TUBERKULOSIS MILIER
Fakultas kedokteran
Disusun oleh:
20174011002
Diajukan kepada:
2018
I. Pengalaman
Identitas Pasien :
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 45 tahun
Alamat : Gamping, Sleman
Pekerjaan : Swasta
Tanggal periksa : 02/01/2018
Pemeriksaan Fisik:
KU: Lemas
GCS: E4V5M6
TD: 108/87 mmHg
Suhu: 36,5 derajat celcius
Nadi: 93 x/menit
RR: 20 x/menit
Status General
a. Kepala : normocephal
b. Mata : anemis (-), sklera ikterik (-/-)
c. Leher : deviasi trakea (-), JVP (-)
d. Thorax
Cor : S1-S2 reguler, bising (-)
Pulmo : Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
e. Abdomen : Timpani (+); NT (-), Bising usus ( +)
f. Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat (+/+)
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Hemoglobin : 12,4 (12.0-18.0)
Lekosit : 6700 (4000-11000)
Basofil :0 (0-1)
Eosinofil :0 (1-3)
Neutrofil : 78 (50-70)
Limfosit :9 (20-40)
Monosit : 13 (2-8)
Hematocrit : 38 (37-54)
MCV : 83,0 (82-98)
MCH : 27,3 (27-34)
MCHC : 33,0 (32-36)
Trombosit : 162 (150-400)
HIV : Positif (Negatif)
2. Foto Rontgen Genu dan Thorax
1. Foto Thorax:
Interpretasi:
Tampak opasitas multiple kecil-kecil berukuran <4mm yang tersebar di
seluruh lapang paru.
Tak tampak pelebaran kedua pleura space.
Kedua diafragma licin
CTR < 0,56
Kesan:
Gambaran TB milier, DD : Bronkhopneumonia
Besar COR normal
Saran : Pelacakan TB
2. Foto Genu AP/L
Interpretasi:
Tampak penebalan soft tissue regio genu dextra
Trabekulasi tulang yang tervisualisasi normal
Tampak penyempitan articulatio genu dextra
Eminentia intercondylaris dextra meruncing
Kesan:
Soft tissue swelling regio genu dextra
OA genu dextra grade I berdasarkan klasifikasi Kellgrence and Lawrence
Etiologi
Patofisiologi
Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran kuman
TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik (droplet
nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di hancurkan. Sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang di namakan fokus primer Ghon. Selanjutnya,
kuman TB dari fokus primer Ghon menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang di perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung
selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa
inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Penyebaran hematogen secara langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Manifestasi Klinis
Gejala lain yang dapat di temukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula
nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid di temukan pada 13-87% pasien, dan
jika di temukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu
diagnosis TB milier, sehingga pada TB milier perlu di lakukan funduskopi untuk
menemukan tuberkel koroid.
Gambaran radiologi
Ciri radiografi TB milier adalah pola milier pada radiografi thorax. Istilah milier
mengacu pada ukuran "biji millet" nodul (<2 mm) yang terlihat pada radiografi dada
klasik. Lesi miliaria yang halus paling baik digambarkan dalam film yang sedikit
underpenetrated, terutama bila daerah paru-paru di antara tulang rusuk diteliti dengan
hati-hati.Sekitar 10% kasus, nodul berdiameter lebih dari 3 mm. Foto thorax polos
biasanya normal saat timbulnya gejala, dan temuan paling awal, yang terlihat dalam
1-2 minggu, mungkin hiperinflasi. Seiring perubahan khas yang berkembang selama
perjalanan penyakit, mendapatkan radiografi dada berkala pada pasien yang
mengalami pireksia yang tidak diketahui mungkin bermanfaat. Pada masa pra-CT
scan, diagnosis TB milier sering dilewatkan pada radiograf dada dan terbukti hanya
pada otopsi. Bukti dari penelitian yang dipublikasikan menunjukkan bahwa pola
miliari klasik mungkin tidak terlihat pada hingga 50% pasien dengan milier TB
Pola milier klasik pada radiografi dada mewakili penjumlahan kepadatan tuberkel
yang selaras sempurna, sedangkan kerapatan lengkung dan pola retikulonodular
diakibatkan oleh tuberkulum sejajar tidak sempurna. Komposisi histopatologis
tuberkel, jumlah mereka, dan ukurannya telah diusulkan untuk dilakukan. menjadi
penentu visibilitas radiografi nodul. Diagnosis TB miliaria menjadi lebih mudah saat
pasien hadir dengan bayang-bayang khas militer pada radiografi dada dalam keadaan
yang tepat. , dibandingkan dengan mereka yang tidak menunjukkan pola klasik. Jadi,
jika ada indeks kecurigaan TB miliaria yang tinggi dan radiografi dada tidak lazim,
disarankan agar HRCT dilakukan untuk mendukung diagnosis.
Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa
tuberkel halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk
yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi kecil dapat bergabung
membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas.
Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada foto thorak dapat di lihat lesi
yang tidak teratur seperti kepingan salju
Penatalaksanaan Tuberkulosis
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-
banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase
intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai
perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu
2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society,
fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB,
Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih
panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan
mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis
Committee of the British Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH
dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan
pada pasien dengan resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan
ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase
awal sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat
utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).
1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan
yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau
bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum
negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan
sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin
tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ).
2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
Diberikan kepada :
Penderita kambuh
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus
TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
1. Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti
rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila
ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang
biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes,
alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu
diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek
samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
3. Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif
memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga
bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena
penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis.
Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
4. Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika
resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak
diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15
mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada
pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30
mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang
sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan
penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau
bila ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila
hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini
sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-
anak harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa
melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum
pengobatan.
5. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi.
Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari
50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan
intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan diturunkan
menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk anak
diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk
pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis
kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus.
Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten
atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi.
Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru
(azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan
protionamid.
1. Centers for Disease Control and Prevention. Prevention and treatment of Tuberkulosis
among patients infected with human immunodeficiency virus: Principles of therapy
and revised recommendations. MMWR 1998;47(RR-20): 1-58.
2. International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment, Public Health.
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006
3. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta. IDAI;2008.h.162-
261.
4. Roth JG, Baker SK. Miliary tuberculosis. Dalam: Rom WN, Garay SM, penyunting.
Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia;2003.h.960-71.