Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Penyakit CKD


1. Pengertian
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer, 2001).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju
filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan
berat (Mansjoer, 2007).

2. Etiologi/FaktorPredisposisi
Menurut Price dan Wilson (2005) menyebutkan ada eberapa etiologi dari gagal ginjal
kronik antara lain :
a. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinyatidakjelas,akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi
tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan menjadi primer dan sekunder. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya
nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.
b. Infeksi (pielonefritis kronik)
c. Gangguan kongenital dan herediter, seperti penyakit polikistik ginjal, dan
asidosis tubulus.
d. Penyakit metabolik, seperti diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme.
e. Nefropatik toksik, misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal

1
3. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (
Barbara C Long, 2008).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis (Smeltzerdan Bare, 2001).

2
4. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus Kockroft
– Gault sebagai berikut :
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
(Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI)
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus :
( 𝟏𝟒𝟎 − 𝐮𝐦𝐮𝐫 ) 𝐱𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭𝐛𝐚𝐝𝐚𝐧 ( 𝐤𝐠 )
𝐂𝐥𝐞𝐚𝐫𝐚𝐧𝐜𝐞𝐜𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐧 ( 𝐦𝐥/ 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐭 ) =
𝟕𝟐𝐱𝐜𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐬𝐞𝐫𝐮𝐦
Pada wanita:
(𝟏𝟒𝟎 − 𝐮𝐦𝐮𝐫)𝐱𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭𝐛𝐚𝐝𝐚𝐧(𝐤𝐠)
𝐂𝐥𝐞𝐚𝐫𝐚𝐧𝐜𝐞𝐜𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐧(𝐦𝐥/𝐦𝐞𝐧𝐢𝐭) = 𝐱𝟎, 𝟖𝟓
𝟕𝟐𝐱𝐜𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐢𝐬𝐞𝐫𝐮𝐦

Sistem klasifikasi CKD yang sekarang dipakai diperkenalkan oleh NKFK/DOQI


berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis, laboratorium dan
pencitraan. Tujuan adanya sistem klasifikasi adalah untuk pencegahan, identifikasi awal
gangguan ginjal, dan penatalaksanaan yang dapat mengubah perjalanan penyakit
sehingga terhindar dari end stage renal disease (ESRD).1-4 Namun demikian sistem
klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada pasien dengan usia 2 tahun ke atas, karena
adanya proses pematangan fungsi ginjal pada anak dengan usia di bawah 2 tahun
Tabel 1. Klasifikasi stadium CKD NKF-K/DOQI
Stadium GFR (ml/mnt/1,73 m2) Deskripsi
1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/ meningkat
2 60 – 89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
3 30 – 59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang

3
4 15 – 29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat
5 <15 atau dialysis Gagal ginjal

Tabel 2. GFR normal pada anak dan remaja


Usia GFR rata-rata ± SD (ml/mnt/1,73 m2)
1 minggu (laki-laki dan perempuan) 41 ± 15
2-8 minggu ( laki-laki dan perempuan) 66 ± 25
< 8 minggu (laki-laki dan perempuan) 96 ± 22
2-12 tahun (laki-laki dan perempuan) 133 ± 27
13-21 tahun (laki-laki) 140 ± 30
13-21 tahun (perempuan) 126 ± 22

5. Gejala Klinis
Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut :
a. Gangguan kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum), edema periorbital,
Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, batuk dengan sputum kental, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein
dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut.
d. Gangguan Integumen
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
e. Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
f. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

4
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
g. Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga
rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni

6. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
- Konjungtiva anemis
- Mata nistagmus, miosis, pupil asimetris
- Kulit tampak kering, bersisik, mengkilat, ekimosis
- Kuku tipis dan rapuh
- Edema tungkai
- Pembesaran vena jugularis
- Edema periorbital
- Nafas dangkal
b. Palpasi
- Pitting edema
- Distensi vena jugularis
- Kulit teraba kering dan bersisik
- Kekuatan otot menurun
c. Auskultasi
- Krekels pada paru
- Friction rub pericardial
- Disritmia jantung
7. Pemeriksaan diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan adalah laboratorium darah dan laboratorium urin

5
b. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,ginjal dan adanya masa , kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian
c. Pemeriksaan radiologi
- Ultrasono ginjal endoskopi ginjal, nefroskopi dan arteriogram ginjal
d. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
e. Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg (Doenges, 2000)
8. Penanganan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Manjoer, 2000).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK.
4) Kontrol hipertensi
Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan
diatur tersendiri tanpa tergantung tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop,
selain obat antihipertensi.

6
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, atau transplantasi ginjal.
1) Pengertian
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti
nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black &
Hawks, 2006; Ignatavicius & Workman, 2006). Dialisa adalah suatu proses
difusi solute dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya (Price & Wilson, 2006).
2) Epidemiologi
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai
Desember tahun 2011, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang
tercatat dari Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat
inap dan laporan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2011 jumlah pasien
yang mengalami rawat jalan adalah 661. Peningkatan kasus baru hemodialisa
sebesar 33% pertahun. Diperkirakan telah lebih dari 100.000 pasien yang akhir-
akhir ini menjalani dialisis.
3) Tujuan Hemodialisa
a) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer (asam basa) tubuh.
e) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.

7
4) Indikasi Hemodialisa
Indikasi dilakukannya hemodialisa secara umum, diantaranya yaitu: (Brunner
& Suddarth, 2008)
a) Gagal ginjal akut
b) Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
c) Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
d) Ureum lebih dari 200 mg/dl
e) pH darah kurang dari 7,1
f) Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
g) Intoksikasi obat dan zat kimia
h) Sindrom hepatorenal
5) Kontraindikasi Hemodialisa
a) Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa.
b) Akses vaskuler sulit.
c) Instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
d) Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal,
dan sindrom otak organik(Pernefri, 2006)
6) Fisiologi dan Prinsip Dasar Hemodialisa
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan fungsi tersebut. Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat
membran semipermeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih
pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi
solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan
cara osmosis atau ultrafiltrasi (Brunner & Suddarth, 2008). Membran
semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau
bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan
berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul
air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan
protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-
pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut

8
gradien konsentrasi. Ada 3 prinsip dasar dalam hemodialisa yang bekerja pada
saat yang sama, yaitu: (Price & Wilson, 2006)
a) Proses Difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut.
Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam
kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati
membran semipermiabel demikian juga sebaliknya.
b) Proses Ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara
simultan dari kompartemen darah ke dalam kompartemen dialisat melalui
membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi
hidrostatik dan osmotik.
c) Proses Osmosis
Proses osmosis merupakan proses berpindahnya air karena tenaga kimia,
yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat (Lumenta), di mana terjadi
perpindahan cairan dari larutan dengan osmolaritas rendah ke osmolaritas
yang lebih tinggi.
7) Komponen Hemodialisa
a) Dializer
Dializer atau ginjal buatan terdiri dari membran semi permeabel yang
memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dializer merupakan kunci
utama dalam proses hemodialisa. Dializer berbentuk silinder dengan
panjang rata-rata 30 cm dan diameter 7 cm dan di dalamnya terdapat
ribuan filter yang sangat kecil. Dializer terdiri dari 2 kompartemen
masing-masing untuk cairan dialysate dan darah.
b) Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialisa dipakai sebagai pencampur dialisat pekat
(diasol). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu sesi hemodialisis seorang
pasien adalah sekitar 120 Liter.

9
c) Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi
tertentu. Jenis larutan dialisat yang sering digunakan yaitu dialisat
bicarbonate.
d) Sistem Pemberian Dialisat
Sistem pemberian dialisat yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi
otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol
rasio konsentrat-air.
e) Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan
darah dari tempat tusukan vaskuler kepada dializer. Kecepatan dapat diatur
biasanya antara 200-300 ml per 3,3-8,33 menit. Untuk pengendalian
ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya
terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan
dialisat harus dipanaskan antara 340-390C sebelum dialirkan kepada dializer.
f) Arterial-Venouse Blood Line (AVBL)
Arterial Blood Line (ABL) adalah tubing atau line plastic yang
menghubungkan darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju
dialiser, disebut inlet ditandai dengan warna merah. Venouse Blood Line
(VBL) adalah tubing atau line plastic yang menghubungkan darah dari
dialiser dengan tubing akses vaskular menuju tubuh pasien disebut outlet
ditandai dengan warna biru.
g) Tusukan Vaskuler
Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita
menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ke tubuh penderita. Darah
harus dapat keluar dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400
ml/menit. Teknik-teknik akses vaskuler utama untuk hemodialisis
dibedakan menjadi akses eksternal dan akses internal (Price & Wilson,
2006). Akses Internal (Permanen) terdiri dari Arterio-Venous Fistula
(AVF) dan Arterio-Venous Graft (AVG). AVF dibuat dengan teknik bedah

10
melalui anastomosis langsung dari suatu arteri dengan vena (biasanya arteri
radialis dan vena sefalika pergelangan tangan). Hubungan ke sistem dialisis
dibuat dengan menempatkan satu jarum di distal (garis arteri) dan sebuah
jarum lagi di proksimal (garis vena) pada vena yang sudah di arterialisasi
tersebut (Price & Wilson, 2006). AVG diciptakan dengan menempatkan
ujung kanula dari teflon dalam arteri (biasanya arteri radialis atau tibialis
posterior) dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung-ujung kanula kemudian
dihubungkan dengan selang karet silikon dan suatu sambungan teflon yang
melengkapi pirau. Pada waktu dilakukan dialisis, maka selang pirau
eksternal dipisahkan dan dibuat hubungan dengan dializer. Darah kemudian
mengalir dari jalur arteri, melalui dializer dan kemudian kembali ke vena.
Sedangkan akses eksternal atau kateter adalah suatu pipa berlubang yang
dimasukkan ke dalam vena subklavia, jugularis, atau vena femoralis yang
memiliki akses langsung menuju jantung kateter ini merupakan akses
vaskular sementara. Akses ini digunakan jika akses internal tidak dapat
digunakan untuk pengobatan, dan pasien membutuhkan dialisis darurat.
8) Proses Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh
penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut
dialyzer. Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk
memenuhi kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buatan di antara
arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan. Dua jarum
berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi
fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena
subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi
aseptic. Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu
oleh pompa darah. Untuk mencegah pembekuan darah selama berada
dalam dializer maka diberikan heparin. Di dalam dializer, suatu selaput
buatan yang memiliki pori-pori memisahkan darah dari suatu cairan
(dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang menyerupai cairan tubuh
normal. Tekanan di dalam ruang dializer lebih rendah dibandingkan dengan

11
tekanan dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun
di dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat.
Tetapi sel darah dan protein yang besar tidak dapat menembus pori-pori
selaput buatan ini. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa
yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah
akan dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah,
yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi
yang lebih rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin
dialysis. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini
diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau
keseimbangan cairan. Sistem bufer tubuh dipertahankan dengan
penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat kedalam darah
pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah
yang telah dicuci lalu dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Darah yang
telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri
dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin,
dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien (Brunner &
Suddarth, 2008).
9) Teknik Dan Prosedur Hemodialisa
Melakukan Punksi dan Kanulasi, Suatu tindakan memasukkan jarum AV
Fistula ke dalam pembuluh darah untuk sarana hubungan sirkulasi yang
akan digunakan selama proses hemodialisis. Tujuan adalah agar proses
hemodialisis dapat berjalan lancar sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Punksi dan kanulasi terdiri dari punksi cimino dan punksi femoral.

12
a) Punksi Cimino
Persiapan Alat-alat
- 1 buah bak instrumen besar, yang terdiri dari: 3 buah mangkok kecil (1
untuk tempat NaCL, 1 untuk tempat Betadine, 1 untuk Alkohol 20%),
arteri klem
- 1 spuit 20 cc, 1 spuit 10 cc, 1 spuit 1 cc
- Kassa 5 lembar (secukupnya), IPS sarung tangan, lidocain 0,5 cc (bila
perlu)
- Plester, masker, 1 buah gelas ukur / math can, 2 buah AV Fistula
- Duk steril, perlak untuk alas tangan, plastik untuk kotoran

Persiapan Pasien
- Timbang berat badan, observasi tanda-tanda vital dan anamnesis
- Raba desiran pada cimino apakah lancer
- Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin
- Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari mesin ke
tubuh pasien
- Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai
- Letakkan perlak di bawah tangan pasien
- Dekatkan alat-alat yang akan digunakan
Persiapan Perawat
- Mencuci tangan, memakai masker, buka bak instrumen steril
- Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%,
dan Betadine
- Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrument, memakai sarung
tangan
- Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila digunakan)
- Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV
Fistula

13
Memulai Desinfektan
- Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah
cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar, lalu
masukkan kassa bekas ke kantong plastic
- Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan
vena lain dengan cara seperti no.1
- Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering,
masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan di
gelas ukur
- Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk ditutupkan di
tangan
Memulai Punksi Cimino
- Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi)
dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.
- Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose
- Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm
- Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain
- Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril
Memasukkan Jarum AV Fistula
- Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat
pada saat pemberian anestesi lokal
- Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan
NaCl 0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan
ujung AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan
pada atas sayap fistula diberi kassa steril dan diplester
- Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan inlet
dan outlet usahakan lebih dari 3 cm
- Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian
pasang sensor monitor
- Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien

14
- Bila aliran kurang dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan
penusukan pada daerah femoral
- Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang dapat
dipakai kembali di bawa ke ruang disposal
- Penusukan selesai, perawat mencuci tangan
b) Punksi Femoral
Cara Melakukan Punksi Femoral
- Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang aka digunakan penusukan
- Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki yang akan
ditusuk fleksi
- Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral dengan cara
menaruh 3 jari di atas pembuluh darah arteri, jari tengah di atas arteri
- Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk penusukan jarum AV
Fistula
Melakukan Kanulasi Double Lumen
- Observasi tanda-tanda vital
- Jelaskan pada pasien tindakan yang akan dilakukan
- Berikan posisi tidur pasien yang nyaman, dekatkan alat ke pasien
- Perawat mencuci tangan
- Buka kassa penutup catheter dan lepaskan pelan-pelan
- Perhatikan posisi catheter double lumen: apakah terteku, apakah posisi
catheter berubah, apakah ada tanda-tanda meradang /nanah? Jika ada
laporkan pada dokter
- Memulai desinfektan
- Tentukan posisi kateter dengan tepat dan benar
- Pangkal kateter diberi Betadine dan ditutup dengan kassa steril
- Kateter difiksasi kencang
- Kateter double lumen siap disambungkan dengan arteri blood line dan
venus line
- Alat-alat dirapikan, pisahkan dengan alat-alat yang terkontaminasi
- Bersihkan alat-alat, perawat cuci tangan

15
10) Pengukuran Adekuasi Hemodialisa
Hemodialisa dinilai adekuat bila mencapai hasil sesuai dosis yang
direncanakan. Adekuasi hemodialisa diukur secara kuantitatif dengan
menghitung kt/V yang merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu
hemodialisa dengan volume distribusi urea dalam cairan tubuh. Konsesus
Dialisis Pernefri (2006) menyatakan bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisa
dapat dicapai dengan jumlah dosis hemodialisa 10-15 jam perminggu. Pasien
yang menjalani hemodialisa 3 kali/minggu diberi target Kt/V 1,2, sedangkan
pasien yang menjalani hemodialisa 2 kali/minggu diberi target Kt/V 1,8. Kt/V
untuk setiap pelaksanaan hemodialisa yang direkomendasikan adalah minimal
1,2 dengan target adekuasi 1,4 Penghitungan Kt/V dapat dilakukan denga
menggunakan rumus Daugirdas sebagai berikut:

Kt/V = - In (R-0,008t) + (4-3,5R) x (BB pre dialysis - BB post dialisis)


BB post dialisis
Keterangan:
K : Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam
mL/menit
Ln : Logaritma natural
R : Ureum post dialisis Ureum pre dialisis
t : Lama dialisis (jam)
V : Volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65 % BB/berat badan dan
wanita BB berat badan).
11) Komplikasi Hemodialisa
a) Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya
adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung, gatal, demam dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013)
b) Komplikasi Kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia (Bieber &
Himmelfarb, 2013).

16
12) Penatalaksanaan Diet pada Pasien Hemodialisa
Anjuran diet didasarkan pada frekuensi hemodialisa, sisa fungsi ginjal dan
ukuran tubuh. Tujuan diet gagal ginjal dengan dialisis adalah mencegah
defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi, agar
pesien dapat melakukan aktifitas normal serta menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit. Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi dialisis,
sisa fungsi ginjal dan berat badan pasien. Diet untuk pasien dengan dialisis
biasanya harus direncanakan perorangan. Berdasarkan berat badan, diet
dialisis dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:
a) Diet dialisis I, 60 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat
badan ± 50 kg.
b) Diet dialisi II, 65 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat
badan ± 60 kg.
c) Diet dialisis III, 70 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat
badan ± 65 kg (Almatsier, 2008).

13) Keuntungan dan Kelemahan dari Hemodialisa


Keuntungan
- Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan
- Waktu dialisis cepat
- Dialiser akan mengeluarkan melekul dengan laju yang lebih cepat dan
melakukan ultrafiltrasi dengan kecepatan tinggi hal ini di perkirakan
akan memperkecil kemungkinan komplikasi dari hemodialisis
misalnya emboli udara dan ultrafiltrasi yang tidak kuat atau
berlebihan (hipotensi, kram otot, muntah).
- Resiko kesalahan teknik kecil
- Adequasy dapat ditetapkan sesegera, underdialisis segera dapat
dibenarkan
Kelemahan atau Kerugian
Fungsi ginjal yang tersisa cepat menurun, ketergantungan pasien dengan
mesin hemodialisa, akses vaskular dapat menyebabkan infeksi dan

17
trombosis, sering terjadi hipotensi dan kram otot, pembatasan asupan
cairan dan diet lebih ketat, kadar hemoglobin lebih rendah sehingga
kebutuhan akan eritropoetin lebih tinggi (Cahyaningsih, 2009).

14) Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut
Smeltzer dan Bare (2001) serta antara lain adalah :
a) Hiperkalemia akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
dan masukan diit berlebih.
b) Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
d) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang
abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan
nitrogen dan ion anorganik.
f) Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.

18

Anda mungkin juga menyukai