Oleh :
Amelia Annisa Evelina
12312069
KERJA PRAKTEK
Oleh:
Amelia Annisa Evelina
12312069
Menyetujui,
Pembimbing di Pertamina EP ASSET 3
Mochamad Razi
ii
ABSTRAK
Sebelum diperoleh peta struktur kedalaman, dilakukan well seismic tie dan picking
horizon untuk memperoleh peta struktur waktu daerah target. Selanjutnya dilakukan picking
horizon pada lapisan target untuk membuat peta struktur waktu dan kedalaman. Inversi
impedansi akustik dilakukan dengan menggunakan data hasil pengikatan data seismik ke data
sumur dan menghasilkan peta sebaran nilai impedansi akustik. Peta ini dapat digunakan sebagai
acuan awal untukmenentukan area prospek fluida (hidrokarbon) di Lapangan “123”.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan proses kerja praktek yang dilaksanakan pada tanggal
3 Juni hingga 7 Juli 2015 di PT Pertamina EP Asset 3. Laporan kerja praktek ini disusun untuk
memenuhi tanggung jawab kami dalam proses kerja praktek.
Laporan kerja praktek ini membahas tentang Interpretasi dan Inversi Data Seismik di
lapangan “123”. Pada laporan ini akan dibahas rangkaian proses interpretasi hingga inversi
secara umum serta analisis data dan hasil
Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan kuliah lapangan ini tepat pada waktunya.,
2. Orang tua yang selalu memberikan doa serta dukungan moral dan materiil,
3. PT Pertamina EP Asset 3 yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan
kerja praktek
4. Pak Irzal sebagai yang selalu mendukung keberjalanan kerja praktek kami
5. Mochamad Razi sebagai pembimbing utama kerja praktek kami
6. Mas Erwan dan Mas Agung sebagai pembimbing teknis selama kerja praktek, yang
telah sabar membimbing dan memberikan ilmu yang sangat berarti
7. Kakak-kakak Divisi G&G
8. Dan semua pihak yang telah membantu keberjalanan kerja praktek kami
Penulis menyadari bahwa laporan kerja praktek ini masih memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar kedepannya kami
dapat menyusun laporan lebih baik lagi. Demikian laporan ini penulis susun, semoga dapat
berguna dan bermanfaat bagi pembaca.
Cirebon, 8 Juli 2015
Penyusun
iv
DAFTAR ISI
v
BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA ............................................................. 25
4.1 Data Penelitian .......................................................................................................... 25
4.1.1 Basemap .......................................................................................................... 25
4.1.2 Data Seismik ................................................................................................... 26
4.1.3 Data Sumur ..................................................................................................... 26
4.2 Prosedur Penelitian ................................................................................................... 27
4.3 Pengolahan Data ....................................................................................................... 28
4.3.1 Perangkat Lunak ............................................................................................. 28
4.3.2 Pengolahan Data Sumur.................................................................................. 28
4.3.2.1 Pemeriksaan Data Log .......................................................................... 28
4.3.2.2 Pembuatan Log Turunan....................................................................... 29
4.3.2.3 Analisis Sensitivitas Parameter............................................................. 29
4.3.3 Pengolahan Data Seismik ............................................................................... 30
4.3.3.1 Well to Seismic Tie .............................................................................. 30
4.3.3.2 Picking Struktur dan Horizon ............................................................... 31
4.3.3.3 Time to Depth Conversion.................................................................... 33
4.3.4 Inversi Seismik ............................................................................................... 37
4.4.4.1 Pembuatan Model Awal ....................................................................... 37
4.4.4.2 Inversi Impedansi Akustik .................................................................... 38
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
4. Melakukan inversi impedansi akustik untuk identifikasi keberadaan daerah prospek
hidrokarbon pada lapangan penelitian
2. Preconditioning Data
Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan data-data yang akan digunakan untuk
interpretasi. Data yang dipakai berasal dari dua sumber, yakni data sumur dan data
seismik.
a. Data Sumur
Data sumur yang harus dipersiapkan adalah data log sonic, densitas, gamma ray,
porositas, dan checkshot.
b. Data Seismik
2
Data seismik yang digunakan adalah data geometri (inline-crossline) dan data Post
Stack Time Migration (PSTM).
8. Interpretasi
Interpretasi bertujuan untuk menentukan persebaran fasies dan lingkungan
pengendapan serta menentukan sifat lapisan berdasar hasil inversi impedansi akustik.
3
Membahas tentang penelitian secara umum yaitu latar belakang, tujuan
penelitian, waktu dan lokasi penelitian, batasan masalah peneltian, metodologi
penelitian, dan sistematika penelitian.
4
BAB II
GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
5
2.3 Tektonik dan Struktur Geologi Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di bagian utara
dan darat (onshore) di selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh patahan
ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan
didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan, membentuk beberapa struktur
deposenter (half graben), deposenter utamanya antara lain subcekungan Arjuna dan
subcekungan Jatibarang, serta deposenter yang lain yaitu subcekungan Ciputat, subcekungan
Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan ketebalan
melebihi 5500 m.
Terdapat berbagai struktur geologi di cekungan ini. Ditemukan beragam area tinggian
yang berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst block), lipatan
pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone folding dan mengena pada tinggian
batuan dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang
berarah relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada
Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra Tersier
hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat dilkasifikasikan
sebagai ‘Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari Cileutuh, Sub
Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang
mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’. Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal
sebagai Paleogen Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar menganan
utama krataon Sunda akibat dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng
Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan tersier di Indonesia
Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.
Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half graben system) dan
merupakan fase pertama rifting (rifting I: fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I
ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi,
rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua tren sesar normal yang diakibatkan oleh
perkembangan rifting-I (early fill) berarah N 60o W–N 40o W dan hampir N–S yang dikenal
sebagai pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan lacustrin dan vulkanik dari Formasi
Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus
6
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini kemudian
diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi Baturaja.
b. Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen) dan dikenal
sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser
akibat gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar pergeseran sesar
merupakan reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur vulkanik periode Miosen Awal
yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini menghasilkan
endapan gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old andesite” yang tersebar di
sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah pola
tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah barat-timur dan menghasilkan suatu
sistem sesar naik, dimulai dari selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan
sistem sesar naik belakang busur atau yang dikenal “thrust foldbelt system”.
c. Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen–Pleistosen, dimana terjadi proses
kompresi kembali dan membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa sesar naik di jalur
selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi
dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar
turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur tersebut terjadi
kembali proses migrasi hidrokarbon.
7
2.4 Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda, yaitu:
a. Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur Tengah
sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995).
Lingkungan pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang
lapuk (Koesoemadinata, 1980).
b. Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di bagian tengah dan
timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini kenampakan Formasi
Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat,
dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah dari
Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan
minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani, dkk, 1991).
c. Formasi Talang Akar
Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara tidak selaras di
atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-deltaic sampai fasies marine. Litologi
formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri
oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies marine. Pada akhir
sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi
ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun
terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
d. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Pengendapan
Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang berupa paparan maupun yang
berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift yangs secara regional menutupi
seluruh sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Perkembangan
batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui
sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen Awal–Miosen Tengah
(terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada
kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama dari melimpahnya
foraminifera (Spriroclypens sp).
8
e. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan batugamping.
Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping klastik serta batugamping
terumbu yang berkembang secara setempat-setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid
Main Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Akhir.
Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota, yaitu:
i. Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi
anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran
butir dari halus-sedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada
bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus,
foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).
ii. Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas anggota Massive. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran
butir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang
batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini anggota Main
terbagi lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonate (Budiyani dkk, 1991).
iii. Pre Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas anggota Main. Litologinya
adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk
pada Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-
Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut
dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
f. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.. Litologi
penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik maupun batugamping terumbu.
Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan
pengendapan formasi ini adalah laut dangkal–neritik tengah (Arpandi & Patmosukismo, 1975).
Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran
klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi
ini diendapkan pada Kala Miosen Akhir-Pliosen.
9
g. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi penyusunnya
adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan. Umur formasi ini
adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen–Pleistosen. Formasi diendapkan pada
lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral–paralik (Arpandi &
Patmosukismo, 1975).
10
daerah yang masih labil sering mengalami aktivitas tektonik. Material-material vulkanik dari
arah timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala Oligosen
Akhir–Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif transisi–deltaik hingga laut
dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah
cekungan terdiri dari dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat adalah paralik sedangkan
bagian timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang
sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif.
Kemudian air laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari
bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapa tinggian kecuali tinggian
Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen klastik yang dihasilkan setara dengan formasi
Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relatif stabil, dan daerah Pamanukan sebelah
barat merupakan platform yang dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga
membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang
lebih dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat
Utara diendapkan sedimen-sedimen laut dangkal dari formasi Cibulakan Atas. Sumber
sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara–barat
laut. Pada akhir Miosen Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping
berkembang dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang
sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir–Pliosen (fase regresi)
merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan
mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk ke dalam
lingkungan paralik.
11
BAB III
TEORI DASAR
Gambar 3.1 Penjalaran gelombang melalui batas dua mediun menurut Hukum Snellius
Setiap bidang batas batuan memiliki impedensi akustik yang berbeda beda. Impedensi
akustik yaitu kemampuan suatu bahan untuk memantulkan atau meneruskan gelombang
akustik yang mengenai medium tersebut.
AI=ρ.V
Apabila terdapat dua lapisan batuan yang saling berbatasan dan memiliki perbedaan
nilai impedansi akustik, maka refleksi gelombang seismik dapat terjadi pada bidang batas
antara kedua lapisan tersebut. Besar nilai refleksi yang terjadi kemudian dinyatakan sebagai
Koefisien Refleksi. Oleh karena itu, Impedansi akustik dapat digunakan sebagai indicator
perubahan litologi, porositas, kekerasan, dan kandungan fluida. AI berbanding lurus
dengan kekerasan batuan dan berbanding terbalik dengan porositas. Nilai AI sangat
dipengaruhi nilai kecepatan dibandingkan dengan densitas.
12
Gambar 3.2 Efek beberapa faktor terhadap kecepatan gelombang seismic
Perbandingan antara energi yang dipantulkan dengan energi yang datang pada
keadaan normal adalah:
Epantul
= KRxKR
Edatang
IA2 − IA1
KR =
IA1 + IA2
Wavelet merupakan sinyal transien yang mempunyai interval waktu dan amplitudo
yang terbatas. Ada empat jenis wavelet yang umum diketahui, yaitu zero phase, minimum
phase, maximum phase, dan mixed phase. Dalam rekaman seismic dikenal istilah polaritas.
Berdasarkan konvensi SEG, polaritas normal terjadi jika sinyal seismic positif
menghasilkan tekanan akustik positif pada hidrofon di air atau pergerakan awal keatas pada
geofon di darat. Pada tape, polaritas normal akan merekam sinyal seismic yang positif
sebagai nilai negatif dan pada monitor terjadi defleksi negatif, dan trough pada penampang
seismik.
13
Gambar 3.3 Standar polaritas SEG. a)minimum phase, b) zero phase wavelet(Sheriff, 2001)
Trace seismic (S) adalah konvolusi dari reflektivitas bumi(RC) dengan wavelet
seismic(W) ditambah dengan komponen noise(n)
S(t)=W(t)*RC(t)+n(t)
Ketika komponen bising bernilai nol, maka persamaan diatas dapat disederhanakan
menjadi
S(t)=W(t)*RC(t)
Cara lain untuk melihat trace seismic adalah dengan menggunakan domain frekuensi
melalui transformasi fourier:
S(f)=W(f) x RC(f)
14
Gambar 3.5 Model konvolusi dalam domain frekuensi
15
batupasir, batugamping, dan dolomite memiliki konsentrasi isotop radioaktif
meskipun jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan lempung. Oleh karena
itu, diperlukan perandingan log GR dengan log lainnya.
16
pada batugamping. Besaran dari pengukuran log sonic di tuliskan sebagai harga
kelambatan(Slowness)
3.2.7 Caliper
Caliper digunakan untuk mendeteksi adanya gerowong pada lubang bor dan
penyempitas lubang bor. Alatnya seperti tangan, menghitung panjang setiap tangan
untuk interval kedalaman tertentu. Selain itu digunakan untuk membantu melihat
kesalahan pembacaan.
17
Gambar 3.6 Ilustrasi macam-macam log
18
Seismogram sintetik merupakan rekaman seismik yang dibuat dari data log kecepatan
dan densitas. Seismogram sintetik dibuat dengan cara mengkonvolusikan wavelet dengan
KR. Wavelet yang digunakan mempunyai frekuensi dan bandwith yang sama dengan
penampang seismic. Data KR didapatkan dari data log dengan penampang seismic. Data
KR didapatkan dari data log sonic dan densitas. Seismogram sintetik final merupakan
superposisi darirefleksi-refleksi semua reflektor. Korelasi sintetik dengan horizon geologi
beserta kedalamannya dapat dilihat dari log geologi terkait. Seismogram sintetik juga
sangat berguna untuk mendiagnosa karakter refleksi dari setiap horizon.
Dalam pengikatan data seismic dan sumur serta dalam pembuatan seismogram
sintetik, dibutuhkan kurva waktu terhadap kedalaman yang dihasilkan dari check-shot
survey. Pada check-shot survey kecepatan diukur dalam lubang bor dengan sumber
gelombang diatas permukaan. Dari data log geologi dapat ditentukan posisi horizon yang
akan dipetakan dan lakukan beberapa pengukuran pada horizon tersebut(downgoing dan
upgoing). Waktu first break rata-rata untuk masing-masing horizon dilihat dari hasil
pengukuran tersebut.
19
Gambar 3.9 Prinsip dasar survei check-shot
3.4 Time to Depth Conversion
Konversi waktu menjadi kedalaman adalah proses transformasi interpretasi peta
seismic ke peta kedalaman. Tujuan konversi kedalaman adalah untuk menggabungkan data
sumber yang menyatakan sebuah deskripsi dari kedalaman untuk bawah permukaan dengan
mengukur dari ketidaktentuan. salah satu metode depth conversion yang paling tua yaitu
metode Vo-k. Metode ini mensyaratkan dua hal, yaitu kecepatan harus linear dengan
bertambahnya kedalaman serta regresi linier untuk mencari nilai k titik-titiknya tidak
terlalu menyebar (scatter), jika tidak, maka metode ini tidak valid untuk digunakan.
20
Gambar 3.10 Cross plot antara Vavg dengan Depth
Selanjutnya kita mencari nilai Vavg yang digunakan untuk menkonversi peta waktu
ke peta kedalaman. Untuk memperoleh nilai Vavg ini, rumus (2.1) dapat diturunkan dengan
mengubah nilai variabel Z = Vavg × T (ket: T diubah menjadi one-way-time dahulu dalam
satuan second) menjadi:
Vavg=Vo+k Vavg T
Vavg-Vavg k T=Vo
Vavg (1-kT)=Vo
Vavg = Vo/(1 – k T)
Pada persamaan diatas, terdapat dua Vavg yang berbeda. Vavg pertama diperoleh
secara langsung dari top marker dengan seismic time pick tanpa melibatkan unsur Vo
dan k. Vavg pertama digunakan untuk mencari nilai Vo. Sedangkan Vavg yang kedua
merupakan Vavg yang diperoleh dengan melibatkan unsur Vo dan k. Vavg yang kedua
inilah yang digunakan untuk mengkonversi peta dari time ke depth. Jika kita langsung
menggunakan Vavg yang pertama, maka Vavg tersebut tidaklah melibatkan faktor
kompaksi (k) dan starting velocity (Vo). Dari rumus Vavg yang kedua dapat dilakukan konversi
ke kedalaman secara langsung dengan mengkalikan Vavg map dengan T map.
21
Pemodelan Kedepan
Pemodelan Kebelakang
(Inversi)
Respon Seismik
Algoritma Pemodelan
Kontrol
Model
Model Bumi
22
Pada dasarnya inversi seismik adalah proses untuk mengubah data seismic yang
berupa kumpulan nilai-nilai amplitude ke dalam kumpulan nilai impedansi akustik. Proses
dekonvolusi merupakan salah satu tahapan penting dalam inversi. Dekonvolusi merupakan
kebalikan dari proses konvolusi yaitu pengubahan wavelet menjadi koefisien refleksi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam seismic inversi antara lain adalah kalibrasi
data sumur dengan data seismic, ekstraksi wavelet, proses inversi data seismic, pemodelan
geologi, dan interpretasi detil unit stratigrafi. Tahapan dalam proses inversi dibagi menjadi
dua tahap, yaitu:
Trace impedance hasil dari inversi memiliki resolusi rendah yang menyerupai
impedansi akustik dari log, namun log mempunyai resolusi dan frekuensi yang lebih tinggi.
Impedansi pada waktu t dapat secara rekursif dihasilkan dari reflektifitas pada waktu
sebelumnya. Syarat utama yang dibutuhkan dalam proses inversi adalah menemukan
wavelet sumber pada data seismic dan menemukan scale factor dari data seismic terhadap
reflektifitas.
Dimana:
S : Input trace
T : Ouput spiky trace yang diinginkan
ε : faktor prewhitening
β : parameter positif yang menentukan banyaknya spike pada spiky trace
N : Panjang Trace
L : Satu setengah panjang gelombang
Wij : Elemen wavelet
23
Prewhitening merupakan penambahan spiking deconvolution. Domain
waktu berbeda pada amplitude antara trace seismic dan spiked trace yang
terkonvolusi. Nilai ε kecil dan positif digunakan untuk stabilitas. Kunci untuk
memproduksi trace spiky adalah keadaan yang nonlinear. Untuk nilai β besar,
akan dihasilkan spike sedikit, dan band seismik akan menghasilkan residual error
yang besar.
2. Norm Minimization
Pada metode ini, trace spiking dihasilkan dengan meminimalisasi fungsi Z.
Z = (1 − λ). Ze + λ. Zw . Zr
Dimana λ adalah parameter spikeness(penambahan λ=sedikit spikes)
Zf = ∑|r(t)|
Zw = ∑ |w(t)|
Dimana x(t) adalah input trace pada model konvolusi, dan 𝜙𝑘 (𝑡) adalah
ortonormal basis vectors.
24
BAB IV
METODE PENELITIAN
25
Gambar 4.2 Penampang seismik pada traverse
Jenis Log
Sumur
GR dt RHOB NPHI SP Caliper
SKM-01 √ √ √ √ √ X
TMG-01 √ √ √ √ √ √
TMG-02 √ √ √ √ √ √
Tabel 4.1 Tabel kelengkapan data sumur
26
4.2 Prosedur Penelitian
Secara umum pengolahan data dilakuakan dengan menggunakan data seismik sebagai
inputnya dan data sumur sebagai kontrol. Diagram alir penelitian kurang lebih seperti berikut:
Mulai
Pengumpulan Data
Ekstraksi Wavelet
Seismogram Sintetik
Tidak
Well Seismic Tie
Ya
Picking Horizon &
Fault
Peta AI
Analisa AI
Interpretasi Selesai
27
4.3 Pengolahan Data
4.3.1 Perangkat Lunak
Pengolahan data penelitian ini menggunakan perangkat lunak Paradigm 14.1 dengan
modul yang dipakai sebagai berikut :
Section : melihat data seimik model 2D, well to seismic tie, dan picking
horizon
Base Map : melihat daerah penelitian, Time-Migrated Map, dan untuk
konversi Time-Migrated Map menjadi Depth Map.
Well Log : melihat data log dan melihat korelasi antar data log.
3D Canvas : melihat model hasil picking horizon secara 3D.
Geolog : melakukan tes sensitivas dengan crossplot.
Gambar 4.3 Tampilan Data Log Gamma-ray lapisan Z-14 sumur SKM-01, TMG-01, dan TMG-02
28
Gambar 4.4 Tampilan Data Log Sumur SKM-01, TMG-01, dan TMG-02
Berdasarkan pada data log gamma-ray, lapisan Z-14 secara umum tersusun atas
batugamping, sehingga analisis sensitivitas pada lapisan ini bertujuan untuk memisahkan area
batugamping yang bersifat porous atau tight.
Analisis sensitivitas ini dilakukan pada modul Geolog dengan melakukan crossplot 3D.
Adapun data yang dibandingkan adalah data log impedansi akustik (sumbu-X) dengan data log
densitas (sumbu-Y) serta data log porositas yang ditandai dengan perbedaan warna yang
mengikuti skala tertentu.
29
Gambar 4.5 Crossplot antara log AI, log density, dan log porosity pada sumur TMG-01
Dalam memilih parameter yang paling tepat untuk inversi, kita memilih parameter
yang dianggap sensitif terhadap perubahan.
Saat melakukan well to seismic tie, akan diperoleh nilai koefisien korelasi, nilai PEP
(Propotion of Trace Energy Predicted), nilai NMSE (Normalised Mean Square Error), dan
nilai shifting. Semakin besar nilai koefisien korelasi dan PEP maka data akan semakin baik,
sedangkan untuk nilai NMSE shifting yang terbaik adalah yang mendekati nol..
30
Gambar 4.6 Ekstraksi wavelet
Ketika sudah menentukan wavelet yang akan dipakai, terapkan satu wavelet terbaik
dari satu sumur ke dua sumur lainnya. Pastikan setelah melakukan proses ini marker lapisan
target berada di lapisan yang sama pada tiap sumur sehingga bisa digunakan sebagai acuan
dalam picking horizon pada traverse. Apabila marker tidak sesuai, dapat dilakukan stretch and
squeeze untuk menyamakannya. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan stretch
and squeeze, shifting yang ditimbulkan tidak boleh terlalu besar.
31
Gambar 4.8 Tampilan section saat picking struktur sesar dan horizon pada crossline 10175
Picking horizon dilakukan pada inline 2780-3340 dan crossline 10002-10510 dengan
spasi increament 5 pada daerah sekitar sumur dan 10 pada daerah sisanya. Picking dilakukan
pada lapisan target yaitu Z-14 pada lapangan penelitian “123”. Sebelum memulai picking
horizon pada inline dan crossline, dilakukan picking horizon pada traverse untuk menjadi guide
pada saat picking pada inline dan crossline agar hasil pick tepat sesuai target.
32
Setelah melakukan picking, didapatkan time map di sepanjang inline dan crossline yang
kita pick. Untuk melihat peta 2D, lakukan grid pada peta hasil picking. Kemudian buat kontur
berdasarkan Grid Time Map tersebut dengan interval 10ms, lakukan smoothing jika diperlukan.
Pada metode V0-k, data yang diperlukan adalah TVD SL, TWT, dan Vavg. Data ini
didapat dari data checkshot pada sumur yang memiliki data checkshot paling baik, yaitu
checkshot pada sumur TMG-01.
Pertama-tama lakukan filter data TVD SL yang digunakan. Jika tren TVD SL menurun
maka data tersebut tidak digunakan dikarenakan nilai TVD SL pada idealnya selalu bertambah.
Setelah menentukan data yang digunakan, cari nilai k yang didapat dari gradien garis yang
diperoleh dari grafik TVD SL dengan Vavg.
33
TVD SL TWT OWT V avg
67.6 88.88 44.44 1521.152115
167.6 196.15 98.075 1708.896253
267.6 300.22 150.11 1782.692692
367.6 406.42 203.21 1808.966094
467.6 519.24 259.62 1801.093906
567.6 631.41 315.705 1797.880933
667.6 746.36 373.18 1788.949033
767.6 859.81 429.905 1785.510752
867.6 969.64 484.82 1789.530135
967.6 1076.69 538.345 1797.360429
1067.6001 1177.78 588.89 1812.90241
1167.6001 1273.74 636.87 1833.341341
1227.5472 1319 659.5 1861.330099
1267.6001 1344.5 672.25 1885.608181 PRG
1367.6001 1392.69 696.345 1963.969153
1467.6001 1441.25 720.625 2036.56562
1567.6001 1485.13 742.565 2111.061119
1631.5173 1518 759 2149.56166
1650.2229 1545 772.5 2136.210874
1661.6542 1548.76 774.38 2145.786565
1663.8242 1549 774.5 2148.255907
1667.6001 1553.27 776.635 2147.21214
1683.2019 1572.78 786.39 2140.416206
1767.6001 1618.14 809.07 2184.73074
1781.3047 1624.2 812.1 2193.45487
1800.0736 1638.9 819.45 2196.685094
1853.2141 1656 828 2238.18128
1867.6001 1662.36 831.18 2246.926177 Z14
Tabel 4.2 Tabel perhitungan Vavg untuk lapisan Z-14
34
Z-14
TVD SL (ms) V avg (m/s)
67.6 1521.15212
167.6 1708.89625
267.6 1782.69269
367.6 1808.96609
Grafik TVD SL-Vavg Z-14 1067.6001 1812.90241
2500 1167.6001 1833.34134
1227.5472 1861.3301
2000
1267.6001 1885.60818
V average (m/s)
Setelah mendapatkan nilai k, cari nilai V0. Siapkan nilai k, nilai TVD SL dari marker,
dan nilai TWT dan Vavg yang didapat dari sumur pada basemap.
Setelah mendapatkan data V0, masukkan nilai V0 untuk Z-14 di tiap sumur pada menu
Marker. Kemudian buat grid map nilai V0 dengan subtipe data ‘log’.
35
Gambar 4.12 Grid Velocity Map lapisan Z-14
Gambar 4.13 Mathematical Calculation untuk mencari kedalaman dari TWT, k, dan V0
Simpan hasil kalkulasi, kemudian tampilkan hasil perhitungan dalam bentuk grid depth
map. Beri kontur pada peta untuk memudahkan identifikasi daerah tinggian dan rendahan.
36
4.3.4 Inversi Seismik
4.2.4.1 Pembuatan Model Awal
Pembuatan model awal atau background model atau low frequency model. Tahap ini
dilakukan untuk mengisi nilai frekuensi rendah pada proses inversi. Sudah diketahui bahwa
penampang seismik hanya memiliki rentang frekuensi yang terbatas, sehingga jika hanya
menggunakan penampang seismik sebagai input inversi, komponen frekuensi rendah dan
tinggi tidak akan terkontrol dengan baik. Hal ini dikarenakan pada proses inversi kita
membutuhkan komponen frekuensi rendah dan tinggi untuk menghasilkan volume dari inversi
yang baik agar even-even refleksi yang lemah dan kuat dapat tercover dengan baik.
Model awal impedansi akustik dibuat menggunakan log AI. Nilai log pada ketiga sumur
disebarkan ke seluruh area peneltian dengan metode kriging. Parameter yang digunakan pada
saat membuat model awal AI antara lain:
a. Ordinary Kriging
b. Data sumur : Log AI dari SKM-01, TMG-01, serta TMG-02
c. Model geometri : 1 layer
d. Top and Bottom : konstan, 1400ms-2200ms
e. Data seismik : Grid Time Map
f. Variogram : Exponential
Metode kriging yang digunakan adalah ordinary krigging agar nilai impedansi elastic
pada model awal tidak terpengaruh oleh seismik.
Gambar 4.15 Tampilan section background model awal AI pada lapisan Z-14.
37
4.2.4.2 Inversi Impedansi Akustik
Proses inversi untuk mendapatkan koefisien refleksi diperoleh dengan cara melakukan
dekonvolusi input trace dengan wavelet yang diperoleh dari hasil ekstraksi data seismik. Saat
melakukan inversi IA ada beberapa parameter yang diinputkan, yaitu:
a. Input file : PSTM
b. Backgound model : Model Awal Z-14
c. Horizon : Z-14
d. Densitas : constant density (1gr/cc)
e. Metode Inversi : Maximum Likelihood Amplitude Inversion
f. Wavelet : Wavelet ekstraksi dari sumur 1
g. Amplitude factor : 1.42e-06
h. Output range : Inline (2785-3220), crossline (10005-10450), time (0-3500ms)
i. Number of CPU : 1
j. Bobot model awal : 35
Apabila inversi telah berhasil dilakukan, masukkan data impedansi akustik ke database.
Untuk melihat kualitas inversi, bandingkan nilai AI hasil inversi dengan data log AI. Semakin
tinggi nilai cross correlation maka inversi makin baik. Data AI yang kita miliki sekarang
bertipe 3D, lakukan ekstrak data volume AI ini ke bentuk 2D di basemap untuk mempermudah
interpretasinya.
38
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data log sumur yang digunakan dalam penelitian ini antara lain log sonic, log densitas,
log gamma ray, dan log Neutron Porosity. Data tersebut digunakan sebagai kontrol dalam
interpretasi, baik dalam pembuatan model awal maupun model dalam korelasi sumur. Di tahap-
tahap selanjutnya dibutuhkan juga log impedansi akustik yang merupakan turunan dari data
log kecepatan serta densitas. Data log kecepatan sendiri didapatkan dari log sonic.
Analisis sensitivitas parameter dilakukan dari data log sumur untuk melihat seberapa
sensitif parameter impedansi akustik dalam memisahkan litologi maupun kandungan fluida.
Hal ini dilakukan karena data sumur berperan sebagai validasi utama dalam pengolahan
seismik. Analisis dilakukan dengan membuat crossplot 3D antara log IA, densitas, dan
porositas kemudian lihat hasilnya. Apabila data parameter tersebut tersebar secara teratur dan
sensitive terhadap perubahan, maka parameter tersebut dapat digunakan untuk tahap
pengolahan seismik selanjutnya.
39
Gambar 5.1 Tampilan hasil crossplot 3D lapisan Z-14 antara log AI, log densitas, serta log porositas pada
sumur SKM-01, TMG-01, dan TMG-02
40
Gambar 5.2 Tampilan Multimin Analysis pada Modul Geolog
41
5.3 Analisis Well to Seismic Tie
Proses well to seismic tie bertujuan untu mengikatkan data sumur ke data seismik.
Semua sumur yang dipakai harus melalui proses ini agar semua marker suatu lapisan di tiap
sumur berada di reflektor yang sama. Dari proses ini akan diperoleh nilai koefisien korelasi
antara data sumur dan data seismik, semakin besar nilainya maka tahap ini semakin baik
dengan QC (quality control) nilai korelasi >0.6. Selain itu, akan didapatkan juga nilai PEP
(Proportion of Trace Energy Predicted), nilai NMSE (Normalised Mean Square Error), dan
nilai shifting. Semakin besar nilai PEP maka data akan semakin baik dengan QC nilai PEP
>0.2. Sedangkan nilai NMSE dan shifting akan semakin baik bila mendekati nilai 0 dengan
nilai QC masing-masing <0.1 dan <10.
Saat melakukan ekstraksi wavelet, wavelet yang diambil untuk well to seismic tie
adalah wavelet bertipe Ricker dari sumur SKM-01. Hal ini dikarenakan wavelet sumur ini yang
menghasilkan nilai-nilai parameter paling baik saat diterapkan ke sumur TMG-01 dan TMG-
02. Hasil pemrosesan pada tiga sumur di Lapangan “123” sebagai berikut :
Koefisien
Sumur PEP NMSE Shifting Scale Factor
Korelasi
SKM-01 0.81 0.627535 0.0155006 -0.213991 1.32788e-06
TMG-01 0.76 0.510929 0.0249984 -4.177448 1.03353e-06
TMG-02 0.71 0.444531 0.0326332 -65.153778 8.56391e-07
Tabel 5.1 Tabel hasil well to seismic tie pada ketiga sumur dengan wavelet dari sumur SKM-01
Dilihat dari tabel di atas, nilai koefisien korelasi dan error pada tiap sumur telah
melampaui nilai QC. Nilai PEP dan shifting pada sumur SKM-01 dan TMG-01 juga telah
42
melebihi QC, hanya sumur TMG-02 yang tidak. Secara keseluruhan, hasil well to seismic tie
pada lapangan penelitian sudah baik. Kesesuaian antara seismogram sintetik dengan seismik
dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 5.4 Tampilan log pada sumur SKM-01 setelah dilakukan Well to seismic tie
Gambar 5.5 Tampilan log pada sumur TMG-01 setelah dilakukan Well to seismic tie
43
Gambar 5.6 Tampilan log pada sumur TMG-02 setelah dilakukan Well to seismic tie
Picking sesar dan reflektor lapisan Z-14 menghasilkan time map. Berikut adalah hasil
picking dengan grid time contour map:
44
(a)
(b)
Gambar 5.7 Hasil picking struktur dan horizon (a) VS Grid Time Contour Map (b) lapisan Z-14
Time map yang diperoleh berkisar pada rentang waktu 1539ms-2148ms. Dalam
melakukan grid, peneliti menerapkan smoothing agar pola kontur lebih rapi dan mudah
diinterpretasi. Hasil grid yang didapat masih merepresentasikan hasil picking struktur dan
horizon.
45
5.5 Analisis Peta Struktur Kedalaman
Peta kedalaman diperoleh dengan metode V0-k seperti yang dijelaskan di bab
sebelumnya. Berikut adalah peta kedalaman yang dihasilkan dibandingkan dengan peta waktu:
(a)
(b)
Gambar 5.8 Tampilan Grid Time Contour Map (atas) VS Grid Depth Contour Map (bawah)
lapisan Z-14
46
Peta kedalaman lapisan Z-14 memiliki kisaran kedalaman 1824m-2435m. Proses dari
awal sampai dihasilkannya peta waktu lapisan Z-14 bergantung pada berbagai parameter. Oleh
karena itu, sangat dimungkinkan terjadi error pada hasil peta waktu saat dibandingkan dengan
data pada sumur yang kita yakini benar nilainya. Kita dapat mengetahui error pada peta
kedalaman dengan mistie.
Dari tampilan info statistik mistie, diketahui bahwa nilai RMS mistie depth map Z-14
0.117. Satuan mistie adalah meter, sehingga error yang dihasilkan sangat kecil. Hal ini
menandakan bahwa peta kedalaman yang diperoleh sudah baik dan sesuai dengan data sumur.
47
Gambar 5.11 Tampilan depth map sebelum dan sesudah dikalibrasi dengan mistie map lapisan Z-14 yang
telah dikalibrasi
Model awal digunakan sebgai pengontrol dalam proses inversi. Model awal yang baik
dapat memperkuat akurasi hasil proses inversi karena komponen frekuensi rendah yang tidak
ada dalam data reflektifitas diisi dari frekuensi model awal.
Gambar 5.12 Tampilan section background model awal AI pada lapisan Z-14.
48
Gambar 5.13 Korelasi model awal AI dengan data sumur SKM-01
49
Cara untuk melihat kualitas dari model awal adalah dengan melihat hubungan antara
data log AI sumur dengan data log AI model awal. Cari nilai gradien trend line saat crossplot,
nilai tersebut menunjukkan nilai cross correlation-nya. Nilai korelasi untuk sumur SKM-01
adalah 0.55, TMG-01 adalah 0.433, dan pada TMG-02 sebesar 0.565. Hasil korelasi ini cukup
baik karena ketiga sumur memiliki nilai korelasi mendekati dan melewati 0.5.
50
Gambar 5.17 Tampilan section inline 2988 yang melewati sumur SKM-01 dari hasil inversi AI
Gambar 5.17 Tampilan section inline 3051 yang melewati sumur TMG-01 dari hasil inversi AI
51
Gambar 5.17 Tampilan section inline 3137 yang melewati sumur TMG-02 dari hasil inversi AI
Hasil inversi menunjukkan persebaran nilai AI lapisan Z-14 berkisar antara 3407.14-
9300 gm/cm3s pada peta volume, sedangkan pada grid map nilai AI lapisan berada di rentang
4700-4940 gm/cm3s. Perbedaan yang signifikan ini terjadi karena peta dua dimensi didapatkan
dengan metode ekstraksi RMS yang akan merata-ratakan nilai dari peta tiga dimensi.
Hasil inversi yang baik akan memiliki nilai korelasi yang tinggi dengan data log AI,
sedangkan lapisan Z-14 memiliki nilai korelasi yang sangat rendah, yaitu 0.031. Telah
dilakukan inversi AI dengan mengganti parameter yang ada. Hasil korelasi yang telah
disebutkan adalah nilai tertinggi yang didapat.
5.7 Interpretasi
Dari peta kedalaman dan informasi geologi, diketahui bahwa lapisan Z-14 memiliki
rentang kedalaman 1825-2435 meter, tersusun atas perlapisan batugamping (mayoritas),
batupasir dan batulanau. Batugamping disini adalah batugamping klastik dan terumbu karena
pada bagian barat laut lapangan penelitian terdapat build up reef. Hal ini bisa dilihat dari peta
kedalaman. Puncak build up reef memiliki ketinggian hingga 100 meter dari dasarnya. Adanya
struktur build up reef ini bisa menunjukkan dimana lapisan Z-14 terendapkan, yaitu di daerah
laut dangkal. Batupasir dan batu lanau bersisipan dan berselingan dengan batugamping.
52
Dari section data seismik, time map, serta depth map dapat dilihat bahwa lapisan Z-14
tidak selalu kontinu. Terdapat beberapa struktur sesar yang berjurus utara-selatan.
Pada hasil crossplot tes sensitivitas parameter ditemukan litologi batuan yang memiliki
sifat porous dan tight. Sumur SKM-01 mayoritas disusun oleh batugamping yang bersifat tight,
memiliki nilai AI serta densitas tinggi dan nilai porositas rendah, namun tetap memiliki litologi
batuan yang porous dan densitas relative lebih rendah. Sumur TMG-01 dan TMG-02 juga
memiliki kecenderungan yang sama.
Untuk inversi, nilai korelasi log AI sumur dengan log AI hasil inversi sangat kecil.
Meski demikian, hasil inversi lapisan Z-14 masih mampu memberikan beberapa informasi.
Dari section dapat dilihat bahwa nilai AI lapisan beragam. Warna merah menunjukkan nilai AI
yang lebih rendah sedang warna biru adalah sebaliknya.
Peneliti ingin melihat ketersesuaian antara data log AI dengan data AI hasil inversi. Hal
ini dapat dilakukan dengan membandingkan nilai AI keduanya yang terwakili oleh warna.
Section inline yang melewati sumur SKM-01 memiliki kesamaan warna dengan top
lapisan Z-14 dan sekitarnya. Namun semakin jauh dari top Z-14 korelasi keduanya buruk.
Untuk TMG-01, terdapat kesamaan warna dengan top lapisan saja, selain itu korelasinya buruk.
Dan untuk TMG-02, nilai keduanya memiliki kemiripan di beberapa bagian, termasuk pada
top lapisan Z-14. Jika diamati dengan detil, data sumur memiliki warna yang sama dengan top
lapisan meski lapisan di data sumur sangat tipis.
Peta AI dua dimensi di Basemap yang di-overlay-kan dengan kontur depth map
memiliki sebuah pola yang mirip. Lapisan yang memiliki kontur tinggian memiliki nilai AI
rendah, dan lapisan yang lebih dalam memiliki nilai AI yang tinggi. Warna merah pada peta
mewakili nilai AI rendah, sedang warna biru sebaliknya.
53
Gambar 5.18 Area prospek hidrokarbon pada lapisan Z-14
Pada Gambar 5.18 nampak adanya dua area dengan nilai AI rendah (merah) dan satu
area dengan nilai AI tinggi (biru). Jika dikaitkan dengan peta kedalaman, hasil crossplot, dan
informasi geologi, kita mendapatkan area rendah AI tersebut merupakan tinggian, tersusun atas
batugamping terumbu, dan bersifat porous. Area dengan ciri-ciri ini dapat menjadi prospek
reservoir hidrokarbon. Daerah ini tepat terletak pada area sumur TMG-01 dan TMG-02 serta
pada area di sebelah barat daya sumur SKM-01.
Dari peta struktur waktu diketahui tidak ada diskontinuitas (sesar) pada area dengan
nilai impedansi akustik rendah, sehingga dapat disimpulkan kedua area ini mengandung fluida.
Berdasar Gambar 5.18, area prospek 1 berada pada kedalaman 1870-1900 meter; sedangkan
area prospek 2 pada kedalaman 1880-1920 meter dengan luas area lebih kecil.
54
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Lapizan Z-14 pada lapangan “123” memiliki kedalaman yang berkisar antara 1825-
2435 meter. Struktur tinggian terletak di bagian tengah-selatan dan barat dari peta
kedalaman. Sedangkan struktur rendahan secara jelas terletak di sepanjang bagian timur
daerah penelitian.
Lapisan Z-14 tersusun atas litologi batugamping, batupasir, dan batulanau. Terdapat
struktur build up reef di bawah sumur penelitian serta beberapa struktur sesar turun
berarah Utara-Selatan.
Lingkungan pengendapan lapisan Z-14 berada di lingkungan neritik tengah sampai
dalam karena dijumpainya struktur build up reef.
Daerah prospek hidrokarbon diperkirakan terletak pada sumur TMG-01, TMG-02, dan
area tinggian pada arah barat daya dari sumur SKM-01.
6.2 Saran
Lakukan perulangan inversi dengan mengganti nilai parameter yang lebih sesuai.
Telusuri juga apakah ada kesalahan di langkah-langkah sebelumnya yang
berkemungkinan menyebabkan rendahnya nilai cross correlation AI sumur dengan AI
inversi.
Pakai data sumur yang lebih banyak agar hasil inversi lebih baik karena data sumur
berfungsi sebagai kontrol terhadap data seismik.
Lakukan tahapan inversi lebih lanjut, misal inversi AVO, EI, EEI, Simultan, dan
sebagainya untuk mencermati kandungan dan geometri fluida reservoir secara lebih
akurat.
55
DAFTAR PUSTAKA
Amril, A., Sukowitono., Supriyanto., .1991. Jatibarang Sub Basin–a half Graben Model in the
Onshoe of North West Java. IPA Proceedings, 20th Annual Convention, Jakarta. hal
279-307.
Arpandi, D., Patmosukismo, S., .1975 The Cibulakan Formation as One of the Most
Prospective Stratigraphic Units in the Northwest Java Basinal Area. IPA Proceeding.
Vol 4th Annual Convention. Jakarta
Darman, H. dan Sidi, F.H.,. 2000. An Outline of The Geology of Indonesia. IAGI. Vol 20th.
Indonesia
Gordon, T. L., .1985. Talang Akar coals Ardjuna subbasin oil source. Proceedings of the
Fourteenth Annual Convention Indonesian Petroleum Association, v.2. hal. 91-120.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. USGS Professional Paper, 1078.
Hunt, J.M., .1979. Petroleum Geochemistry and Geology. xxi+617 pp., 221 figs. Oxford:
Freeman.
Noble, Ron A.,. 1997. Petroleum System of Northwest Java Indonesia. Proceeding IPA. 26th
Annual Convention. hal: 585–600.
Reminton. C.H., Nasir. H.,. 1986. Potensi Hidrokarbon Pada Batuan Karbonat Miosen Jawa
Barat Utara. PIT IAGI XV. Yogyakarta
Sinclair, S., Gresko, M., Sunia, C.,. 1995. Basin Evolution of the Ardjuna Rift System and its
Implications for Hydrocarbon Exploration, Offshore Northwest Java, Indonesia. IPA
Proceedings, 24th .Annual Convention, Jakarta. hal 147-162.
http://novianto-geophysicist.blogspot.com/2014/05/geologi-regional-cekungan-jawa-
barat.html
56