Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang
pengerjaan-nya dihukumi sebagai ibadah yang wajib. Namun, bila dikaji
secara sistematis, sejatinya zakat memiliki peran besar dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Konsep dasar zakat yang mengutamakan asas
‘’berbagi’’ dalam kehidupan sosial, selaras dengan realitas yang terjadi di
tengah masyarakat. Klasifikasi sosial yang menciptakan kelompok
masyarakat menengah ke bawah dan menengah ke atas, dinilai sebagai
akibat dari tidak adanya rasa kebersamaan antar masyarakat, yang ditandai
dengan sikap individualis setiap manusia. Pengelompokan ini yang
kemudian menghadirkan kesenjangan di tengah masyarakat, lalu dari
kesenjangan inilah, konsep zakat ini menjadi sangat relevan bila dijadikan
sebagai sistem, dalam upaya pengentasan kemiskinan, hingga berdampak
pada turunnya tingkat kesenjangan dalam kehidupan sosial.

Konsep zakat ini sungguhlah sudah tertata dengan sangat baik,


dibuktikan dengan adanya ketentuan siapa yang memberi dan siapa yang
diberi. Ketentuan ini tidak lepas dari asas keadilan, dimana syarat untuk
menjadi pemberi ditinjau dari kelebihan harta yang dimiliki, atau harta
yang dimiliki sudah melebihi dari kebutuhan pokok. Tentu syarat ini tidak
akan memberatkan bagi sang pemberi, karena harta yang akan diberikan,
adalah harta yang sudah tidak diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan
pokok. Namun sebaliknya, harta tersebut akan sangat membantu sang
penerima, yang mana sang penerima-pun sangat layak untuk
mendapatkannya, atas ketentuan-ketentuan tertentu.

Kendati demikian, klasifikasi masyarakat menurut konsep zakat,


tidak hanya ditijau dari jumlah harta secara keseluruhan, melainkan ada
klasifikasi harta apa saja yang harus dibagi atau dizakati. Karena seperti
yang diketahui, bahwa kelompok masyarakat menengah ke atas tentu
memiliki harta tidak hanya satu macam atau satu bidang, tapi kelebihan
harta itu bisa jadi berbeda-beda, seperti dari hasil perdagangan, gaji dari
profesi tertentu, emas dan perak yang disimpan, pertanian dan atau
peternakan. Jadi zakat mengklasifikasikan harta itu tidak menyeluruh, tapi
lebih spesifik. Karena sejatinya masing-masing dari harta tersebut pasti
memiliki nominal yang lebih dari sekedar pemenuhan atas kebutuhan
pokok.

Dalam hal ini, kiranya pembahasan atas relevansi zakat pada


pencapaian kesejahtraan, dapat dimengerti dalam sudut pandang zakat
secara spesifik. Salah satu dari spesifikasi zakat ialah zakat perhiasan, atau
dapat dipahami sebagai bagian dari emas dan perak. Zakat perhiasan ini
akan dijabarkan secara singkat, namun semoga dapat memperjelas apa itu
zakat perhisan secara khusus, dan zakat secara umum.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian zakat perhiasan dan landasan hukum menurut Islam serta


perspektif secara rasional.
2. Ketentuan emas dan perak yang wajib dizakati dan implementasinya
3. Emas dan perak dalam bentuk perhiasan
4. Menimbang hukum zakat perhiasan

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini
adalah

1. Memahami pengertian zakat perhiasan dan landasan hukum yang


menjadi acuan zakat tersebut, serta dapat menimbang secara rasional
2. Mengetahui ketentuan-ketentuan zakat emas dan perak tentang jumlah
maksimal dan jumlah yang harus dikeluarkan
3. Menimbang ketentuan zakat emas dan perak yang sudah berbentuk
perhiasan, baik yang dikenakan sehari-hari maupun yang disimpan
4. Mengetahui secara perspektif hukum dari zakat perhiasan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Landasan Hukum

Zakat perhiasan adalah spesifikasi dari zakat. Seperti yang sudah


diketahui, zakat menurut kebahasaan dapat dilihat dari kata ‫( ىكز‬zakā),
yang kalau dirangkaikan pada kalimat, yaitu ‫( وكزي ءيشلا اكز‬sesuatu itu
bertambah dan tumbuh), atau bisa pula ‫( عرزلا اكز‬tanaman itu
tumbuh), dan pada yang lain seperti: ‫( ةراجتلا تكز‬perniagaan itu tumbuh
dan berkembang). Inilah yang masuk ke dalam definisi awal zakat yang
artinya adalah "tumbuh", "suci", dan "berkah". Dengan makna kebahasaan
di atas, yakni "tumbuh" dan "suci", menurut Ibnu Hajar Al 'Asqalani,
sesuai tinjauan syariat, maka itulah yang akan menyebabkan pertumbuhan
dan perkembangan pada harta dan pahala, terlebih juga, zakat itu berkaut
pula dengan perdagangan dan pertanian.
Adapun secara makna, ia berarti nama atau sebutan dari sesuatu
hak Allah Ta'ala yang dikeluarkan kepada fakir miskin, ini ditunjukkan
oleh sebuah riwayat di mana Nabi Muhammad mengutus Mu'adz bin
Jabal ke Yaman, untuk mengambil sebagian harta orang yang kaya agar
diberikan kepada orang yang tidak mampu di antara mereka. Adapun
secara keistilahan, makna zakat dalam syariat Islam ialah sebagi ukuran
tertentu untuk beberapa jenis harta, yang wajib diberikan kepada
golongan-golongan tertentu, dengan syarat-syarat yang tertentu pula.
Bagian dari harta inilah yang dinamai zakat, dan didoakan oleh
penerimanya. Tak jauh dengan ketentuan di atas, ia dikecualikan dari bani
Hasyim, bani Muthalib dan ia wajib dikeluarkan bagi yang berakal, baligh,
dan merdeka. Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999,
disebutkan bahwa zakat merupakan harta yang wajib disisihkan oleh orang
Muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.
Pengertian diatas juga dapat disederhanakan dengan mengartikan
zakat sebagai ibadah yang wajib dilaksanakan bgai umat islam, karena
disebutkan sebagai hak Allah yang ditunaikan melalui fakir miskin.
Namun secara filosofis, zakat mengandung makna tumbuh dan atau
berkembang. Dalam pengertian ini, umat islam meyakini bahwa sang
pemberi atau muzaki yang ber-zakat, kemudian oleh zakat tersebut, ia
akan mendapatkan rizki yang lebih dan atau bertambah. Namun secara
rasional, zakat itu akan menumbuhkan rasa kepedulian kepada sesama
manusia, terlebih kepada mereka yang tidak mampu, dan
diimplementasikan dalam bentuk berbagi atau berzakat.
Adapun pengertian dari perhiasan. Sebagaimana diketahui,
bahwasanya perhiasan itu adalah barang berharga yang diproyeksikan
sebagai alat untuk berhias, yang bisa dikatakan sebagai kebutuhan bagi
wasnita. Pada umumnya, perhiasan itu identik dengan emas dan perak,
serta wanita sebagai kaum mayoritas dalam pengoleksiannya.
Dalam prakteknya, perhiasan dibagi menjadi dua macam, yaitu :
(1) perhiasan emas dan perak, (2) perhiasan selain emas dan perak.
Adapun acuan atau dalil atas ketentuan hukum wajib dan tidaknya, ulama’
berbeda pendapat. Namun jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) berpendapat
bahwa tidak ada zakat dalam perhiasan, baik itu perhiasan dari emas
ataupun perak. Karena perhiasan dinilai sebagai kebutuhan wanita untuk
berhias, dan dikenakan sehari-hari, sebagaimana perkara tersebut
diperbolehkan.
Kendati demikian, ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa
tetap adanya zakat pada perhiasan, meskipun perhiasan itu dikenakan
sehari-hari untuk berhias. Pendapat ini mengacu pada hadits nabi
Muhammad SAW, yang artinya ‘’ Hadist Amr bin Syu'aib dari bapak
dari kakeknya, ia berkata : "Ada seorang wanita yang datang kepada
Rasulullah bersama anak wanitanya yang di tangannya terdapat dua
gelang besar yang terbuat dari emas. Maka Rasulullah bertanya
kepadanya, "Apakah engkau sudah mengeluarkan zakat ini?" Dia
menjawab, "Belum". Rasulullah SAW lantas bersabda, "Apakah engkau
senang kalau nantinya Allah akan memakaikan kepadamu pada hari
Kiamat dengan dua gelang dari api neraka." Wanita itu pun melepas
keduanya dan memberikannya kepada Rasulullah seraya berkata,
"Keduanya untuk Allah dan Rasul Nya." (HR. Abu Daud dan Nasai)’’

Dari hadits di atas penulis menyimpulkan, demi ke-hati-hatian,


hukum atas zakat perhiasan adalah mubah. Secara perspektif, jika
perhiasan yang disimpan itu tidak dizakati, sementara perhiasan yang
dikenakan setiap hari, seringkali dijadikan sebagai bahan unjuk diri, yang
mana dari situ akan timbul kesenjangan sosial.

Jadi dari prninjauan tersebut, zakat perhiasan baiknya dihukumi


dengan hukum mubah yang dianjurkan. Karena bahwa sudah
selayaknyalah perhiasan baik dari emas maupun perak, dikenai hukum
mubah atas penunaian zakat. Dan penganjuran atas pengeluarannya
diharapkan dapat menghilangkan keragu-raguan oleh para pemilik emas
dan perak, serta menghilangkan kesenjangan atau kecemburuan sosial oleh
kaum proletariat. Agar tidak memberatkan pemilik perhiasan emas dan
perak, pengeluarannya-pun dapat dilakukan oleh para mustahiq sekali
seumur hidup.

B. Zakat Emas dan Perak

1. Ketentuan zakat emas dan perak


Emas dan perak merupakan harta yang dinilai berharga, karena
kepemilikan atas emas dan perak juga menjadi salah satu tolak ukur
kekayaan seseorang. Oleh sebab itu emas dan perak juga termasuk ke
dalam ketegori zakat mal. Maka jika seseorang memiliki emas dan perak,
sudah pasti ada kewajiban zakat atas kepemilikannya. Hal ini sesuai
dengan aturan syari’at yang sudah ditentukan.
Kewajiban zakat atas emas dan perak adalah ketika telah mencapai
nishob dan haulnya. Adapun nhsib emas ialah 85 gram, dan ketentuan
haulnya sama dengan sebagaimana haul zakat mal lainnya, yakni satu
tahun. Seperti yang sudah diketahui bahwa ada kewajiban zakat sebesar
2,5% atau 1/40 dari jumlah emas dan perak yang dimiliki.
Ketentuan zakat emas dan perak, atau disebut zakat atsman atau
zakat naqdain,yaitu emas, perak, dan mata uang yang berfungsi sebagai
mata uang atau tolak ukur kekayaan, disebutkan dalam firman
Allah Ta’ala,

‫ب أَ ِل ٍيم‬ ِّ ِ َ‫سبِي ِل اللَّ ِه فَب‬


ٍ ‫ش ْر ُه ْم بِعَذَا‬ َّ ‫َب َو ْال ِف‬
َ ‫ضةَ َو ََل يُ ْن ِفقُو َن َها فِي‬ َ ‫َوالَّذِينَ يَ ْكنِ ُزونَ الذَّه‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At Taubah: 34-
35).
Juga dijelaskan dalam hadits nabi SAW. Dari Abu
Hurairah,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صفَائِ ُح ِم ْن‬َ ُ‫ت لَه‬ ُ ‫ض ٍة َلَ ي َُؤ ِدِّي ِم ْن َها َح َّق َها إَِلَّ إِذَا َكانَ َي ْو َم ال ِقيَا َم ِة‬
ْ ‫ص ِف َح‬ ٍ ‫ب ذَ َه‬
َّ ِ‫ب َوَلَ ف‬ ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫َما ِم ْن‬
َ ُ َّ ُ َ ْ ُ ْ َ َّ َ ُ ٍ ‫ن‬
ْ ْ
‫ كل َما بَ ُردَت أ ِع ْيدَت إِل ْي ِه فِي يَ ْو ٍم‬،ُ‫ فيُك َوى ِب َها َج ْب َهتهُ َو َجنبُهُ َوظ ْه ُره‬،‫َار َج َهن َم‬ ِ ‫ي َعل ْي َها فِي ن‬َ ‫ فَأحْ ِم‬،‫َار‬
‫ار‬ِ َّ‫ َوإِ َّما إِلَى الن‬،‫سبِ ْيلَهُ إِ َّما إِلَى ال َجنَّ ِة‬
َ ‫ فَيَ َرى‬،ٍ‫سنَة‬
َ ‫ف‬ َ ‫ارهُ َخ ْم ِسيْنَ أ َ ْل‬ ُ َ‫كَان ِم ْقد‬
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan
zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya
lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam,
lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut.
Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya
pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian
ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

َ ‫ش ْى ٌء َوَلَ فِى أَقَ َّل ِم ْن ِمائَت َ ْى د ِْره ٍَم‬


ٌٌ ‫ش ْىء‬ ِ ‫َوَلَ فِى أَقَ َّل ِم ْن ِع ْش ِرينَ ِمثْقَاَلً ِمنَ الذَّ َه‬
َ ‫ب‬
“Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat
jika kurang dari 200 dirham.”

2. Pengeluaran Zakat Emas Dan Perak Murni


a. Ibu Tia Samadi memiliki emas sebanyak 120 gram dan sudah dimiliki selama
1 tahun lebih, berapa besar zakat yang harus dibayar oleh Ibu Tia? (misal
emas harga/gram Rp. 573.000)
Jawab:
Nisab : 85 gram  Ibu Tia wajib melakukan zakat karena telah
mencapai nisab dan haul.
120 gr x Rp. 573.000 = Rp. 68.760.000
Rp. 68.760.000 x 2,5% = Rp. 1.350.000,
Jadi zakat yang harus dikeluarkan Ibu Tia adalah sebesar Rp.
1.350.000
b. Ibu Tutik memiliki perak sebanyak 700 gram dan telah dimilikinya selama
hampir 2 tahun, berapa persen dan berapa besar zakat yang harus dibayarkan
oleh Ibu Tutik? (misal perak harga/gram Rp. 200.000)
Jawab:
Nisab : 672 gram
Besarnya zakat yang harus dikeluarkan sama dengan zakat emas, yakni
2,5%
700 gram x Rp. 200.000 = Rp. 140.000.000
Rp. 140.000.000 x 2,5% = Rp. 3.500.000
Jadi zakat yang harus dikeluarkan Ibu Tutik sebanyak Rp. 3.500.0001
c. Seorang wanita mempunyai emas 120 gram, dipakai dalam aktivitas sehari-
hari sebanyak 15 gram. Maka berapa zakat emas yang wajib dikeluarkan oleh
wanita tersebut?

Jawab:
120 gr-15 gr = 105 gram
Bila harga emas Rp 70.000 maka zakatnya:
105 gr x Rp 70.000 = Rp 7.350.000
1
Kementrian Agama RI Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan
Zakat tahun, Buku Saku Menghitung Zakat, 2013, h. 37.
Rp 7.350.000 x 2,5% = Rp 183.7502

C. Zakat Emas dan Perak dalam Bentuk Perhiasan

1. Ketentuan Zakat Emas dan Perak Perhiasan


Adapun dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa tiada kewajiban atas pengeluaran zakatnya,
namun ada juga beberapa ulama’ yang mewajibkan zakat atas emas dan
perak yang sudah berbentuk perhiasan. Berikut ini adalah pendapat para
ulama tentang zakat perhiasan ;

1.) Abu Hanifah


Bahwa perhiasaan dari emas dan perak wajib dizakati. Dalil
wajibnya zakat pada perhiasan yang berupa emas dan perak yang
dialokaskan untuk dipakai adalah keumuman hadits Rasulullah saw,
"Siapa saja yang memiliki emas dan perak yang tidak ditunaikan
haqnya (zakatnya) maka pada hari kiamat nanti akan dibentangkan
baginya lempengandari api lalu dipanaskan dalam neraka, lalu
disetrika dengannya lambung, dahi dan punggungnya."

Dan hadits Abdullah bin Amar bin Ash ra.:

“Sesungguhnya seorang wanita datang kepada Rasulullah


Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam ditemani putrinya yang di
tangannya ada dua gelang besar dari emas. Beliau bersabda
kepadanya: 'Apakah engkau memberikan zakat ini? Ia menjawab:
'Tidak.” Beliau bersabda: "Apakah engkau merasa senang bila Allah
SWT mengenakan gelang padamu karena kedua gelang tersebut pada
hari kiamat nanti dengan dua gelang yang terbuat dari api?' Maka
wanita itu pun langsung melepaskan kedua gelang tersebut lalu
memberikannya kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
salamseraya berkata: 'Kedua gelang itu untuk Allah SWT dan Rasul-
Nya."3
2.) Imam Malik, Ahmad, Syafi’I dan Ishak bin rahawaih
Bahwa zakat emas dan perak yang sudah berbentuk perhiasan tidak
wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun alasan mereka tidak mewajibkannya,
sebagai berikut ;

2
Kementrian Agama RI Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan
Zakat tahun 2013, Panduan Zakat Praktis, h. 51.

3
HR. Abu Daud 1563, At-Tirmidzi 637, an-Nasa’I 2479, ad- Daraquthi 2/22, al-Baihaqi dalam al-
Kubra 7340 dengan isnad hasan
a. Zakat itu diwajibkan pada harta benda yang berkembang atau
disiapkan untuk dikembangkan. Sedangkan perhiasan bukanlah
harta yang berkembang.
b. Bukti-bukti dari para sahabat. Mereka tidak mengeluarkan zakat
perhiasan seperti Aisyah r.a dan budak-budak perempuannya.
c. Hadist dari jabir yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa nabi
Muhammad saw bersabda:
“ Tidak ada zakat untuk perhiasan” ‫ّليلي ف ي ل يس‬
‫لا‬ ‫زك اة‬
d. Perhiasan adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh hampir setiap
perempuan. Bagi perempuan perhiasan kedudukannya seperti baju,
kosmetik dan alat rumah tangga sehingga tidak perlu ada zakat
atasnya.4
Dalam kitab Yusuf Qardhawi menyimpulkan zakat perhiasan dan
lainnya sebagai berikut:
a. Barang siapa yang memiliki kekayaaan dari emas atau perak
untuk simpanan atau diperdagangkan maka wajib
mengeluarkan zakatnya. Karena merupakan sumber untuk
pengembangan dan hal itu sama saja dengan kekayaan lainnya.
b. Jika kekayaan emas atau perak tersebut untuk dipakai
seseorang, maka hukumnya dilihat pada macam
penggunaannya. Jika penggunaannya bersifat haram seperti
untuk tempat-tempat emas, perak, museum,patung- patung.
Diantara pemakaian yang diharamkan adalah yang ada unsur
berlebih-lebihan yang menyolok, hal itu dapat diketahui
dengan penyimpanan seorang perempuan tersebut dari
kebiasaan lingkungan, zaman dan kekayaan umatnya.5

2. Cara Mengeluarkan Zakat Perhiasan


Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya tentang
cara mengeluarkan zakat perhiasan emas yang tercampur dengan benda-
benda lain, maka beliau menjawab: “Yang wajib dizakati adalah emasnya
jika untuk digunakan, sedangkan batu-batu mulia, seperti permata, berlian
dan lain-lainnya, semua ini tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan
zakat. Jika perhiasan itu terdiri dari berbagai macam unsur seperti yang
ditanyakan, maka si pemilik hendaknya mencari tahu akan nilai emas yang
bercampur dengan unsur-unsur lainnya, dengan bantuan suaminya,
walinya atau dengan memperlihatkan kepada orang yang ahli dalam hal
itu, jika sulit untuk diketahui secara pasti maka cukup dengan
memperkirakannya, jika emas yang terkandung dalam perhiasan tersebut

4
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 3, Cetakan Pertama, (Jakarta: Gema Insani,
2011), H.194
5
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1987). h.295
telah mencapai nishab, maka wajib bagi pemiliknya untuk berzakat dari
emas itu.
Dan jika perhiasan itu diperdagangkan, maka perhiasan itu
dihitung secara keseluruhan, termasuk emas, intan, permata, dan lain-
lainnya sebagaimana barang-barang dagangan lainnya yang diwajibkan
untuk dikeluarkan zakatnya menurut pendapat mayoritas ulama.

Jika pada cincin, emas atau perak bercampur dengan perhiasan


jenis lain seperti mutiara, kalau bisa dipisah tanpa merusak cincin
tersebut, maka yang kena zakat adalah perhiasan emas. Namun jika tidak
bisa dipisah kecuali dengan merusak cincin tersebut, maka diperkirakan
saja berapa kadarnya dan dikeluarkan zakat dari emas tersebut.
Contoh perhitungan zakat perhiasan:
Kalung emas (murni) saat mencapai haul seberat 85 gram. Harga
emas (murni) yang bukan kalung = Rp.500.000,-/gram x 85 gram =
Rp.42.500.000,-. Namun harga emas setelah dibentuk menjadi kalung
adalah Rp.60.000.000,-. Zakat kalung emas dihitung = 1/40 x
Rp.60.000.000,- = Rp.1.500.000,-.6

D. Kesimpulan

a. Kepastian Hukum
Sebagaimana yang dijelaskan dari uraian diatas, dapatlah
disimpulkan bahwasanya emas dan perak merupakan bagian dari pada
zakat mal, yang mana diwajibkan atas pengeluaran zakat sesuai dengan
ketentuannya. Adapun perbedaan pandangan oleh para ulama mengenai
emas dan perak yang berbentuk perhiasan, hukum yang diambil atau
yang dijadikan kepastian dalam pelaksanaannya, ialah pendapat dari
mayoritas ulama’.

Sesuai dengan yang disepakati oleh Imam Malik, Ahmad, Syafi’I


dan Ishak bin rahawaih bahwa zakat emas dan perak yang sudah
berbentuk perhiasan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat tersebut
dapat diyakini sebagai kepastian hukum dengan alas an-alasan yang telah
dikemukakan.

b. Pendapat alternatif

Namun dari uraian di atas pula, dapatlah kiranya zakat perhiasan


itu disimpulkan sebagai mubah atas pengeluaran zakatnya. Karena jika

6
Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh Ibn al-Qasim, Jilid 1, cetakan ketiga,
(Semarang: Toha Putra, 2003), h.273
memperhatikan pendapat para ulama’ yang terdapat perbedaan diantara
mereka, ditakutkan akan muncul beberapa keraguan oleh mustahiq atas
hukum penunaian zakat perhiasan.

Dapat dilihat dari perbedaan pendapat para ulama di atas, diantara


pendapat-pendapat mereka tersebut tidak lepas dari dalil-dalil yang
digunakan atas penentuan hukum. Juga oleh mereka semua merupakan
ulama’ yang dikategorikan sebagai mujtahid, yang notabene sudah jelas
keilmuan dan ketaatannya kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika zakat atas perhiasan


dikeluarkan meskipun hanya sekali dalam hidup. Baik perhiasan yang
dikenakan sehari-hari, maupun yang disimpan untuk investasi. Karena
jika seseorang memiliki perhiasan yang sudah melebihi batas atau
nhisob, pastilah ia adalah golongan dari masyarakat menengah ke atas,
dan tentunya 2,5 % dari hartanya tidaklah mungkin dapat menguras
seluruh hartanya.

Terlepas dari mazhab apa yang diikuti atau diyakini, pengeluaran


zakat perhiasan semata-mata hanyalah untuk menghindar dari keraguan
atau untuk ke-hati-hatian semata. untuk peng-hati-hatian semata.

Kiranya dengan pengeluaran zakat sekali seumur hidup tersebut,


tidak ada keraguan yang berarti dalam pemakaian dan kepemilikan atas
emas dan perak. Sehingga diharapkan kesenjangan tidak dirasakan oleh
kaum proletariat. Karena meskipun mereka tidak dapat memiliki
perhiasan, setidaknya mereka dapat menikmati perhiasan yang selalu
mereka lihat dari kaum-kaum borjuis, atau kaum menengah ke atas.

Anda mungkin juga menyukai