Anda di halaman 1dari 11

Antara Aku, Budaya dan Cinta

pagi membangunkanku dari tidur panjang yang dari pukul 22.12 WIB Aku sudah mulai
bercengkrama dengan mimpi, sehingga pagi ini Aku terpisah dengan mimpi lebih awal dari biasanya.
Memang sedari mataku masih terbuka malam tadi, Aku sangat merindukan gema adzan subuh, bahkan
harapanku adzan tersebut dapat Aku kumandangkan, hal ini yang memaksaku untuk terbangun lebih
pagi dari pagiku selama sebulan ini.
Sudah terlalu lama sejak Aku dipaksa untuk tunduk pada pekerjaanku sebagai pengacara, Aku tidak
pernah menyempatkan waktu untuk sekedar mampir di rumah Allah. Kasus yang Aku tangani selama
sebulan ini memang tidak memberikan waktu untukku bersantai, jangankan untuk melaksanakan sholat
di masjid, kadang sholat seringkali Aku lalaikan, hingga tak jarang Aku melaksanaknnya di akhir waktu.
Sore kemarin adalah sidang putusan terakhir yang alhamdulillah oleh Allah kasusku dimenangkan. Dan
sejak itu Aku berniat untuk mendekatkan diri kembali kepadanya, yang mana semoga Allah menjadikan
subuh ini sebagai awal keistiqomahanku pada niat itu.
Ibadah sholat kali ini Aku awali dengan menunaikan sholat Tahajud terlebih dahulu di Kosan,
kemudian Aku bergegas menuju mushola yang berada tidak jauh dari kosanku. Sholat subuh kali ini
terasa sedikit berbeda dari sebelumnya, kali ini lebih banyak mata yang tertuju padaku, serta pertanyaan
juga lebih banyak yang mencecarku. Aku tidak mengherankan kejadian tersebut, hanya saja Aku merasa
agak lebih canggung ketika memasuki moshola. Aku merasa subuh ini tidak layak bagiku
mengumandangkan adzan, karena setelah sebulan Aku tak pernah memegang mic mushola, Aku juga
merasa sedikit hina untuk melakukan pekerjaan mulia itu.
Mimbar adalah tempat favoritku menunggu waktu sholat tiba, rupanya dengan Aku berada di depan
mimbar, ta’mir masjid memintaku mengumandangkan adzan. “silahkan pak, bapak aja, tenggorokan
saya lagi nggak enak. “ Tampaknya ta’mir tidak mengiyakan penolakanku. Aku bergetar ketika
memegang mic, Aku bergetar karena Aku takut Tuhan tidak senang dengan caraku, Aku merasa tak
pantas memberikan kabar waktu sholat kepada orang banyak, sedang selama sebulan Aku kadang tak
memperdulikan suara tersebut. Air terasa menggenangi mataku saat Aku mengucapkan “assolatu
khoirun minannawm”, Aku tak mampu menahannya untuk tidak keluar. Aku menangis setelah adzan itu
Aku kumandangkan. Terlebih lagi ketika sujud itu Aku lakukan, rasanya tak sanggup Aku membendung
air itu untuk tidak membasahi alas sholatku.
Kasus yang Aku menangi memang memberiku banyak hadiah, termasuk juga uang. Namun hadiah
yang sangat berharga bagiku adalah kantor memperkenankan-ku untuk beristirahat selama seminggu,
karena setelah sebulan penuh Aku berjuang untuk memenangkan kasus ini, Aku merasa sangat
membutuhkan waktu dimana Aku tidak memikirkan dunia, dan subuh ini akan Aku mulai.
Setelah menunaikan Ibadah sholat subuh, Aku mencoba mengulang hafalan qur’an-ku, yang sampai
saat ini Aku masih belum berani untuk menambah jumlahnya. Aku mengulang hafalan juz 30-ku dengan
memulainya dari surat ‘amma, hingga jam 08.12 WIB Aku baru bisa mengakhirinya, maklum sudah
banyak sekali ayat-ayat yang hampir ku lupa. Lalu sholat duha Aku jadikan sebagai rangkaian
perpisahanku dengan musholla pagi ini, Aku yang merasa lapar harus kembali ke kosan untuk masak
dan bersantai.
Kesendirian seringkali membawaku kembali ke masa lalu, masa dimana Aku mulai tidak percaya
dengan cinta, kecuali cinta Tuhan kepada hambanya. Ingatan ini adalah hal yang paling memuakkan,
namun tak pernah absen dari kesendirian yang ku jalani selama lima tahun ini. Ingatan itu kadang
membuatku merasa hamapa, dan tak jarang kesendirian ini turut mengundang rindu akan sapaan cinta
seorang wanita.
Waktu santaiku pagi ini seperti terusik oleh kerinduan yang datang mengganggu pikirku. Aku kembali
pada masa laluku, dan Aku menikmati ingatan itu. Akupun terbawa untuk mengalihkan selera musikku,
Aku tiba-tiba mulai menyanyikan lagu-lagu yang menurutku tidak menonjolkan musikalitas, melainkan
hanya menyajikan berbagai makna pilu dalam liriknya. Hisapan rokok mulai terasa seperti tak menyala,
kopi yang ku buat seolah tiada bergula. Aku menangis, ya... Aku memang menangis lagi. Aku menangisi
Devanda, mantan kekasihku. Air mataku seperti memohon padanya, Tuhan kembalikan Devanda
padaku, Aku mencintainya Tuhan.
Aku benar-benar telah kemabali pada masa laluku. Ingatan ini seakan membuat sholat subuhku hari
ini seolah tiada guna. Aku kembali dilanda kerinduan akan sosoknya, namun Aku juga harus kembali
pada dendemku padanya. Karena rasa dendam inilah yang Aku jadikan sebagai pengingat, bahwa
dendam ini menyadarkanku untuk tidak boleh lagi merindukan dia. Dendam ini juga Aku jadikan sebagai
teguran, bahwa tiada lagi cinta selain cinta Tuhan kepada hambanya. Sesungguhnya bagiku cinta itu
adalah nyawa dari kesetiaan, dan kesetiaan tidak akan pernah hidup tanpa sebuah cinta. Namun yang
menimpa diriku kala itu adalah pedihnya penghianatan, pantaslah jika Aku beranggapan bahwa tidak
ada cinta selain cinta Tuhan, karena cinta manusia selalu berujung pada penghianatan.
Tidak pernah sekalipun Aku berharap untuk menyimpan dendam, namun dendam inilah yang
kemudian menguatkanku, sehingga sampai detik ini Aku masih bertahan untuk tidak mendekati satupun
wanita, termasuk juga mampu menahan kerinduanku pada wanita penghianat itu. Teman-temanku
beranggapan bahwa Aku tidak bisa keluar dari bayang-bayang Devanda. Jelas Aku tidak setuju akan
pernyataan teman-temanku. Karena sejatinya dengan tetap menyendiri Aku mampu membuktikan pada
semua orang, bahwa Aku tidak butuh bantuan wanita lain untuk tetap tersenyum tanpa Devanda, apalagi
harus menyakiti wanita lain untuk sekedar melupakan Devanda.
Banyak yang bilang, bahwa jika seseorang tidak bisa mendapatkan pasangan baru setelah berpisah
dengan pasangan lamanya, maka dia masih mencintai dan mengharapkan pasangannya yang lama,
karena dia tidak bisa mencintai orang lain selain pasangan lamanya. Bagiku itu salah besar, karena
dengan mencari pasangan baru, itu membuktikan bahwa dia tidak mampu lepas dari masa lalunya,
melainkan harus dengan bantuan pasangan baru, untuk bisa lepas dari ikatan sebelumnya. Aku tidak
butuh perempuan lain untuk dapat bangkit dari keterpurukanku karena Devanda. Cukup Aku sendiri yang
membereskannya, meskipun butuh waktu lebih dari dua tahun untuk itu, dan Aku mampu. Kini Aku yakin
sudah tidak lagi mengharapkan Devanda, meskipun teman-temanku tidak percaya akan hal itu.
Aku hanya ingin benar-benar bersih dari perasaan akan Devanda, meskipun Aku tahu itu tidak akan
pernah terjadi, karena bagaimanapun dia adalah bagian dari masa laluku, dan masa lalu akan selalu
melekat dalam ingatan. Aku juga tidak ingin menyakiti hati wanita lain untuk sekedar bersembunyi dari
keterpurukkan, kemudian berharap bisa melupakan Devanda dengan kehadirannya. Aku ingin tidak ada
lagi cinta untuk wanita manapun, kecuali untuk Tuhan dan tentunya sedari tadi Aku lupa menyebutnya,
ibu, ayah dan semua keluargaku. Aku meyakini Tuhan adalah pemilik cinta, dia pasti tahu kepada siapa
akan ia titipkan cintanya untukku, dan untuk siapa cinta yang akan ia titipkan padaku.
Terlepas dari ketidak percayaanku pada cinta manusia. Aku akui bahwa Aku butuh akan sosok
wanita, karena apapun alasannya, Aku adalah laki-laki biasa yang tidak mungkin bisa hidup dengan
tenang tanpa seorang wanita. Aku hanya tidak ingin larut dalam cinta, yang setelah kehilangan cinta,
maka berusaha mencari cinta yang baru. Aku selalu membentengi diri dengan rasa dendamku pada
Devanda, agar kiranya Aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama, yakni memberi cinta untuk orang
yang belum tentu menjadi pilihan Tuhan untukku, karena Tuhan tahu yang terbaik untuk urusan itu. Aku
serahkan semua padanya, sehingga Aku berusaha meyakinkan diri, bahwa tidak ada cinta selain cinta
Tuhan pada hambanya. Sesungguhnya karena Tuhan adalah maha pemilik cinta, maka sudah pasti ia
mengetahui sejatinya cinta, dan dia akan menyatukan dua manusia yang berbeda juga pasti dengan
cinta, meskipun awalnya tiada.
Aku masih bernyanyi seraya membayangkan masa lalu, namun hanya dendam itu yang Aku
bayangkan, sehingga kerinduan itu mampu Aku lenyapkan. Pagi ini waktu santaiku dilanjutkan dengan
membaca buku,dan tidak lama kemudian Hpku memperdengarkan karya “The Script” yang berjudul “Man
On wire”, menandakan bahwa ada panggilan masuk. “Hallo assalamu’alaikum, “ sapaku membuka
percakapan. Aku sontak kaget setelah mengetahui bahwa penelpon adalah “Mamiq Tuan”.
Terkejut itu jelas Aku rasakan, karena setelah setahun yang lalu Aku tidak pernah lagi berkomunikasi
dengan beliau, dan secara tiba-tiba pagi ini beliau menyapaku via tlpon. Komunikasiku dengan beliau
terputus sejak perdebatan panjang yang terjadi saat musyawarah pernikahan. Aku yang terlahir dari
keluarga yang bermarga “Lalu”harus ikut serta dalam musyawarah tersebut. Untuk diketahui “Lalu”
adalah salah satu marga bagi suku sasak, Lombok. Tidak berbeda dengan suku-suku di indonesia,
bahwa marga “Lalu” yang bagi laki-laki dan “Baiq” bagi perempuan, juga tidak memperindah pernikahan
dengan marga selain marga kami, dalam hal ini “Lalu” dan “Baiq”.
Bicara tentang marga tentu tak lepas dari rasisme, yang mana dalam hal ini feodalisme masih
termasuk dalam kategori budaya yang harus dipertahankan, karena kami menganggap bahwa ras kami
adalah bagian dari monarki. Tentu hal ini hanya berupa anggapan dari suatu suku dan ras tertentu, dan
bukan dalam porsi nasionalisme. Aku meyakini bahwa hal ini tidak jauh berbeda dengan banyak suku-
suku lainnya, karena hampir semua suku masih sangat memegang erat rasisme dan feodalisme-nya.
Bahkan menurutku, suku di indonesia tidak lebih rasis dan feodal dibandingkan dengan bangsa-bangsa
barat.
Dalam marga kami, terdapat beberapa adat yang mungkin berbeda dengan marga atau suku lain.
Prihal tersebut yang paling berbeda adalah adat pernikahan kami, adalah suku sasak yang mengadopsi
sistem penculikan sebagai bagian dari pernikahan. Yaitu sebelum akad, resepsi dll. Ada banyak sekali
proses yang harus dijalani terlebih dahulu, termasuk di dalamnya penculikan. Aku akan coba
menjelaskan dengan pengetahuanku yang tidak banyak tentang Adat dan budaya sasak, dalam hal ini
mengenai pernikahan bagi marga kami yang sarat dengan feodalisme.
Berawal dari sepasang pria dan wanita yang ingin menikah, mula-mula si pria harus mengambil atau
membawa gadisnya pergi dari rumahnya, dan harus di luar sepengetahuan keluarga si gadis, ini yang
ku sebut sebagai kegiatan menculik. Kemudian si gadis itu wajib berada di satu tempat dengan prianya,
namun antara keduanya diharamkan pada kontak fisik selama akad dilangsungkan. Sudah barang tentu
dalam suasana ini, si pria dan wanita tersebut wajib ditemani oleh keluarga si pria, teman-teman si-pria,
umumnya kerabat dari pihak pria dalam sekala besar. Dan tidak boleh ada satupun kerabat dari pihak
wanita berada di tempat tersebut.
Berlanjut pada keadaan dari pihak wanita, bagi kami suku sasak, Lombok umumnya. Apabila
seorang gadis tidak berada di rumah dan tidak pula diketahui keberadaannya, terhitung 1X24 jam
keberadaannya tidak juga diketahui, maka wanita tersebut dianggap sudah diculik atau dinikahi oleh
seorang pria. Kembali pada pihak pria, keberadaan wanita di tempat laki-laki yang lebih dari satu hari,
maka itu dianggap sudah menjalani proses awal pernikahan, dan sudah bisa disebut “sudah menikah”
bagi kami, suku sasak. Kemudian kabar pernikahan tersebut pasti akan menyebar dengan sendirinya,
hingga keluarga si wanita mengetahuinya.
Setelah dua hingga tiga hari dari prosesi tersebut, kerabat si pria wajib melaporkan status wanita ini
kepada keluarganya. Di moment ini, kerabat pria yang terdiri dari 7 orang, jumlah minimum. Akan
mendatangi kediaman si gadis, tentunya jika dia dari desa, maka setiap aparatur desa berhak didatangi
oleh kelompok yang terdiri dari 7 orang tersebut. Disinilah kemudian dilaksanakan ritual adat, yang intinya
adalah permintaan restu kepada orang tua gadis dan permohonan kesediaan wali si-gadis untuk
memperkenankan pernikahan ini terlaksana. Prosesi ini kadang bisa lebih dari tiga hari, tergantung
kesediaan wali nikah dari si gadis. Karena prosesi ini dianggap selesai apabila wali dari si gadis bersedia
untuk menikahkan gadisnya dengan pria yang telah membawanya sedari bebrapa hari yang lalu.
Singkat cerita apabila prosesi ini telah selsai, barulah kemudian pengantin tersebut dihadapkan pada
proses yang paling sakral, yakni ijab dan kobul. Dan setelah mereka sah menjadi pasangan suami istri,
masih ada satu tahapan lagi yang harus mereka jalani, yaitu resepsi pernikahan. Bicara soal resepsi,
tentunya tidak ada perbedaan dengan acara resepsi pada umumnya, hanya saja keabsahan resepsi
tampak diakhir acara. Kami memiliki satu budaya yang mungkin sedikit berbeda, yang mana budaya ini
berupa kegiatan yang kami sebut dengan istilah “nyongkolan”. Aktivitas nyongkolan ini pada intinya ialah
silaturrahmi antara dua keluarga, yang dibungkus dalam acara yang diberi nama nyongkolan.
Nyongkolan ini bertujuan untuk mengenalkan mempelai pria dan wanita pada banyak orang. Yang mana
pada kegiatan ini mempelai pria dan wanita akan diiringi oleh kerabat-kerabat dari pihak pria, dengan
berjalan menuju kediaman wanita, dan musik tradisional sasak difungsikan sebagai pengiring rombongan
tersebut.
Terlepas dari proses nyongkolan yang sudah Aku jelaskan tadi, masih terdapat serangkaian acara
yang belum bisa Aku jelaskan secara rinci, karena selain Aku tidak terlalu memahami, juga masih sangat
panjang jika harus Aku ceritakan. Namun yang pasti, prosesi ini tidak sedikitpun mengurangi substansi
dari silaturrahmi.
Kembali pada perdebatan dalam musyawarah adat, yang mana Aku ikut di dalamnya. Dalam hal ini
keponakanku Rita yang sedari magrib tadi menghilang dari rumah, tanpa izin dan pemberitahuan
sebelumnya. Maka jelas kami sekeluarga meyakini bahwa Rita telah dilarikan oleh pria, atau calon
suaminya. Yang jadi masalah adalah siapa gerangan pria tersebut? Adakah dia termasuk dalam silsilah
marga “Lalu”? karena jika si-pria bukan termasuk dari silsilah marga kami, maka sebelum hitungan 1X24
jam, kami masih berhak untuk membawa pulang anak gadis kami.
Dalam musyawarah tersebut, Aku mendapatkan bagian sebagai ditektif. Aku diperintahkan mencari
tau si pria yang telah membawa Rita. Akhirnya diketahuilah oleh Mamiq Tuan, dan pria tersebut ternyata
bukan termasuk dalam marga kami. Jelas ini adalah masalah besar, dengan tanpa basa-basi Mamiq
Tuan mengumpulkan semua pemuda untuk bersamanya mencari dimana Rita dan pria itu bersembunyi.
Aku tidak bisa menahan mereka untuk menjadi pahlawan bagi Rita, yang bisa Aku lakukan adalah
tidak ikut dalam rombongan, karena hanya itu yang bisa Aku lakukan agar kiranya Rita tidak kecewa
padaku. Aku juga takut pada Tuhan, jika itu berupa pencegahan atas kebaikan, maka Aku lebih baik
diam, dari pada harus melawan atau membenarkannya. Dan dengan diam Aku berharap sebagian
mereka mengerti akan posisiku sebagai paman yang paling dekat dengan Rita. Karena Akulah satu-
satunya orang yang sslalu bilang padanya, “bahwa tak apa bila dia nggak punya “Lalu”, yang penting dia
kaya dengan iman”. Apakah mungkin kemudian Aku akan ikut memaksanya untuk pulang, dan turut
memaksa dalam pernikahannya.
Aku juga ingin Rita bahagia dengan laki-laki pilihannya. Aku percaya bahwa laki-laki yang baik
bagi seorang wanita adalah laki-laki yang berani memperjuangkan cintanya. Aku tau pria ini pasti sudah
mengetahui tentang dirinya dan Rita pasti akan dipisahkan. Aku juga tahu bahwa ia mengetahui resiko
bilamana ternyata mereka menikah, maka mereka tidak akan dianggap sebagai keluarga oleh kami
semua. Aku tak tega dengan Rita, juga sedikit kasihan dengan ketulusan pria itu.
Aku tak ikut memasuki mobil yang akan ditumpangi oleh kelompok-kelompok pemisah ini. Aku hanya
terdiam sampai ku dengar kata-kata dari Mamiq Tuan yang sontak membuatku sangat tersinggung.
“dendekm milu wah kamu, lamun edak aku kance kakem siku laek, ndekm gemes ak tau jari pengacara
marak nani, am tao gamak gitak kakem siku. Dendekm gitak Aku, kakem iku gitak”. Kata-kata ini
sangatlah menyakitkan bagiku, dimana Aku yang sudah tidak memiliki Ibu sejak SD, dan ayah yang pergi
menemui Ibuku ketika Aku merasakan indahnya masa SMA. Sejak itulah Aku hanya bisa berharap pada
ketiga kakaku, Mamiq Tuan(adik kandung ayahku) dan Kak Rita(kaka dari ibu yang berbeda).
Sejak Aku piatu, Aku masih memiliki Ayah yang membiayai sekolahku di Pon-pes Az-Ziyadah
Jakarta. Namun ketika Aku menjadi piatu dan yatim, Aku hanya bisa meratapi keadaanku, yang mana
Aku sudah pasrah untuk tetap berada di Pondok untuk mengajar, dan tidak bisa melanjutkan lsndidikan
ke jenjang perguruan tinggi. Namun kala itu Mamiq Tuan dan Kak Rita-lah yang siap membiayaiku untuk
melanjutjan pendidikanku di Universitas Indonesia.
Aku tidak memungkiri bahwa hampir semua biaya masuk di UI, ditanggung oleh mereka berdua.
Sedang untuk seterusnya ketiga kakaku-lah yang sscara total menanggung kuliahku. Selebihnya untuk
biaya hidup Aku bekerja sebagai penjaga stodio musik dan pengajar di salah satu TPQ.
Kata-kata yang kemudian Mamiq Tuan ucapkan pada ku seolah menganggapku tidak tau terimkasih.
Aku marah bukan karena Mamiq Tuan melecehkanku, melainkan karena beliau baru saja melecehkan
bapakku, kakaknya sendiri. Tak mampu Aku mengeluarkan kata-kata yang sudah Aku rangkai untuk
membalas, namun apalah daya, Aku tak mampu untuk melawan diam ini. Aku hanya bisa
menggelengkan kepala, sungguh tak disangka keikhlasan Mamiq Tuan yang selama ini Aku sanjung
ternyata serendah itu. Jelas-jelas biaya kuliahku hingga selesai sudah seharusnya lunas sejak ayahku
masih hidup. Ayah yang seolah tau kapan ia akan pergi, menitipkan uang dan tanah kepada Mamiq Tuan
dan disaksikan oleh kak Rita. Dan oleh kakaku Aku mengetahuinya, tapi hal itu tidaklah pantas untuk
dibicarakan lagi.
Akhirnya Rita kembali ke rumah, Rita yang sudah terlanjur diketahui orang banyak tentang dirinya
yang gagal menikah, mau tidak mau harus tetap menikah, guna menutupi pernikahan gagal yang
dianggap sebagai aib bagi keluarga. Aku kembali hadir dalam musyavwarah keluarga, yang di dalamnya
antara Aku dan Mamiq Tuan sudah jelas tidak sepaham. Aku dikecam oleh hampir semua peserta
musyawarah, tak terkecuali Mamiq Tuan. Aku berusaha santai menyikapi peranku ssbagai anggota
keluarga, dan tentunya sebagai paman bagi Rita. Rita adalah keponakanku, dia adalah anak dari kakak
kandungku namun dari ibu yang berbeda.
Musyawarah itu diselenggarakan untuk mencari siapa dari sepepu Rita yang akan menjadi
suaminya, terpilihlah Wahyu, anak dari kakaku yang pertama. Setelah pernikahan mereka selesai, tanpa
pamit kepada siapapun, Aku kembali ke jakarta untuk menjalani rutinitasku seperti biasa. Dan setelah
setahun berlalu, Aku tidak pernah sekalipun mnginjakkan kaki di kampung halamanku itu. Termasuk juga
berkomunikasi dengan semua keluarga besarku.
Selama setahun Aku seakan menjadi anak yang terbuang, tanpa ada yang memperdulikanku, untuk
sekedar menyapaku via media sosial-pun mereka enggan. Akupun tidak ramah pada permusuhan itu,
Aku tidak mengindahkan perdamaian untuk Aku mulai. Aku beranggapan bahwa merekalah yang
memusuhiku, bukan Aku yang memisahkan diri dari mereka. Yang Aku lakukan kala itu adalah tidak ingin
ikut serta dalam pengambilan Rita, bukan berarti Aku tidak perduli pada keluarga. Aku hanya tidak ingin
Rita sedih jika Aku turut serta dalam merenggut kebahagiaannya. Sampai kini Aku masih hanya bisa
berharap semoga Rita dan Wahyu mampu membina keluarga yang samawa.
Maka dari cerita masa laluku itu dapatlah dibayangkan, betapa terkejutnya Aku ketika Mamiq Tuan
menelponku. Selain beliau adalah sosok front man dalam keluarga besar kami, beliau juga sosok yang
peduli kepada kami semua, dalam hal apapun. Meskipun sampai detik ini juga Aku belum pernah
merasakan itu. Mungkin karena memang Aku yang tidak merasa. Namun oleh karena beliau satu-
satunya orang dalam keluarga yang menjadi pemegang keputusan setelah ayahku meninggal, tidaklah
pantas jikalau Aku memusuhinya. Dan karena sebab itulah Aku tidak bisa mengelak dari dua
permintaannya.
Untuk memenuhi salah satu permintaan Mamiq Tuan itu, Aku menghubungi sahabatku, Diron. Diron
adalah sahabatku sejak smester 1. Dia anak dari salah satu petinggi di Jakarta Timur. Iya, Diron adalah
anak dari Wali Kota Jakarta Timur yang sedang menjabat. Diron yang sejak pertama kuliah selalu
menggunakan mobil, hingga saat ini dia tak ingin mengenakan kendaraan lain selain mobil. Oleh karena
itu, Aku ingin meminjam mobil dan jasa setirnya, karena Aku belum memiliki mobil dan blum bisa
mengendarainya.
Permintaan pertama yang akan Aku penuhi adalah menemani bibi tuan, beliau adalah istri dari
Mamiq Tuan. Bibi’ tuan yang besok pagi akan ke jakarta untuk menghadiri acara wisuda di UI, yang mana
anaknya adalah salah satu dari wisudawati dari fakultas kedokteran. Dan tugas saya adalah
menemaninya selama di jakarta. Oleh karena itu jasa Diron sangat dibutuhkan untuk pekerjaan ini.
Merlina Adik sepupuku, dia adalah anak kedua dari empat anak Mamiq Tuan. Merlina yang
wisudanya tidak ditemani orang lain selain ibunya, karna Maiq Tuan ayah dari Merlina sedang
dihadapkan pada kasus sengketa tanah, yang kemudian kasus tersebut menjadi tugas keduaku atas
permintaan Mamiq Tuan. Kedua permintaan Mamiq Tuan tersebut dapat Aku penuhi karena memang
saat ini Aku sedang dalam masa liburan. Oleh karena itu, Aku merencanakan untuk pulang ke Lombok
bersma bibi Tuan dan Merlina, sehari setelah Merlina resmi menjadi seorang Dokter.
Perlu diketahui, Aku dan Merlina memang satu almamater, Aku dan Merlina sama-sama
mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Indonesia. namun angkatannya yang terpaut jauh membuat
Aku dan Merlina tidak pernah bertemu di Kampus tersebut. Aku yang lulus tahun 2013, tentu tak sempat
dipimpin oleh Presma yang sama, karena Merlina baru masuk UI setahun setelah Aku mengenakan toga.
Jadi tak heran jika selama Merlina dan Aku di jakarta, kami hampir tidak pernah bertemu. Hal ini mungkin
disebabkan karena rasa canggung dari masing-masing kami.
Antara Aku dan Merlina pernah dekat, waktu itu ketika Aku berumur 5 tahun, bibi tuan melahirkan
anak keduanya, yang diberi nama Baiq Merlina Ifah. Hingga Aku duduk di bangku kelas 6 SD, Aku masih
sempat menggendong Merlina. Dan awal perpisahan kami adalalah ketika Aku melanjutkan SMP di kota
yang berjarak jauh dari kampungku. Karena jarak itulah Aku terpaksa tinggal di rumah bibiku, adik
kandung ibuku. Sejak Aku tinggal disitu, Aku jadi sangat jarang pulang ke kampung, hingga tentunya Aku
sudah sangat jarang bertemu Merlina. Kemudian ketika Aku melanjutkan SMAku di Jakarta, mungkin
sejak itu Aku belum pernah berbicara secara langsung dengannya, hingga sekarang.
Hari ini setelah Aku menghubungi Diron dan menanyakan keberadaannya, Aku bergegas menuju
rumahnya, yang ketika mengangkat tlponku, ia baru saja terbangun dari tidurnya. Ucapan salamku di
depan pintu rumah Diron menggiring Ibunya untuk membuka pintu. “ehhhh Elfa,,, kemana aja nak, kok
ngilang? “ tanya ibu Diron padaku, yang selama satu bulan ini tak pernah terlihat oleh beliau. “hehehe,,,
ada kok bu, “jawabku menghindari pertanyaan yang lebih berat dari ibu Diron. “Dironnya ada bu? “
sambungku, “ooohh ada nak, kamu langsung ke kamarnya aja ya, kayaknya Diron masih tidur, maklum
akhir-akhir ini dia begadang terus, “ begitulah jawaban panjang tate Rani yang Aku potong karena
keramahannya yang berlebihan.
Aku melihat Diron masih berselimut dengan tidak mengenakan baju, Aku kemudian
membangunkannya dengan menindihnya. Diron terbangun sambil marah. “eh monyet, lo cari pacar
napa, biar lo gak nidurin gue. “ candaan temen-temenku memang tak pernah keluar dari pembahasan
perempuan, selalu saja mereka mengungkit status jombloku, namun Aku tidak pernah merasa
tersinggung atau tersudutkan, karena memang begitulah kami bersahabat. Kata-kata kasar, perlakuan
tak sopan, saling bully itu adalah hal yang biasa dalam pergaulan kami. “Aku ada kabar baik buat lo,
cewek cantik bray,” Aku kemudian membangunkan Diron dengan iming-iming perempuan baru. Diron
sontak terbangun dan melempar selimutnya, segingga selimut itu terlepas dari tubuhnya.” Lo jangan
candain gue, apa, apa kabar baiknya?” Diron terlihat sangat semangat dengan berita yang Aku
sampaikan.
Masih dengan iming-iming perempuan, “lo mandi dulu, trus nanti kita keluar cari sarapan, naah baru
gua kasih tau. “ iming-iming wanita memang sangat pas untuk saat ini, karena Aku harus cepat
memastikan mobil dan kesiapan Diron untuk berkenan menjadi tour guide selama tiga hari. Dan Aku
yakin Merlina bisa menjadi daya tarik untuk Diron menyutujui permohonanku.
Setelah Diron menyudahi sarapannya, Aku memulai prakata untuk menyampaikan permohonanku
padanya. Aku yang di retoran hanya memesan kopi hitam, masih dengan lancar berbicara, karena Aku
tak perlu menahan rasa pedas seperti yang Diron lakukan. Setelah prakata ku rasa cukup, Aku
menceritakan pada Diron tentang Merlina, adik sepupuku. Aku mengabarkan padanya tentang hari
wisuda Merlina dan ibu Merlina yang akan ke jakarta. Aku juga tak lupa memperkihatkan photo Merlina,
untuk sekedar meyakinkan Diron pada kata “iya”. “Gimana kalo selama disini, gua yang jadi supir kalian,
sekalian pake mobil gua juga, gimana kak? “preeeet gaya lo “kak”, nemu dimana tu panggilan? Begitu
semangatnya Diron setelah melihat cantiknya Merlina, dia-pun sampai harus menyelipkan kata “kak”
untuk memanggilku. Berharap Aku menjadi kaka iparnya.
Hari liburku selama seminggu ini, yang sejak pagi tadi Aku niatkan untuk berada penuh di Kos dan
Musholla, kini Aku harus rela melenyapkan niat itu. Karena besok pagi Aku dan Diron harus meluncur ke
cingkareng, “semoga besok pagi Aku sempat menunaikan sholat jum’at, “ pintaku dalam akhir do’a,
setelah sholat ashar. Karena bagaimanapun, Aku pergi dengan Diron, sahabat baikku yang hingga saat
ini masih berada jauh dari Tuhan. Diron juga punya banyak cara untuk menahanku sholat, apalagi sholat
jum’at. Diron bisa saja mengajakku makan atau ngopi, kemudian bercanda dengannya membuatku
kadang lalai dalam ibadahku. Meski begitu, Aku tak bisa jauh dari sahabatku yang selengan ini.
Sholat jum’at kali ini terasa sangat berbeda, bagaimana tidak, Diron yang berada di sampingku
sangat khusyuk mendengarkan khotib berceramah. Entah apa yang terjadi pada Dirom, yang secara
tiba-tiba mengajakku untuk mampir di salah satu masjid, kemudian tanpa basa basi langsung masuk ke
dalam masjid tersebut. “Merlina ni, pasti” Aku melemparkan canda sambil tersenyum padanya atas
fenomena yang terjadi. “Apaan sih lo, ini yang bikin gua males, sholat. Nggak sholat salah, sholat
dikomentarin. “ Diron membalas candaanku dengan jawaban yang serius, nampak ia marah pada
candaanku, namun yang Aku tau, itu juga tidak keluar dari konteks. Bahwa seperti itulah kami bercanda.
“oalaaah nggak lah boss, mari ustadz, kita ambil wudhu dulu biar suci, “ Aku mencoba untuk meneruskan
candaan tersebut, yang kemudian membuat dia tertawa dan berkata “dasar sinting lo”.
Setelah sholat jum’at, kami melanjutkan perjalanan menuju bandara. Di dalam mobil Diron mulai
menanyakan banyak hal tentang Merlina. “trus dimana adek sepupumu itu sekarang, kok nggak ikut?
“dia masih ada gladi buat besok katanya”, “brarti ntar kita langsung ke tempat Lina gitu?, “ya iyalah, kan
nganterin tante gue”. Mendengar itu Diron semakin bersorak bahagia, “yeeessss”, “buset, jangan girang
dulu, kalo kita ketemu Lina, kali aja dia masih di kampus”, “yooh,,, ya kita tungguin lah, masa tante lo
dianter doang, nggak ditemenin gitu, parah lo”, “ya gua yang nemenin, lo mah pulang”, Anjirrr, sama
calon adek ipar kok jahatnya gitu banget sih kak?, “yaudah, lo tunggu di mobil”, “ya Allah kak”.
Aku dan Diron menunggu di lobby sampai jam 15.00 WIB. Pesawat yang delay hingga dua jam
membuat Lina menelponku terus menerus. Lina yang khawatir karena HP ibunya tak aktif sejak beliau
mengabarkan tentang delay itu. Aku hanya bisa menenagkan Lina dengan berkata “udahlah Lin,
insyaAllah gak ada apa-apa, kamu gak usah mikir aneh-aneh ah, paling hp ibu lowbat, makanya gak
aktif. Udah lanjutkan gladinya”. Aku yang merasa semakin gemetar ketika sejak pertama Lina
menelponku, sumpah Aku merasa sangat canggung. Namun aku berusaha menyembunyikannya
dengan tetap tenang.
Tidak lama setelah Lina menelponku, nampaklah bibi tuan seperti mencari orang, Aku yang duduk
di lobby tanpa basa basi langsung berlari menghampirinya, sambil ku buka WA hendak mengabari Lina.
Aku merasa sangat lega, dan yang paling Aku herankan adalah mengapa Aku spontan mengabari Lina.
Seharusnya hal tersebut Aku lakukan karena permintaan bibi tuan, atau paling tidak Aku hampiri dulu
bibi tuan, dan ketika beliau menanyakan Lina, barulah seharusnya Aku kabari Lina. Aku membayangkan
betapa kelegaan Lina setelah mendengar kabar tentang kedatangan ibunya, yang kemudian
mendorongku untuk sesegera mungkin mengabarinya.
Dalam perjalanan dari bandara menuju salemba, Aku berbicara panjang prihal Lina. Kami yang
berdiskusi menggunakan bahasa daerah, sasak, kemudian ku rasa akan membuat Diron merasa risih
dengan hal tersebut. Tak ayal jika kemudian Aku memulai pembicaraan dengan menggunakan bahasa
nasional. “bi, kan si-Lina besok udah resmi jadi dokter, sudah waktunya dong untuk dia menikah,” Aku
mencoba membuka celah untuk Diron bisa bergabung dalam diskusi kami. Kendati demikian, tidak ada
celah untuk Diron dapat berkata guna mempromosikan dirinya atas ketertarikannya pada Lina, Karena
ketika Aku mengira pembahasan itu akan menarik perhatian bibi tuan untuk bercanda prihal tersebut.
Namun yang terjadi adalah bibi tuan yang menyatakan enggan membahas masalah itu, karena beliau
menilai itu bukanlah ranah beliau. “husss,,,nggak boleh ngomongin masalah itu, tentang pernikahan Lina
biarlah Lina yang menentukan, bibi nggak mau ikut campur.”
Merasa bersalah, Akupun mencoba membiaskan pembahasan agar bibir ini tidak kehilangan kata-
kata seterusnya, “Dir, kita makan mampir makan dulu deh”, “makan dimana ni kita?” jawab Diron
memecah kecanggungannya. “bi, kita makan dulu ya”, “yaudah, bibi mau makan nasi padang El”.
Kemudian laju mobil terhenti di depan warung padang yang nampaknya agak besar dan mewah. “bibi
mau ke toilet dulu El, dimana tu?”, “oohh, kita ke dalam aja dulu bi”. Kemudian Aku menanyakannya
pada satpam yang berjaga di depan pintu resto, lalu bibi tuan beranjak ke arah yang Aku tunjukkan.
“buset,,, bibi lo sesitif bet njing”, “gua juga baru tau Dir, haha.”
Diron menungkapkan keresahannya padaku, ia seolah pasrah pada kemungkinannya untuk bisa
mendapatkan Lina. Aku memberinya pemahaman tentang mindset keluargaku, dengan sesingkat
mungkin Aku jelaskan tentang adat marga kami yang masih sangat feodal. Namun malangnya, Diron
memahami penjelasanku dengan menginterpretasikannya sebagai rasis. Dengan tergesa-gesa kembali
Aku jelaskan, “keluarga kami masih menjaga keutuhan marga, yang bisa gua bilang, marga itu tidak kami
artikan sebagai identitas keluarga, but it’s a monarchy. Paham kan? “ Bangsawan deh, biar lo cepet
paham.” “berarti darah biru dong!” jawab Diron yang masih agak bingung. “iya terserah lo”, ringkasku
karena bibi tuan telah datang.
Kami tiba di salemba tepatnya di jalan salemba 1 no.18, dimana di daerah tersebutlah Lina tinggal
selama hampir empat tahun. Lina yang kemudian keluar dari kosnya setelah Aku mengabarinya,
kemudian nampaklah suasana haru yang diperlihatkan oleh seorang ibu dan anak perempuannya. Aku
yang belum menunaikan sholat ashar, menghampiri kedua wanita hebat tersebut. “bi, kalo gitu kita
langsung pamit aja”, “loh kok nggak mampir dulu?”, “El mau ke kos dulu sekalian mandi, trus nanti malam
El jemput kesini, kita jalan-jalan bi’, “ooo, yaudah kalo gitu, hati-hati ya”.
Aku kemudian memaksa Diron mampir ke masjid untuk sholat ashar, dan iapun berkenan menjadi
makmumku. Aku yang setelah sholat lalu berdo’a, dan membayangkan betapa indahnya karya Tuhan
yang diperlihatkan dari mata seorang hawa. Segala sastra yang ku rasa sudah tiada lagi mampu ku
tuliskan untuk memujinya. Seakan waktu ingin Aku hentikan sejenak, kiranya agar bisa lebih lama
memandang mahakarya itu. Tak sadar dalam do’a itu Aku selipkan permintaan pada penciptanya, sudi
kiranya dzat agung mengizinkanku untuk dapat menjadi perantara dalam menjaga keindahan itu. Hatiku
terasa larut dalam cinta, sehingga harapku sesegera mungkin kesendirian ini dapat Aku akhiri.
Setelah berakhir air itu membasahi seluruh tubuhku, kini hatiku terbalut oleh perasaan bahagia. Air
yang masih menetes dari ujung rambutku, segera Aku keringkan, lalu sebisa mungkin Aku membentuk
ketampanan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku ingin Lina terpesona denganku, seperti Aku yang
sedari awal tadi hingga sekarang masih tunduk pada rasa kagum. Lina terlihat sangat cantik, Aku tak
mampu menuliskan kata-kata untuk menggambarkannya. Aku kagum padanya, dan mungkin Aku juga
telah jatuh cinta pada adik sepupuku itu.
Dalam mobil bersama Diron, Aku coba mengartikan maksud dari perasaanku, “Dir, Aku mengagumi
adik sepupuku, aku terpesona pada anak pamanku, Aku ingin kembali menciumnya seperti dulu.” “what
the fuck? Lo jatuh cinta Man.” “kyaknya Dir!” “kejar broth, lo tau kan gua bercanda? “tanpa lo bilang juga
gua udah paham Dir.” “gua akui Lina itu mengagumkan, tapi gua juga gak bisa ngelak kalo pacar gua
masih lebih cantik darinya.” Aku mengucapkan apa yang sejak tadi Aku rasakan, Diron-pun
menyimpulkan ungkapanku sebagai ciri-ciri jatuh cinta. Tiada yang serius dari ungkapan Diron tentang
dirinya yang menginginkan Lina, Aku memahami itu sejak awal sebagai pelengkap canda kami.
Keseriusan itu ada padaku, yang mana Aku dan Diron berusaha memikirkan cara untuk
mengaplikasikannya.
Diron memaksaku untuk melawan rasa canggung dalam diriku, “persetan dengan masa kecil brader,
lo sama dia udah nggak kecil lagi, jadi nggak salah kalo sekarang lo bisa saling mencintai, tentunya
bukan sebagai adik dan kaka,” “I don’t know how and where I started,” ‘’lo pulang and marry her,” nggak
segampang itu lagi Dir!” “lo lamar dia, ajak dia nikah, and there will be no refusal, percaya sama gue!.”
Aku tak bisa berkomentar dari saran Diron, karena memang hanya itu yang sekarang bisa dan harus Aku
lakukan. Pada kenyataannya, Lina sudah menuntaskan pendidikannya, dan tentunya sekarang dia
sudah tiba pada waktu dimana pengharusan menikah bagi seorang wanita.
Suasana yang gembira tercipta pada malam ini, dimana Aku, Bibi Tuan dan Lina tertawa lepas oleh
tingkah lucu Diron. Aku tidak mampu berkontribusi dalam menghadirkan keseruan, Aku hanya mampu
menikmati keseruan yang disajikan oleh Diron. Malam ini Aku bukanlah Elfa seperti biasanya, jangankan
untuk membuat tawa, berbicarapun Aku tak terlalu pandai, kecuali ketika bibi tuan yang mengajakku
bicara. Pembicaraan antara Aku dan Lina seperti mati dibunuh perasaan canggung, Aku hanya
terpesona melihatnya, kadang juga rasa cemburu itu tiba-tiba hadir dalam hatiku. Lina terlihat seperti
nyaman dengan candaan yang dibuat Diron, Aku cemburu karena Aku tak bisa seperti Diron.
Sabtu ini Aku awali dengan sholat subuh di kosanku, Aku terbangun lebih siang dari hari kemarin.
Semalam kami pulang pukul 01.10 WIB, dan pukul 03.15 WIB mata ini baru bisa terpejam, karena Aku
berusaha menggambarkan bentuk kekagumanku pada Lina dalam tulisan, sehingga subuhku kali ini
tidak bisa Aku laksanakan bersama pak Tohir, ta’mir musolla. Setelah Aku sibuk mempertampan diri,
Aku bergegas menuju rumah Diron, Aku takut Diron terbangun jauh melebihiku. dengan menggunakan
motor bututku, Aku sampai tak lebih dari 10 menit, selain karena jarak Klender dan Jati Negara tidak
jauh, juga karena masih pagi dan jalan Kolonel Sugiono belum banyak yang melewatinya.
Kali ini Aku ternyata bisa membangunkan Diron lebih mudah dan cepat, dengan berkata “demi cinta
gua buat Lina, Dir!”,, membangunkan Diron dengan kata-kata ini ternyata lebih efisien. Karena tak lama
setelah itu Diron terbangun dan langsung menuju kamar mandi. Menunggu Diron mandi, Aku sempatkan
untuk membuka HPnya, dan karena terlihat notif pesen WA dari Citra, kekeasihnya, Aku kemudian tak
segan untuk membukanya. Pesen percakapan WA Diron dan Citra membuatku terharu, bagaimana tidak,
Diron yang ternyata dari hari jum’at kemarin berusaha menahan kerinduan kekasihnya untuk tidak
bertemu, dengan alasan untuk menemani sahabat dan keluarga sahabatnya.
Setelah Diron keluar dari kamar mandi, Aku menyampaikan apa yang tadi Aku lakukan, Aku
memeluknya seraya mengucapkan terima kasih. “lebay lo njing!”

Anda mungkin juga menyukai