih dari
harus terlibat dalam rencana akhir hayat, namun 50% pasien dengan sakit kritis di rumah sakit
juga karena hanya sekitar 45% pasien yang dapat mengeluhkan berbagai derajat nyeri. Nyeri di ICU
dikenali bahwa mereka sedang dalam kondisi biasanya berhubungan dengan sebab iatrogenik,
akhir hayat. Meskipun sebagian besar orang prosedur dan intervensi. Prosedur yang biasanya
tidak ingin meninggal di rumah sakit, nyatanya memberikan ketidaknyamanan di ICU misalnya
lebih dari setengah populasi meninggal di rumah suctioning, insersi kateter, perawatan luka dan
sakit. Dokter biasanya menaruh harapan berlebih terpasangnya pipa ET. Meminimalkan atau
terhadap kehidupan pasien, sehingga pergeseran menghilangkan nyeri sumber iatrogenik hendaknya
pelayanan dari pemberian bantuan hidup menuju menjadi bagian dari perencanaan pengelolaan
perawatan paliatif menjadi tantangan intelektual nyeri. Saat pasien tidak dapat mengeluhkan sendiri
tersendiri. Kemampuan dokter untuk membuat derajat nyerinya, sistem penskoran berdasarkan
prognosis yang akurat juga seringkali terpengaruh variabel fisiologis dan behavioral dapat menjadi
oleh keputusan pasien atau keluarganya tentang dasar objektif bagi penilaian nyeri. Nyeri
keadaan akhir hayat, terutama pada pasien non- hendaknya dinilai dengan sungguh-sungguh. Dosis
kanker.5 obat anti nyeri harus terjadwal dan diresepkan
Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung sesuai dengan kebutuhan pasien.5
definisi yang tepat dari keadaan akhir hayat. Sesak nafas dan distres respirasi adalah gejala
Keadaan akhir hayat biasanya lebih didasarkan yang umum pada pasien yang masuk ICU. Data
pada definisi aturan lingkungan setempat menunjukkan bahwa terapi pada sesak nafas di
daripada data ilmiah. Definisi setempat inilah yang masa akhir hayat cenderung tidak sempurna.
menjadi penghalang bagi peningkatan kualitas Pendekatan terbaik adalah dengan melacak
pelayanan dan penelitian tentang kondisi akhir sumber sesak nafas, tingkat kesadaran pasien dan
hayat. Meskipun demikian, beberapa keadaan kebutuhan pasien. Beberapa pendekatan dapat
yang diyakini menjadi petunjuk proses akhir hayat mengobati gejala secara langsung sehingga dapat
diantaranya : 1) adanya penyakit kronis atau gejala memperpanjang hidup, seperti suplementasi
54
Manajemen Akhir Hayat pada Pasien Kritis dI ICU
oksigen, kortikosteroid, diuretik dan bronkodilator. harus dipahami adalah bahwa penarikan terapi
Dokter harus bekerja sama dengan pasien dan penopang hidup merupakan salah satu prosedur
keluarganya untuk menentukan pendekatan paling standar dalam pengelolaan pasien kritis. Dokter
optimal untuk pasien secara individual.5 hendaknya mengikuti langkah-langkah prosedur
Delirium adalah gejala yang umum dalam ini seperti halnya mengikuti prosedur lain seperti
keadaan akhir hayat. Gejala distres seperti intubasi endotrakea atau kateterisasi vena sentral.
nyeri atau sesak nafas dapat berkontribusi Komunikasi dengan keluarga dan mempersiapkan
menyebabkan delirium. Gejala ini harus diatasi mereka untuk proses penarikan terapi merupakan
terlebih dahulu dengan analgesia dan terapi lain langkah penting. Misalnya, dokter memberi
sebelum pemberian obat sedatif. Melepas ikatan pengertian tentang pola nafas normal pada
pasien, menginduksi tidur, mengurangi suara dan pasien yang akan mengalami kematian, dan tidak
cahaya dan mengijinkan pendampingan keluarga menyebutnya sebagai nafas agonal. Hal ini akan
adalah beberapa usaha untuk mengurangi efek memberikan kecemasan kepada keluarga pasien.5
negatif delirium dan meminimalkan penggunaan Sama seperti prosedur klinis lainnya,
obat sedatif. Saat penggunaan obat sedatif perencanaan yang jelas dalam prosedur penarikan
menjadi terapi utama untuk agitasi di akhir hayat, terapi membantu memastikan tidak ada hal yang
penggunaannya dapat menghilangkan interaksi terlewat, misalnya menghentikan terapi rutin
yang berharga antara pasien dan keluarganya yang membuat pasien tidak nyaman (seperti
sebelum meninggal, sehingga hendaknya foto ronsen dan pengambilan sampel darah).
digunakan sebagai usaha terakhir. Perencanaan yang baik juga memungkinkan
Pada pasien ini tidak didapatkan gejala nyeri, dokter untuk mengadakan kontak dengan
sesak nafas, depresi atau dimensia. Sejak pertama pekerja sosial, pemuka agama dan koordinator
kali masuk, pasien dalam keadaan koma dengan donor organ. Dokter harus membantu keluarga
GCS E1M1VT dan tidak ada perbaikan tingkat menghadapi proses kematian. Targetnya adalah
kesadaran selama perawatan. Meskipun demikian, memberikan pasien dan keluarganya cukup ruang
pasien masih mendapatkan terapi analgesia berupa dan kesempatan untuk menghadapi kematian
fentanyl kontinu dengan dosis 0,5 mcg/kg/jam. dengan tenang. Jika proses kematian berangsung
Pelayanan paliatif berhubungan dengan lama dan tempat di ICU tidak memungkinkan
pengurangan penderitaan. Pengurangan terjadinya proses kematian seperti ini, pasien bisa
penderitaan bukan saja meringankan gejala dipindahkan ke tempat lain di rumah sakit.5
fisik seperti nyeri, namun juga mengurangi stres Saat sudah dibuat keputusan untuk
psikologi, sosial dan spiritual. Meskipun target mengalihkan strategi dari pengobatan menuju
pelayanan medik sangat penting, pengurangan kenyamanan pasien, semua terapi di ICU hendaknya
penderitaan pada pasien juga sama pentingnya dievaluasi apakah terapi tersebut memberikan
Untuk itu, melibatkan tim pelayanan paliatif sejak kontribusi positif bagi kenyamanan pasien.
awal pada pelayanan pasien sakit kritis tidak Pengobatan seperti antibiotik, obat vasoaktif,
hanya dapat membantu pasien, namun juga dapat hemodialisis dan nutrisi intravena biasanya tidak
membantu keluarga pasien memahami penyakit memberikan kenyamanan pada pasien dan dapat
yang diderita pasien, baik sebelum dan sesudah dihentikan selama proses penarikan terapi. Dokter
kematiannya. juga biasa menentukan batas terapi yang tidak
diindikasikan seperti resusitasi jantung paru,
3. Penarikan Terapi Penopang Hidup sembari melanjutkan terapi agresif lain.5
Praktik klinis seputar penarikan terapi Keputusan untuk menghentikan terapi
penopang hidup merupakan kombinasi dari idealnya melibatkan pasien sebelum dia tidak
pertimbangan teoritis, data empirik dan bisa berkomunikasi dan melalui komunikasi
pengalaman klinis. Salah satu konsep penting yang dengan keluarganya. Komunikasi ini paling baik
55
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 2, Maret 2015
dilakukan di awal masa perawatan pada penyakit prognosis penyakit, menjelaskan kemungkinan
tahap terminal. Sayangnya, pada unit perawatan hasil dari keputusan yang diambil, memastikan
modern, hubungan dokter-pasien seperti ini jarang pasien memahami penjelasan yang diberikan,
terjadi. Jika pasien tidak memiliki kapasitas untuk mendiskusikan keinginan pasien dan mencapai
membut keputusan, maka keluarga atau orang- kesepakatan tentang program terapi yang paling
orang di sekitarnyalah yang mengambil keputusan sesuai dengan pasien.8
dengan mempertimbangkan harapan pasien Pada prinsip otonomi, pasien yang masih
sebelumnya. Keputusan penghentian pengobatan mampu membuat keputusan sendiri berhak
dibagi menjadi dua bagian : pasien dengan ventilasi menolak semua pengobatan termasuk terapi
mekanik atau pasien tanpa ventilasi mekanik. yang menunjang kehidupannya. Standar ini
Saat pasien menggunakan ventilasi mekanik, menjadi masalah di ICU karena 95% pasien di ICU
tim pelayanan kesehatan dapat memper- tidak mampu membuat keputusan sendiri akibat
timbangkan penghentian pengobatan saat penyakit yang diderita maupun karena sedasi yang
ventilasi mekanik tidak lagi bermanfaat dan tidak diberikan.
lagi memberikan tujuan terapi yang diharapkan. Penyakit yang menimpa pada pasien ini
Tentu saja, kebutuhan kultural dan spiritual harus datang dengan tiba-tiba dan kondisi pasien
selalu dipertimbangkan, mencakup kapan, dimana segera memburuk sampai koma. Pada keadaan
dan siapa yang harus menyaksikan penghentian seperti ini tidak memungkinan bagi pasien untuk
ventilasi mekanik. Pasien dan keluarganya harus memutuskan sendiri nasib mereka.
tetap dibuat nyaman, sehingga penting untuk Saat pasien tidak mampu membuat keputusan
melakukan dialog dan komunikasi dengan keluarga sendiri, keputusan dibuat oleh orang-orang di
secara terus menerus. sekitarnya. Penelitian yang melibatkan keluarga
Atas permintaan keluarga, pada pasien ini pasien dengan penyakit terminal menunjukkan
tidak dilakukan penarikan terapi penopang hidup. bahwa keputusan yang dibuat oleh orang-orang di
Saat ditemukan hilangnya refleks batang otak, sekitar pasien cenderung sejalan dengan keinginan
terapi pendukung seperti obat vasokonstriktor dan pasien, terutama jika orang-orang tersebut
ventilasi mekanik tetap dilanjutkan. sebelumnya telah berdiskusi dengan pasien tentang
keadaan akhir hayat. Sebagian besar pasien yang
Pembuatan Keputusan diteliti juga menyatakan kecenderungan untuk
Dokter pada masa-masa awal ICU memberikan hak kepada keluarga dalam membuat
seringkali bekerja dalam pola paternalistik yang keputusan medis bagi dirinya di saat mereka sendiri
memungkinkan mereka untuk menentukan pasien tidak mampu membuat keputusan.7,8
mana yang akan menerima manfaat tindakan Pelayanan yang berpusat pada keluarga dan
intervensi medis serta melaksanakan intervensi melihat pasien sebagai manusia yang terikat
tersebut dengan sesuai. Pola ini didukung oleh dengan struktur sosial dan hubungan kekerabatan
asumsi bahwa dokter lebih memiliki kualifikasi menjadi metode pelayanan akhir hayat yang
dibandingkan pasien untuk membuat keputusan ideal. Pendekatan ini berimplikasi penting dalam
karena memiliki pengetahuan dan pengalaman pembuatan keputusan.
yang lebih banyak. Pola seperti ini sampai sekarang Pelayanan terhadap anggota keluarga pasien
masih digunakan dokter, terutama dalam situasi merupakan bagian penting dari pelayanan pasien
gawat darurat.8 kritis. Pelayanan yang berpusat pada keluarga
Pada saat ini, prinsip penghormatan kepada menghargai nilai, tujuan dan kebutuhan pasien
otonomi pasien telah mendominasi pembuatan dan keluarganya, termasuk memahamkan
keputusan. Pada model ini, pasien berhak kepada mereka tentang penyakit yang diderita
menentukan sendiri nasib mereka, sedangkan pasien, prognosis dan pilihan terapi yang akan
dokter berperan mendiskusikan proses alami dan diberikan. Dukungan kepada keluarga juga
56
Manajemen Akhir Hayat pada Pasien Kritis dI ICU
57
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 2, Maret 2015
hayat. Setelah keluarga menyetujui pendampingan oleh tim dokter yang terdiri atas 3 (tiga) orang
rohaniwan, petugas ICU kemudian menghubungi dokter yang kompeten. Anggota tim tersebut
seorang rohaniwan sesuai agama pasien. harus melibatkan dokter spesialis anestesi dan
Rohaniwan melakukan pendampingan berupa dokter spesialis syaraf. Dalam hal penentuan mati
bimbingan rohani, onseling spiritual akhir hayat, batang otak dilakukan pada calon donor organ,
bimbingan ibadah dan doa untuk pasien. maka tim dokter bukan merupakan dokter yang
Kemampuan tim medis di ICU untuk terlibat dalam tindakan transplantasi. Meskipun
mendukung nilai-nilai spiritualitas pasien menjadi keputusan dibuat oleh tim dokter, namun masing-
salah satu indikator kualitas pelayanan akhir hayat masing anggota tim melakukan pemeriksaan
pada rumah sakit. Dokter juga harus memahami secara mandiri dan terpisah.11
dan sensitif pada pengaruh agama dan spiritualitas
dalam pengambilan keputusan pasien dan 6. Saat Kematian
keluarganya di saat akhir hayat.7 Pernyataan kematian adalah saat yang sangat
serius dan kompetensi yang sangat penting dalam
5. Komunikasi diantara Tim Medis pelayanan akhir hayat. Pada saat ini dibutuhkan
Komunikasi diantara tim medis di ICU meliputi kepemimpinan seorang dokter dan keterlibatan
tim pelayanan primer, tim bedah dan perawat profesional lain seperti perawat, pemuka agama
ICU merupakan hal yang sangat penting dalam atau pekerja sosial. Komunikasi yang terjalin
pelayanan akhir hayat. Komunikasi yang tepat dan harus menghindari bahasa perumpamaan
inklusif terbukti dapat meningkatkan pemahaman dan menggunakan bahasa lugas secara halus
tentang rencana pengelolaan pasien pada semua dan empatik yang mudah dimengerti seperti :
tim pelayanan. Dalam komunikasi tersebut bisa kematian, meninggal. Sebagian besar keluarga
muncul perbedaan pendapat tentang kapan pasien memerlukan jaminan bahwa semua yang perlu
diputuskan dalam keadaan akhir hayat, atau sudah dilakukan untuk membantu pasien. Kabar
kapan merekomendasikan penarikan pengobatan kematian hendaknya disampaikan langsung secara
kepada keluarga pasien. Meskipun demikian, personal.12
setiap anggota tim harus belajar untuk tetap Saat kondisi pasien terus memburuk
berkomunikasi secara efektif karena keterbukaan mendekati kematian, keluarga diundang untuk
komunikasi berhubungan dengan derajat mendampingi pasien. Atas permintaan keluarga,
pemahaman mereka tentang tujuan pelayanan pasien tidak dilakukan resusitasi jantung paru saat
pada pasien.7 terjadi henti jantung. Saat sudah terjadi kematian
Kekurangan dari pelayanan akhir hayat pada klinis, dokter menyatakan kematian pasien di
pasien ini adalah belum dilakukannya komunikasi hadapan keluarga.
yang intensif antara tim medis tentang kondisi akhir
hayat pada pasien. Meskipun terdapat hilangnya D. SIMPULAN
refleks batang otak, namun diagnosis definitif Telah dilakukan manajemen akhir hayat pada
mati batang otak belum bisa ditegakkan karena pada seorang perempuan usia 63 tahun, berat
diagnosis definitif membutuhkan pemeriksaan badan 55 kg, dengan diagnosis ROSC pascahenti
oleh tiga orang dokter ahli anestesi dan atau saraf. jantung, edema serebri difus, perdarahan intra
Meskipun pasien dikelola bersama oleh dokter ahli ventrikel, asidosis metabolik, anemia, hipoalbumin
saraf, bedah saraf dan penyakit dalam, namun yang dirawat di ICU.
tidak ada pertemuan khusus untuk membahas Pada pasien ini keadaan akhir hayat ditunjukkan
kondisi ini. dengan adanya tanda-tanda kematian batang otak
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor pada hari ke-3 perawatan dan kegagalan fungional
37 tahun 2014 disebutkan bahwa penentuan berupa kegagalan usaha nafas yang menetap pada
seseorang mati batang otak hanya dapat dilakukan pasien yang dapat menyebabkan kematian. Tidak
58
Manajemen Akhir Hayat pada Pasien Kritis dI ICU
didapatkan gejala nyeri, sesak nafas, depresi atau 4. Siegel MD, End-of-life decision making in the
dimensia. ICU. Clin Chest Med. 2009; 30. p.181–194
Dokter menjelaskan tentang kondisi akhir 5. Papadimos TJ, Maldonado Y, Tripathi RS, et al.
hayat pasien berupa tanda-tanda kematian An overview of end-of-life issues in the inten-
batang otak, prognosis dan kemungkinan yang sive care unit. International Journal of Critical
akan terjadi dan keputusan yang harus diambil Illness and Injury Science. 2011; 1. p.
keluarga mengenai keadaan akhir hayat pada 6. Ward NS, Levy MM. End-of-life issues in the
pasien. Keluarga memutuskan menerima kondisi Intensive Care Unit. In : Fink MP, Abraham E,
pasien, meminta untuk meneruskan bantuan Vincent JL, Kochanek PM, eds. Textbook of
yang sekarang diberikan namun tidak melakukan Critical Care. 5th ed. Philadelphia : Elsevier
pertolongan lanjut jika kondisi memburuk. Saunders; 2005. p. 2169-72
Rohaniwan melakukan pendampingan berupa 7. Truog RD, Campbell ML, Curtis JR, et al. Rec-
bimbingan rohani, konseling spiritual akhir ommendations for end-of-life care in the in-
hayat, bimbingan ibadah dan doa untuk pasien. tensive care unit: A consensus statement by
Sayangnya belum ada komunikasi yang intensif the American College of Critical Care Medicine.
antara tim medis tentang kondisi akhir hayat pada Crit Care Med. 2008; 369(3). p. 953-63
pasien. 8. Luce JM. End-of-life decision making in the
Pendampingan dilakukan sampai saat Intensive Care Unit. Am J Respir Crit Care Med.
kematian dengan mengundang keluarga, 2010; 182. p. 6–11
tidak melakukan resusitasi jantung paru sesuai 9. Lautrette A, Darmon M, Megarbane B, et al.
permintaan keluarga dan menyatakan kematian A communication strategy and brochure for
pasien di hadapan keluarga. relatives of patients dying in the ICU. N Engl J
Med. 2007; 356(5). p.
DAFTAR PUSTAKA 10. Todi S, Chawla R. Ethical principles in end-of-
1. Angus DC, Barnato AE, Linde-Zwirble WT, et life care. In : Todi S, Chawla R, eds. ICU Proto-
al. Use of intensive care at the end of life in cols. New York : Springer; 2012. p. 655-60
the United States: An epidemiologic study. Crit 11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indo-
Care Med. 2004; 32. p.638–643 nesia nomor 37 tahun 2014 Tentang Penentuan
2. National Institute of Health. NIH State-of-the- Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor.
Science Conference Statement on Improving 12. Singer M, Webb AR. Oxford Handbook of Criti-
End-of-Life Care. NIH; 2004 cal Care, 2nd ed. London : Oxford University
3. Thelen M. End-of-life decision making in inten- Press Inc; 2005. p.
sive care. Crit Care Nurse. 2005; 25. p.28-37.
59